Di saat Pak Harto sakit, meninggal, dan akhirnya dimakamkan, tidak bisa tidak, banyak orang yang akan serta merta membandingkan perlakuan yang diterimanya selama tahap tersebut dengan yang dialami mantan presiden RI lainnya, Bung Karno. Pak Harto memperoleh pelayanan kesehatan terbaik yang biayanya ditanggung oleh negara, dijenguk oleh banyak orang penting semasa ia sakit, dan dimakamkan dengan upacara kebesaran yang dipimpin langsung oleh
Tapi, kali ini aku gak mau menyoroti soal perbedaan perlakuan tersebut. Tantangan yang jauh lebih besar adalah mulai menempatkan kedua tokoh tersebut selayaknya, secara obyektif. Masalahnya, kalo kita memandang Soekarno dan Soeharto hanya dengan perspektif hitam-putih, gak ada apa pun yang bisa kita dapat. Jangan-jangan kita malah jatuh ke lubang yang sama dua kali.
Di tengah kondisi perekonomian yang cukup menyesakkan bagi rakyat banyak, sulit untuk gak membanding-bandingkan masa kini dengan saat Pak Harto masih berkuasa dulu. Bukan cuma mahal, sembako pun sekarang acapkali langka. Beda dengan di zaman Orde Baru dulu. Perlunya strategi untuk memastikan agar bahan-bahan kebutuhan pokok selalu tersedia di pasaran--itulah satu hal positif dari pemerintahan Pak Harto yang perlu diteladani.
Tentu saja, kita juga perlu ingat bahwa “kestabilan ekonomi” di kala itu harus dibayar mahal--dibayar dengan hilangnya kebebasan. Aku gak cuma ngomongin kejadian “besar” macam penculikan aktivis ato pembredelan pers, tapi juga hal-hal yang lebih personal seperti larangan memakai jilbab (dibalut alasan konyol bahwa pasfoto untuk pelajar harus menampakkan telinga) ato larangan merayakan Imlek.
Intinya, Pak Harto (dan juga Bung Karno, serta semua tokoh besar lainnya dalam sejarah bangsa
Konon, orang besar kesalahannya juga besar. Nah, tugas kitalah untuk tak melupakan masa lalu supaya di masa datang, gak akan ada lagi orang besar yang terjerumus (ato menjerumuskan diri) seraya membawa orang-orang kecil bersamanya.