Saturday, September 01, 2012

Sarapan Ala Turki

Aku lapar. Tapi karena malam-malam begini nggak boleh makan (nanti nggak tercerna dengan baik lho), mending ngomongin makanan aja.

Sewaktu pelesir ke Turki, aku beberapa kali dapat sarapan di penginapan. Menunya kurang-lebih seperti ini:
  1. Roti, dikasihnya sekeranjang penuh, untuk dinikmati sesukanya. Kalau untuk satu orang Indonesia seukuran aku, dijamin nggak bakalan habis. Rotinya buatan rumah (paling enggak buatan toko roti lah, bukan keluaran pabrik kayak di Indonesia), teksturnya lebih kasar daripada yang biasa kita jumpai di sini.
  2. Buah zaitun. Ternyata buah zaitun itu asam! (Maaf, sebelumnya saya tidak tahu.)
  3. Telur rebus, tentu saja disertai penyedap rasa yang biasa--duo garam dan merica.
  4. Selai ceri dan stroberi, mentega (bukan margarin!), keju. Aku pernah "apes"--keju yang kuambil rupanya keju kambing, bukan keju sapi. Baunya! (Mohon ampun kepada penggemar kambing.)
  5. Yoghurt kental tanpa gula. Berkat makanan/minuman semisolida ini, Anda tidak perlu khawatir dirundung sembelit selama di Turki.
  6. Teh. Orang Turki suka sekali minum teh. Orang Jawa juga, ya?
Barangkali Anda tidak percaya, tapi sajian sesedikit itu sudah lebih dari cukup untuk mengenyangkan perut!

Monday, August 27, 2012

Jalan-jalan Itu . . . .

  • Bukan untuk mendongkrak status
  • Bukan buat foto-foto supaya bisa dipamerin di Flickr, Facebook, dll
  • Juga bukan untuk menambah koleksi cap di paspor
tapi . . .
  • Untuk mengasah kepekaan
  • Untuk belajar tentang diri sendiri dan sekitar kita

Sunday, August 26, 2012

Kapok Chick-Lit

Suntuk. Pingin supaya target bacaan tahun ini segera tercapai. Ya udah, baca chick-lit aja deh, begitu pikirku.

Mulanya sih seru. Ceritanya mengalir, isinya mudah dicerna. Tapi lama-kelamaan, aku jadi jengkel. Kok gini?

"Gini" yang kumaksud:
  • Mengumbar merek dan kemewahan
  • Pakaian selalu dideskripsikan secara mendetail, tapi setting-nya--cuma sekilas. Contoh: Waktu tokoh utama berkunjung ke Paris, barang bawaannya dijabarkan satu-satu, tapi suasana di Paris hanya disinggung selintas. (Paris gitu loh! Kenapa si penulis nggak menggambarkan arsitektur atau keramaian kota?--yang seharusnya menarik)
  • Waktu ketemu cowok cakep, si tokoh utama pasti (1) deg-deg-an; atau (2) horny; atau (3)dua-duanya
  • Aktivitas yang dilakukan para tokoh sepanjang cerita: 1) makan malam di restoran mahalan; 2) belanja; 3) mendatangi acara penggalangan dana yang dihadiri kalangan jetset. Maaf, memangnya nggak ada kerjaan lain?
Begonya aku. Memang chick-lit seperti itu, 'kan? Dangkal dan membosankan.

Tuesday, August 21, 2012

Tentang Indonesia

Sebenarnya aku ingin menulis tentang ini:
  • Beda masa lalu, beda masa kini (Indonesia vs Malaysia)
  • Demonifikasi Belanda, mengesampingkan peranan "agen pribumi" dalam penjajahan Belanda
  • Kecenderungan mengagung-agungkan warisan kolonial karena nggak paham sejarah Nusantara secara menyeluruh (contoh: Belanda itu jago administrasi, pakar arsitektur, "zaman normaal dulu lebih enak", dsb)
tapi nggak tahu cara merumuskannya. Ada ide?

Saturday, August 18, 2012

Alay vs Hipster

Menurut seorang dosenku, paling mudah mendefinisikan sesuatu dengan cara menegasikannya. Misalnya: Pancasilais = bukan Komunis, bukan Kapitalis. Kebayang kan?

Didasari pemikiran tersebut dan kekurangmafhumanku terhadap fenomena (!) yang disebut "alay" dan "hipster" (apa itu alay? apa itu hipster?), lahirlah tabel perbandingan yang sangat nggak penting berikut ini.

Alay Hipster
Motto Yang penting mainstream Yang penting beda
Strata sosial Kelas menengah ke bawah Kelas menengah ke atas
Bahasa pergaulan B4hasa 4l4Y Bahasa Inggris atau In-lish (gado-gado Inggris-Indonesia)
Musik yang digemari Pop/rock melayu gitu deh Pokoknya buah karya musisi indie
Mainan kesukaan Hape berkamera Kamera Lomo
Tempat favorit di dunia maya Facebook Tumblr

Friday, June 15, 2012

Begini, Bung!

Hahhhh! Kenapa sih komentator sepak bola di TV suka sekali mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris? Andaikan istilah tertentu memang nggak punya padanan dalam bahasa Indonesia, wajar lah. Tapi ini 'kan ada!

Singkat kata, karena aku ini maniak (sepak bola) dan kurang kerjaan, lahirlah daftar berikut ini: istilah-istilah yang ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tapi sering kali di-Inggris-kan oleh komentator. Jadi, kali lain Bung Roni/Bung Tomi/siapalah mengucapkan "Scrimmage", Anda bisa berteriak dan berkata "Kemelut, $@#%%! Kemelut!"

corner kick: sepak pojok/tendangan penjuru

cross: umpan silang/umpan tarik

dribble: gocek/olah bola

extra time: perpanjangan waktu

free kick: tendangan bebas

goal kick: tendangan gawang

injury time/added time: waktu tambahan

long pass: umpan lambung

scrimmage: kemelut

set piece: bola mati (sebenernya sih kurang pas, tapi bisa dipake)

tackle: jegal

throw-in: lemparan ke dalam

Ada lagi?

Wednesday, June 06, 2012

Turki: Transportasi dan Akomodasi bag.2

Bagian 1

Cappadocia
Turis yang ingin pelesir ke Cappadocia biasanya menginap di Göreme. Tapi, dari Istanbul nggak ada bus yang langsung berhenti di Göreme. Soalnya, Göreme ini sebenernya cuma sebuah desa. Kita bakal diturunin di kota Nevşehir. Buat yang mau ke Göreme, perusahaan bus udah nyediain minibus gratis untuk mengantar kita ke sana. (Pastiin aja di tiket kita tercantum "Göreme" sebagai tujuan akhir, bukan Nevşehir.)

Di Göreme, aku menginap di Hotel Yüksel, semalamnya 45 TL (twin bed, kamar mandi di dalem). Letaknya kira-kira di seberang terminal Göreme. Hotel ini dikelola oleh keluarga, jadi harap maklum andaikan pelayanannya kurang gesit (intinya, kadang-kadang mereka tampak kewalahan, gitu). Tapi, si pemilik & keluarganya ini ramah banget (entah kenapa, dibaikin gitu aku malah jadi sungkan :p). Sangat direkomendasikan.

Karena di Cappadocia objek-objek wisatanya tersebar luas & sepertinya susah nyari kendaraan umum, mending ikutan tur. Sewaktu di Cappadocia, aku ikutan Green Tour-nya Muşkara Travel (70 TL, udah termasuk transportasi, tiket masuk, dan makan siang).

Dari Cappadocia, aku melanjutkan perjalanan ke Antalya. Tiket bus Nevşehir-Antalya 45 TL (Süha Turizm), tapi bisa naik dari terminal Göreme.

Antalya
Di Antalya, aku menginap di Kaleiçi, yaitu kota lamanya Antalya (Camel Pansiyon, semalam 45 TL, single bed, kamar mandi di dalem). Dari terminal, bisa naik bus nomor 202 (kalau nggak salah--tanyain aja, dia lewat Kaleiçi atau enggak), tarifnya 1,75 TL.

Untuk keliling-keliling kota, bisa naik bus atau trem. (Silakan cermati rute bus/trem yang tertera di tiap halte.)

Pamukkale
Untuk menuju ke Pamukkale, kita harus naik bus tujuan Denizli, karena Pamukkale itu adalah nama daerah di Denizli (analoginya: Denizli=Bandung, Pamukkale=Lembang). Harga tiket Antalya-Denizli 30 TL. Turun di terminal Denizli, terus naik angkot/minibus (dolmuş)--lihat aja platnya, lewat Pamukkale atau enggak. Denizli-Pamukkale tarifnya 3 TL. Turun di depan kantor biro wisata Pamukkale.

Oh iya, harap berhati-hati, di depan kantor biro wisata biasanya banyak calo tiket yang berkeliaran. Jangan mau ditawarin tiket bus ama mereka. Di deket situ ada agen resmi Metro & Pamukkale Turizm (perusahaan bus)--jadi, mending langsung beli di sana.

Di Pamukkale, aku nginep di Hotel Bellamaritino (semalem 34 TL, double bed, kamar mandi dalem). Objek-objek wisata Pamukkale (travertin, pemandian air panas, Hieropolis, Necropolis) bisa ditempuh dengan jalan kaki dari hotel.

Selçuk
Aku naik bus pagi Denizli-Selçuk yang kebetulan memang mampir ke Pamukkale (20 TL, tapi karena belinya via calo--apes!--jadinya bayar 25 TL).

Di Selçuk, aku nginep di Hotel Jimmy's Palace (semalem 60 TL--begonya aku, milih penginapan kemahalan gini, tapi hotel ini paling enak di antara semua tempat yang kuinapi sih; double bed).

Tujuan wisata utama di Selçuk adalah kota kuno Efesus. Sebenernya, untuk ke tempat ini kita bisa naik dolmuş (yang tujuannya ke Pamucak atau Kusadasi). Nah, berhubung aku tahunya telat, jadinya aku malah ikut tur (lupa nama agen perjalanannya; kalo nggak salah sih Golden Road Travel).

Dari Selçuk, balik ke Istanbul untuk pulang ke Indonesia. Tiket busnya beli di terminal, bisa milih mau naik busnya perusahaan mana.

Monday, May 28, 2012

Turki: Transportasi dan Akomodasi bag.1

Untuk tiket murah, maskapai Timur Tengah masih jadi andalan. Aku naik Qatar Airways (Jakarta-Doha-Istanbul). Kebetulan belinya waktu ada promo. Tiket PP seharga 7 juta.

Untuk menuju ke pusat kota Istanbul dari Bandara Internasional Atatürk, bisa naik taksi atau metro. Demi pengiritan, aku memilih naik metro. Tinggal ikutin aja papan penunjuk untuk mencapai stasiun metro. Beli tiketnya ("jeton") bisa langsung di mesin jetonmatik (1 jeton = 2 Turkish Lira). Belinya bisa pake uang recehan atau uang kertas 10/20/50 TL (ada pilihannya juga--dalam bahasa Turki--mau beli jeton berapa keping).

Kalau mau menuju ke kota lamanya Istanbul, harus turun di stasiun Aksaray. Dari situ, dilanjutin naik trem--bisa di halte Yusufpaşa atau Aksaray (lebih deket Yusufpaşa sih--tapi berhubung waktu keluar dari stasiun metro udah agak gelap dan aku memang buta arah, jadinya aku berjalan luntang-lantung sampai ke halte Aksaray). Turunnya bisa di halte Sultanahmet/Gülhane/Sirkeci. Kebetulan penginapanku letaknya di Sirkeci, jadi aku turun di sana.

Aku memilih Hotel Yeni atas dasar harganya (thanks, Booking.com!). Letaknya memang nggak pas di sentra Sultanahmet, tapi masih relatif dekat dengan tempat-tempat tujuan wisata utama Istanbul--jalan kaki lima menit, lah. Aku nginep tiga malam di kamar single, habisnya 120 TL (cukup murah loh, untuk lokasi sestrategis itu--kalau mau lebih murah lagi, bisa pilih kamar tipe dorm). Selain strategis, pelayanannya juga bagus (pemilik & karyawannya ramah banget--sampai-sampai aku jadi nggak enak hati), plus bersih & nyaman. Sangat direkomendasikan.

Sebelum pulang ke Indonesia, aku sempat menginap semalam lagi di Istanbul tapi di tempat yang berbeda, tepatnya di Hotel Erenler. Tarif semalamnya sama dengan hotel yang kusinggahi pertama kali (40 TL), tapi nggak senyaman Hotel Yeni (meskipun letaknya lebih dekat ke pusat Sultanahmet). Tempatnya bersih juga, tapi intinya mending Hotel Yeni deh, kalau mau nginep lebih dari semalem.

Untuk keliling-keliling Istanbul, bisa jalan kaki (ehem!), naik trem-metro (ini sistemnya udah terpadu; meskipun ada juga trem yang jalurnya "berdiri sendiri", misalnya Tünel-Taksim) atau bus. Halte bus terdekat dari Sultanahmet setahuku ada di Eminönü (kalau dari Sultanahmet, tinggal jalan kaki ke Sirkeci, kemudian terus menyusuri dermaga sampai ketemu halte/terminal bus).

Menyambangi Istanbul nggak lengkap kalau nggak pesiar di Selat Bosphorus. Dateng aja langsung ke Eminönü, di sana ada dermaga khusus untuk feri Bosphorus Tour (operatornya Pemkot Istanbul, bukan perusahaan swasta--ada juga operator tur swasta yang menyediakan feri untuk pesiar, tapi tarifnya lebih mahal). Ada dua pilihan, rute "panjang" (25 TL, berhenti di Anadolu Kavağı) dan rute "pendek" (10 TL, muter di Rumeli Kavağı, kalau nggak salah).

Untuk menuju ke kota-kota lain, bisa naik bus, kereta api, atau pesawat (ogah deh!). Aku memilih naik bus karena pilihan rutenya memang paling banyak (& karena lebih murah daripada naik pesawat, tentu saja). Kalau dari Sultanahmet, mending langsung ke terminal bus di Harem (Harem Otogarı) daripada ke Terminal Bus Istanbul, soalnya lebih dekat. Untuk ke sana, tinggal naik feri jurusan Harem dari Eminönü.

Setelah Istanbul, tujuanku adalah Göreme. Aku beli tiket bus Metro (salah satu perusahaan bus terpercaya di Turki--mungkin kalau di sini kayak Kramat Jati? Tapi pelayanannya lebih keren sih. Asa di pesawat, gitu. Mohon dimaklumi kalau saya ndeso) langsung di Harem Otogarı. (Kalau mau aman, bisa aja cari-cari agennya di Istanbul. Kalau mau lebih gampang lagi, bisa minta tolong ke agen perjalanan/hotel--meskipun harga tiketnya lebih mahal karena mereka pasi ngutip keuntungan.) Tiket Istanbul-Göreme 60 TL. Nah, ternyata si Metro teh punya terminal khusus di Samandıra Tesis, jadi dari Harem aku (baca: calon penumpang) diantar pake minibus ke sana. Kemudian baru deh naik bus ke Göreme.

bag.2: Cappadocia-Antalya-Pamukkale-Selçuk

Sunday, May 20, 2012

Jorok

Kebetulan Selasa lalu aku pulang dari Turki. Berhubung naiknya Qatar Airways, jadi kudu transit dulu di Bandara Internasional Doha. Sebagaimana bisa ditebak, kebanyakan penumpang di pesawat Doha-Jakarta adalah TKI yang hendak kembali ke Indonesia. Emang mereka berisik sih, tapi wajar lah. Mungkin kegaduhan itu adalah wujud dari kegembiraan mereka karena bisa pulang kampung setelah berbulan-bulan--atau malah bertahun-tahun--mencari nafkah di luar negeri.

Selepas terbang kurang-lebih 8 jam, akhirnya pesawat mendarat juga di Bandara Soekarno-Hatta. Kebetulan kursiku agak di belakang. Daripada harus buru-buru dan berebut dengan penumpang lain, kuputuskan untuk duduk manis sampai sebagian besar penumpang turun. Kutapakkan kaki ke lorong, maju terus, kemudian . . . ASTAGHFIRULLAH.

Baru pertama kali aku melihat pesawat sejorok itu selepas ditinggal penumpangnya. Sampah plastik, tisu, dan entah apa lagi berserakan di lantai. Persis seperti di gerbong kereta api ekonomi. Padahal sepanjang penerbangan, pramugari beberapa kali berkeliling untuk ngumpulin sampah. Apa nggak bisa disimpan sebentar, kemudian diserahkan ke mereka? Bikin malu orang Indonesia aja. Sumpah!

Wednesday, April 04, 2012

Bikin Paspor

Bawa:
  1. KTP & fotokopiannya (ukuran A4, jangan dipotong seukuran KTP asli)
  2. Kartu keluarga berikut fotokopiannya
  3. Akte kelahiran & fotokopiannya
  4. Paspor lama & fotokopiannya (kalo sebelumnya udah pernah punya paspor)
Ambil:
  1. Formulir permohonan paspor (ambil di loket, gratis!!!)
  2. Map (+ sampul paspor, belinya di koperasi)
Prosedur:
  1. Bawa semua persyaratan & isi formulirnya
  2. Ambil nomor antrean (Dateng sepagi mungkin! Kalo bisa sebelum kantor Imigrasi buka [jam 7]! Nomor antrean untuk penyerahan formulir bisa diambil sampai jam 11)
  3. Begitu nomor kita dipanggil, serahin semua persyaratan, ntar kita dapet bukti penyerahan formulir
Tiga hari kerja kemudian . . . .
  1. Ambil nomor antrean lagi (untuk pembayaran paspor, pengambilan sidik jari & foto, ama wawancara). Dateng pagi-pagi juga.
  2. Bayar, ambil sidik jari & foto, dan wawancara sesuai nomor antrean
Empat hari kerja kemudian . . . .
  1. Ambil nomor antrean lagi
  2. Tanda tangani bukti pengambilan paspor, terus siap jalan-jalan deh!

Catatan:
  • Alhamdulillah, sekarang di kantor Imigrasi udah nggak ada calo. Alhasil, antrean kita tidak tersendat-sendat seperti dulu lagi.
  • Paspor lama dikembalikan kepada kita, tanpa biaya! (Kan katanya dulu harus ngasih "tip" dulu, baru deh si paspor dibalikin.)

Thursday, March 15, 2012

Disini

Hadirin pengguna bahasa Indonesia, di mana pun Anda berada, asal tahu saja ya: "di sini" itu kata keterangan, bukan kata penghubung.

"Disini"? Apa pula itu? Silakan Anda buka-buka lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia atau buku pelajaran SMP/SMA yang sudah bertahun-tahun teronggok di gudang. Setahu saya bahasa Indonesia tidak mengenal kata "disini" deh.

Monday, March 05, 2012

Dimata-matai

Tahu aplikasi untuk menganalisis lalu lintas pengunjung website, nggak? Yang kayak gini nih:

Terus terang, aku nggak suka jikalau berkunjung ke sebuah website, terus ngeliat aplikasi seperti itu. Emang sih, dengan niat dan sedikit keterampilan, pemilik website bisa melacak, pengunjung situsnya berasal dari mana aja--tanpa perlu membubuhkan aplikasi itu di laman web-nya. Dengan kata lain, tiap kali kita menyambungkan diri ke dalam jaringan, sesungguhnya kita membuka diri untuk diintai orang. Apalagi dewasa ini, kita (baca: aku) justru dengan bodohnya mengumumkan lokasi dan aktivitas kita sehari-hari ke seluruh dunia via Facebook, foursquare, dsb. Secara sukarela, pula.

Tapi, bilamana pengintaian itu dilakukan secara gamblang oleh pihak lain tanpa seizinku dan hasilnya bisa diakses siapa pun, rasanya kok bikin merinding, ya? BIG BROTHER IS WATCHING YOU. Hiii!!!

Sunday, February 26, 2012

Radiohead and Philosophy: Fitter, Happier, More Deductive

Andaikan Anda sok berselera tinggi dan sok intelek, mungkin buku berjudul Radiohead and Philosophy: Fitter, Happier, More Deductive pas untuk ditenteng ke mana-mana. Tapi sumpah, aku bukan orang yang sok berselera tinggi dan sok intelek. Cuma kebetulan aja "menemukan" buku ini waktu sedang browsing Goodreads.

Jadi, buku ini berisi kumpulan esai yang membahas keterkaitan Radiohead dengan enam topik utama: filsafat, seni, industri musik, teknologi, eksistensialisme, dan posmodernisme. Nah, berhubung penulisnya lain-lain, pendekatan mereka juga beda-beda. Sebagian memosisikan diri sebagai penggemar yang mencoba menganalisis ketertarikan mereka pada Radiohead (misalnya Adam Koehler dalam "The Mutilation of Voice in 'Kid A' (Or My John Mayer Problem)" dan Lindsey Fiorelli dalam "Fitter Happier Rolling a Large Rock Up the Hill). Ada juga yang menjaga jarak, layaknya kritikus atau akademisi.

Tipe ke-2 inilah yang bikin aku sebel. Bukannya aku ingin Radiohead dipuji setinggi langit terus-terusan, hanya saja alih-alih objektif, kajian mereka justru terkesan menggurui. Salah satunya Mark Greif, dalam "Radiohead, or the Philosophy of Pop" yang mengatakan betapa "[Fake Plastic Trees]'s only salvation may have been the effect observed rather than the situation denounced: It wears you out . . ." Anda mungkin merasa begitu Pak Greif, tapi saya tidak. (Bagiku, mendengarkan "Fake Plastic Trees" mirip seperti berdiri diam di jalanan ramai. Bingung? Silakan Anda dengarkan sendiri lagu itu.)

Atau Tim Footman dalam "Hyperreally Saying Something" yang mengkritik strategi pay-what-you-want dalam perilisan In Rainbows, yang menurutnya tak lebih dari upaya promosi semata. Karena Radiohead pada akhirnya merilis album versi "koran" yang harganya udah ditentukan, mereka nggak ada bedanya dengan perusahaan rekaman yang dengan senang hati memeras kantong pelanggan. Mungkinkah si penulis mengira kami ini bego? ("Rather than feeling duped, the consumers loyally sent the (‘real’) album to the top of the charts in Britain, the United States, and beyond.") Radiohead bukan Superman. Cuma karena mereka musisi sukses, bukan berarti mereka berkewajiban menggagas revolusi dalam distribusi musik, atau membebaskan manusia fana dari kekangan hiperrealitas!

Oh iya, satu lagi yang bikin aku kurang sreg dengan buku ini. Kebanyakan esainya lebih fokus pada lirik kala membedah Radiohead. Padahal, kalau kita ngomongin musik dan efeknya terhadap pendengar, yang penting 'kan totalitasnya, bukan sekadar lirik atau melodinya doang.

Tapi, aku menikmati buku ini. Paling enggak, jadi dapat perspektif baru lah. (Contohnya: ". . . imagining a dystopia [can] have utopian connotations . . ."--mengutip Sean Burt dalam "The Impossible Utopias in 'Hail to the Thief'".) Selain itu, aku jadi tahu istilah "ajaib" seperti "Being-in-the-world". (Maklum, nggak pernah belajar yang kayak begituan di sekolah . . . meskipun aku tahu "bentonit magma" itu apa. Nggak nyambung, 'kan?)

Singkat kata, kalau Anda penggemar Radiohead, buku ini patut dibaca, minimal buat iseng. Untuk yang nggak suka atau malah nggak pernah (!) dengar Radiohead, silakan Anda khatamkan dulu kedelapan album mereka. Kalau udah beres, nanti kita ngobrol lagi.

Monday, January 30, 2012

Rezeki Nomplok

Hari ini aku menemukan uang dua ribuan di lemari. Senangnya, serasa dapat harta karun!

Saturday, January 21, 2012

Meratapi Tivi

TV-ku sekarang aneh. Orang-orang kelihatan lonjong. Kalo nonton sepakbola, skor dan nama tim di pojok kiri atas pasti nggak kelihatan. Kadang-kadang, di atas-bawah ada setrip hitam, seperti di layar bioskop.

Konon, HD-lah biang keroknya. Stasiun televisi di Indonesia rupanya sudah mulai bersiaran dengan format high definition, yang rasio panjang-lebarnya lebih besar daripada format standar. "Apalagi tahun 2014 semua siaran TV udah digital, bukan analog lagi. Ntar resolusinya lebih bagus, terus nggak kepengaruh cuaca," begitu kata adikku. Apa????

Singkat kata, aku agak nggak rela. Baru tahun kemarin beli TV baru, berhubung TV lama rusak dan nggak bisa diperbaiki lagi. Soal format siaran yang berubah dari analog ke digital, oke deh, bisa beli konverter (menurut iklan layanan masyarakat Depkominfo :p). Tapi soal rasio panjang-lebar itu, nggak biasa diapa-apain lagi, kan? Sudah terbayang, perspektifku bakal jadi nggak beres. Karena sehari-hari keseringan melihat makhluk-makhluk berbadan mulur di layar kaca, bisa-bisa aku justru mengira bahwa manusia beneran di luar sanalah yang nggak normal.