Wednesday, December 31, 2008

Bukan Alat, Bukan Tujuan

Ah, lagi-lagi petinggi Golkar bikin pernyataan yang nggak banget. Tempo hari Surya Paloh mengungkapkan pendapatnya bahwa "demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan rakyat", persis seperti pernyataan Jusuf Kalla (kalo gak salah) beberapa bulan sebelumnya. Terus terang, pernyataan ini mengusikku. Apalagi kata-kata semacam itu keluar dari mulut para petinggi salah satu partai terbesar (meskipun sama sekali bukan favoritku), dan tentunya berpengaruh, di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kesejahteraan adalah hal yang didamba-dambakan semua penduduk Indonesia, termasuk aku. Mungkin kesejahteraan yang ada di benak para politisi dan petinggi negara terbatas pada hal-hal yang sifatnya fisik seperti terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), sedangkan kesejahteraan idealnya juga mencakup hal-hal yang sifatnya spiritual (kedamaian hati, kesempatan untuk mengeluarkan potensi diri secara maksimal sehingga menimbulkan rasa puas, kedekatan dengan Sang Pencipta). Tapi oke lah, negara memang berkewajiban menyejahterakan rakyatnya dan aku sepakat soal itu.

Aku terusik oleh pernyataan Surya Paloh bukan karena aku beranggapan bahwa demokrasi adalah tujuan itu sendiri. Rasanya terlalu naif, berpraduga bahwa segalanya akan baik-baik saja dan semua akan bahagia setelah demokrasi diterapkan di sebuah negara. Aku terusik karena, menurutku, demokrasi bukan sekadar alat. Demokrasi juga bukan sekadar sistem pemerintahan yang (konon) paling ideal. Demokrasi jauh lebih penting daripada itu: demokrasi adalah sebuah nilai. Artinya, demokrasi itu harus dijadikan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, istilah kerennya "diinternalisasikan" (ato "terinternalisasikan"?).

Demokrasi mengisyaratkan keterbukaan, persamaan, dan kebebasan. Oleh karena itu, demokrasi sama pentingnya dengan hal-hal seperti kejujuran, kerja keras, atau kedisiplinan. Akankah kita menyingkirkan semua itu hanya untuk meraih "kesejahteraan"? Akankah kita dengan senang hati menghamba (ingat sidang MPR dan "mufakat bulat"?) dan terkungkung dalam ketidaktahuan (kita bahkan gak tahu apa-apa tentang penderitaan orang-orang di Aceh dan Timor Timur!) hanya supaya kita bisa cukup makan? Aku gak bakalan mau, seandainya aku punya pilihan.

Lagi pula, kalo memang demokrasi cuma dipandang sebagai "alat", jangan-jangan suatu hari nanti bakal ada wacana untuk menerapkan sistem diktatorial militer, misalnya, bilamana cara itu dianggap lebih ampuh untuk mewujudkan tujuan nasional. Dengan kata lain, kembali ke zaman Soeharto lagi, era ketika "harga-harga barang masih murah". Mau?

Tuesday, December 23, 2008

Anjing Baru

Lingkungan kami kedatangan penghuni baru. Selain dua manusia, tetangga baru ini juga terdiri dari seekor anjing. Aku gak punya masalah dengan anjing dan tak takut anjing. Mungkin karena dari kecil aku udah punya tetangga yang punya anjing (bahkan aku pernah digigit). Asal si anjing gak gigit ato menjilatiku dan bukan anjing gila, peduli amat.

Masalahnya, ada tetangga lain yang juga punya anjing, yang rumahnya juga deket rumahku. Entah siapa namanya, tapi mari kita sebut saja anjing lama. Yang jelas, anjing lama tampaknya gak senang dengan kedatangan anjing baru. Karena anjing baru cuma dikeluarin malem-malem (mungkin karena pemiliknya takut ngeganggu orang; tau lah, kan banyak orang yang takut anjing), setiap malem pasti ada lomba menggonggong di antara kedua anjing. Mungkin di dunia anjing ada sistem senioritas, siapa yang tau. Mungkin anjing lama ngomong, "Hei, anak baru! Berani-beraninya lu masuk ke wilayah kekuasaan gue!" Si anjing baru menimpali dengan perkataan, "Heh, emang siapa elu? Bisa-bisanya ngelarang gue masuk sini. Ini negara bebas, man!" Dan seterusnya.

Emang sih, berbalas gonggong ini baru terjadi setelah jam dua belas malem. Masalahnya, karena aku seringkali baru tidur lewat jam dua belas, gonggongan ini sangat menggangguku. Apalagi kamarku di depan, menghadap ke jalan kompleks. Jadi, selamat mendengarkan gonggongan anjing aja deh. Anjing, anjing.

Terpengaruh (Lagi)

Agak susah bagiku buat terpengaruh oleh novel. Memang ada novel yang menyemangatiku untuk mengubah arah hidupku seperti The Alchemist, atau novel yang membuatku tertawa pahit seperti Animal Farm, atau yang membuatku menangis tersedu-sedu (serius!) seperti The Kite Runner. Tapi, gak ada yang bisa membuat nuraniku terusik dan gelisah berhari-hari. Kecuali novel Indonesia itu, yang ogah kubaca tapi akhirnya harus kubaca juga karena kudu diterjemahin. Novel-novel yang kubaca biasanya ber-setting di luar negeri, atau malah di dunia antah berantah, jadi sulit merasa terhubung--dalam jangka panjang--dengan situasi yang dipaparkan di dalamnya. Nah, karena novel yang satu ini mengambil tempat di Indonesia, mau tidak mau jadi sangat terpengaruh. Mudah melupakan penderitaan (yang mungkin dialami) orang-orang di belahan dunia lain, tapi ini kan di Indonesia, gimana aku bisa lupa--ato diem aja (meskipun akhirnya aku memang gak bisa ngapa-ngapain, dan itulah yang bikin aku gelisah).

Sialnya, meskipun untung juga sih, empat proyek terakhir yang kukerjain adalah karya nonfiksi. Untung, karena biasanya kata-kata yang dipakai gak terlalu berbunga-bunga sehingga nerjemahinnya gak ribet. Sial, karena tiga di antaranya mengemukakan topik yang sama sekali tidak menyenangkan. Walaupun ketiga perempuan ini tinggal di belahan bumi yang berbeda-beda dan mengalami penderitaan yang berbeda-beda pula bentuknya, pada intinya mereka semua sama: perempuan teraniaya.

Yang satu korban poligami dan teror psikologis dalam rumah tangga dan menjadi saksi kengerian fanatisme beragama (sebenernya fanatisme gak tepat, manipulasi agama mungkin lebih cocok). Yang kedua korban penganiayaan ayah kandungnya sendiri serta satu-satunya saksi saat ayahnya membunuh ibunya, kombinasi yang menghasilkan trauma psikologis panjang, terwujud dalam keinginan bunuh diri, selama bertahun-tahun. Yang satu lagi korban perdagangan perempuan. Bikin miris kan?

Sulit melupakan kisah mengenaskan bilamana itu nyata. Ini bukan cuma kejadian hipotetis, sekadar sesuatu yang mungkin memang dialami seseorang di suatu tempat--ada orang-orang sungguhan yang hidup di dalamnya.

Pokoknya, aku sangat terpengaruh sampai-sampai jadi depresi. Yah, mungkin gak depresi, tapi dihantui. Ngeri rasanya membayangkan bahwa ada orang yang hidupnya semengerikan itu di luar sana. Meskipun ada rasa syukur juga, karena keadaanku amat sangat lebih baik daripada mereka. Tapi, aku merasa putus asa karena gak bisa membantu orang-orang macam itu sama sekali. Akibatnya, aku pun gelisah berkepanjangan. Gak enak banget deh. Begitulah.

Sunday, December 14, 2008

Radar

Di antara berbagai pertanyaan aneh yang membuatku kepikiran adalah: Gimana kaum homoseksual mengenali satu sama lain? Aku pernah denger kalo mereka mengenakan aksesoris khusus, seperti cincin di jari tertentu, ato anting di satu telinga. Tapi, jujur aja deh, kedengarannya norak, jadi aku gak terlalu percaya. Nah, kalo begitu, apa mereka punya semacam radar untuk mengenali sesamanya? Jawaban atas pertanyaan ini terjawab secara gak langsung waktu aku pergi ke Paris van Java akhir bulan lalu.

Aku dan adikku nonton dua film di Blitz Megaplex, dua film yang kebetulan berada dalam daftar INAFF (Indonesia International Fantastic Film Festival). Mayoritas film yang diputar dalam INAFF, yang dulunya bernama SCREAMFESTINDO, adalah film horor, tapi dua film yang kami tonton adalah animasi Jepang--Gedou Senki (Tales from Earthsea) dan Evangelion 1.0: You Are (Not) Alone (bagian pertama dari empat seri Rebuild of Evangelion). Dari film pilihan kami, orang tolol juga bisa langsung menduga bahwa aku dan adikku adalah, bisa dibilang, maniak per-Jepang-an. Dan memang benar. Aku bukan penggemar Evangelion dan awalnya aku berencana nonton film Thailand The 8th Day alih-alih Evangelion 1.0. Tapi, karena beberapa alasan, akhirnya aku mengurungkan niatku tersebut.

Pada hari H, dengan tiket di tangan (tentu saja kami sudah pesen tiket sebelumnya!), aku dan adikku datang ke Blitz dan tercengang melihat orang-orang yang mengantre. Antre buat masuk teater ya, bukan antre karcis. Tapi, yang lebih mencengangkan daripada antrean ini adalah para anggota antrean.

Tanpa bermaksud bersikap diskriminatif, terlihat jelas bahwa sebagian besar orang yang nonton di Blitz berasal dari kelas atas. Tau lah, tipe orang-orang yang gak ragu-ragu ngeluarin duit buat beli barang-barang bermerek dan nongkrong di kafe yang menjual air putih seharga 20 ribu. Intinya mah, orang kaya. Nah, para pengantre ini gak seperti itu. Oke, mungkin mereka anggota kelas menengah, tapi bukan orang-orang kaya yang bermobil ke mana-mana. Dengan kata lain, bukan tipe orang yang biasanya kita temui di Blitz. Mereka lebih mirip dengan anak-anak yang suka nongkrong di warnet (ato ComLabs ITB) buat mengunduh seri anime terbaru, duduk “manis” di depan komputer untuk ngirimin beribu-ribu pesan ke forum Rileks, nonton bareng OVA di basement HME-HMF, ato aku. Mereka itu setipe banget denganku deh--sesama maniak per-Jepang-an.

Acara nonton kami berlangsung dengan sukses dan aku bener-bener puas (tiba-tiba aja aku paham kenapa banyak orang yang menggemari Evangelion). Dan tentu saja, salah satu pertanyaan gak pentingku terjawab. Bagaimana kaum homoseksual mengenali sesamanya? Jawabannya sama seperti pertanyaan “Bagaimana para maniak per-Jepang-an/backpacker/tukang dugem/copet mengenali sesamanya?” Mungkin karena mereka (dan aku, dalam kasus “mengenali sesama maniak per-Jepang-an) memang punya radar internal.

Thursday, November 13, 2008

Selamat Menempuh Hidup Baru

Dulu aku bertanya-tanya, kenapa orang nikah dikasih ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru". Bukankah hidup berjalan seperti biasa setelah seseorang menikah? Apanya yang baru? Baru setelah seorang teman baikku menikah aku sadar bahwa "Hidup Baru" memang istilah akurat untuk menggambarkan kehidupan setelah menikah.

Aku merasa jahat karena waktu temenku bilang dia mau nikah, aku malah sedih. Tentu saja aku ikut senang karena temenku--yang memang mendambakan pernikahan--senang. Tapi, aku sedih karena aku tahu semua akan berubah. Bukan cuma karena dia bakal pindah dan kami gak bisa sering ketemu, tapi juga karena hubungan kami gak akan sama lagi. Setelah seseorang menikah, prioritas dan pola pikirnya berubah. Gak ada lagi ceritanya bisa nongkrong dan ngobrolin hal-hal gak jelas kayak biasanya, gak mungkin lagi kami bisa berbagi cerita tentang impian dan harapan untuk masa depan. Setelah seseorang menikah, yang terpenting baginya adalah keluarga intinya. Orang lain, entah itu orang tua, saudara sekandung, apalagi cuma temen, seolah disingkirkan ke pojokan, ke posisi yang kurang penting dibandingkan dengan pasangan ato anaknya. Pantes aja banyak orang tua yang menangis saat pernikahan anaknya.

Jadi, memang benar. Urusan praktis dalam hidup--kerja, bayar tagihan, dll--bisa saja gak berubah, tapi hidup di mata seseorang yang baru menikah takkan sama lagi. Dan, walau berlumur duka, gak ada hal lain yang bisa dilakukan "orang-orang yang ditinggalkan" kecuali berdoa bagi kebahagiaan si penganten baru.

Tuesday, November 04, 2008

Paradoks Pengajaran Sains

Kalo udah ngomongin Olimpiade Sains Internasional, Indonesia boleh bangga karena para pesertanya selalu dapet medali. Oleh Menteri Pendidikan, hal ini kemudian dijadikan bukti mengenai kemampuan murid-murid Indonesia yang gak kalah dengan murid-murid dari negara lain, juga bukti bahwa arah pendidikan di Indonesia udah tepat. Buktinya, kita bisa mencetak juara dunia.

Tapi, kenyataan tak seindah itu. Bukan rahasia bahwa pelajaran sains di Indonesia ditakuti dan dijauhi murid-murid karena satu alasan: susah. Aku pernah ngeliat buku sains SMP untuk murid-murid Australia (yang entah gimana bisa nyasar di perpus SMA-ku) dan terpana ngeliat materinya yang sederhana. Di saat anak-anak SMP Indonesia berkutat menghitung persamaan termodinamika, anak-anak SMP di Australia baru "bermain-main" dengan tuas dan pengungkit.

Selain susah, materi pelajaran untuk murid-murid di sini emang super padat. Padahal dalam satu semester bisa sampe dua belas mata pelajaran yang harus diterima para murid. Dalam kondisi seperti ini, gimana mo paham, ngafalin aja udah setengah mati (karena bahannya seabrek).

Jadi, kecuali bila IQ Anda di atas 140 (kayak para peserta olimpiade sains itu) ato Anda beruntung karena punya sekolah berfasilitas lengkap dan guru yang istimewa, jangan harap bisa menyukai dan mengerti pelajaran sains yang diberikan di sekolah. Guru-guru juga gak bisa disalahin karena mereka pun sekadar mengejar target yang udah dipatok Depdiknas. Yang penting semua materi (yang banyak banget itu) udah tersampaikan; moga-moga aja para murid ngerti.

Memang ada kesan bahwa Depdiknas mencoba memperbaiki metode pengajaran saat mereka memperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Lewat KBK, murid dipersilakan untuk memformulasikan konsep dengan cara melakukan percobaan atau pengamatan. Alih-alih menghafal, murid diajak untuk mencoba memahami. Tapi, ini pun masih setengah hati karena toh Ujian Nasional--penentu absolut nasib murid--yang soalnya pilihan ganda itu masih menekankan aspek hafalan, bukan pemahaman.

Tidak berlebihan bila kukatakan bahwa keberadaan anak-anak Indonesia pemenang olimpiade sains memang merupakan anomali. Sebagian besar dari mereka dilahirkan sebagai orang cerdas, bukan dibentuk oleh sistem pendidikan yang oke.

Dan tidak berlebihan juga bila kukatakan bahwa aku sama sekali tak terkejut melihat berita di media cetak bahwa minat mempelajari sains (murni) di negeri ini sangat rendah. Kalo aku baru lulus SMA dan sedang memilih jurusan yang akan diambil di perguruan tinggi, aku pasti mikir: Ngapain mempelajari bidang ilmu yang susah dan juga gak menghasilkan duit?

Salah siapa coba?

Friday, October 24, 2008

Oleh-oleh dari Bali

Cuma ada dua benda yang membuatku laper mata: makanan dan buku. Jadi, waktu aku berada di Bali minggu lalu, aku gak berminat untuk belanja suvenir seperti orang lain. Alhasil, oleh-oleh yang kubawa pulang pun bener-bener gak Bali banget. Inilah oleh-olehku:

Pin
Di sana kebetulan ada stan NGO (sebenernya gak semuanya NGO sih, tapi pokoknya mereka adalah sekelompok orang yang melakukan kerja sosial; kebayang kan?!). Barang-barang di sana pun sebenernya standar, barang-barang yang biasa dijual buat ngumpulin dana. Tau kan--kaos, pernak-pernik. Tapi, lantaran aku suka pin, akhirnya aku beli dua. Gak ada pertimbangan apa pun, cuma karena aku suka warnanya aja.

Buku
Aku beli dua buku: Laskar Pelangi dan Midnight in the Garden of Good and Evil (pengarang kedua buku ini tampil di acara yang kudatangi dalam kapasitas sebagai sukarelawan). Asalnya, aku sama sekali gak kepikiran buat beli Laskar Pelangi. Tapi, berhubung aku bertugas di sebuah acara yang menampilkan Andrea Hirata, dilengkapi dengan sesi tanda tangan-foto bareng, kupikir: kapan lagi bisa dapet tanda tangannya? (Meskipun sebenernya aku gak kepingin ketemu dia, habis kalo ngeliat bawaannya panas-dingin mikirin terjemahanku yang entah berhasil ato enggak dalam menangkap semangat karyanya.) Aku pun membeli LP on the spot dan menyodorkannya untuk ditandatangani sang penulis. Midnight kubeli setelah ngobrol ama rekan sesama sukarelawan di sana ("Saya udah nonton filmnya," kataku. "Bukunya jauuuuuh, lebih bagus," katanya.). Sayang, gak dapet tanda tangan John Berendt.

Gelang India
Hehehe, sebenernya yang dikasih tuh orang lain, rekan-rekan yang bertugas di Box Office (jualan tiket). Jadi, orang India yang beli tiket ini puas banget ama acara taun lalu sehingga pas dia dateng lagi taun ini, dia menghadiahkan seplastik besar gelang buat kru Box Office. Serius, seplastik besar. Akhirnya, anak-anak Box Office pun bagi-bagi gelang. Aku gak suka aksesoris sih (mo bagus kek, mo ada permatanya kek, mo harganya jutaan rupiah kek; pokoknya, aku sama sekali gak tertarik pada gelang, kalung, anting, dan sodara-sodaranya), tapi kupikir Mama mungkin suka. Gak banyak-banyak, aku minta satu gelang aja dari salah satu kru Box Office (makasih, makasih....).

Kacang
Ini pemberian orang juga (makasih, Bu Retno). Kacang asin ini rasanya enak banget, sampai-sampai aku (yang biasanya gak terlalu suka kacang) susah menahan diri untuk gak nambah lagi. Sayang, ini produk Denpasar, jadi mungkin di supermarket-supermarket sekitar sini gak ada.

Kenangan
Ampun, basi banget gak sih? Tapi, memang banyak hal yang layak untuk dikenang selama seminggu di sana. Ada yang menyenangkan, ada juga yang nyebelin. Ketemu ama banyak orang baru, bete-betean sama rekan kerja, dst. Apa pun itu, moga-moga semuanya bisa menjadikanku orang yang lebih baik, aamiin.

Saturday, October 11, 2008

Ternyata Ngedit Itu....

Ternyata ngedit itu melelahkan euy....

Gak tau karena emang aku "ngejar" target banget (soalnya lusa mo pergi ke luar kota) ato emang karena terjemahannya--dengan segala hormat--gak taat teks, tapi mata ini rasanya mo coplok karena melototin layar sepuluh jam per hari. Faktor kedua ini bikin aku rada bete dan membatin: kok dengan level terjemahan kayak gini bisa jadi penerjemah profesional sih? Tapi, cepat-cepat kutepis kesebelanku dan berusaha berbaik sangka. Mungkin ini terjemahannya yang pertama. Toh terjemahan awalku pun lumayan "bebas" waktu baru mulai dulu (tapi insyaAllah udah diperbaiki).

Tapi, karena ngedit itu ternyata melelahkan BANGET, sekarang aku jadi bersyukur karena waktu itu udah "nolak" tawaran jadi editor. Beneran, nerjemahin tuh jauh lebih asyik daripada ngedit!

Saturday, October 04, 2008

Parsel Pertama

Orang tuaku sayangnya bukan orang yang "penting". Jadi, selama bertahun-tahun kami hanya pernah menerima parsel Lebaran satu kali. Itu pun dari sebuah pengembang, setelah Papa baru aja beli rumah. Waktu kecil, aku sering ngiler kalo jalan-jalan ke pusat pertokoan dan melihat parsel aneka ragam karena kami tak pernah mendapatkannya. Emang sih, kami bisa aja beli parsel untuk diri sendiri, tapi rasanya gak sama dengan parsel hadiah kan?!

Sekarang, karena Papa udah pensiun, kami sama sekali gak bisa berharap mendapat parsel Lebaran. Tapi siapa sangka, kejutan yang menyenangkan datang seminggu sebelum Idul Fitri.

Saat itu sore hari dan kami sekeluarga lagi nonton TV sambil menunggu buka puasa. Tiba-tiba, terdengarlah salam dari depan rumah. Papa, yang mengira bahwa itu adalah panggilan dari tukang jaga malam, bergegas menuju ke sana. Pas Papa balik ke ruang keluarga, dia muncul membawa benda yang tak terduga-duga: kotak berwarna hijau bergambar beduk.

Kotak itu ditujukan untukku. Aku cuma bisa terbengong-bengong karena aku gak sedang menanti barang kiriman. Penasaran, kusambar saja kotak itu dan kubuka. Dan ternyata, isinya adalah makanan-makanan enak, beserta ucapan selamat hari raya Idul Fitri dari penerbit yang dengannya aku bekerja sama.

Aku dapet parsel Lebaran untuk pertama kalinya. AKU! Parsel kan biasanya dikirim untuk orang-orang penting--para bos dan pembesar dan yang semacamnya. Bukan orang yang biasa-biasa aja seperti aku! Makanan-makanan enak itu gak ditempatkan di dalam keranjang seperti layaknya parsel, okelah; tapi mari kita anggap saja itu parsel. Pastinya, aku bener-bener senang dan bersyukur.

Selamat Idul Fitri!

Catatan: Makasih banyak buat Mizan untuk parselnya. Makasih juga untuk para editor yang selama ini udah berperan sebagai penghubungku: Mbak Shinta di Hikmah serta Mbak Nadia dan Mbak Diah di Bentang. Maafkan saya kalo kerjaan saya ada yang kurang memuaskan.

Distorsi

Guru Bahasa Indonesiaku di SMA pernah ngadain tes kecil-kecilan tentang "penyampaian informasi lisan secara beruntun". Dengan kata lain, pesan berantai. Caranya, guruku menyampaikan sebuah pesan kepada seseorang, kemudian pesan itu diteruskan kepada secara beruntun kepada semua orang di kelasku. Percobaan ini dilakukan dua kali dan ternyata pada kedua kesempatan, pesan yang ditangkap oleh orang terakhir (dan disebutkannya di depan kelas), berbeda jauh dengan pesan yang diterima orang pertama. Dengan kata lain, penyebaran pesan secara lisan yang melibatkan banyak orang tuh gak efektif--karena rentan mengalami distorsi.

Tentunya, kita gak mengharapkan hal serupa terjadi pada penyebaran informasi lewat media massa. Jurnalis kan orang-orang yang terpercaya dan insyaAllah mereka gak asal aja mengabarkan suatu berita kepada masyarakat. Sayangnya, seterpercaya apa pun media massa tersebut, bukan berarti dia gak mungkin salah dalam menyampaikan pesan. Televisi khususnya, yang menyampaikan berita secara lisan dan acapkali real time. Selain itu, TV juga sering mengulang-ulang berita yang sama. Akibatnya, risiko salah pun menjadi semakin besar karena--ingat!--kian sering suatu berita disampaikan, kemungkinan berita tersebut melenceng kian besar pula.

Kalo mo memerinci kesalahan TV dalam menyampaikan info, sebenernya ada banyak. Tapi, mari kita tengok saja kasus yang paling hot, soal "susu bermelamin".

Badan POM menarik sejumlah produk yang mengandung susu buatan Cina setelah di negara tersebut ditemukan susu yang mengandung melamin. Jadi, tindakan BPOM merupakan suatu langkah preventif. Apakah semua produk tersebut mengandung melamin? Jawabannya: belum tau. Harus dilakukan pengujian dulu untuk tahu apakah produk-produk itu mengandung melamin ato enggak. Tapi daripada celaka, tarik aja semuanya.

Awalnya sih, info ini cukup jelas. Apalagi TV-TV pun menampilkan Kepala BPOM saat dia mengumumkan penarikan produk-produk tersebut (dan latar belakangnya). Tapi, makin lama berita tersebut makin terdistorsi. Penggunaan kata-kata "produk yang diduga mengandung melamin" ato "produk yang mengandung susu buatan Cina" entah sejak kapan berubah menjadi "produk bermelamin". Padahal itu kan belum pasti!

Parahnya lagi, budaya lisan dalam masyarakat kita masih berakar kuat. Plus, kita belum terbiasa kritis. Jadi, begitu melihat berita di TV, yang nempel mungkin cuma yang bombastis aja. Detail gak menarik seperti "ditarik karena dicurigai", "hanya makanan merek X berjenis Y yang dicurigai mengandung susu dari Cina" terlewatkan sepenuhnya. Yang terpatri di benak mungkin hanya: "Merek X bermelamin!" Sekian.

Info yang salah dalam permainan pesan berantai emang gak masalah, malah cenderung menghibur. Tapi kalo media massa sampai salah menyampaikan pesan, cilaka deh. Bukannya tercerahkan, masyarakat malah makin parno. Gawat kan?!

Wednesday, September 24, 2008

Banci Tampil

Hari gini stasiun TV mana sih yang gak nampilin tokoh waria/banci/laki-laki yang berpakaian seperti perempuan dalam acara mereka (kecuali Metro TV)? Menurut sebagian orang, hal ini mengkhawatirkan. Akhirnya, KPI pun tergerak untuk mengeluarkan teguran kepada stasiun-stasiun TV tersebut. MUI pun menganjurkan agar stasiun-stasiun TV tak memunculkan pria-pria berpakaian perempuan di bulan Ramadhan ini. Ada yang menaati anjuran tersebut, tapi ada juga yang bergeming dan justru berupaya membela diri.

Trans TV contohnya. Kehadiran karakter banci sudah menjadi keharusan dalam salah satu tayangan unggulan mereka, Extravaganza. Bisa bayangin gak sih, Extravaganza tanpa Aming yang berkostum cewek? Jadi, gak heran mereka terusik oleh teguran KPI dan himbaun MUI. Pokoknya, buat menangkis tuduhan miring seputar penampilan waria-waria gadungan dalam acara mereka, Trans TV memancing seorang tokoh untuk bicara soal itu. Menurut si tokoh (yang pernah jadi ketua Pemuda Pancasila, kalo gak salah), daripada ngerepotin tentang laki-laki berpakaian perempuan--yang wajar-wajar aja karena merupakan tuntutan peran--lebih baik KPI mengecam stasiun-stasiun TV yang tak henti-hentinya mengekspos kasus Ryan besar-besaran.

Mungkin pernyataan itu ada benernya. Tapi kalo mo jujur, kenapa coba stasiun-stasiun TV menghadirkan tokoh-tokoh waria? Terserah mo dibilang "bagian dari seni peran" ato apa, tapi coba deh tengok karakter-karakter waria yang muncul di TV. Kepribadian mereka selalu seragam: genit dan "gatel" (padahal, aslinya kan gak semua waria seperti itu; sama seperti gak semua perempuan itu genit). Hal itu bukannya gak disengaja. Selain lelucon mesum dan celaan kepada orang lain, apa lagi yang paling mudah memancing tawa kalo bukan laki-laki yang bergaya seperti perempuan? Apalagi laki-laki berpakaian perempuan yang genit.

Jujur aja deh, waria-waria (gadungan) yang tampil di layer kaca dihadirkan bukan sebagai manusia, tapi lebih sebagai makhluk aneh dengan sikap gak wajar yang, oleh sebab itu, layak ditertawakan. Cuma sebagai obyek lelucon. Seandainya aku waria, aku pasti bakal tersinggung melihat seperti apa kaumku digambarkan di televisi.

Monday, September 15, 2008

Terasi

Ada yang tau bahasa Inggrisnya "terasi"? Aku sama sekali gak tau. Jadi, ketika aku harus nerjemahin kata itu, aku akhirnya bikin terjemahan bebas sendiri: "shrimp seasoning".

Aku sadar baru-baru ini kalo orang biasanya menggunakan kata "prawn" bilamana mengacu pada penggunaan terasi untuk bikin sambel. Gak salah, sih. Terasi kan emang bahan dasarnya udang (shrimp, pawn, whatever...). Aku juga heran, kok aku gak nyadar-nyadar dari dulu. Padahal, aku pernah nemuin kata "prawn" digunakan dalam The Glass Palace karya Amitav Ghosh, ketika salah satu tokohnya menjelaskan tentang bahan-bahan pembuat sambel kepada kenalannya (yang adalah orang India, dan tidak mengenal sambel seperti yang dikenal di Malaya). Tapi aku gak kepikiran kalo "prawn" yang disebutin di situ sebenernya adalah "terasi" yang terkenal.

Tapi, bilamana kita perlu menyebutkan "terasi" sebagai suatu komponen yang berdiri sendiri, misalnya terasi yang berbau apek karena ditimbun di dalam toko kelontong, kayaknya menggunakan kata "prawn" jadi kurang pas. Ntar bisa salah diartikan sebagai udang yang belum diolah sama sekali dong. Jadi, terjemahan bebasku semestinya bisa diterima dong? Yah, tapi sekarang itu bukan urusanku lagi; semuanya udah berada di tangan Pak / Bu/ Mas / Mbak / Aa / Teh editor. Mudah-mudahan aja aku gak terlalu "ngerjain" yang bersangkutan (kalimat ini udah kuulang berkali-kali, tapi tetap kuulang sekali lagi).

Terasi, oh, terasi....

Friday, September 05, 2008

Teliti Sesudah Membeli

Lagi-lagi aku mengalami kejadian konyol karena ketololanku sendiri.

Hari Minggu lalu, aku mampir sebentar ke Gramedia Merdeka sebelum janjian ama temenku. Kami janjian jam sepuluh, dan karena pas nyampe Gramed udah jam sepuluh teng, aku terburu-buru menyambar komik dan buku yang mo kubeli, pergi ke kasir dan bayar, terus langsung cabut deh.

Baru setelah tiba di rumah siangnya aku kepikiran buat ngecek struk pembayarannya. Dan kagetlah aku, karena alih-alih muncul tulisan Yotsuba&! 6 (aku beli Yotsuba&! volume 3-6 dan Zaman Edan, yang sebenernya lebih pas ditempatin di lantai 2 di bagian buku-buku sejarah, tapi malah nongkrong di lantai 2,5 di antara novel-novel) yang ada di struk malah Tafsir Politik. What the hxxx! Yotsuba harganya 13.500, sedangkan Tafsir Politik 47.000. Berarti ada selisih--ato dengan kata lain, aku rugi--33.500. Bodohnya, kok aku gak nyadar pas bayar sih? Memang harus diakui bahwa aku gak repot-repot ngitung berapa harga total semua buku yang kubeli. Otakku yang tumpul terlalu males, lagian aku kan tadi buru-buru. Sebenernya itu bukan alesan sih, karena paling enggak aku kan bisa ngecek struk setelah keluar dari kasir.

Dengan terpaksa, di tengah panas terik yang memanggang otak, membakar kulit, dan mengemaraukan kerongkongan, aku balik ke Gramed (ongkos bolak-balik ke Gramed <<<< selisih harga buku). Tanpa babibu, aku menghubungi bagian Informasi, yang berbaik hati--berkewajiban sebenernya lebih tepat--menghubungi pihak berwenang (manajer?). Singkat kata, aku akhirnya berhasil mendapatkan uangku yang 33.500 itu.

Pelajaran yang bisa kuambil dari kejadian ini adalah: (1) Hitung dulu berapa yang harga total buku sebelum bayar di kasir, (2) Periksa struk pembayaran yang diterima, (3) Berbelanjalah buku di Gramed karena pelayanannya memuaskan (sebelumnya aku juga pernah nuker buku yang halamannya ilang di Gramed, dan dilayani dengan cepat)--bukan promosi.

Sunday, August 31, 2008

Kompeten dan Siap Kerja

Inilah kata-kata yang sedang digandrungi orang-orang yang berkecimpung di dunia "pendidikan": kompetensi, sertifikasi, vokasional, kewirausahaan. Benar-benar kata-kata teknis yang sama sekali tak menyentuh soal pembentukan nilai-nilai dan dan karakter, yang hanya bisa dipikirkan oleh seorang menteri berlatar belakang ekonomi yang, sewajarnya, hanya terbiasa memikirkan tentang perduitan dan masalah ekonomis lainnya, serta hasil akal-akalan pemerintah yang, karena gak bisa menyediakan peluang mendapatkan pendidikan dan penghidupan buat rakyatnya, sebenernya nyuruh masyarakat untuk menyediakan pekerjaan buat dirinya sendiri.

Seluruh kata di atas berkaitan erat dengan masalah per-"pasar"-an (yang sampai sekarang tak kumengerti artinya). Kompetensi dan sertifikasi diperlukan untuk memastikan agar yang bersangkutan sungguh memiliki daya saing untuk berkompetisi dengan sesama tenaga kerja lainnya di pasar lokal dan global. Pendidikan vokasional (baca: di sekolah kejuruan) harus ditumbuhkembangkan karena menyediakan tenaga-tenaga siap pakai yang dapat memenuhi permintaan pasar. Jiwa kewirausahaan sepatutnya ditanamkan dalam diri setiap orang agar dia mampu menghasilkan peluang kerja bagi dirinya sendiri dan orang lain; apalagi karena pengusaha adalah ujung tombak pertumbuhan ekonomi. Kebayang kan?

Mungkin karena ekonomi adalah masalah yang paling kritis di Indonesia, sekarang ini yang paling paling dipedulikan Depdiknas, sekolah, serta lembaga pendidikan adalah "mencetak penghasil duit". Tau kan, gimana caranya supaya setelah lulus orang tuh terampil sehingga ada yang mau mempekerjakan dia. Kalo pun gak ada, paling enggak dengan keterampilan dan "jiwa kewirausahaan" mereka, mereka bisa bikin usaha sendiri. Singkat kata, gimana caranya supaya orang gak nganggur.

Bukannya pola pikir mereka salah, tapi bukannya pendidikan itu adalah perkara membuka potensi? Bukankah setiap orang punya bakat sendiri-sendiri, yang berbeda dengan bakat orang lain? Memang ada orang yang berbakat jadi pebisnis, mekanik, analis, ato akuntan, tapi ada juga orang yang lebih tokcer sebagai pelukis, penulis, astronom, ato arkeolog. Pendidikanlah yang semestinya menyadarkan setiap siswa akan bakat terpendam ato potensi khas yang mereka miliki. Jangan maksain semua orang jadi wirausahawan ato teknisi hanya karena profesi itu yang dianggap paling sesuai permintaan "pasar" ato tuntutan zaman. Toh kalo setiap orang berkesempatan mempelajari apa yang paling cocok untuknya, bidang tersebut pasti dikuasainya dengan (relatif) mudah dan pekerjaan pun pasti bakal mudah didapat karena dia benar-benar "kompeten".

Jadi, jangan salahkan orang tua yang ngeluarin anak-anaknya dari sekolah dan lebih milih nyuruh mereka bekerja dong. Daripada nunggu sekian tahun hanya supaya si anak bisa dapet kerja, mendingan si anak diberdayakan secepat mungkin. Gak ada bedanya kan, pola pikir ortu macam ini dengan Depdiknas dan antek-anteknya yang cuma ingin mencetak orang-orang "kompeten" siap kerja ato wirausahawan penghasil lapangan kerja?

Friday, August 22, 2008

Pending....

Ini dia buku-buku yang udah kubeli tapi belum sempet kubaca (gila, gak ada kerjaan banget ya; ngomongin masalah ini).

Bandung Tempo Doeloe
Emang sih, aku suka Bandung--kota kelahiranku--dan udah lama berencana membeli buku apa pun yang nyeritain serba-serbi Bandung. Setelah sekian lama buku ini muncul kembali (edisi pertamanya diterbitin tahun 1984), aku cuek-cuek aja pas ngeliat Bandung Tempo Doeloe di toko buku. Tapi pas suatu kali aku iseng-iseng ngeliat dalemnya, langsung deh laper mata dan aku pun kontan menyambarnya. Intinya sih, buku ini dibeli tanpa perencanaan dan sejauh ini aku baru baja Bab I, bukan karena isinya membosankan, tapi karena aku belum mood.

Harry Potter and the Deathly Hallows
Percaya gak kalo kubilang aku belum baca terjemahan Indonesia buku ini? (Edisi Inggrisnya sih udah kulahap dari kapan taon.) Alasannya karena aku gak tega membukanya, apalagi membacanya. Seolah-olah setelah aku selesai membacanya, semua akan berakhir. Aku sempat mengalami sindrom kehilangan Harry Potter pasca-menuntaskan buku ini beberapa bulan lalu. Kalo sekarang aku baca edisi Indonesianya, pasti aku merasa sedih lagi seperti dulu. Entah kapan aku bisa menguatkan hati untuk membacanya.

Mankind and Mother Earth
Satu alasan kenapa aku belum menyelesaikan buku ini: berat. Isinya, maksudku. Yang bikin pusing, buku ini disusun dalam runtunan peradaban, bukan dibagi-bagi per wilayah geografis seperti umumnya buku sejarah (soalnya Pak Toynbee, pengarangnya yang merupakan seorang sejarawan, berpendapat bahwa sejarah adalah runtunan peradaban, bukan kumpulan kisah yang berfokus pada entitas-entitas politik). Kalo pengetahuan kita tentang sejarah peradaban terbatas, baca buku ini emang ribet (contoh yang mencerminkan kebingunganku: "Hah, Hittite tuh dari mana?" dan "Assyria dan Akkadia? Ini yang mana yang muncul duluan?"). Aku perlu ngumpulin energi dulu dan membuat otakku santai supaya bisa meneruskan membaca buku ini.

Taj
Setelah menyelesaikan Mehrunnisa the Twentieth Wife dan Nur Jahan the Queen of Mughal, aku jadi agak-agak penasaran ama Dinasti Mughal dari India. Karena aku males menelaah paparan faktualnya, aku memilih karya fiksi dan ternyata ada novel yang menceritakan India pasca-Jahangir (bapaknya Shah Jahan, pendiri Taj Mahal). Jadi, kubeli aja buku itu, yang judulnya Taj. Aku mengharapkan buku ini bakal seperti dua judul terdahulu yang, meskipun ada lope-lopenya (baca: percintaan), memuat rincian historis yang lumayan oke. Asumsi yang bodoh, mengingat judulnya aja Taj: Kisah Cinta Abadi. Isinya penuh (setidaknya beberapa bab pertamanya) ratapan percintaan yang bikin enek. Mungkin ada orang yang suka begituan, tapi aku enggak. Gak tau deh buku ini bakal kubaca sampai habis ato enggak.

Tuesday, August 19, 2008

Lain Dulu Lain Sekarang, Masa Sih?


Pernah kudengar pengandaian: "Jika saja Indonesia dijajah oleh Inggris dan bukannya Belanda, mungkin keadaan negara kita bakal lebih baik." Sepertinya sih gak ada yang salah dengan itu, bahkan mungkin saja benar, terutama jika kita melirik negara-negara tetangga bekas jajahan/koloni Inggris seperti Malaysia, Singapura, India, ato Hongkong. Namun, akhirnya kusadari, hanya bangsa berjiwa terjajahlah yang bisa-bisanya punya pikiran macam itu. Dijajah ya dijajah, titik. Memangnya kita ini apa, anjing yang memilih majikan mana yang baik dan majikan mana yang enggak? Lagian, lebih baik dijajah Inggris apanya; liat aja Zimbabwe yang inflasinya entah berapa ribu persen ato Afrika Selatan yang pernah berada dalam cengkeraman apartheid.

Bicara soal lebih baik dan lebih buruk, sebenernya ada bedanya gak sih, dijajah Belanda, Inggris (kita pernah berada di bawah kendali Inggris loh, beberapa tahun; gara-gara pemimpin Belanda kabur ke Inggris setelah negaranya dikuasai para pendukung Republik, yang didukung Prancis), Jepang, ato merdeka? Selain perbedaan warna kulit para pembesar negara, jangan-jangan emang gak ada bedanya.

Zaman dulu, bos-bos besar di Indonesia (ato Hindia Belanda) adalah orang asing. Mereka berkewajiban mewujudkan pemerintahan yang baik, tapi yang lebih penting, mereka harus memastikan bahwa negara jajahan menghasilkan sesuatu untuk negara induk--intinya memperkaya/memakmurkan negara induk. Penduduk "pribumi" pun punya peran dalam pemerintahan dan peluang untuk berkuasa. Sebelum Belanda datang, para residen, bupati, wedana, ato apa pun namanya adalah bangsawan yang menghamba kepada Sultan ato Raja. Setelahnya, mereka melapor kepada pemerintahan Hindia Belanda alih-alih Sultan. Mereka pun mendapat gaji atas pengabdian mereka itu. Para Raja dan Sultan pun gak keberatan meskipun kekuasaan mereka dilucuti sepenuhnya. Toh mereka masih mendapatkan upeti (ato uang saku) dari Belanda. Semua sama-sama senang kan?

Nah, apa bedanya semua itu dengan kondisi masa kini, kala para birokrat lebih memedulikan kepentingan pemegang modal asing dan lembaga internasional pengisap darah (seperti IMF) daripada kepentingan nasional? Lalu, bukankah para bangsawan-alias-residen-ato-bupati-ato-wedana-ato-apalah-namanya yang adalah dengan raja-raja kecil tak jauh berbeda dengan para pemimpin daerah kontemporer, yang sebagian besar makin keliatan belangnya--mementingkan diri sendiri--pasca-OTDA? Aku bahkan gak akan repot-repot ngomong panjang lebar soal masyarakat banyak karena semua juga tau mayoritas dari mereka tetap sengsara, entah di bawah kekuasaan Belanda, Jepang, maupun setelah merdeka.

Yah, daripada nyalahin Belanda ato Jepang ato perusahaan multinasional ato IMF ato Bank Dunia, mari kita introspeksi: kok kita mau aja dikadalin sama mereka semua? Mungkin kita memang perlu revolusi alih-alih reformasi?

Selamat Hari Kemerdekaan yang ke-63! Kapan ya kita bisa bener-bener merdeka?

Catatan: Tulisan yang amat sangat gak orisinal sekali--baik dalam bentuk maupun isi--tapi sungguh menggambarkan kegeramanku saat ini.

Sunday, August 10, 2008

Lenyapnya Lelouch Lamperouge


Majalah Animonster berbaik hati memberikan bonus berupa pin karakter dari CODE GEASS: Hangyaku no Lelouch pada edisi Februari tahun ini. Sesuai dengan keberuntungan ato kesabaran dalam memilih (kalo rela mengaduk-aduk sekian banyak majalah di toko ato kios buku), pembeli bakal mendapatkan pin Lelouch ato Suzaku. Untunglah, bonus yang kudapatkan (sebenernya sih punya adikku, karena dia yang beli majalah) adalah Lelouch--yang emang lebih keren dari segi desain maupun karakter dibandingin Suzaku. Sejak saat itu, pin Lelouch yang keren itu senantiasa nempel di tasku dan menemaniku ke mana-mana.

Dari awal, pin itu sebenernya udah bermasalah. Entah kenapa, dia sering sekali copot. Menurutku sih itu bukan masalah besar karena aku (ato orang yang kebetulan ada di dekatku) selalu nyadar bilamana pin itu copot sehingga aku bisa langsung mengembalikannya ke tempat semula. Lagian, pinku yang lain juga sering lepas waktu baru dibeli, tapi lama-lama enggak. Karena itu, kupikir pin Lelouch juga sama.

Tapi, tragedi itu akhirnya datang juga. Hari itu, pin Lelouch emang bandel. Dia beberapa kali lepas. Tentu saja, seperti biasa, dengan kalemnya aku menempelkan pin tersebut kembali ke tasku tiap kali dia lepas. Tapi, pas aku buka tasku karena mo masukin majalah yang baru dibeli, aku nyadar bahwa Lelouch telah menghilang. Ke mana? Ke mana? Aku mencoba merunut jalan yang telah kutempuh, balik ke kios koran, kali-kali aja jatuh di daerah sana. Tapi pin itu tetap gak ketemu. Aku pun menyimpulkan bahwa si Lelouch melepaskan diri di bioskop (kebetulan aku habis nonton). Karena di sana gelap, aku gak sadar kalo dia udah lepas.

Pas nyampe rumah, dengan bersungut-sungut aku bilang ke adikku soal itu. "Yah, gimana sih, Mbak?" komentar adikku." Harusnya disimpen aja, gak usah dipasang." Aku kontan membela diri dengan mengatakan bahwa seandainya pin itu disimpan, kekerenannya gak bakal bisa dinikmati oleh orang banyak (sebenernya sih terutama dinikmati oleh diriku sendiri). Kayak orang gila kan, kalo kita harus ngobrak-ngabrik laci hanya untuk mengagumi pin keren itu. Mendingan difungsikan sebagaimana mestinya lah--sebagai aksesori.

Pelajaran yang bisa kuambil dari kejadian ini (dan juga caraku untuk menghibur diri) adalah: lebih baik mengambil risiko karena toh kita tetap bisa mengalami hal yang menyenangkan, daripada gak melakukan apa-apa (ato memilih untuk melakukan hal yang risikonya relatif kecil). Mohon maafkan analogiku yang gak nyambung ini, tapi kalo diibaratkan, lebih baik si Lelouch nongkrong di tasku dan mempermanisnya, dengan risiko jatuh tak terdeteksi (yang akhirnya emang terjadi) daripada nongkrong di laci tanpa guna. Prinsip tersebut bisa juga diterapkan untuk hal lain dalam hidup, misalnya milih berbisnis daripada jadi PNS, backpacking daripada belanja dengan aman dan nyaman di Singapura (aduh, pingin euy; pingin backpacking maksudku--bukan belanja di Singapura), ato sekolah lagi daripada menikmati status pekerja yang nyaman dan menghasilkan duit (beranikah aku?).

Ah, Lelouch, di mana pun kau berada--tapi mudah-mudahan bukan di TPA; aku lebih senang kalo ada orang yang menemukan dan menyimpannya--semoga kau baik-baik saja....

Thursday, July 31, 2008

Selektif Dong!!!

"TV isinya sampah semua! Cuma menjual mimpi! Gak mendidik!" adalah beberapa celaan yang acapkali didengung-dengungkan oleh pemerhati pertelevisian Indonesia. Entah apa aku ini bisa digolongkan sebagai "pemerhati pertelevisian" ato enggak, tapi aku mengamini pernyataan di atas. Bukannya acara di stasiun-stasiun TV kita gak ada yang bagus, tapi kita MEMANG masih kekurangan acara bermutu.

Masih dalam semangat Hari Anak Nasional yang diperingati minggu lalu, harus kukatakan bahwa perihal "acara TV yang kurang bermutu" ini, anak-anak (dan remaja)-lah yang sering menjadi sorotan utama. Soalnya, anak-anaklah yang paling rentan terhadap dampak buruk tayangan televisi. Banyak acara TV yang ditayangkan pada jam-jam tayang "anak" ato "keluarga" mengandung unsur kekerasan (baik yang bersifat fisik seperti tinju-tinjuan ato tembak-tembakan maupun yang sifatnya verbal seperti kata-kata kotor serta kasar) ato pornoaksi (entah apa istilah yang tepat, tapi kalian ngerti maksudku kan?). Cara termudah untuk menangkalnya adalah dengan mematikan TV, tentu saja. Sayangnya, gak semua orang cukup peduli/berkesadaran untuk melakukannya. Jangan-jangan, malah para ortu yang ngebet pingin nonton acara tersebut.

Selama ini, aku berpendapat bahwa faktor kedua (kurangnya kesadaran orang tua) yang membuat mereka cuek-cuek aja dengan tayangan yang ditonton anaknya. Tentu saja, dalam alam pikiranku (yang pongah karena merasa diri ini lebih berpendidikan dan berkesadaran daripada orang lain, astaghfirullah!) mereka yang kurang berpendidikanlah yang termasuk dalam kategori ini. Setidaknya, dulu aku mengira begitu.

Nah, bisa bayangkan betapa terkejutnya aku ketika melihat teater di 21 yang akan memutar film The Dark Knight dipenuhi oleh anak-anak! Oke, "dipenuhi" mungkin berlebihan, tapi yang jelas ada cukup banyak anak-anak. Padahal, film ini kan buat dewasa (seperti tertera pada pengumuman Lembaga Sensor di awal film). Dari trailer-nya yang memuat adegan ledakan pun sudah cukup jelas kalo ini bukan film ber-rating "segala umur".

Reaksi pertama yang mungkin timbul: Bioskopnya gak bener! Seharusnya mereka lebih selektif dalam menjual tiket kan? Tentu saja ini ada benarnya. Tapi plis dong ah! Mereka ini kan orang perkotaan yang seharusnya lebih punya akses terhadap informasi. Apalagi mereka ini termasuk kelas menengah (anggota kelas bawah gak mungkin nonton ke bioskop kan, buat makan aja susah) yang notabene cukup berpendidikan. Dan mereka pun masih muda (kebayang kan, ortu yang punya anak usia SD-balita kira-kira umurnya berapa; paling tiga puluhan), dan orang muda biasanya lebih pedulian terhadap hal-hal tetek bengek seperti info film terbaru di TV/tabloid/koran/internet daripada orang yang lebih tua. Jadi, kok bisa-bisanya mereka "menggiring" anak mereka untuk menonton film yang penuh adegan kekerasan (film yang bagus, menurutku; tapi tetap gak cocok ditonton anak-anak)? Mana harus bayar lagi!

Ini akhirnya menimbulkan pertanyaan dalam benakku. Apakah otak mereka (baca: kita) segitu tumpulnya sehingga gak mau ambil pusing untuk bersikap kritis? Apakah nurani mereka (baca: kita) udah segitu buramnya sehingga gak peduli meskipun anaknya melihat sesuatu yang gak patut? Kalo memang gitu, pantes aja TV gak repot-repot memperbanyak tayangan yang "bermutu", "mendidik", "bermanfaat", dan yang semacamnya untuk anak-anak. Wong para ortu cuek aja--mo anaknya liat hal yang sadis kek, semi-mesum kek, peduli amat!

Catatan: Tentu saja, The Dark Knight tidaklah semi-mesum maupun sadis (meskipun cukup banyak banyak tembak-tembakan, ledak-ledakan, dan pukul-pukulan). Kalo mo liat yang semi-mesum, tonton aja film komedi Indonesia yang banyak beredar di bioskop akhir-akhir ini. Dan soal yang sadis, hmm, aku gak tau tuh. Mungkin ada yang mo kasih saran?

Saturday, July 26, 2008

Virus Haruhi

Virus. Benda tak kasatmata yang melayang-layang udara, berdiam di tanah, ngendon di toko buku, ato berkelana di dunia maya. Ia menunggu sampai inang yang tepat datang menjemput dan bila saat itu tiba, ia akan menyerbu, menyerang sang korban, memperbanyak diri tanpa ampun. Virus yang satu ini gak bikin kamu batuk-pilek, ato menyebabkan komputermu ngadat, tapi efeknya gak kalah merepotkan. Ya, inilah virus Haruhi.

Virus ini merepotkan karena menimbulkan kegelisahan. Membuat penderitanya (aku) bertanya-tanya, "Aduh! Kapan jilid 10 keluar, ya? Gak sabar nih!" Secara kasat mata, gejalanya mirip kecanduan. Mo dikasih Haruhi sebanyak apa (nonton animenya berulang-ulang, baca novelnya, dengerin soundtrack-nya terus dan terus) pun rasanya gak pernah cukup, selalu pingin lebih. Fanfiction yang biasanya bisa meringankan gejala kecanduan pun gak mempan karena, terus terang aja ya, aku udah ngeri ngebayangin, membuka suatu fanfiction dan kemudian menemukan bahwa ceritanya tak lebih dari kisah percintaan dengan Kyon dan Haruhi sebagai tokoh utama. Huekkkk!

Sangat disayangkan (ato sebaliknya), aku ini emang orang yang sangat mudah dihinggapi virus buku/film/musik/yang semacamnya. Gak tau ya, mungkin karena aku ini orang yang mudah sekali tersentuh dan merasa antuasias oleh hal-hal gak penting. Sebelum ini, aku pernah terserang virus Harry Potter dan CLAMP (yang sebenernya belum bener-bener sembuh, hanya saja sekarang sedang dorman). Masih banyak virus lain yang pernah menjangkitiku yang, karena alasan emosional (maksud: gak perlu disebutin karena malu-maluin), tidak akan kusinggung di sini. Tapi, kondisi inang (kondisiKU) saja gak cukup untuk menyebabkan infeksi. Kalo virusnya gak virulen, dia takkan bisa menimbulkan dampak apa pun terhadap inang yang dijangkitinya. Artinya, kalo Suzumiya Haruhi cuma cerita yang biasa-biasa aja, aku (dan entah berapa ratus ribu/juta orang lain) gak mungkin tergila-gila.

Jadi, Haruhi punya daya infeksi yang dahsyat. Kok bisa? Tentu saja itu karena ceritanya emang SUPER keren. Tak ada ringkasan yang bisa menggambarkan sehebat apa kisah ini. Satu-satunya cara untuk tahu adalah dengan membacanya sendiri. Tapi, kalo ada yang menginginkan sedikit petunjuk, bisa dibilang bahwa Suzumiya Haruhi adalah perpaduan antara drama sekolahan, fiksi ilmiah, cerita detektif, kisah persahabatan, komedi, cosplay. Dan cara penulisannya! Aku kagum ama kemampuan Tanigawa-sensei merangkai kata. Aku belum pernah nemuin karya fiksi yang penuh sarkasme dan metafora yang khas (contoh: destiny is even less believable than the Loch Ness monster) selain di Suzumiya Haruhi.

Selain dari segi cerita dan gaya penulisan yang unik, Suzumiya Haruhi punya karakterisasi yang mantap. Mengutip perkataan temenku, salah satu syarat cerita yang oke adalah karakterisasi yang khas. Liat aja Bajaj Bajuri. Salah satu sebab kenapa orang inget terus sama sinetron itu kan karena tokoh-tokohnya punya sifat khas (Oneng= telmi; Emak= mata duitan; Ucup= sial melulu; dsb). Suzumiya Haruhi pun begitu. Sekali baca, kita bisa langsung mengidentifikasi masing-masing tokoh berdasarkan karakteristik khasnya. Misalnya: Haruhi = seenaknya sendiri, punya kekuatan tersembunyi; Kyon = sarkastis, punya daya toleransi yang tinggi terhadap hal-hal aneh, kegilaan Haruhi, dan cewek cantik; Nagato = alien, irit ngomong, suka baca buku, cepat tanggap, melihat Haruhi sebagai seseorang yang menyimpan "data" melebihi makhluk organik lainnya di muka bumi; Mikuru = penjelajah waktu, imut, ceroboh, suka bikin teh, kyaaa!, memandang Haruhi sebagai penyebab gempa waktu; Koizumi = esper, suka ngomong, cerdik, suka mem-psikoanalisis orang, nyengir melulu, menganggap Haruhi sebagai "dewa". Faktor lain yang bikin penyakitku tambah parah adalah animenya yang (juga) oke. Dengan gambar yang khas animasi Jepang (mata! mata!), warna-warni yang lembut tapi ceria (gak bikin pusing mata deh), pengisi suara yang menjiwai perannya dengan baik, lagu tema dan ilustrasi musik yang pas (bisa membangun suasana)--bikin tambah kecanduan lah.

Kapankah penyakitku ini akan mereda? Yah, kapan-kapan kali. Ntar juga sembuh sendiri, seperti layaknya infeksi yang disebabkan oleh virus. Lagipula, meskipun virus ini merepotkan, tapi menyenangkan juga kok, hehehe....

Catatan: Pingin baca novel ato manga Suzumiya Haruhi? Silakan buka One Manga (scanlation manga ke b.Inggris) ato Baka-Tsuki (terjemahan novelnya ke beberapa bahasa; b.Inggris jelas ada, b.Indonesia juga). Mari kita berdoa supaya Elex nerbitin dua-duanya (manga maupun novel) supaya kita bisa beli benda aslinya--sebagai cara untuk mendukung Tanigawa-sensei agar terus berkarya.

Saturday, July 12, 2008

Hikayat Kompor Mleduk

Salah satu penyebab umum kenapa pengguna minyak tanah enggan beralih ke gas, selain harganya yang relatif mahal karena gak bisa beli eceran, adalah kengerian. Ngeri kalo-kalo kompornya meledak kayak berita di TV, yang konon selain disebabkan oleh kelalaian pengguna juga akibat ketidaklaikan alat (kompor/karet segel/selang). Nah, ngomong-ngomong soal ini, aku punya cerita menarik.

Cerita ini bermula saat Papa punya ide cemerlang (tapi tidak orisinal) untuk membeli tabung gas isi 3 kg. Alasannya murni karena pertimbangan ekonomi. Kita andaikan saja bahwa Elpiji 12 kg berharga 70 ribu, sedangkan yang 3 kg harganya 13 ribu (tentu saja, harga yang disebutkan di sini adalah harga pasar, bukan harga yang ditetapkan pemerintah). Berarti, 4 tabung Elpiji isi 3 kg (12 kg) sama dengan 52 ribu, lebih murah daripada tabun 12 kg! Jadi, dengan penuh permohonan maaf (dariku kepada target konversi gas), Papa akhirnya pergi ke Astana Anyar buat beli tabung gas 3 kg. Awalnya sih semua tampak baik-baik aja. Selang dipasang, kenop diputar, pemanas disulut, nyala deh tuh kompor--yang sudah dihubungkan dengan tabung Elpiji 3 kg. Namun, setelah beberapa lama, aku mencium bau aneh. Bau gas bocor yang menusuk! Ternyata, kompor tersebut mati! Ya udah, dinyalain aja lagi. Tapi, apa lacur, ternyata nyala kompor itu sekarang jadi aneh: membesar-mengecil-membesar-mengecil. Dan ada suara: bet-bet-bet, gitu deh. Tak salah lagi, ternyata kami telah membeli gas kentut!

Buat yang gak tau gas kentut, sekedar informasi (meskipun aku ragu ada yang gak tau apa gak kentut itu), ini adalah sebutan yang diberikan untuk tabung Elpiji yang sejumlah isinya telah dikeluarkan dan diganti dengan gas lain. Gas hasil pengumpulan tersebut dikumpulkan, dimasukin ke tabung, dan kemudian dijual. Kalo asalnya pengoplos (kita sebut saja pengoplos) cuma punya 10 tabung, maka kini dia memiliki 11 tabung. Untung bukan?! Benar-benar tipikal pemikiran pedagang rakus. Meskipun cara ini cukup kreatif, tentu saja konsumen dirugikan karena gas tambahan tersebut tak bisa terbakar. Jadi, mo disulut sampe lebaran monyet pun insyaAllah gak bakal nyala. Kenapa disebut gas kentut? Sebab, tabung Elpiji berisi gas asing ini akan menyebabkan kompor lambat menyala, setelah sebelumnya terdengar bunyi bret-bret-bret, kayak orang kentut.

Kembali ke kisah semula. Setelah sekian lama frustasi karena kentutnya gak beres-beres juga (sehingga si kompor nyala-mati-nyala-mati berkali-kali kayak listrik PLN), akhirnya semua gas asing itu pun keluar dan kompor kami pun bisa menyala dengan lancar tanpa gangguan (bilamana semi-omelan Papa "Wah, penjualnya untung berapa? Gas kentutnya berapa banyak?" yang berulang-ulang tidak dikategorikan sebagai "gangguan").Lalu, apa hubungannya semua ini dengan kompor mleduk? Kompor kami baik-baik saja, syukurlah.

Namun, bisakah kalian bayangkan apa yang mungkin terjadi jika peristiwa serupa terjadi di rumah sempit, dalam dapur yang ukurannya jauh lebih sempit lagi dan tanpa ventilasi? Kompor yang dihubungkan dengan Elpiji kentut mati tanpa disadari pemiliknya. Selama itu, tidak hanya gas kentut saja yang keluar dari selang, namun juga Elpiji. Kejadian ini berulang beberapa kali. Elpiji pun keluyuran ke ruangan. Karena gak ada ventilasi, si Elpiji gak bisa melayang ke dunia luar. Dia pun terus terkurung di situ, sampai si pemilik memutuskan untuk menyalakan kompor lagi. Dia menyalakan korek api dan kemudian, DUAR! Elpiji dalam ruangan tersebut tersulut, terbakar, dan akhirnya menimbulkan ledakan yang menghancurkan dapur, rumah, bahkan rumah tetangga.

Semuanya itu gara-gara ada orang yang pingin untung tanpa memedulikan kerugian yang bakal mereka sebabkan terhadap orang lain. Singkat kata, gara-gara gas kentut, kompor bisa mleduk.

Monday, July 07, 2008

Anime Asyik...

Uwaaaa, akhirnya muncul juga anime bagus yang (lumayan) baru setelah sekian lama vakum. Salut deh, buat stasiun-stasiun TV yang berhasil beli hak siarnya (nih, aku muji; gak sarkastis kayak biasanya; bagus kan?!). Ini dia anime-anime yang kupantengin tiap kali nongol di TV:

Bleach
Indosiar, Minggu jam 11.00

Tipikal anime shonen yang diangkat dari komik karya Kubo Tite (ato Tite Kubo) ini menceritakan tentang cowok bernama Kurosaki Ichigo yang terpaksa menjalankan tugas sebagai shinigami (dewa kematian) setelah tanpa sengaja terjebak dalam "pertarungan" antara shinigami tulen Kukichi Rukiya dan roh jahat (yang disebut "hollow"). Ceritanya seru sih, sayangnya ini tipe ceritanya yang bisa dipanjang-panjangin sesuka hati (baca: sampe popularitasnya turun dan penerbit memutuskan untuk tak meneruskannya lagi) oleh sang penulis, jadi aku pribadi ogah kalo harus beli komiknya (catatan: kalo gak salah di Jepang udah nyampe volume 33, di Indonesia baru nyampe volume 8 dan diterbitin oleh M&C). Setidaknya animenya ditayangin di TV, jadi aku bisa "agak" ngikutin ceritanya.

Death Note
Global TV, Sabtu jam 19.00

Sama seperti Bleach, cerita ini juga menampilkan shinigami, tapi wujudnya beda banget. Si shinigami ini ngejatuhin Death Note--buku yang bilamana ditulisi nama seseorang di dalamnya, maka orang itu akan mati--ke dunia manusia. Buku ini dipungut oleh siswa SMA jenius bernama Yagami Light (catatan: bacanya RAITO) yang kemudian memanfaatkannya untuk menghukum mati sampah masyarakat. Setidaknya, begitulah awalnya. Death Note dituangkan ke dalam beberapa media: komik, anime, dua film live action, dan satu film live action spin-off--yang endingnya beda semua. Mungkin menyenangkan bagi para penggemar beratnya, tapi bikin pusing dan males bagi orang awam seperti saya. Saking hebohnya cerita yang satu ini, aku gak tertarik lagi buat beli komiknya ato pun nyari anime/filmnya di Kota Kembang (maaf...maaf...). Maklum lah, aku ini tipe orang yang "menolak untuk menggemari hal-hal yang digemari orang banyak". Tapi kalo disodorin, nerima aja deh.

Kekkaishi
antv, Senin-Jumat jam 13.15 & Sabtu-Minggu jam 09.00

Sama seperti Death Note, Kekkaishi juga punya persamaan dengan Bleach (tapi bukan soal shinigami) yaitu tokoh utama yang sama-sama memakai hakama (celana tradisional Jepang) dalam beraksi. Tokoh utamanya cowok juga, Sumimura Yoshimori si pengguna kekkai (kekkai bisa diartikan sebagai "barrier") yang mendapat warisan tugas buat ngejaga Karasumori, daerah berkekuatan gaib besar (belum jelas kekuatan gaib seperti apa), yang sekarang menjadi lokasi sekolahnya. Entah kapan komik satuannya bakal muncul (baru nongol di majalah Shonen Star), tapi kalo udah terbit pasti aku beli deh.

Catatan: Ada sesuatu yang salah dalam paparan di atas? Istilah yang gak tepat? Penjelasan yang gak akurat? Tak perlu ngamuk dan mencela, silakan pencet tombol "Comment" dan beri tahu diriku apa yang salah. Okeh?!

Saturday, July 05, 2008

Nusantara: Sejarah Indonesia (B. M. Vlekke)

Siapa sangka kalo buku sejarah bisa jadi best seller? Padahal, buku non fiksi yang laku keras biasanya, kalo gak yang berbau spiritualisme (baik yang berafiliasi dengan agama tertentu maupun tidak), ya buku-buku psikologi praktis tentang pengembangan diri. Tapi, kalo Gramedia Merdeka bisa dipercaya (dengan menempatkan buku ini di rak best seller) dan cetak ulang dua bulan setelah cetakan pertamanya bisa dijadikan indikasi, maka Nusantara: Sejarah Indonesia emang sebuah perkecualian. Entah apa yang membuat buku singkat (meringkas perjalanan Nusantara sejak zaman batu sampai pra-pendudukan Jepang dalam kurang lebih 500 halaman) ini menarik bagi para pembeli (hey, aku kan gak bisa baca pikiran orang!). Yang jelas, buku ini menyodorkan sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berbeda dengan versi standar, versi yang kita peroleh dari pelajaran di sekolah.

Hal yang dengan segera terlihat adalah kehati-hatian sang penulis dalam menafsirkan sumber sejarah. Masalahnya, bukti-bukti sejarah dari zaman dahulu kala yang berasal dari dalam negeri (Negarakertagama, Pararaton, dsb) acapkali: (1) Ditulis untuk menyenangkan/mengagungkan raja yang berkuasa saat itu sehingga bias dan pastinya gak akurat; (2) Penuh simbolisme, layaknya kesukaan orang Jawa (Pak Vlekke gak banyak menyinggung soal bukti sejarah dari dalam negeri non Jawa yang ditulis oleh penduduk asli, maaf; mungkin karena gak ada). Oleh sebab itu, gak semua pernyataan bisa diartikan secara harfiah. Contohnya adalah pemotongan hidung-kuping utusan Mongol atas perintah Kertanegara (raja terakhir Singosari). Vlekke berpendapat bahwa hal ini tidak perlu ditafsirkan secara harfiah karena hal tersebut hanyalah perumpamaan atas besarnya penghinaan (dan keberanian) Kertanegara terhadap Kubilai Khan, yang saat itu adalah penguasa Cina, imperium terbesar di Dunia Timur.

Mungkin karena kehati-hatiannya itu, Vlekke gak menunjukkan kecenderungan memuji-muji tokoh-tokoh besar. Waktu belajar di sekolah, banyak pahlawan yang terkesan heroik banget--rela memperjuangkan bangsa dan negara (padahal dulu “bangsa” dan “negara”; setidaknya belum ada menurut pengertian modern) dengan sepenuh jiwa dan raga supaya bebas dari cengkeraman penjajah Belanda yang jahat. Padahal dalam banyak kasus, mereka tampaknya berusaha melawan Belanada karena khawatir kekuasaannya terancam, bukan karena merasa tertindas. Sultan Agung, misalnya, yang menyerang Belanda di Batavia karena mereka mengancam dominasinya di Pulau Jawa. Di sisi lain, para “penjahat” dalam buku-buku pelajaran SD/SMP/SMA pun digambarkan tak jauh berbeda dengan para pahlawan (pokoknya mah oportunis), seperti Aru Palakka dari Bone yang bersekutu dengan Belanda (ato sebaliknya?) untuk menyerang Makassar sebagai pembalasan dendam/serangan balik karena daerahnya direbut dan ia diusir dari (bekas) wilayah kekuasaannya. Sebagai catatan, tau gak kalo pada saat Aru Palakka mendarat di pantai Bone, para penduduk serta merta menyatakan pemberontakan terhadap Makassar.

Layaknya paparan sejarah, ada kisah-kisah yang “kena” banget karena masih relevan dengan masa kini, antara lain konflik di Maluku antara penduduk asli beragama Islam (pengikut Ternate-Tidore) dan Kristen (pendukung Belanda; yah, namanya juga seiman), kesewenang-wenangan/kebrutalan calon raja yang konon justru menandakan kesemidewaannya (menurut dia, dan rakyat--yang percaya-percaya aja), serta Belanda membarter Semenanjung Malaya dengan Bengkulu plus Pulau Belitung (asalnya “milik” Inggris) dengan seenaknya seperti anak SD main monopoli.

Tentu saja, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa dalam membaca sejarah, kita gak bisa ngandelin satu sumber aja. Kita perlu menelaah banyak bukti untuk memperoleh fakta yang (lumayan) valid guna menghindarkan diri dari ketidakakuratan dan juga ketidakobyektifan penulis sumber, baik yang disengaja maupun tidak. Akhir kata, kuucapkan selamat untuk Pak Vlekke (orang ini udah meninggal belum sih?) karena udah bikin aku makin penasaran dengan sejarah negeri ini--hal yang tak berhasil ditumbuhkan oleh guru sejarahku selama dua belas tahun.

Thursday, June 12, 2008

Complication (Atul Gawande)

Hari gini ngomongin soal dokter? Gak ada topik yang lebih hangat apa, kayak BBM naik, sepakbola (Manchester United memenangi EPL dan UEFA Champion’s League loh, ngomong-ngomong--udah telat banget ya?!), SKB Ahmadiyah, sidang penyuapan jaksa dalam kasus BLBI, ato apa kek? Jawabannya: Biarin, soalnya mood-ku pinginnya ya nyeritain ini, hehehe. Mengingat blog ini udah gak diisi kira-kira dua bulan karena serangan kemalasan, udah untung aku “akhirnya” terinspirasi juga buat nulis sesuatu.

Sesuai judulnya, buku yang udah diterjemahin dengan judul Komplikasi: Catatan tentang Ilmu yang Tak Sempurna (terbitan Serambi) ini menceritakan tentang ketidaksempurnaan ilmu kedokteran. Kenapa gak sempurna? Karena para pelakunya (para dokter) adalah manusia yang tak bebas dari kealpaan dan kekhilafan. Karena tubuh (dan jiwa) manusia penuh dengan misteri yang sampe sekarang masih tak terpecahkan, meskipun ilmu pengetahuan udah jauh lebih maju.

Buku ini sebenernya adalah kumpulan artikel Gawande yang pernah dimuat di The New Yorker, tapi udah disusun secara tematis ke dalam tiga bagian, yaitu Kekhilafian, Misteri, dan Ketidakpastian. Karena mustahil menceritakan “ringkasan” buku ini (karena mustahil meringkas kumpulan artikel dengan temanya beda-beda), aku hanya akan menyoroti satu sisi saja yaitu soal dokter.

Jadi dokter itu emang susah. Soalnya, di tengah segala ketidakpastian dan ketidaksempurnaan dirinya serta lingkungannya (fasilitas, pengetahuan, dll), dia dituntut untuk selalu sempurna. Gimana enggak, yang dia hadapin kan manusia. Kalo salah, bisa-bisa nyawa taruhannya. Beda sama mekanik misalnya, yang kalo salah dalam bertindak paling banter juga bikin mesin rusak. Gawande sendiri menceritakan bagaimana dirinya melakukan tindakan medis tidak tepat yang nyaris membahayakan nyawa pasiennya. “Tidak tepat”, bukan “salah”, karena tindakannya sesuai dengan prosedur. Masalahnya, ada begitu banyak variabel yang menentukan keberhasilan suatu operasi. Suatu tindakan yang mungkin pas untuk satu pasien, belum tentu tepat bagi pasien lain. Dalam kasus Gawande, leher berlemak seorang pasien menyulitkannya membuat torehan untuk memasukkan pipa trakea (untuk membantu bernapas).

Intinya sih, semua dokter pernah salah. Sebagian besar melakukan kesalahan yang gak sampe membahayakan jiwa, sebagian kecil (yang apes) menyebabkan kondisi pasien tambah parah ato malah (naudzubillah) menyebabkan kematian. Gimana caranya meminimalisasi kesalahan? Yang jelas, seorang dokter harus banyak “berlatih”. Semakin sering dia menangani pasien, instingnya akan terasah makin tajam dan tindakan yang diambilnya pun cenderung lebih sering benar daripada salah. Mungkin kedengarannya paradoks--kedokteran kan ilmu “pasti”, kok pake insting-instingan segala sih? Lagian pasien kan makhluk hidup, masa dijadiin ajang latihan? Tapi, begitulah kenyataannya. Langkah lain yang ditempuh guna meminimalisasi kesalahan adalah evaluasi. Di RS tempat Gawande menjadi residen bedah, dia menceritakan bagaimana setiap seminggu sekali, semua dokter bedah berkumpul untuk membahas kasus-kasus apa saja yang terjadi pekan itu, langkah apa yang diambil, ada kesalahan ato enggak, tindakan apa yang sebaiknya diambil untuk mencegah kesalahan yang sama di masa depan. Benar-benar bijaksana, menurutku, karena dengan cara ini, setidaknya para dokter senantiasa diingatkan akan ketidaksempurnaan diri mereka dan oleh karena itu, akan selalu berusaha rendah hati serta meningkatkan kemampuan dirinya. Yang membuatku bertanya-tanya, evaluasi kayak gini diadain secara rutin gak sih, ama dokter-dokter di Indonesia?

Karena kesalahan adalah hal yang wajar dan pada dasarnya para dokter yang berbuat salah tuh sebenarnya orang-orang baik kebetulan melakukan tindakan yang tidak tepat (jarang kan, ada dokter yang emang asli edan kayak Michael Swango), Gawande gak setuju bilamana dokter yang salah sehingga merugikan pasien dituntut ke pengadilan. Menurutnya, hal ini justru akan menyebabkan komunitas dokter semakin tertutup dan ujung-ujungnya, publik juga yang rugi kalo dokter gak mau terbuka dalam membagi informasi kepada mereka. Cara yang paling bagus (menurut Gawande) adalah mekanisme kontrol internal. Artinya, kalo dokter salah, dokter pulalah yang sebaiknya memberikan teguran dan sanksi, bukan pengadilan.

Sayangnya, pendekatan ini punya banyak kelemahan (seperti yang diakui oleh Gawande sendiri). Kesetiakawanan mereka tuh gede banget. Jangankan menghadapkan dokter bermasalah ke komisi disiplin ato mencabut izin prakteknya, untuk mengingatkan aja terkadang mereka (rekan-rekan sejawatnya) sungkan. Kalo kasusnya udah gak ketulungan, baru komisi etis (ato apa pun namanya) mengambil tindakan, seperti yang diceritakan Gawande tentang dokter ortopedi--yang asalnya oke, tapi terus banyak bikin kesalahan karena ke-oke-annya itu mendatangkan terlalu banyak pasien dan bikin dia super sibuk--yang akhirnya dicabut izinnya setelah para sejawatnya yang prihatin melaporkan betapa banyak pasien yang dia tangani malah jadi tambah parah kondisinya. Tapi, jangan kaget kalo di luar sana ada dokter pecandu narkoba ato penderita depresi (mungkin persentasenya sama saja seperti di komunitas lain) yang masih bisa berpraktek dengan bebas, soalnya para sejawatnya terlalu sungkan untuk menyinggung-nyinggung masalahnya itu, apalagi menasihati! (kata Gawande loh, bukan kata saya)

Meskipun jadi dokter itu susah, tapi asal niat baik, kerendahan hati, dan ketekunan terus dipelihara, kayaknya semua akan baik-baik aja. Dan yang pasti sih, jangan kebanyakan praktek karena bisa-bisa pelayanan ke pasien jadi gak maksimal, ntar kayak dokter ortopedi itu lagi. Tapi “anehnya”, dokter-dokter malah banyak yang protes waktu ada lokasi praktek mereka dibatasi (minimal tiga tempat, kalo gak salah). Apa takut pendapatannya berkurang? Aduh, Dok, tenang aja kali. Kan udah ada tanda terima kasih dari perusahaan-perusahaan farmasi. Gak bakalan rugi, kali...

Friday, April 04, 2008

Di Balik Mimpi

Program yang lagi “hangat-hangatnya” di TV akhir-akhir ini adalah reality show. Tepatnya reality show artis-artisan yang memberi kesempatan bagi orang-orang biasa dan tidak biasa serta orang dewasa maupun anak-anak untuk menjajal kemampuan mereka sebagai penyanyi. Berbagai reality show tersebut juga punya banyak penonton setia dan gak pernah kekurangan pemasang iklan.

Karena keuntungan besar yang dihasilkan stasiun-stasiun TV dari reality show, pantas saja mereka gak ambil pusing dengan cercaan berbagai pihak karena dianggap menjual mimpi-mimpi kosong. Sudah banyak kisah tragis yang para “pemenang” ajang seperti ini, mulai dari terjerat hutang demi mengkatrol perolehan SMS ato hidup terlunta-lunta karena gak dapet order nyanyi rutin, sementara yang bersangkutan malu pulang kampung karena telanjur dianggap udah sukses di kota sebagai artis. Tapi toh masih banyak yang rela mengorbankan waktu, tenaga, serta uang untuk berpartisipasi dalam ajang tersebut.

Mungkin tindakan orang-orang ini sekilas terlihat konyol--untuk apa menggantungkan harapan setinggi langit pada acara TV yang sekedar menebar janji di kala kita bisa bekerja keras di dunia nyata untuk mewujudkan impian kita? Sayangnya di Indonesia, dengan kondisi negeri kita yang serba terpuruk saat ini, tak banyak orang yang bisa meraih cita-citanya, hidup nyaman dan serba berkecukupan, kendati mereka sudah bekerja keras seumur hidup. Bagi para partisipan acara-acara tersebut, pilihan mereka seringkali hanya dua: hidup pas-pasan seumur hidup ato mencoba peruntungan dalam ajang reality show yang menjanjikan uang serta ketenaran--janji yang tak ada di dunia nyata. Jawabannya sudah jelas ‘kan?

Jadi, selama pemerintah belum bisa membenahi perekonomian negara ini dan memberikan kesempatan bagi mayoritas masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang layak, reality show artis-artisan gak akan pernah mati dan bakal terus “menipu” orang-orang dengan pesonanya, paling enggak sampai masyarakat bosen.

Monday, March 24, 2008

Ikon Kota Kita

Sebuah kota tanpa ikon bagaikan tubuh tanpa jiwa. Mungkin itulah yang ada di benak tim kreatif Bandung Teaaa sehingga mereka memunculkan topik itu dalam acara tersebut Jumat lalu--tentang ikon-ikon kota Bandung yang sudah/akan menghilang. Ada empat ikon yang diangkat: monumen telekomunikasi yang digantikan oleh Masjid Istiqomah di Jl. Citarum, patung dada seorang Belanda yang berperan dalam pendirian THS yang berubah menjadi patung kubus-kubus kontemporer di depan ITB, Monumen Lentera Api yang digantikan oleh patung kereta api di Stasiun Lama, dan Pemandian Umum Cihampelas yang akan dirubuhkan untuk dialihfungsikan menjadi entah apa dalam waktu dekat ini.

Meskipun sang pembawa acara mengungkapkan keprihatinannya atas hal tersebut, karena menggantikan monumen lama dengan yang baru dianggap sama saja dengan mengabaikan bagian dari perjalanan sejarah kota Bandung (ato apalah), aku tidak sepenuhnya setuju. Aku turut berduka atas dihilangkannya Pemandian Umum Cihampleas, tapi tiga “ikon” yang lain, enggak.

Aku bukan penggemar monumen. Sama sekali gak masuk akal. Mari kita dirikan tugu/patung peringatan/yang semacamnya. Mari kita jadikan tugu ini sebagai perlambang perjuangan bangsa/50 tahun KA di Indonesia/dsb. Rasanya seperti memberikan makna bagi seonggok batu yang sama sekali tak bermakna. Lima, sepuluh, lima puluh tahun setelah tugu itu berdiri, belum tentu ada yang masih ingat tujuan pendiriannya sebenarnya.

Menurutku, makna adalah hasil kesadaran kolektif, dilahirkan sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu, bukan berkat instruksi dari “atas”. Ikon yang sesungguhnya takkan pernah dihancurkan, kecuali kalo si penghancur emang berniat menyulut kemarahan orang banyak. Gedung Sate ato Tugu Pahlawan ato Jam Gadang, misalnya, gak mungkin dirubuhkan karena “makna”-nya sebagai penunjuk identitas kota tempatnya berdiri. Kalo sampai ada “bangunan penting” yang diratakan dengan tanah, berarti bangunan itu gak penting-penting amat, setidaknya bagi publik.

Tapi jangan salah, aku ini pendukung setia pelestarian cagar budaya/bangunan bersejarah/bangunan kuno loh. Bangunan art deco di Bandung, misalnya, adalah aset berharga yang bener-bener bisa dijadikan sebagai ikon kota Bandung. Dari sudut pandang pragmatis, mempertahankan gedung-gedung art deco yang lumayan banyak jumlahnya di Bandung penting banget karena keindahan arsitekturnya pasti bisa menarik banyak turis (meskipun akhir-akhir ini wisatawan datang ke Bandung cuma sekedar buat belanja dan makan-makan).

Mau tau apa yang bener-bener patut diprihatinkan? Pembangunan gedung-gedung “modern” berbentuk kotak untuk dijadikan mal di mana-mana, lagi, lagi, dan lagi--entah di tempat yang asalnya berupa bangunan bersejarah, rumah yang biasa-biasa aja, maupun lahan kosong ato hijau rimbun. Karena pada akhirnya, bangunan-bangunan seperti itulah yang akan menghilangkan “jiwa” Bandung, menjadikannya hutan beton membosankan seperti kota-kota lain di seluruh dunia. Apalagi karena hanya satu makna yang dilambangkan oleh gedung-gedung semacam itu. Bukan perjuangan melawan penjajah, bukan juga keramahan warga kota yang menyambut pendatang baru dengan tangan terbuka, tapi UANG!

Thursday, March 20, 2008

Yang Terpenting

Seorang temen SMP-ku meninggal sembilan tahun lalu. Aku ikut prihatin atas kehilangan yang dialami keluarganya. Aku berharap semoga dia tenang di dunia sana. Tapi, aku sama sekali gak sedih. Malah, setelah dipikir-pikir, aku gak pernah merasa sedih ketika harus berpisah dengan teman/kerabat/apa lah. Aku menyayangkan perpisahan kami, tapi gak sedih.

Untuk pertama kalinya dalam 24 tahun (sejauh yang bisa kuingat), aku bener-bener sedih saat temenku bilang dia bakal pergi dari Bandung dalam waktu dekat ini. Padahal, ini bukan pertama kalinya ada temenku yang harus pindah rumah ke kota/pulau lain karena tuntutan kerjaan, permintaan ortu, ikut suami, ato apa pun.

Ternyata Eriol emang bener. Perbedaan perasaan kita di kala harus berpisah dengan orang-orang yang dekat dengan kita menunjukkan bagaimana perbedaan posisi mereka di hati kita. Rupanya, temenku ini adalah salah satu orang yang kuanggap paling penting, itu sebabnya perpisahan kami terasa menyedihkan (setidaknya buatku). Bukan berarti aku secara sadar memilah-milah yang mana orang yang penting, kurang penting, dan gak penting sama sekali. Namanya juga perasaan, mohon tidak dirasionalisasi.

Mudah-mudahan, ini akan menjadi momen “Sampai berjumpa lagi!” dan bukannya “Selamat tinggal!”

Tuesday, March 11, 2008

Taiko (Yoshikawa Eiji)

Sebagian orang suka dengan kisah seseorang yang tertindas, terus mengatasi berbagai kesulitan hidup, dan akhirnya sukses besar. Lebih bagus lagi kalo “seseorang” itu adalah orang yang benar-benar nyata, orang yang benar-benar pernah hidup di dunia ini. Taiko ini cerita yang seperti itu. Kisah ini menggambarkan perjalanan hidup Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), mulai dari masa kecilnya sebagai anak seorang petani miskin (sebenernya sih mantan samurai) di Owari, pengembaraannya sampai menjadi pelayan Oda Nobunaga dan akhirnya jenderal kepercayaan Nobunaga, perjuangannya mempersatukan Jepang setelah kematian Nobunaga, hingga menduduki tampuk kekuasaan sebagai Taiko--penguasa pemerintahan Jepang.

Lagi-lagi aku terpesona dengan kemampuan Yoshikawa-sensei memanusiakan tokoh-tokoh penting dalam sejarah. Dia menginterpretasikan motivasi para tokoh di balik tindakan mereka yang spektakuler, kejam, ato edan. Misalnya aja langkah Nobunaga di Gunung Hiei, ketika dia membantai semua penghuni tempat itu: para biksu, penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Tindakan, yang dilihat dari sudut mana pun, sadis, terutama bagi orang awam yang gak tau apa-apa soal sejarah Jepang seperti aku. Tapi, Yoshikawa-sensei menunjukkan bahwa Nobunaga melakukan itu semata-mata untuk memperingatkan semua--terutama para biksu yang saat itu dianggapnya udah “keluar jalur” karena lebih mengutamakan penumpukan kekayaan dan kekuasaan bagi sekte mereka sendiri daripada memberikan pencerahan bagi rakyat--bahwa gak ada kaum yang lebih istimewa daripada yang lain, dan bahwa dia benar-benar serius dalam mewujudkan cita-citanya, gak ada siapa pun yang bisa menghalanginya.

Malah, penaklukan Hideyoshi (sebelumnya Nobunaga) mengingatkanku akan Gajah Mada. Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu pingin mempersatukan Jepang karena mereka sadar, hanya di sebuah negeri yang bersatulah--bukan di negeri yang terpecah-oleh perang saudara berkepanjangan akibat keinginan para penguasa feodal untuk memperluas wilayah mereka--rakyat bisa hidup damai. Dalam perang, rakyat jelatalah yang selalu paling menderita, dan mereka ingin hal itu diakhiri. Oleh sebab itu, seluruh penguasa feodal harus ditundukkan. Itulah sebabnya Nobunaga menginvasi wilayah selatan--bukan cuma provinsi-provinsi tetangga Owari--meskipun langkah ini menimbulkaan ketidaksenangan yang luar biasa dalam diri sebagian besar orang. Gajah Mada juga sama. Dia acapkali bertindak brutal (ingat Kerajaan Pajajaran dan Dyah Pitaloka?) guna mewujudkan cita-citanya mempersatukan Nusantara. Tapi, semua itu dalam rangka membangun sebuah negeri yang kuat, yang bersatu. Tindakannya gak selalu bisa dibenarkan, namun bisa dipahami.

“Pemanusiaan” lain juga tampak pada karakterisasi tokoh-tokohnya. Meskipun lihai di medantempur, Hideyoshi juga digambarkan sebagai orang yang berpembawaan santai--gak seperti jenderal-jenderal lain--banyak omong, ceria, dan juga, ehm, mudah tergoda oleh wanita (meskipun tampangnya konon mirip monyet).

Kelemahan buku ini--kalo emang bisa dibilang kelemahan--adalah tokohnya yang sangat amat banyak banget. Sepertinya sih Yoshikawa-sensei hobi memasukkan banyak tokoh ke dalam ceritanya, entah kenapa. Soalnya karya Yoshikawa-sensei yang lain, Shin Héike Monogatari (yang terjemahannya, The Héike Story, udah kubaca) dan Musashi (yang drama taiga-nya pernah kutonton) juga kayak gitu. Mungkin itu karena Yoshikawa-sensei menganggap bahwa semua tokoh penting, bahwa pembaca bisa mengambil pelajaran dari semua tokoh sekecil apa pun perannya, dan adakalanya emang seperti itu. Misalnya aja keluhuran budi seorang pelayan tersia-sia (sering dicuekin bosnya) yang rela mengorbankan diri selaku pengalih perhatian supaya majikannya bisa mundur, padahal orang-orang yang diunggul-unggulkan sang majikan udah pada lari entah ke mana. Tapi, aku gak ngerti kenapa tokoh-tokoh yang hanya tampil untuk teriak “Bersiaplah! Aku akan membunuhmu!” ato menggosok punggung majikannya dimunculkan juga, lengkap dengan nama mereka.

Meskipun jumlah tokohnya yang berjibun bikin pusing dan adegan perang terus-menerus di pertengahan sampai akhir cerita membuatku bosen, cerita ini jelas jauh lebih baik daripada fiksi sejarah yang penuh anakronisme ato novel berbumbu teori konspirasi di sana-sini. Setidaknya begitulah menurutku.

Catatan:Ini kutipan favoritku dari Taiko: “Percuma mengharapkan cita-cita besar dari manusia berjiwa kerdil”. Dalem banget. Dan sayangnya, masih relevan sampai sekarang. Kita boleh mengklaim bahwa zaman sudah “modern”, tapi sebagian besar dari kita ternyata masih berpikiran terbelakang dan gak bisa memimpikan apa pun selain terpenuhinya kebutuhan fisik.

Thursday, March 06, 2008

Lenyapnya Barang Bajakan

Ada yang beda di Bandung seminggu ini. Kalo biasanya pedagang DVD bajakan bisa ditemukan di berbagai sudut kota, sekarang tempat-tempat itu bersih. Jangankan di pinggir jalan, Pasar Kota Kembang, pusat perdagangan DVD bajakan, juga udah tutup lebih dari seminggu.

Kalo boleh jujur, sebagai pelanggan barang bajakan itu, aku kecewa. Dari mana lagi aku bisa nonton film yang kusuka--anime dan dorama Jepang--kalo bukan lewat DVD bajakan? Nge-download dari laman-laman fansub jelas gak mungkin karena koneksi internet di sini lambat. Distributor video/DVD di sini pun jarang yang ngerilis versi resmi anime dan dorama Jepang. Stasiun TV pun jarang muter keduanya (kalo pun ada, cuma dikit). Jadi, dari mana lagi aku bisa nonton film-film itu?

Emang sih, pesatnya perkembangan teknologi yang memicu menggilanya peredaran CD/DVD bajakan beberapa tahun ini sudah merugikan banyak pihak. Sudah jamak diketahui bahwa industri musiklah yang paling terpukul. Bukan di cuma di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Kalo cuma suka satu lagi, daripada ngeluarin duit untuk beli CD single--apalagi CD album--orang lebih suka tuker-tukeran lagu di internet. Napster boleh mati, tapi semangatnya jalan terus.

Pembajakan di Indonesia emang masalah serius sejak dulu, dan tambah serius sejak pengopian dipermudah oleh keberadaan CD writer dan semacamnya. Tapi, aku gak tahu masalahnya seserius itu. Sampai seminggu lalu, waktu aku iseng-iseng mampir ke Aquarius Dago. Aku udah lama gak sana, terakhir kali tahun 2004 (buat beli Modern Artillery dari The Living End). Makanya, aku kaget banget pas masuk ke sana dan melihat toko itu berubah total. Dan perubahan ini bukan perubahan yang baik. Dulu, Aquarius Dago tuh bagaikan “surga” penggemar musik di Bandung. Segala macam album ada. Sekarang, jumlah rak dan album yang dijual jauh-jauh-jauh-jauh berkurang. Sebagian besar lagu Indonesia. Lagu Barat, dadah aja deh. Selain itu, toko ini juga sepi pengunjung, padahal waktu itu malem Minggu. Gak butuh penelitian untuk memastikan bahwa maraknya pembajakanlah yang bikin Aquarius Dago sepi. Kasihan sih.

Kembali ke soal Bandung yang sepi CD (audio, format MP3) dan DVD bajakan. Kayaknya sih ini ada sangkut-pautnya dengan Kapolda Jabar yang baru aja dilantik beberapa waktu lalu. Pak Kapolda ini bertekad untuk membasmi segala praktek kongkalikong yang ada di Kepolisian Jabar. Itu berarti gak ada lagi SIM kilat atau bandar judi togel dan penjual DVD bajakan yang terang-terangan nongkrong di depan umum. Bagus juga sih, semangatnya. Mudah-mudahan aja bisa jalan terus. Meskipun, aku masih gak rela soal DVD bajakan itu....

Sunday, February 24, 2008

Terjemahan Terbalik

Nerjemahin bahasa Indonesia ke bahasa Inggris? Sumpah, belum pernah. Dan jujur deh, rasanya jauh lebih menegangkan (dan menyeramkan) daripada sebaliknya--Inggris ke Indonesia.

Sebetulnya, aku cukup sering menulis dalam bahasa Inggris, jadi aku gak punya masalah dalam mengungkapkan pikiran dengan bahasa Inggris. Tapi, menulis dalam bahasa Inggris, yang dibatasi oleh teks asli (alias mengalihbahasakan) jauh lebih susah.

Pertama, tentu aja karena ada batasan dari teks tadi. Kalo menulis dari nol, kita bisa bebas sebebas-bebasnya dalam mengungkapkan pikiran tanpa terpaku pada ungkapan tertentu bahasa Indonesia. Misalnya pada saat mengekspresikan kesebalanku pada seseorang, aku bisa bilang (secara tertulis) “That guy is annoying!” ato “He’s so disgusting he makes me want to puke” ato “He should go to hell for all I care”. Tapi, bilamana kita dituntut untuk menerjemahkan teks seperti ini “Cowok itu nyebelin banget!”, maka kita hanya bisa menggunakan kalimat pertama. Kita gak lagi sebebas sebelumnya. Apalagi bahasa Indonesia dan Inggris punya “penekanan” yang berbeda (jangan suruh aku ngejelasin karena aku gak tahu apa bedanya, aku cuma bisa merasakan perbedaan itu), jadi tentu aja kita gak bisa mentah-mentah mengalihbahasakan b. Indo ke Inggris maupun sebaliknya.

Kedua, karena bahasa Inggris bukan bahasa ibuku. Selain itu, aku juga gak pernah tinggal di negara yang bahasa sehari-harinya Inggris. Jadi, aku punya banyak keterbatasan. Perbendaharaan kataku terbatas (sebenernya perbendaharaan kata b. Indo juga terbatas sih). Gak banyak idiom yang kutau. Aku gak selalu bisa menangkap “rasa” b. Inggris, jadi bisa aja aku membuat versi b. Inggris dari b. Indo, bukan nerjemahin. Tau kan, misalnya mengucapkan walking-walking (baca: jalan-jalan) alih-alih taking a walk, ato yang semacamnya.

Biarpun begitu, aku bakal berusaha sungguh-sungguh. Hasilnya jelek ato kagak, itu urusan nanti (mudah-mudahan sih gak jelek dan gak pas-pasan juga). Walaupun untuk menghasilkan terjemahan yang layak, aku harus berpusing-pusing ria dulu sekarang.

Catatan: Ditulis karena aku lagi ngerjain sampel terjemahan dengan perasaan deg-degan, karena sebab-sebab seperti yang udah disebutin di atas.

Friday, February 01, 2008

Diam-diam Malu

“…it always seemed to me that what was set down as pride was really an attempt to cover extreme natural diffidence.” -Sherlock Holmes-


Ada orang yang dengan entengnya bisa ngobrol santai dengan siapa pun, gak peduli siapa lawan bicaranya. Ada juga yang bisa dengan gampang menjalin percakapan dengan orang lain yang baru mereka kenal. Aku bukan salah satu di antaranya.

Sejak dulu, aku bukanlah jawara dalam sosialisasi. Meskipun cukup bersahabat, cenderung cerewet malah, terhadap keluarga ato temen-temen dekat, tapi aku gak pernah bisa berbasa-basi dengan orang yang gak kukenal dengan baik. Yang kupikirkan adalah: Apa kesannya gak terlalu SKSD tuh, kalo s0k-sok akrab ama orang? ato Ntar dicuekin, kan malah lebih malu lagi?! ato Kayaknya obrolannya gak bakalan nyambung deh, jadi untuk apa repot-repot?

Aku bisa punya sejuta alasan, tapi sebenernya, semua pikiran itu timbul karena rasa malu yang berlebihan. Persis seperti kata Holmes (ato Sir Arthur Conan Doyle). Manifestasinya adalah sikap super lempeng. Bahkan ada beberapa kenalanku (gak deket sih, tapi tetap aja kenal secara pribadi) yang dengan sengaja kuabaikan. Kalo ketemu, aku cuek-cuek aja, kayak yang gak kenal. Sekedar senyum ato menyapa pun enggak. Mereka pasti mengira aku ini anak sombong. Padahal sumpah, itu bukan karena aku sombong, tapi semata-mata karena akunya yang malu.

Jadi, kalo ada tersinggung karena kucuekin, aku bener-bener minta maaf. Soalnya, aku gak tau harus bersikap seperti apa di depan kalian. Aku terlalu malu.

Wednesday, January 30, 2008

Setelah Pemakaman

Di saat Pak Harto sakit, meninggal, dan akhirnya dimakamkan, tidak bisa tidak, banyak orang yang akan serta merta membandingkan perlakuan yang diterimanya selama tahap tersebut dengan yang dialami mantan presiden RI lainnya, Bung Karno. Pak Harto memperoleh pelayanan kesehatan terbaik yang biayanya ditanggung oleh negara, dijenguk oleh banyak orang penting semasa ia sakit, dan dimakamkan dengan upacara kebesaran yang dipimpin langsung oleh Presiden RI sekarang. Di sisi lain, Bung Karno gak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai menjelang ajalnya, meninggal dalam pengasingan, dan dimakamkan dengan penghormatan yang “sekedarnya”--gak sebanding banget ama statusnya sebagai mantan presiden dan proklamator.

Tapi, kali ini aku gak mau menyoroti soal perbedaan perlakuan tersebut. Tantangan yang jauh lebih besar adalah mulai menempatkan kedua tokoh tersebut selayaknya, secara obyektif. Masalahnya, kalo kita memandang Soekarno dan Soeharto hanya dengan perspektif hitam-putih, gak ada apa pun yang bisa kita dapat. Jangan-jangan kita malah jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Di tengah kondisi perekonomian yang cukup menyesakkan bagi rakyat banyak, sulit untuk gak membanding-bandingkan masa kini dengan saat Pak Harto masih berkuasa dulu. Bukan cuma mahal, sembako pun sekarang acapkali langka. Beda dengan di zaman Orde Baru dulu. Perlunya strategi untuk memastikan agar bahan-bahan kebutuhan pokok selalu tersedia di pasaran--itulah satu hal positif dari pemerintahan Pak Harto yang perlu diteladani.

Tentu saja, kita juga perlu ingat bahwa “kestabilan ekonomi” di kala itu harus dibayar mahal--dibayar dengan hilangnya kebebasan. Aku gak cuma ngomongin kejadian “besar” macam penculikan aktivis ato pembredelan pers, tapi juga hal-hal yang lebih personal seperti larangan memakai jilbab (dibalut alasan konyol bahwa pasfoto untuk pelajar harus menampakkan telinga) ato larangan merayakan Imlek.

Intinya, Pak Harto (dan juga Bung Karno, serta semua tokoh besar lainnya dalam sejarah bangsa Indonesia) harus dinilai secara menyeluruh. Kalo kita mengingat kebaikannya aja, bisa-bisa di masa depan kita dengan entengnya membuka jalan bagi lahirnya pemimpin otoriter baru (analoginya seperti rakyat Prancis yang menggulingkan Raja Louis XVI, mendirikan republik, dan kemudian mengangkat Napoleon sebagai kaisar). Sebaliknya, kalo kita hanya mengingat kejelekan Pak Harto, kita bakalan buta terhadap teladan baik yang pernah ditunjukkannya semasa memerintah (adakah?). Ato lebih parahnya lagi, karena terus-menerus menyalahkan Pak Harto atas segala kerusakan yang telah terjadi di negeri ini, kita jadi sulit melangkah maju, serta terus berkubang dalam dendam ciptaan pemerintahan Orde Baru (label PKI, “Cina”, dll).

Konon, orang besar kesalahannya juga besar. Nah, tugas kitalah untuk tak melupakan masa lalu supaya di masa datang, gak akan ada lagi orang besar yang terjerumus (ato menjerumuskan diri) seraya membawa orang-orang kecil bersamanya.