Sunday, February 24, 2008

Terjemahan Terbalik

Nerjemahin bahasa Indonesia ke bahasa Inggris? Sumpah, belum pernah. Dan jujur deh, rasanya jauh lebih menegangkan (dan menyeramkan) daripada sebaliknya--Inggris ke Indonesia.

Sebetulnya, aku cukup sering menulis dalam bahasa Inggris, jadi aku gak punya masalah dalam mengungkapkan pikiran dengan bahasa Inggris. Tapi, menulis dalam bahasa Inggris, yang dibatasi oleh teks asli (alias mengalihbahasakan) jauh lebih susah.

Pertama, tentu aja karena ada batasan dari teks tadi. Kalo menulis dari nol, kita bisa bebas sebebas-bebasnya dalam mengungkapkan pikiran tanpa terpaku pada ungkapan tertentu bahasa Indonesia. Misalnya pada saat mengekspresikan kesebalanku pada seseorang, aku bisa bilang (secara tertulis) “That guy is annoying!” ato “He’s so disgusting he makes me want to puke” ato “He should go to hell for all I care”. Tapi, bilamana kita dituntut untuk menerjemahkan teks seperti ini “Cowok itu nyebelin banget!”, maka kita hanya bisa menggunakan kalimat pertama. Kita gak lagi sebebas sebelumnya. Apalagi bahasa Indonesia dan Inggris punya “penekanan” yang berbeda (jangan suruh aku ngejelasin karena aku gak tahu apa bedanya, aku cuma bisa merasakan perbedaan itu), jadi tentu aja kita gak bisa mentah-mentah mengalihbahasakan b. Indo ke Inggris maupun sebaliknya.

Kedua, karena bahasa Inggris bukan bahasa ibuku. Selain itu, aku juga gak pernah tinggal di negara yang bahasa sehari-harinya Inggris. Jadi, aku punya banyak keterbatasan. Perbendaharaan kataku terbatas (sebenernya perbendaharaan kata b. Indo juga terbatas sih). Gak banyak idiom yang kutau. Aku gak selalu bisa menangkap “rasa” b. Inggris, jadi bisa aja aku membuat versi b. Inggris dari b. Indo, bukan nerjemahin. Tau kan, misalnya mengucapkan walking-walking (baca: jalan-jalan) alih-alih taking a walk, ato yang semacamnya.

Biarpun begitu, aku bakal berusaha sungguh-sungguh. Hasilnya jelek ato kagak, itu urusan nanti (mudah-mudahan sih gak jelek dan gak pas-pasan juga). Walaupun untuk menghasilkan terjemahan yang layak, aku harus berpusing-pusing ria dulu sekarang.

Catatan: Ditulis karena aku lagi ngerjain sampel terjemahan dengan perasaan deg-degan, karena sebab-sebab seperti yang udah disebutin di atas.

Friday, February 01, 2008

Diam-diam Malu

“…it always seemed to me that what was set down as pride was really an attempt to cover extreme natural diffidence.” -Sherlock Holmes-


Ada orang yang dengan entengnya bisa ngobrol santai dengan siapa pun, gak peduli siapa lawan bicaranya. Ada juga yang bisa dengan gampang menjalin percakapan dengan orang lain yang baru mereka kenal. Aku bukan salah satu di antaranya.

Sejak dulu, aku bukanlah jawara dalam sosialisasi. Meskipun cukup bersahabat, cenderung cerewet malah, terhadap keluarga ato temen-temen dekat, tapi aku gak pernah bisa berbasa-basi dengan orang yang gak kukenal dengan baik. Yang kupikirkan adalah: Apa kesannya gak terlalu SKSD tuh, kalo s0k-sok akrab ama orang? ato Ntar dicuekin, kan malah lebih malu lagi?! ato Kayaknya obrolannya gak bakalan nyambung deh, jadi untuk apa repot-repot?

Aku bisa punya sejuta alasan, tapi sebenernya, semua pikiran itu timbul karena rasa malu yang berlebihan. Persis seperti kata Holmes (ato Sir Arthur Conan Doyle). Manifestasinya adalah sikap super lempeng. Bahkan ada beberapa kenalanku (gak deket sih, tapi tetap aja kenal secara pribadi) yang dengan sengaja kuabaikan. Kalo ketemu, aku cuek-cuek aja, kayak yang gak kenal. Sekedar senyum ato menyapa pun enggak. Mereka pasti mengira aku ini anak sombong. Padahal sumpah, itu bukan karena aku sombong, tapi semata-mata karena akunya yang malu.

Jadi, kalo ada tersinggung karena kucuekin, aku bener-bener minta maaf. Soalnya, aku gak tau harus bersikap seperti apa di depan kalian. Aku terlalu malu.