Wednesday, September 13, 2006

Bahasa Kita

Beberapa tahun lalu, harian “Pikiran Rakyat” memuat sebuah artikel yang ditulis oleh seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dalam artikelnya, sang penulis mengecam kebiasaan anak muda zaman sekarang yang enggan berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan sering mencampuradukkan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Tidak lama setelah artikel itu dimuat, muncul artikel “balasan” yang pada intinya menyatakan bahwa tindakan tersebut (mencampuradukkan berbagai macam bahasa) bukanlah tindakan yang patut dikecam. Argumen yang dikemukakan oleh penulisnya, seorang mahasiswa, adalah bahwa fungsi utama bahasa adalah alat komunikasi. Jadi, selama semua pihak yang terlibat saling memahami maksud satu sama lain, apa salahnya menggunakan bahasa yang campur aduk?

Sebagai orang yang sering menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar, aku tepuk tangan dengan alasan yang dikemukakan si mahasiswa. Kesannya mencari pembenaran sih, tapi hal yang dikemukakannya memang benar adanya. Tapi di sisi lain, aku ngerti banget dengan “kesewotan” banyak orang yang gak suka melihat/mendengar penyisipan istilah/kata-kata asing dalam teks Bahasa Indonesia; padahal istilah tersebut ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Masalahnya, bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi (meskipun fungsi utamanya memang itu) namun juga merupakan identitas diri.

Sekumpulan orang baru bisa bersatu apabila mereka memiliki persamaan, entah itu persamaan kepentingan, latar belakang, peran dalam masyarakat; intinya sih, harus punya persamaan. Masyarakat Nusantara sepakat (?) untuk bersatu dan membentuk negara yang disebut ”Indonesia” karena persamaan nasib: sama-sama pernah dijajah Belanda. Itu sebabnya Kalimantan bagian utara gak termasuk Indonesia, soalnya wilayah itu dulu dijajah Inggris. Tapi gak lucu kan, kalo para pendiri negara ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia bersatu karena persamaan nasib?

Kalo kita liat Sumpah Pemuda, ada tiga unsur yang dinyatakan sebagai pemersatu yaitu bangsa, tanah air, dan bahasa. Dua unsur yang pertama merupakan konsep yang abstrak, gak ada wujudnya. Beda dengan bahasa. Bahasa Indonesia bisa didengar, diucapkan, ditulis. Jelas. Bahasa Indonesia merupakan penanda identitas nasional yang paling nyata.

Namanya juga bahasa persatuan, jadi idealnya Bahasa Indonesia bisa menyatukan seluruh bangsa Indonesia (terlepas dari perbedaan suku) karena di manapun sama aja. Tapi kenyataannya Bahasa Indonesia bisa punya berbagai versi (versi, bukan logat) bergantung pada penuturnya. Anak muda pake bahasa prokem, para sosialita pake bahasa gado-gado (bahasa asing, biasanya Bahasa Inggris, bercampur aduk dengan Bahasa Indonesia). Melihat fenomena tersebut, kekhawatiran para pemerhati Bahasa Indonesia sebenarnya sangat bisa dipahami. Apakah Bahasa Indonesia masih bisa mempersatukan kita apabila versinya aja udah beda-beda? Apakah kita masih bisa mempertahankan identitas nasional kita saat Bahasa Indonesia udah terlalu banyak "terkontaminasi" oleh bahasa asing?

Pendapatku soal masalah ini?

Aku bisa ngerti kenapa banyak orang yang sewot dengan menggejalanya penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar. Di sisi lain, aku juga bisa memahami kenapa banyak yang melakukan hal tersebut. Bahasa prokem, bahasa gaul, bahasa gado-gado atau apapun namanya, lahir karena masyarakat merasa nyaman menggunakannya; lahir karena kebutuhan. Yang penting, gunakanlah bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi. Gak ada salahnya berbicara dengan Bahasa Indonesia yang gak resmi dan "ancur-ancuran"; tapi kalo lagi ngomong di forum resmi atau nulis karya ilmiah, usahain pake Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan lupa!