Wednesday, December 27, 2006

Web Log ala Reni

Semua orang yang ngebaca ini pasti tertawa terbahak-bahak, tapi--aku baru aja tau kalo blog itu sebenernya singkatan dari web log. Oke, silakan ketawa.

..............................................................................

Ngomong-ngomong soal log, itu bukannya produser musik rock asal Surabaya ya? (Itu mah Log Zhlebor! Gubrakssss...., ke laut aja lu Ren! Lelucon basi macam apa itu?!). He, he, he, bukan ding. Benda yang satu ini mengingatkanku pada cerita-cerita di buku atau film tentang penjelajahan samudera dan bajak laut. Seperti ini, nih:

Rabu, 12 November 17xx
Hari ini cerah. Sayang suasana di kapal tampaknya diliputi awan mendung. Sudah dua bulan kami tidak melihat daratan. Para awak mulai khawatir dengan keadaan ini, apalagi persediaan air semakin menipis. Aku harus bisa meyakinkan mereka, kalau tidak, hanya masalah waktu sampai mereka akhirnya memberontak....

Intinya, log itu adalah catatan harian. Aku gak tau apakah dalam dunia pelayaran seorang kapten kapal emang diwajibkan untuk punya log dan mengisinya secara teratur. Tapi walau gak diwajibkan pun, seorang kapten yang baik kayaknya bakal melakukan ini (bermanfaat sih). Syukurlah, soalnya banyak informasi berharga yang diperoleh lewat penelaahan log-log para kapten--bukan cuma tentang pemberontakan awak kapal kayak di film-film, tapi juga tentang keanekaragaman hayati, peristiwa dahsyat seperti meletusnya Krakatau, dll.

Kalo mau berpegang pada arti istilahnya, seharusnya yang namanya log itu--termasuk web log alias blog--berisi catatan kejadian sehari-hari yang dialami/ diamati oleh penulisnya. Namun demikian, kandungan “kejadian sehari-hari” dalam blogku ini justru dikit banget. Blog ini lebih banyak berisi pikiran-pikiran aneh(yang gak penting banget)ku tentang sesuatu. Lihat sendiri kan?! Diisinya pun gak tiap hari seperti layaknya sebuah log.

Tapi seperti kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama? (Sebenernya sih berarti loh, berarti!) Kalaupun aku mengisi blog ini bukan dengan catatan harian, emangnya siapa yang mau ngelarang, hayo? Masih untung aku masih punya keinginan untuk menulis sesuatu (meskipun gak penting) daripada gak nulis sama sekali. Kalo gak suka, pergi aja sana (ini dunia maya yang bebas, gitu loh). Tapi kalo masih ada yang berkenan ngelirik atau bahkan membaca web log ala Reni ini, yuk ah: All aboard!

Sunday, December 24, 2006

Masih Peduli

Di saat aku dan pendukung lainnya akhirnya mulai merasa optimis dengan Manchester United untuk jadi juara Premier League musim ini, United malah kalah ngelawan West Ham--tim yang gak pernah menang selama entah berapa pertandingan dan baru aja ganti pelatih. Selisih lima angka dengan Chelsea akhirnya menyusut jadi dua. Nyebelin banget!

Mungkin orang gak ngerti, gimana mungkin aku--yang WNI (Warga Negara Inggris) pun bukan--bisa ngerasa kecewa/kesel berat cuma gara-gara kekalahan klub sepakbola dari negara di seberang samudera sana. Tapi gimana coba? Aku bisa jerit-jerit kayak orang gila di pagi buta saat ngeliat pemain United bikin gol dan sebaliknya, gondok abis kalo mereka kalah. Nyatanya, aku emang PEDULI ama United dan itu sebabnya kinerja mereka bisa membuatku terpengaruh secara emosional.

Peduli, itu kata kuncinya. Saat kita mempedulikan sesuatu atau seseorang, ada saatnya sesuatu/seseorang itu membawa kebahagiaan bagi kita. Namun, adakalanya juga kita dikecewakan olehnya. Pernah ngerasa bosen karena ortu ceramah yang itu-itu lagi? Jangan! Bersyukurlah karena itu tandanya ortu masih sayang dan perhatian ama kita. Kalo mereka udah gak peduli, dijamin kita mau ngapain aja mereka bakal cuek bebek.

Saat ini, aku yakin banyak di antara kita yang sedih/kesel/kecewa ngeliat keadaan Indonesia. Korupsi merajalela, aset negara dikuasai asing, kasus lumpur LAPINDO yang gak beres-beres, dan serangkaian masalah lainnya yang kalo dipaparin di sini gak bakal ada habis-habisnya. Tapi itu justru bagus! Ngerasa kesel ngeliat keadaan Indonesia, berarti kita masih peduli dengan negara kita ini. Bilamana ada yang peduli, masih ada harapan bagi kita untuk membuat perubahan dan menjadikan negeri ini lebih baik.

Yang mengkhawatirkan, justru apabila kita ngerasa semuanya baik-baik aja. Apabila kita ngerasa gak ada yang perlu dikhawatirkan karena kita masih bisa hidup enak meskipun ada segudang masalah yang menimpa negeri ini. Karena, itu bisa jadi tanda awal bahwa kita udah gak peduli lagi. Tapi jangan-jangan, gejala ini udah tampak di kalangan pejabat ya?!

Catatan: Untungnya, kemaren United menang 0-3 dari Aston Villa. Yah, mudah-mudahan mereka bisa terus main bagus dan gak kalah lagi sampe akhir musim. Hidup United!

Friday, December 08, 2006

Curhatan Gak Bermutu

Dewi “Dee” Lestari (tau kan, penulis Supernova & mantan RSD) pernah bilang, dia gak pernah mencari ide. Ide ada di mana-mana; soal apakah dia bisa “menangkap” ide tersebut atau tidak, bergantung dari kepekaannya terhadap keberadaan ide-ide itu. Ternyata, memang begitulah adanya.

Sejak aku mulai menulis dengan rutin di sini, aku merasa jadi lebih peka terhadap ide. Aku merasa HARUS selalu menulis sesuatu sehingga akhirnya aku memandang semua hal dengan kritis. Kenapa ini bisa terjadi; harusnya gimana; pendapatku tentang hal itu; dsb. Tentu aja keluarannya gak sebanding dengan orang lain yang udah terbiasa menulis, tapi lumayanlah, sebagai latihan untuk berpikir kritis.

Sayangnya, udah sebulan ini aku gak sempat nulis apapun di blog ini. Percaya atau enggak, aku bener-bener sibuk. Ada kerjaan lain yang lebih penting, misalnya ujian pemrograman yang cukup bikin aku ketar-ketir, nyiapin resume, dll. Akibatnya, kepekaanku terhadap ide sekarang jauh menurun. Beberapa bulan lalu, ide-ide gila bisa berdatangan waktu lagi naik angkot, waktu lagi nungguin temen di kampus; kapanpun dan dimanapun, deh. Tapi sekarang, bahkan saat aku berpikir keras pun, ide yang menarik sama sekali gak muncul.

Tapi, ide emang harus dijemput. Kalo aku terus-menerus mengharapkan kemunculan ide spektakuler, kayaknya blog ini gak bakalan diisi dan aku gak bakal melangkah kemana-mana. Kesimpulan pertama, menulis harus dibiasakan; kalo enggak, untuk memulainya lagi bakalan susah. Kesimpulan kedua, saat ini aku belum bisa menangkap ide brilian untuk membuat tulisan yang keren, karena kepekaanku sudah menurun (lagi). Kesimpulan ketiga, curhatan gak mutu macam ini masih lebih mending daripada gak nulis sama sekali. Ya, sudahlah. Mudah-mudahan tulisan berikutnya jauh lebih keren. Cabut dulu ah!

Thursday, November 02, 2006

........*..

Manusia itu emang kurang ajar banget deh. Saat Allah hanya menilai orang dari ketakwaannya, manusia justru menilai orang dengan berbagai parameter yang sering tidak seharusnya digunakan untuk menilai seseorang. Bingung?

Gini nih. Kalo dari sudut pandangku (bukan menurut Allah ya; kalo itu sih gak tau), ketakwaan menentukan kualitas hidup seseorang. Bagaimana dia menjalani hidupnya, mempengaruhi hidup orang lain/masyarakat, berperilaku terhadap lingkungan (hasilnya baik atau buruk?)--itu semua erat banget dengan “ketakwaan”; jadi wajar aja kalo “ketakwaan” itu dinilai dan dijadikan faktor pembeda.

Sebaliknya, manusia acapkali membedakan orang lain berdasarkan kriteria seperti asal-usul, tampang, status sosial dan kemudian membuat penilaian berdasarkan kriteria superfisial (Bahasa Indonesianya? Permukaan? Gak cocok ah!) macam itu. Penilaian superfisial yang kemudian mengakibatkan pembedaan perlakuan.

Itu tuh yang namanya diskriminasi. Diskriminasi muncul dalam berbagai bentuk dan rupa, tapi secara umum berakar dari dua hal: menganggap remeh orang lain dan ketidakpedulian.

Contoh bagus (jelek sih, sebenernya) tentang ini tampak dari peristiwa yang menimpa seorang alumnus Universitas Airlangga (Unair) baru-baru ini. Sang alumni ini mengalami kecelakaan sewaktu ia masih kuliah sehingga akhirnya kakinya harus diamputasi. Namun, keterbatasan ini sama sekali tidak menghalanginya dan ia berhasil lulus dengan menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Lulus dengan pujian (Cum Laude = dengan pujian) pula. Sayangnya, prestasi akademik yang baik sama sekali tidak dihiraukan oleh para pencari jasa. Begitu melihat bahwa orang ini “cacat”, langsung ditolak. Akhirnya, ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di almamaternya--Unair. Tak disangka, tak dinyana, ia ditolak juga oleh almamaternya. Almamater yang tanpa ragu memberinya pujian saat lulus, namun sekaligus menganggap bahwa ia tidak layak bekerja di sana--terlepas dari segala prestasi akademis sang alumnus--hanya karena dia “cacat”.

Terserah Unair mau bilang apa, tapi yang jelas mereka telah berlaku diskriminatif. Mungkin mereka menganggap bahwa “kecacatan” seseorang akan mengganggu kinerjanya, entah bagaimana caranya; jadi buat apa mempekerjakan orang macam itu? Mungkin juga mereke berpendapat, untuk apa repot-repot mempekerjakan orang “cacat” yang mungkin bakal ngeribetin dengan segala kebutuhan khususnya, gak peduli seberapa mampunya dia, pada saat masih banyak orang lain yang “gak cacat” untuk dipekerjakan? Variasi alasannya bisa banyak; tapi balik lagi, semuanya berakar dari perasaan meremehkan orang lain dan ketidakpedulian.

Diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas, seperti pada contoh di atas. Soalnya, saat kita menjadi bagian dari mayoritas, ada kecenderungan untuk menganggap orang-orang yang berbeda dengan kita “aneh”, entah disadari atau tidak; yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan timbulnya perasaan meremehkan atau tidak mempedulikan.

Tapi jangan salah loh, bukan berarti gak ada diskriminasi minoritas terhadap mayoritas. Inget sistem politik apartheid? Atau kolonialisme Belanda di negara kita yang membagi-bagi masyarakat ke dalam berbagai golongan (dengan hak dan kewajiban yang berbeda pula)? Tentu saja, kalo melihat kedua contoh itu kita mungkin mendapat kesan bahwa diskriminasi macam ini adalah peninggalan masa lalu. Kalo saat ini masih ada diskriminasi minoritas terhadap mayoritas, pasti banyak yang protes dan kalo banyak yang protes, pasti tindakan diskriminatif itu bisa segera dibasmi. Bener kan?! Salah.

Sampai sekarang, aku masih denger perusahaan yang mengutamakan “keanggotaan dalam kelompok etnis tertentu” dalam perekrutan karyawannya. Katanya sih karena anggota kelompok etnis ini tuh rajin dan berdedikasi tinggi, beda ama anggota kelompok etnis lain yang dianggap pemalas. Bisa juga karena alasan “kekeluargaan”; artinya karena anggota kelompok etnis ini pada dasarnya adalah keluarga besar dan keluarga harus saling menolong, jadi merekalah yang diutamakan. Terserah deh. Tapi sebetulnya alasan mereka lagi-lagi variasi dari: menganggap rendah orang lain dan ketidakpedulian.

Atau yang lebih miris lagi, diskriminasi yang dilakukan secara tidak sadar (atau sadar?) dalam bentuk liberalisasi pendidikan. Lembaga pendidikan milik negara “dipaksa” menjadi badan hukum yang berdiri sendiri, yang harus mencari sumber dana operasional dll sendiri. Akhirnya, biaya kuliah makin mahal, dibuka jalur khusus yang uang pendaftarannya hanya sanggup dibayar oleh orang-orang kaya yang jumlahnya di Indonesia ini minoritas. Dan makin banyak orang Indonesia yang gak bisa mengenyam pendidikan karena gak sanggup membayar biayanya. Apa bukan diskriminasi minoritas terhadap mayoritas tuh namanya?

Catatan: Ada yang bisa nebak gak, kenapa judulnya “........*..”?

Sunday, October 15, 2006

Untuk Tujuh Turunan

Apa persamaan Pengepungan Osaka 1614-1615 dengan mahasiswa SBM-ITB? Sekilas emang sama sekali gak ada hubungannya, tapi aku berhasil menemukan persamaan di antara keduanya secara ajaib. Bukan karena aku nyari-nyari loh, tapi benang merah itu tiba-tiba saja terlihat jelas di pikiranku. Oke, mulai aja deh!

Mahasiswa S1 SBM-ITB itu kaya-kaya. Orang tuanya, maksudku. Program S1 SBM-ITB yang dibuka sejak tiga tahun lalu menerima 100% mahasiswanya lewat jalur USM (yang juga dikenal sebagai jalur 45 juta, meskipun para mahasiwa yang berhasil masuk semuanya nyumbang lebih dari itu). Uang bayaran mereka juga dihitung per-SKS yang diambil, bukan pukul rata seperti mahasiswa program studi lain di ITB; kayak di perguruan tinggi swasta gitu deh. Bukti nyata dari pernyataanku di atas (“Anak SBM kaya-kaya”) bisa dilihat di pintu masuk kampus ITB sebelah barat (yang deket dengan gedung SBM) yang sejak tiga tahun terakhir ini makin disesaki oleh mobil-mobil mewah (!) yang terparkir di sana.

Udah jadi rahasia umum bahwa di antara jurusan-jurusan IPS yang paling menjanjikan dari segi materi, jurusan Bisnis dan Manajemen adalah satu di antaranya. Apalagi bagi para lulusan perguruan tinggi terkemuka, pekerjaan yang bergengsi dan gaji yang menggiurkan bisa dibilang sudah di depan mata. Tapi, aku gak heran kalo mahasiswa SBM-ITB itu ada (atau banyak) yang ortunya merupakan pimpinan puncak perusahaan atau malah pemiliknya; dan mereka dipersiapkan untuk menggantikan/meneruskan kejayaan keluarganya.

Dari sini, izinkanlah aku melompat ke belahan dunia lain dan mundur beberapa abad untuk memaparkan masalah yang tampaknya tidak berhubungan sama sekali dengan anak-anak SBM-ITB (meskipun sebenarnya ada, menurutku): Pengepungan Osaka.

Kira-kira empat ratus tahun lalu, di awal abad ke-17, pemerintahan Jepang dipimpin oleh keluarga (klan? dinasti? emang apa bedanya sih?) Tokugawa. Sama seperti sekarang, Kaisar Jepang duduk dengan tenang di istananya di Kyoto; menikmati (?) kedudukannya sebagai setengah dewa.

Saat itu, (mantan) Shogun Tokugawa Ieyasu mulai merasa khawatir dengan menguatnya pengaruh keluarga Toyotomi (kisah tentang bagaimana keluarga Toyotomi berhasil menancapkan pengaruh dan mengumpulkan, ehm, harta yang melimpah terlalu panjang untuk diceritakan di sini). Pengaruh Toyotomi begitu besar sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa lebih baik mereka, dan bukan Tokugawa, yang diserahi tugas memimpin pemerintahan.

Dalam sebuah organisasi (dalam hal ini, negara), hanya boleh ada satu pemimpin tertinggi karena bila hal ini tidak terpenuhi, kekompakan seluruh organisasi yang jadi taruhannya. Oleh sebab itu, sangat wajar apabila Ieyasu berpendapat bahwa sentimen tersebut mengancam persatuan negara dan Toyotomi harus dipaksa untuk mengakui kekuasaan Tokugawa. Itu kalo mau berbaik sangka. Tapi, gak terlalu berlebihan juga untuk menduga bahwa unsur “mementingkan diri sendiri” juga ada dalam pikiran Ieyasu. Gak mungkin kan, dia rela-rela aja kekuasaan keluarganya diancam oleh pihak lain? Demi kelanggengan kekuasaannya (dan juga anak cucunya di masa depan), dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Singkat kata, karena cara halus tidak berhasil, akhirnya Tokugawa menyerbu istana Toyotomi di Osaka (tentu saja, setelah mereka menemukan alasan yang cukup “kuat” untuk menyerang Toyotomi). Penyerbuan tersebut berakhir dengan musnahnya keluarga Toyotomi dan Tokugawa bertahan sebagai pimpinan pemerintahan sampai Restorasi Meiji dua setengah abad kemudian.

Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa manusia punya naluri untuk mempertahankan apa yang dia punya dan kalo bisa sih diwarisin buat anak-cucu, meskipun dalam tingkat yang berbeda. Itu sebabnya ortu para mahasiswa SBM-ITB gak keberatan ngeluarin biaya yang relatif besar (bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kalo bagi mereka sih mungkin kecil) untuk ngebiayain anaknya supaya anaknya bisa sukses dan tetap hidup enak. Itu sebabnya Tokugawa Ieyasu memutuskan untuk menyerang Toyotomi di Osaka, karena dia pingin mempertahankan dan mewariskan kekuasannya untuk anak-cucu.

Kapanpun zamannya, dari manapun asalnya, dan meski dalam skala yang berbeda-beda, ternyata kalo udah soal harta dan tahta: manusia itu sama aja!

Catatan: Bukan, aku bukan penganut paham sosialisme atau yang semacamnya. Aku cuma mengungkapkan pendapat berdasarkan apa yang kulihat. Gak ada maksud untuk menyinggung orang lain juga. Tapi kalo ada yang gak setuju atau ada yang ngelihat “ketidakakuratan” dalam tulisanku, silakan memberi kritikan! Terakhir, makasih buat Eko yang udah minjemin DVD-nya (sehingga memberi aku inspirasi buat nulis ini).

Wednesday, September 13, 2006

Bahasa Kita

Beberapa tahun lalu, harian “Pikiran Rakyat” memuat sebuah artikel yang ditulis oleh seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dalam artikelnya, sang penulis mengecam kebiasaan anak muda zaman sekarang yang enggan berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan sering mencampuradukkan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Tidak lama setelah artikel itu dimuat, muncul artikel “balasan” yang pada intinya menyatakan bahwa tindakan tersebut (mencampuradukkan berbagai macam bahasa) bukanlah tindakan yang patut dikecam. Argumen yang dikemukakan oleh penulisnya, seorang mahasiswa, adalah bahwa fungsi utama bahasa adalah alat komunikasi. Jadi, selama semua pihak yang terlibat saling memahami maksud satu sama lain, apa salahnya menggunakan bahasa yang campur aduk?

Sebagai orang yang sering menggunakan Bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar, aku tepuk tangan dengan alasan yang dikemukakan si mahasiswa. Kesannya mencari pembenaran sih, tapi hal yang dikemukakannya memang benar adanya. Tapi di sisi lain, aku ngerti banget dengan “kesewotan” banyak orang yang gak suka melihat/mendengar penyisipan istilah/kata-kata asing dalam teks Bahasa Indonesia; padahal istilah tersebut ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Masalahnya, bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi (meskipun fungsi utamanya memang itu) namun juga merupakan identitas diri.

Sekumpulan orang baru bisa bersatu apabila mereka memiliki persamaan, entah itu persamaan kepentingan, latar belakang, peran dalam masyarakat; intinya sih, harus punya persamaan. Masyarakat Nusantara sepakat (?) untuk bersatu dan membentuk negara yang disebut ”Indonesia” karena persamaan nasib: sama-sama pernah dijajah Belanda. Itu sebabnya Kalimantan bagian utara gak termasuk Indonesia, soalnya wilayah itu dulu dijajah Inggris. Tapi gak lucu kan, kalo para pendiri negara ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia bersatu karena persamaan nasib?

Kalo kita liat Sumpah Pemuda, ada tiga unsur yang dinyatakan sebagai pemersatu yaitu bangsa, tanah air, dan bahasa. Dua unsur yang pertama merupakan konsep yang abstrak, gak ada wujudnya. Beda dengan bahasa. Bahasa Indonesia bisa didengar, diucapkan, ditulis. Jelas. Bahasa Indonesia merupakan penanda identitas nasional yang paling nyata.

Namanya juga bahasa persatuan, jadi idealnya Bahasa Indonesia bisa menyatukan seluruh bangsa Indonesia (terlepas dari perbedaan suku) karena di manapun sama aja. Tapi kenyataannya Bahasa Indonesia bisa punya berbagai versi (versi, bukan logat) bergantung pada penuturnya. Anak muda pake bahasa prokem, para sosialita pake bahasa gado-gado (bahasa asing, biasanya Bahasa Inggris, bercampur aduk dengan Bahasa Indonesia). Melihat fenomena tersebut, kekhawatiran para pemerhati Bahasa Indonesia sebenarnya sangat bisa dipahami. Apakah Bahasa Indonesia masih bisa mempersatukan kita apabila versinya aja udah beda-beda? Apakah kita masih bisa mempertahankan identitas nasional kita saat Bahasa Indonesia udah terlalu banyak "terkontaminasi" oleh bahasa asing?

Pendapatku soal masalah ini?

Aku bisa ngerti kenapa banyak orang yang sewot dengan menggejalanya penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar. Di sisi lain, aku juga bisa memahami kenapa banyak yang melakukan hal tersebut. Bahasa prokem, bahasa gaul, bahasa gado-gado atau apapun namanya, lahir karena masyarakat merasa nyaman menggunakannya; lahir karena kebutuhan. Yang penting, gunakanlah bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi. Gak ada salahnya berbicara dengan Bahasa Indonesia yang gak resmi dan "ancur-ancuran"; tapi kalo lagi ngomong di forum resmi atau nulis karya ilmiah, usahain pake Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan lupa!

Tuesday, August 29, 2006

(+) dan (-)

Manusia diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan. Tapi di dunia ini bukan hanya manusia yang diciptakan berpasang-pasangan. Segala hal di alam ini merupakan paduan dari dua hal yang berlawanan. Keduanya saling melengkapi. Yang satu jadi gak berarti apabila yang lain gak ada.

Contohnya kejadian Kamis lalu. Hari itu diawali dengan menggembirakan karena aku menyaksikan di berita bahwa Manchester United baru aja ngalahin Fulham 3-0. Bukan hanya itu, Chelsea juga dibabat Middlesbrough 1-2. Seakan itu belum cukup, sorenya aku disambut dengan berita gembira lain saat “Bos” Wiwin memberi kabar bahwa dia lulus ujian. Sayangnya, memang sudah hukum alam bahwa segala sesuatu itu diciptakan berpasang-pasangan. Sore itu juga, aku menerima kabar bahwa dua orang teman baikku gak lulus ujian penelusuran pustaka.

Keberuntungan dan kemalangan, keberhasilan dan kegagalan; semuanya merupakan “Hukum Alam” yang akan datang silih-berganti, entah kita menerimanya dengan senang hati ataupun tidak. Apakah kita ngerasa sedih pada waktu siang berganti malam atau sebaliknya? Enggak kan, soalnya kita udah sadar benar bahwa pergantian malam dan siang merupakan ketentuan Allah yang tak terbantahkan. Hukum alam. Jadi logikanya, kita harus bisa menerima keberuntungan/kemalangan dan keberhasilan/kegagalan dengan lapang dada sama seperti saat kita menyaksikan malam berganti siang atau sebaliknya.

Namun, selain rasional manusia juga merupakan makhluk yang emosional. Kesedihan yang dirasakan saat mengalami kegagalan merupakan reaksi yang wajar pula. Hanya saja, jangan sampai berlarut-larut dalam kesedihan. Dan cara yang paling ampuh untuk bangkit dari rasa sedih adalah berpikir rasional. Ingat bahwa kegagalan adalah hal yang adakalanya tak terhindarkan. Ketentuan Allah yang harus dijalani. Hukum alam.

Pendekatan inilah (berpikir rasional; ingat bahwa keberhasilan dan kegagalan sama-sama merupakan “Hukum Alam”) yang membuatku tetap optimis menghadapi statusku sebagai mahasiswa yang lulusnya telat. Kalo aku bersikap emosional dan terus-terusan menyalahkan orang lain ataupun diri sendiri, bisa-bisa yang ada stres jadinya. Siapa tau, di balik sesuatu yang (tampaknya) negatif ada hal positif yang bisa kita ambil. Dan mungkin pula, sesuatu yang positif ternyata membawa hal negatif. Yin&Yang. (+) dan (-). Dua sisi kehidupan yang tak terpisahkan.....

Nuhun Pisan!

Alhamdulillah, setelah sepuluh semester (!) dan melewati berbagai masalah, akhirnya aku lulus juga. Tadi baru aja aku sidang dan siang ini langsung diumumin hasilnya. Sayang sekali, kebijakan SF-ITB gak ngebolehin mahasiswa untuk mengucapkan terima kasih dengan panjang lebar di buku TA. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk menuliskan ucapan terima kasihku kepada semua pihak yang udah membantuku melewati masa-masa sulit di sini.

Allah SWT – yang sudah berkehendak agar aku lulus tahun ini dan atas segala pelajaran yang diberikan-Nya kepadaku.
Orang tuaku – yang udah bersabar menghadapi “kebandelan” anaknya dan rela menyediakan segalanya demi anaknya.
P’Dani & P’Sigit – yang udah menyelamatkanku dari jurang ke-nggakjelasan dan dengan penuh kesabaran “nguber-nguber” aku saat aku memutuskan untuk kabur.
P’Toto dari Fisika LIPI – yang udah ngukurin sampelku, termasuk sampel buat DSC yang jumlahnya 15 biji (!).
Dosen-dosen Sostek – yang mengajariku untuk melihat dunia dari sisi lain.
Pustakawan di Perpus Pusat dan SF ITB – yang udah nyariin dan minjemin buku-buku berharga.
Wida, Rani & Riri – teman-teman seide yang sering banget mendengar ide-ide gilaku.
Shofi – yang koleksi DVD dan keanggotaannya di Ardent sering kupinjem, yang udah nularin aku “demam Korea”, yang kosannya sering ditempatin buat belajar/nonton bareng dan ditebengin, temen nonton.
Wiwin – yang koleksi DVD/bukunya sering kupinjem, yang kosannya sering ditebengin buat belajar/nonton/makan baso.
Kiki – yang ngobrolnya seru dan enak diajak diskusi.
Neti – sesama pecinta Harry Potter dan baso Mandeep.
Lala – yang bijaksana banget, meskipun kadang gubrak juga.
Miza – yang keanggotaannya di Pitimoss sering kupinjem.
Inge – yang membawa makanan enak dan gosip hangat di acara belajar bareng.
Dhita & Nilam – yang udah memberi dukungan moral selama TA, yang barang-barang dan lacinya kupinjem dan kutebengin, yang udah ngajakin belajar bareng.
Ika – yang buah pikirannya banyak memberikan pencerahan.
Yeyen – temen ngobrol ngalor-ngidul berjam-jam.
Clare – yang selalu bersedia memberikan informasi.
Aam, Teja & Lita – temen se-KK yang sering ditanya-tanya dan dimintain tolong.
Lidya – yang ovennya sering kupinjem.
Murat – yang menerima teror SMS dariku.
Anto – yang rutin beli Animonster dan ShonenMagz, termasuk pas aku gak punya duit.
P’Badi – yang udah menangkap tikus dan bersedia ngepel lantai lab meskipun segera sesudah itu langsung kuinjek-injek lagi.
Orang-orang di Ardent dan Pitimoss – udah minjemin VCD, DVD, dan buku-buku yang oke punya.
J. K. Rowling – yang udah menciptakan dunia ajaib dan membaginya dengan semua orang.
Paolo Coelho – yang memberikan keberanian lewat ceritanya.
CLAMP – yang meskipun ceritanya aneh-aneh tapi dalem banget.
Kobayashi Jin & Fujio Akatsuka – yang manganya bikin aku ketawa terbahak-bahak.
Watsuki Nobuhiro – yang ceritanya menghibur dan informatif.
Elex, Level Comics, M&C – yang udah nerbitin manga yang seru-seru.
Radiohead & kontributor OST Card Captor Sakura – yang musiknya memberi inspirasi, juga nemenin aku pas belajar dan ngerjain tugas.
Para pemain Manchester United – yang kerja kerasnya untuk meraih kemenangan selalu menghiburku (sekaligus juga bikin bete kalo mainnya gak sungguh-sungguh).
National Geographic – yang menghadirkan dunia.
Para penulis di FanFiction.Net – yang udah bikin cerita yang seru sampe yang enggak banget, tapi tetep menghibur (cukup menghibur untuk bikin aku ketagihan).
HOLers – yang udah berbagi kegilaan terhadap Potterverse.
Blogspot – yang udah menyediakan lahan untung menuangkan pikiran-pikiran anehku.

Nuhun pisan sadayana!

Monday, July 31, 2006

Seminggu Sebelum Seminar

Gak kerasa (!), seminggu lagi seminar. Terus terang, aku cukup panik juga menghadapinya. Bukan apa-apa, masalahnya hasil TA-ku rada-rada aneh.

Pertama, termogram DSC (Differential Scanning Calorimetry)-nya. Waktu ngasihin sampel ke LIPI aku udah bilang ke Pak Operatornya (yang sudah sangat membantu selama ini; makasih banyak ya, Pak) bahwa aku mau suhunya discan sampai 280oC karena suhu leburnya natrium diklofenak emang sekitar segitu. Namun entah kenapa, suhunya cuma discan sampai 200oC. Gimana coba? Solusi yang kupikirkan adalah ngukur suhu lebur ke-15 sampelku pake electrothermal. Setidak-tidaknya perubahan fasenya masih bisa dilihat, siapa tau ada salah satu sampel yang suhu leburnya jadi beda (meskipun aku yakin enggak).

Tapi yang lebih membuatku stres adalah profil termogramnya yang mirip. Suhu puncak endotermiknya deket-deket gitu loh. Padahal difraktogramnya beda! Kumaha tah? Natrium diklofenak emang higroskopis, jadi aku khawatir termogram yang “aneh” itu emang dihasilkan karena zatnya emang udah keburu menyerap air dari udara (mengingat analisis sampel baru dilakukan 4-7 hari setelah aku nyerahin sampelnya; maklum lah, orang LIPI kan sibuk). Emang sih, zatnya kuserahkan dalam plastik bersegel tea. Tau kan, yang biasa buat nyimpen obat? Tapi siapa tau kan?

Hal kedua yang juga cukup mengkhawatirkan adalah potret dari mikroskop elektron. Kayaknya perbesarannya terlalu gede deh. Jadinya yang keliatan bukan satu partikel tapi bagian dari partikel, kayak patahan-patahannya. Nganalisis datanya aja pusing. Belum lagi bikin draft seminar, buku TA, belajar buat seminar dan sidang? Gimana tuh?

Kalo masalahnya bisa selesai dengan ngulang DSC dan SEM (Scanning Electron Microscope) sih gak masalah. Yang jadi masalah adalah, untuk mengulang keduanya perlu duit yang gak sedikit mengingat alat-alatnya gak ada di SF-ITB. Kalo dihitung-hitung aja, sekarang aku (orangtuaku) udah ngeluarin hampir empat juta. Mampus gak tuh? Kalo orangtuaku milyarder sih mungkin oke-oke aja, tapi sayangnya kan bukan. Makanya aku berdoa, semoga masih ada yang bisa “dikorek” dari data yang kuperoleh. Aamiin!

Sekarang aku masih menganalisis difraktogram. Meskipun awalnya lieur, tapi aku udah mulai menemukan titik terang dan bahkan mulai menikmati (!). Apalagi ditemani dengan iringan soundtrack Card Captor Sakura (maaf ya, aku emang maniak CLAMP ^^) yang kuputer ulang entah berapa ratus kali. Sebetulnya sih aku masih bisa terus, tapi sekarang udah tengah malam. Padahal besok aku harus dateng ke kampus pagi-pagi, jadi tidurnya gak bisa disambung abis sholat Subuh. Aku tea, susah bangun! Ditambah lagi, menurut P’Kaka (dosen Kontek pas TPB) belajar itu harus diakhiri saat kita lagi ngerasa ngerti (bukan pas lagi pusing karena gak ngerti) supaya mood kita bagus pas mau mulai belajar lagi.

Jadi, sekarang aku mau udahan dulu ah. Dah! Doakan saya ya!

Friday, July 21, 2006

Renungan Menjelang Hari Wisuda

Gak kerasa, besok udah hari wisuda lagi. Ini bakal jadi keempat kalinya aku menyaksikan teman-temanku lulus. Suasana wisuda emang selalu menyenangkan. Bahkan waktu aku baru masuk ITB dan anak-anak yang diwisuda bulan Oktober tahun itu sama sekali gak ada yang kukenal, aku tetap aja seneng menyaksikan prosesi yang menyertai kelulusan mereka. Mulai dari ngeliat nama mereka dipanggil satu-satu (meskipun aku gak ngeliat secara langsung, tapi liat layar TV yang disediain di seputaran Sabuga); saat mereka diarak mengelilingi kampus dengan berbagai kendaraan yang aneh-aneh seperti mobil pemadam kebakaran, delman, dan becak (tapi sekarang arak-arakan udah dilarang oleh rektor); sampai saat mereka dilemparin air oleh teman-teman sejurusan/sehimpunan.

Jadi, kebayang gak sih, gimana senangnya aku saat ngeliat teman-temanku sendiri--orang-orang yang kukenal dengan baik, rekan-rekan seperjuanganku--lulus? Kebahagiaanku jadi terasa berlipat-lipat. Makanya, aneh juga waktu ada yang bilang, "Apa gak miris tuh, teman-temanmu pada lulus tapi kamu belum?". Masalahnya, aku sama sekali gak pernah merasa miris atau kecewa dengan keadaan ini.

Seorang temanku pernah bilang, manajeman pikiran-lah yang membuat setiap orang memandang persoalan dengan cara yang berbeda. Bingung? Gampangnya sih gini. Dalam kasus di atas, ada orang yang kecewa saat ngelihat temannya lulus dan dia enggak, ada juga senang-senang aja (kayak aku). Hal ini bisa terjadi karena kedua orang itu menyikapi masalah dengan cara yang berbeda. Orang yang satu tenggelam dalam kekecewaannya dan yang lain memutuskan untuk tetap berpikir positif. Itu sebabnya mereka menunjukkan reaksi yang berbeda dalam kondisi yang sama.

Jadi, apa inti dari omonganku yang panjang lebar di atas? Intinya, kebahagiaan dan ketenangan hanya bisa ditemukan dari diri sendiri. Kalo kita merasa bisa memandang setiap hal secara positif, selalu berpikir optimis, dan juga bersyukur atas apa yang kita terima; kita gak bakalan mudah larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Harta yang banyak, status sosial yang terpandang, pujian dari orang lain--semua itu gak bisa memberi kita kedamaian kalo kita gak berdamai dengan diri kita sendiri, kalo kita gak mencoba memperbaiki manajeman pikiran kita.

Akhir kata, Selamat Wisuda Teman-teman!

Wednesday, July 12, 2006

Alih Bahasa

Penerjemahan sama sekali bukan kerjaan yang mudah. Aku pernah dapet tugas nerjemahin teks bahasa Inggris ke bahasa Indonesia sebanyak dua halaman dan ampun deh, bener-bener bikin jungkir balik. Padahal bahasa Inggrisku gak jelek-jelek amat loh. Kalo cuma mengalihbahasakan isi teks tersebut kata per kata sih emang gampang. Masalahnya, kita harus memastikan agar maksud si penulis tetap tersampaikan meskipun dalam bahasa yang berbeda. Ini yang susah.

Meskipun aku bisa bersimpati dengan para penerjemah (yang kerjaannya emang susah), tetap aja aku merasa terganggu kalo nemuin terjemahan yang “kurang oke”. Jadi, maaf-maaf aja ya.

Adakalanya suatu kata salah diterjemahkan. Misalnya saat seseorang yang gak punya latar belakang di bidang medis harus nerjemahin istilah-istilah medis, wajar aja kalo kemudian dia salah nerjemahin. Aku juga pernah baca sebuah buku yang nyebut-nyebut negara bernama “Algeria”. Taruhan, penerjemahnya pasti gak tau kalo dalam bahasa Indonesia negara “Algeria” ini dikenal dengan nama “Aljazair”. Dalam kedua kasus ini, kesalahan penerjemahan terjadi karena pengetahuan si penerjemah yang kurang. Biasanya, kasus macam ini gak terlalu fatal karena setidaknya para pembaca masih bisa memahami maksud dari teks yang diterjemahkan.

Kesalahan penerjemahan kata juga bisa terjadi kalo penerjemahnya gak memahami isi dari teks yang diterjemahkannya. Biasanya kasus ini terjadi saat teks yang diterjemahkan sebenarnya ditujukan untuk masyarakat umum/orang awam. Kesalahan ini lebih fatal daripada yang pertama karena kalimat yang diterjemahkan bisa jauh berbeda maknanya dengan kalimat dalam bahasa aslinya.

Contohnya kata “campaign” yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kampanye” (mudah-mudahan udah masuk KBBI). Mendengar kata “kampanye”, yang terbayang olehku adalah upaya untuk memperkenalkan diri kepada khalayak supaya memperoleh dukungan dari banyak orang. Misalnya kampanye pilkada atau kampanye iklan. Harusnya sih aku ngecek KBBI dulu, tapi arti “kampanye” dalam bahasa Indonesia yang kutau ya hanya sebatas itu aja.

Gimana kalo ada kata-kata “England’s World Cup campaign”? Aku pernah nemu kata-kata macam ini, yang diterjemahkan menjadi “kampanye Piala Dunia Inggris”. Nah loh, apa pula maksudnya? Apa Inggris bikin promosi besar-besaran ala pemilihan perdana menteri supaya bisa lolos ke Piala Dunia? Atau kampanye supaya bisa kepilih jadi tuan rumah Piala Dunia? Enggak lah. Dalam konteks ini, “campaign” berarti ”upaya untuk menembus Piala Dunia dan meraih prestasi yang baik di ajang ini”. Kalo diterjemahin jadi “kampanye” dalam bahasa Indonesia kan jadi beda banget artinya.

Ada lagi kesalahan penerjemahan yang lebih ajaib dari kedua contoh yang udah kusebutin di atas. Kata-kata yang salah diterjemahin sebenernya udah umum banget. Kalo sampe salah juga, gak tau deh kenapa bisa begitu. Apa karena editornya kurang cermat ato emang penerjemahnya gak kompeten(!), aku gak tau. Misalnya aja “monastery ” yang diterjemahin jadi “kerajaan” dan “physical education teacher ” yang diterjemahin jadi “guru fisika”. Aneh kan?!

Terjemahan “kurang oke” lain adalah terjemahan yang bertele-tele dan kegagalan dalam menangkap “suasana” yang ingin diciptakan oleh penulis aslinya. Terjemahan yang bertele-tele bisa terjadi karena kemampuan bahasa si penulis yang kurang baik. Seandainya suatu teks ingin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia misalnya, berarti kemampuan bahasa Indonesia si penerjemah kurang baik. Selain itu, bisa juga karena teks aslinya emang rumit. Misalnya pas baca terjemahan bahasa Indonesia “The Name of the Rose” karya Umberto Eco. Lieur pisan! Kalimat-kalimatnya bertele-tele dan susah dimengerti. Menurut orang yang udah pernah baca terjemahan Inggrisnya, “The Name of the Rose” emang rumit; dalam arti bahwa maknanya berlapis-lapis. Selain yang tersurat, banyak banget pesan yang tersirat di dalamnya. Gak aneh kalo menerjemahkannya pun susah.

Sedangkan tentang kegagalan menangkap “suasana” asli, hal ini mungkin karena penerjemahnya masih kurang pengalaman. Aku pernah baca suatu buku, yang menurut ulasan para kritikus (di negara asalnya) sih harusnya lucu banget. Bukan lucu karena banyak leluconnya, tapi karena cara bercerita si tokoh utama dalam buku ini yang lucu. Terjemahannya sih sekilas tampak 0ke-oke aja; gak ada kata-kata yang aneh, jalan cerita cukup mudah dimengerti, pemilihan istilah-istilah “gaul” dan bukan kalimat-kalimat baku karena tokoh utamanya adalah seorang remaja. Tapi entah kenapa, cerita yang harusnya lucu kerasa biasa-biasa aja.

Dari sekian banyak paparan di atas, dapat diambil kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa kerjaan penerjemah emang sulit. Penerjemah harus punya kemampuan dan kepekaan berbahasa yang baik, perbendaharaan kata yang lengkap, dan harus memahami budaya masyarakat penutur asli bahasa yang akan diterjemahkan. Penerjemah juga harus rela bersusah payah melakukan riset untuk lebih memahami teks yang akan diterjemahkannya.

Ngomong-ngomong soal penerjemah favorit, aku salut banget sama Ibu Listiana Srisanti. Beberapa buku yang diterjemahkannya adalah seri Harry Potter dan “Memoirs of a Geisha”. Terjemahannya oke banget! Entah gimana caranya, Bu Listiana selalu bisa membawa para pembaca ke dalam “suasana” dalam buku tersebut, meskipun bahasanya udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Sebagai pembaca setia Harry Potter, aku selalu mengagumi kemampuan beliau untuk mengalihbahasakan berbagai istilah-istilah ajaib dalam dunia Harry Potter seperti “The Mirror of Erised” menjadi “Cermin Tarsah” (erised=desire, tarsah=hasrat), “Weasley’s Wizard Wheezes” menjadi “Sihir Sakti Weasley”, “Whomping Willow” menjadi “Dedalu Perkasa”, dan masih banyak lagi. Kalo semua penerjemah sekeren Bu Listiana, kayaknya aku gak bakalan bisa protes lagi deh, he, he, he ^_^.

Thursday, July 06, 2006

Hukuman-hukuman Menakutkan

Di antara semua program TV, acara yang paling menggeuleuhkan bagiku adalah sinetron-sinetron “religius”. Ada dua alasan yang membuatku gak suka ama sinetron macam itu. Pertama, karena sinetron tersebut menjual hal-hal klenik dengan label agama. Liat aja judul-judul sinetronnya: “Rahasia Ilahi”, “Insyaf”, “Taubat”, “Hidayah”, dll. Kedua, karena produsernya beralasan bahwa sinetron “religius” yang dibuatnya dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Pernyataan yang jelas-jelas gak logis dan dibuat hanya untuk menutupi maksud sebenarnya yaitu memperoleh untung sebesar-besarnya.

Loh, kenapa gak logis? Kan sinetron itu menggambarkan berbagai siksaan yang diderita oleh orang-orang yang melanggar perintah Allah? Dengan menonton sinetron itu, kita kan akhirnya bisa selalu mengingat Allah dan gak akan coba-coba melanggar perintah-Nya. Ah, ceuk saha....

Menurutku, iman dan takwa, atau kepatuhan dalam melaksanakan peraturan, lahir bukan karena rasa takut, tapi karena kesadaran (lagi-lagi aku pake kata “sadar” ^_^). Contoh gampangnya nih, liat aja para pengendara motor. Pake helm semata-mata karena “takut” ditilang (atau bermasalah) ama polisi. Kalo pake helm pun, adakalanya cuma “helm-helm”-an, yang sebenarnya gak sesuai dengan standar keamanan. Yang penting cukup untuk menghindari masalah ama polisi. Padahal, mereka pasti tau kalo penggunaan helm bertujuan untuk menjaga keselamatan mereka juga. Giliran kecelakaan, terus gegar otak, baru deh nyadar.

Makanya, gak aneh juga kalo Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim ternyata malah dapet predikat jelek seperti negara no.3 terkorup di dunia. Padahal, kalo ajaran Islam bener-bener diterapkan oleh semua Muslim di Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari, gak bakalan kayak gitu deh. Masalahnya, balik lagi ke cara memperkenalkan Islam kepada anak-anak sejak kecil. Bukannya diperkenalkan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (sehingga segala perintah-Nya pun merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia), anak-anak malah ditakut-takuti dengan berbagai ancaman. Dosa lah, masuk neraka lah. Bukannya mengingkari keberadaan dosa atau neraka; tapi menurutku, kepatuhan yang didasari atas rasa takut akan hukuman gak akan bertahan lama.

Jadi, buat para produser sinetron-sinetron “religius”, cepetan insyaf deh. Jangan sampe ntar diazab Allah karena memakai kedok agama untuk meraih keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Ha! Emangnya ancaman itu ngefek buat mereka? Kayaknya enggak tuh!

Wednesday, June 28, 2006

Pilihan

Salah satu reputasi jelek alumni ITB di mata masyarakat adalah kecenderungan mereka untuk jadi “kutu loncat”. Tau kan, orang yang sering banget gonta-ganti kerja, dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain. Masih untung kalo pindah kerja setelah satu atau dua tahun, ada yang baru enam bulan, tiga bulan, sebulan, bahkan sehari (!) udah keluar dari kerjaannya untuk pindah ke tempat lain. Wajar aja kalo para employer pada protes.

Hipotesis yang paling umum diutarakan untuk menjelaskan fenomena ini ada dua. Pertama, kurangnya “penghargaan” (dengan kata lain, gajinya terlalu kecil---menurut mereka). Kedua, kurangnya tantangan sehingga si alumni cepat bosan dengan pekerjaannya sehingga akhirnya dia sering banget pindah kerja. Mungkin kedengerannya sombong banget, tapi itulah alasan yang sering kudengar. Tapi ada satu alasan, yang menurutku jauh lebih bisa menjelaskan fenomena tersebut, daripada kedua hipotesis di atas. Alasan yang belum pernah terpikir olehku, sampai beberapa hari lalu.

Ceritanya, aku ngobrol dengan salah seorang teman tentang suasana di dunia kerja. Temanku ini udah lulus dan sempat kerja di sebuah perusahaan beberapa bulan, tapi sekarang dia udah keluar (tapi gak pindah ke perusahaan lain, ya; sekarang dia lagi “nganggur”) karena merasa gak nyaman ama suasana kerjanya. Akhirnya, topik “kutu loncat” muncul juga dalam pembicaraan kami. Waktu kutanya pendapatnya tentang hal ini, temanku bilang bahwa menurut pendapatnya, hanya satu hal yang bikin banyak alumni ITB jadi “kutu loncat”: mereka gak mantap dalam menetapkan pilihan.

Yah, namanya juga hidup. Setiap hari kita pasti harus membuat berbagai keputusan, memilih satu di antara sekian banyak pilihan. Mau kuliah atau bolos? Mau naik angkot Cisitu-Tegalega atau Caringin-Sadangserang? Dan banyak pilihan lain yang jauh lebih pelik dari sekedar milih angkot atau menentukan apa yang harus dikerjakan dalam sehari. Apapun pilihan akhir kita, hendaknya dibuat dengan penuh kesadaran. Sayangnya, banyak orang yang membuat pilihan secara “tidak sadar”. Inilah yang membuat dia gak mantap dalam menjalani pilihannya.

Membuat pilihan dengan sadar berarti memahami segala konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan tersebut, entah itu konsekuensi yang mengenakkan ataupun yang tidak. Ada orang yang memilih untuk dipilihkan jalannya oleh orang lain dan ada juga orang yang memilih untuk mengikuti arus; mungkin keliatannya gak punya pendirian banget, tapi hak orang itu sendiri buat ngambil keputusan. Masalahnya adalah, apakah dia membuat pilihan itu dengan sadar? Apakah dia paham benar dengan konsekuensi dari pilihannya?

Misalnya nih, ada seorang anak yang pingin masuk Seni Rupa tapi ortunya pingin dia masuk Teknik. Akhirnya anak itu memutuskan untuk membiarkan ortunya memilih untuknya, dengan kata lain dia akhirnya setuju untuk masuk Teknik. Kalo ternyata dia malah males-malesan pas kuliah, berarti pilihan itu dia buat secara “tidak sadar”. Kalo dia “sadar” dengan pilihannya, harusnya dia udah menduga bahwa dia bakal butuh energi ekstra untuk menjalani kuliah itu mengingat dia gak terlalu berminat ama pelajarannya.

Contoh kedua adalah kejadian klasik yang banyak dialami oleh para seniorku. Dosenku di Farmasi udah pernah bilang kalo gaji seorang Apoteker di perusahaan farmasi itu kecil. Gak sebanding ama kerjaan dan tanggung jawabnya yang berat lah. Mengetahui fakta seperti itu, seorang Apoteker yang memilih untuk kerja di industri farmasi dengan “sadar” harusnya gak ngomel-ngomel pas nerima gaji yang “kecil”. Kalo mau dapet duit banyak mah jangan kerja di industri farmasi, mending jadi wirausahawan (itu kata dosenku loh). Kalo masih ngomel-ngomel juga, jangan-jangan dulu dia memilih secara “tidak sadar”.

Yah, mumpung aku masih kuliah, belum terlambat untuk berpikir masak-masak tentang masa depanku. Aku gak mau nantinya menyesal karena membuat pilihan tanpa “kesadaran”.

Thursday, June 22, 2006

Prestasi dan Prestise

Pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA dan sederajat tanggal 19 Juni lalu cukup menimbulkan kehebohan. Bukan saja karena peserta yang lulus jauuuuh lebih besar daripada tahun lalu (lebih dari 90%), tapi karena banyak protes dari para peserta yang tidak lulus berkaitan dengan status mereka. Guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan juga ikut protes. Masa keberhasilan seseorang hanya ditentukan oleh ujian yang cuma tiga hari dan masing-masing tiga jam lamanya, gimana dengan hasil kerja keras siswa selama tiga tahun, kecerdasan seseorang kan gak hanya diukur dengan kemampuannya dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris/Matematika/Ekonomi, UAN menghasilkan dikotomi pintar (lulus) - bodoh (tidak lulus); begitulah beberapa arguman yang mereka kemukakan.

Sejak tiga hari lalu, berita di koran dan TV dipenuhi dengan kisah-kisah tragis tentang murid SMA yang gak lulus UAN. Kisah yang diangkat biasanya tentang murid-murid yang sehari-hari berprestasi. Ada yang juara Olimpiade Fisika, ada yang udah diterima kuliah di luar negeri, ada yang udah keterima di PTN lewat jalur PMDK, ada yang selalu jadi juara kelas sejak SD; murid-murid yang cemerlang lah, pokoknya.

Sebenarnya, peristiwa kayak gini udah bukan berita baru. Sejak aku SD, tiap tahun pasti selalu kedengaran kasus tentang murid-murid berprestasi yang nilai EBTANAS-nya jeblok atau gak lulus UMPTN. Kalo sekarang kasus UAN jauh leboh heboh, karena hasil UAN sangat menentukan kelanjutan kehidupan para siswa. Beda dengan EBTANAS/ujian zaman dulu atau UMPTN/SPMB; meskipun hasilnya jeblok, gak menghambat kelanjutan studi siswa. Siswa yang gak lulus UAN gak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Siswa SMA/sederajat yang gak lulus UAN gak bisa daftar SPMB (dan PTS pun kayaknya gak mau nerima mereka). Meskipun bisa ngambil Ujian Paket C, emang ada perguruan tinggi yang mau nerima ijazah Paket C?

Terlepas dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh para “penentang” UAN (yang kusetujui dengan sepenuh hati), menurutku “kekejaman” UAN hanyalah representasi dari “kekejaman” masyarakat. Masyarakat kita tampaknya gampang sekali memberikan penilaian secara hitam-putih, mengagung-agunkan yang satu dan mengabaikan yang lain. Mirip kayak sistem UAN yang mengagung-agungkan mata pelajaran tertentu dengan nilai tertentu dan mengabaikan segala sesuatu yang lain.

Biasanya masyarakat lebih toleran terhadap para murid berprestasi (nilainya sehari-hari bagus) yang gak lulus ujian/nilai EBTANASnya jeblok/gak lulus SPMB. Mungkin kondisinya lagi gak fit. Mungkin pas ujian gugup. Mungkin ada kesalahan teknis. Apapun alasan kejeblokan atau ketidaklulusan mereka, masyarakat bisa dengan mudah memaklumi. Gimana kalo yang gak lulus kebetulan adalah murid yang sehari-hari nilainya biasa aja, bahkan cenderung jelek? Aku yakin orang-orang gak peduli. Pasti orang beranggapan, wajar aja gak lulus, sehari-hari nilainya kan jelek. Padahal, pasti ada alasan juga di balik jeleknya nilai seorang murid, gak adil juga kalo kita langsung memberi cap bodoh atau malas. Tapi sayangnya, kalo untuk murid macam ini, gak banyak orang yang mau mencoba memahami alasan di baliknya. Apa gak “kejam” tuh namanya?

Sekolah sebagai institusi pendidikan juga gak lepas dari tindakan-tindakan “kejam”. Penggunaan istilah-istilah seperti sekolah unggulan/non-unggulan, kelas IPA/bukan IPA (penggunaan istilah ini kerasa banget di SMA-ku dulu, yang kelas IPA-nya ada sepuluh dan kelas IPS-nya cuma satu) adalah beberapa contoh diskriminasi/”kekejaman” yang dilakukan secara tidak sadar (atau sadar?) di dunia sekolah. Sayangnya, guru dan orang tua yang harusnya memberi dorongan untuk anak-anaknya acapkali juga melakukan tindakan “kejam”, entah disadari atau tidak. Aku inget pernah dihina guruku pas SMA gara-gara gak ngerjain soal dengan cara seperti yang dicontohkannya (“Lamun kieu mah moal bisa asup UMPTN!”). Aku punya temen yang “disuap” ortunya supaya pindah dari SMA asalnya ke SMA-ku yang kebetulan merupakan “SMA unggulan” (“Kalo mau pindah ntar dikasih mobil.”).

Ujung-ujungnya, murid lagi yang jadi korban. Korban kebijakan pemerintah yang ngaco, korban ambisi orang tua/guru/sekolah demi mencapai prestise. Kasian banget deh!

Thursday, June 15, 2006

Nilaiku.....

Hari ini, 15 Juni 2006, adalah hari terakhir pengumpulan nilai Semester II 2005/2006. Untunglah, dosen-dosenku pada disiplin. Jadinya, hari ini nilai-nilai kuliah udah keluar. Kebetulan semester ini aku cuma ngambil dua mata kuliah. Sebenernya sih di FRS aku ngambil lima mata kuliah, tapi yang tiga bukan bener-bener ”kuliah” (Tugas Akhir II, Seminar, Sidang Sarjana). Jadi, wajar aja dong kalo aku berharap dapet nilai bagus untuk kedua kuliah yang kuambil. Apalagi kedua kuliah ini adalah pilihanku sendiri, bukan mata kuliah wajib yang dipaketin ama ”Jurusan” (sekarang namanya ”Sekolah Farmasi ITB”, tapi rasanya aneh kalo nyebut ”Sekolah”; ntar dikira SMF lagi).

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ternyata oh ternyata, aku cuma dapet nilai C untuk mata kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi. Kaget juga sih, habis baru pertama kali ini dapet C (kalo E sih udah pernah, he, he, he ^_^). Bohong aja kalo bilang aku gak kecewa. Aku EMANG kecewa. Soalnya, aku udah nargetin nilai B untuk mata kuliah ini. Bukan berarti aku ini orang yang maniak nilai, tapi bikin target gak ada salahnya kan?! Kalo kejadian ini berlangsung tiga tahun lalu, yakin deh, aku pasti bakal kecewa berat (saat itu, aku masih seorang maniak nilai); terus sampe gak bisa tidur segala kalo sampe dapet nilai C. Tapi saat ini, aku berusaha melihat segala hal dengan logis dan positif.

Pertama, kayaknya aku harus mikir ulang deh, kalo sampe ngerasa kecewa cuma gara-gara nilai jelek. Masalahnya, emang artikel-artikel yang kubuat untuk UTS dan UAS gak mengesankan sama sekali. Artikel yang kubuat pas UTS bener-bener basi. Sama sekali gak ada istimewa-istimewanya, kayak resume buku Mikrobiologi+Farmakologi gitu deh. Dan UASnya, dugaanku nilainya jelek karena emang kurang sesuai ama yang diminta ama si Bapa. Untuk UAS, kita kan disuruh bikin feature, artikel dengan sentuhan kemanusiaan, tapi artikelku kalo diliat isinya seakan-akan cuma berisi ringkasan opini orang. Gitu aja. Jadi, wajar dong kalo akhirnya si Bapa ngasih nilai C.

Kedua, selama ini aku beberapa dapet nilai yang sebenernya gak layak kudapatkan. Coba aja tanya aku tentang Kalkulus II atau Analisis Kimia Anorganik. Pasti aku gak berkutik. Padahal untuk kedua mata kuliah itu, nilaiku A loh. Dan nilai kan seharusnya mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap materi kuliahnya. Jadi, gak selayaknya aku mengeluh atas nilai jelek yang layak kuterima kalo selama ini aku gak pernah protes pas dapet nilai bagus yang gak seharusnya kudapat.

Terakhir, terlepas dari nilaiku yang tidak memuaskan, aku bener-bener menikmati kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi. Banyak banget tips dan dorongan semangat yang diberikan oleh dosenku selama kuliah. Berkat kuliah itu, aku jadi makin termotivasi buat nulis. Emang kualitasnya masih jauh dari bagus sih, tapi yang penting kan pengalamannya itu. Bener gak?!

Wednesday, June 14, 2006

Kamu Keren, Kami Enggak

Dahulu kala, sekitar abad ke-19, ditemukanlah bukti peradaban kuno di daerah Afrika Sub-Sahara. Keberadaan peradaban kuno ditunjukkan oleh adanya kompleks bangunan yang tertata dengan rapi, semacam kota lah. Mungkin temen-temen udah pada tau kalo di masa itu, bangsa Eropa lagi giat-giatnya melakukan kolonisasi di Afrika; jadi gak aneh lah kalo yang “menemukan” (dan mempublikasikan) sisa-sisa peradaban ini, yang kemudian dikenal dengan nama Great Zimbabwe, adalah orang Eropa; tepatnya orang Inggris. Dasar bangsa Eropa/Barat zaman dulu orang-orangnya berpandangan etnosentris, dengan yakinnya mereka menyatakan bahwa: gak mungkin peradaban semaju ini dibangun oleh orang-orang berkulit hitam (ras Negroid). Great Zimbabwe pasti dibangun oleh orang-orang kulit putih (Kaukasia).

Bayangin, kalo sekarang ada seseorang yang bikin pernyataan kayak gitu, pasti dia udah dilemparin ama orang sekampung (atau malah orang sedunia, kali). Tapi anehnya, kayaknya gak ada yang gak sepakat dengan pernyataan itu; termasuk penduduk sekitar. Alasannya sih, karena Great Zimbabwe dibangun dari batu, sedangkan masyarakat sekitar membangun rumahnya dari rumput. Pasti penduduk sekitar gak nyadar kalo dengan bikin pernyataan begitu, mereka tanpa sadar udah mengiyakan klaim orang-orang Eropa bahwa orang berkulit putih jauh lebih superior daripada orang berkulit hitam.

Zaman sekarang, pandangan picik macam itu udah gak laku. Emang masih ada sih yang punya pikiran kayak gitu, tapi jumlahnya sangat sedikit. Apa juga yang membuat orang kulit putih jauh lebih superior dari orang-orang yang kulitnya gak putih? Sama sekali gak ada hubungan antara sebab (kulit putih) dan akibat (kemampuan intelektual yang tinggi sehingga bisa membangun peradaban tinggi pula), artinya pernyataan itu tidak logis. Di sisi lain, pernyataan itu secara empiris juga tidak tepat. Ilmuwan udah mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan genetik yang berarti antara orang-orang dari ras yang berbeda. Karena itu, secara intelektual pastinya gak ada perbedaan yang berarti juga dong.

Aku yakin, semua orang Indonesia pasti sependapat bahwa tidak ada “ras” yang lebih superior daripada yang lain. Mau kulitnya putih kek, sawo mateng kek, kuning kek, abu-abu kek; kalo masih sama-sama manusia mah sama-sama aja lah. Namun demikian, mengingat bahwa wilayah Indonesia ini dulu pernah dijajah bangsa Eropa selama berabad-abad (atau bertahun-tahun), pandangan etnosentrisnya orang Eropa zaman jebot tanpa terasa akhirnya melekat pada pikiran orang Indonesia (termasuk aku juga) tanpa sadar.

Salah satu hal yang menunjukkan ketidakpercayadirian masyarakat Indonesia terhadap dirinya dan kekaguman membabi-buta terhadap segala sesuatu yang “Barat” adalah keyakinan kalo barang buatan luar negeri (terutama buatan Eropa dan Amerika) kualitasnya jauh lebih baik daripada barang buatan Indonesia. Coba ya, kalo orang-orang “Barat” emang memproduksi barang-barang berkualitas baik, pastinya mereka juga cuma mau menerima barang-barang yang kualitasnya baik. Nah, kalo emang bener barang buatan Indonesia itu kualitasnya jelak, mana mau mereka menerima barang impor (barang jadi ya, bukan barang mentah) dari sini?

Pengalamanku sendiri membuktikan bahwa tidak benar kalo barang produksi luar (atau setidak-tidaknya, produsennya yang dari luar) selalu berkualitas lebih tinggi daripada yang bikinan dalam negeri. Buktinya, adikku beli sepatu bermerek terkenal (perusahaan yang markasnya ada di negara Eropa) merek “A”, baru setahun udah jebol. Sebaliknya, sepatu buatan Indonesia bermerek “S” yang kubeli pas kelas 5 SD, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sampe sekarang belum rusak (serius loh, sampe sekarang sepatunya masih ada di rumahku!).

Terus, kalo kita ngeliat orang-orang kaya yang nyekolahin anaknya di luar negeri, banyak yang ngirim anaknya untuk belajar di negara-negara Eropa ato Australia. Pernah kepikir gak, buat nyekolahin anaknya di India buat belajar TI, misalnya. Kayaknya jarang deh. Padahal kalo pertimbangannya bener-bener kualitas, India itu mantap banget di bidang TI (bukan cuma goyangannya di f ilm-film Bollywood aja yang mantap, he, he, he ;>). Ahli-ahli teknologi informasi dari negara itu banyak banget yang direkrut sama perusahaan TI yang terpercaya.

Tapi kedua contoh itu sih masih mending. Masih ada contoh yang lebih “mengenaskan”. Dosenku di tingkat 1 dulu nyeritain pengalamannya pas baru pulang belajar S3 dari luar negeri, yang selalu disindir-sindir sama bosnya di Jurusan (alias Ketua Jurusan) karena pakaiannya dianggap kurang sopan. Kurang mencerminkan seorang dosen lah. Emang sih, gaya berpakaian dosenku itu bisa dibilang “gak konvensional”, tapi bukan berarti gak sopan, menurutku.

Entah karena terlalu sibuk ngeresein pakaian si dosenku itu, atau karena si Bos berpandangan sempit tentang orang yang pakaiannya “kurang dosen”, dosenku jadi ngerasa kalo kemampuannya kurang dihargai oleh Bos-nya. Padahal dia udah berusaha mengajukan berbagai ide, intinya sih berusahan nunjukin kalo hasil sekolahnya di luar negeri emang gak sia-sia (;>). Tapi tetap aja gak diwaro. Nah, beberapa saat kemudian, salah satu Profesor (orang Bule loh) yang ngajar dosenku di luar negeri dateng ke Indonesia. Kebetulan Jurusan di ITB tempat dosenku ngajar bekerjasama dengan Perguruan Tinggi tempatnya belajar dulu. Jadi, si Profesor ini dateng ke Indonesia dalam rangka kerja sama itu.

Nah, pas si Profesor dateng ke Indonesia, dia muji-muji kemampuan dosenku itu di depan sang Bos. Dia gak nyinggung-nyinggung soal pakaian loh. Setelah kejadian itu, bahkan setelah si Profesor pulang ke negaranya, dosenku ngerasain perubahan sikap yang drastis pada diri Bos-nya. Baru saat itu akhirnya dosenku dikasih kesempatan untuk nunjukin kemampuannya, baru setelah itu dia ngerasa kemampuannya dihargai. Tentu saja, soal pakaiannya pun gak pernah dikomentarin lagi. Aku inget, pas nyeritain pengalamannya ini, dosenku menyatakan keheranannya. Apa Bos-nya itu harus dibilangin ama orang “Barat” dulu, baru kemudian ngehargain kemampuan anak buahnya? Padahal sebelum itu kan dosenku juga udah berusaha keras nunjukin kemampuan terbaiknya.

Kesimpulan yang bisa kuambil dari semua paparan di atas adalah cobalah menghargai sesuatu bukan karena “siapa”-nya, tapi lihatlah “apa”-nya. Emang kita harus selalu waspada sih, karena seperti kataku, kadang kita gak sadar kalo kita udah bersikap etnosentris dengan “Barat” sebagai pusatnya. Jangan liat “bungkus”-nya aja, tapi yang lebih penting, lihatlah “isi”-nya.

Monday, June 12, 2006

Se-Ide

Orang ini pikirannya sama banget denganku. Jadi merinding. Liat aja deh, di sini.

Saturday, June 03, 2006

Jangan Salahkan Bobotoh

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Bandung, serta sempat menyaksikan masa-masa kejayaan Persib; gak aneh kalo aku menjadi seorang pendukung (bobotoh) Persib. Jadi, wajar aja dong seandainya aku rada-rada panas setiap kali ada orang yang ngomong jelek tentang Persib ataupun para bobotohnya.

Ceritanya bermula hari Senin minggu lalu, saat seorang teman menghampiriku dan menyampaikan rasa prihatinnya atas kekalahan Persib dari Arema (sebetulnya sih belum kalah, karena pertandingannya ditunda berhubung hujan deras dan lapangannya becek abis). Tentu saja, dengan optimis aku menjawab bahwa Persib pasti bisa bangkit (meskipun dalam hati aku merasa cukup khawatir juga). Nah, di tengah pembicaraan ini, temanku yang lain nimbrung dan terang-terangan menyatakan antipatinya terhadap bobotoh karena sikapnya yang anarkis.

Panas? Jelas! Tapi aku gak bisa nyalahin temanku itu sih. Soalnya, selama ini memang ada “oknum” yang melakukan berbagai perusakan (barang umum maupun kendaraan pribadi; macem-macem lah) setiap kali Persib kalah. Dan berhubung temanku ini kebetulan juga gak suka sepakbola, maka dia juga menekankan bahwa sebagian suporter SEPAKBOLA Indonesia emang menunjukkan sikap yang sama (sikap suka merusak, maksudnya). Tapi apa bener sepakbola adalah biang kerok dari semua itu?

Menurut pendapatku: TIDAK. Sebagai seorang bobotoh, jangan salahkan aku kalo ngerasa kecewa ngeliat Persib main jelek sehingga akhirnya kalah. Aku pasti kesel banget sama wasit kalo dia bikin keputusan yang gak tepat sehingga merugikan Persib. Jelas aja aku bete ngeliat suporter tim lawan bertindak ngeselin (baca: arogan). Tapi apa itu terus ngebikin aku pingin ngerusak barang-barang ato ngelemparin wasit dan supoter lawan dengan petasan atau botol air mineral berisi urin (maaf), misalnya? Enggak lah. Paling banter juga teriak, “Wasit goblog!” (he, he, he, maaf atas kata-kata tak sopanku).

Jujur aja, orang-orang yang bikin rusuh menurutku bukanlah bobotoh (dan juga suporter sepakbola) sejati. Gila aja lah, kalo ngaku sebagai bobotoh tapi melakukan tindakan kayak gitu. Bobotoh pasti sadar bahwa melakukan tindakan anarkis sama sekali tidak membawa manfaat apapun bagi Persib. Jangan-jangan malah tim yang kena getahnya (kena sanksi) karena kelakuan buruk suporternya.

Selain itu, aku juga berpendapat bahwa sebenarnya bukan sepakbola yang bikin orang rusuh. Sepakbola cuma dijadiin alasan untuk melampiaskan rasa frustasi mereka. Tekanan kehidupan-lah yang bikin orang frustasi, bukan sepakbola. Berada dalam kerumunan para suporter memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin berani dilakukannya saat sendirian.

Kalo ditinjau secara sosiologis (ciee....), saat seseorang berada dalam “kerumunan”, identitas pribadinya akan “hilang” dan digantikan oleh “identitas kelompok”. Contohnya kalo lagi sendirian, orang mungkin gak akan berani ngelempar batu ke arah polisi, misalnya. Tapi kalo lagi demonstrasi (berada dalam kerumunan orang banyak), orang berani-berani aja ngelakuin hal itu karena toh gak bakal ketauan siapa yang ngelempar. Identitas pribadi si pelempar digantikan oleh identitas kelompoknya (jadi: “MAHASISWA melempar batu ke arah polisi”, bukan “RENI melempar batu ke arah polisi”). Masih lieur? Singkatnya mah “dimarahin bareng-bareng” lebih mending daripada “dimarahin sendiri”.

Hidup Persib!

Catatan:

Makasih buat Lina dan Puty. Berkat obrolan dengan kalian, aku jadi dapet ide untuk nulis tentang topik ini. Untuk Wiwin, jelek-jelek begini Bandung masih punya tim Divisi Utama loh. Bandingin ama Purworejo. Bahkan ngedengar tim dari sana aja aku gak pernah tuh, he, he, he, he, he ;>.

Tuesday, May 30, 2006

Mempermalas Para Pemalas

Coba cek kalender kalian. Kamis lalu, 25 Mei, kebetulan tanggalannya merah berhubung hari itu merupakan Hari Libur Nasional. Tapi ternyata, liburan yang menurut kalender seharusnya cuma satu hari diperpanjang jadi empat hari: Kamis – Jumat – Sabtu – Minggu, karena pemerintah menetapkan tanggal 26 – 27 Mei sebagai Hari Cuti Bersama (atau entah apa istilahnya).

Sebagai BHMN, ITB juga ikutan libur kena libur panjang. Aku, tentu aja, sama sekali gak keberatan. Libur? Siapa yang nolak? Sayangnya, pada saat hatiku bersorak gembira, otakku protes keras. Sisi logis dari diriku justru menyesali Hari Cuti Bersama karena saat ini aku lagi ngerjain TA (Tugas Akhir) dan justru lagi perlu banyak bekerja, bukan banyak liburan.

Kalo mau jujur, siapa sih yang gak suka libur? Siapa sih yang gak butuh libur? Kalo fisik dan mental udah kecapean, bawaannya males melulu dan akhirnya, kerja malah jadi gak optimal. Itu sebabnya kita butuh liburan, supaya kita bisa istirahat sejenak dan nantinya punya semangat baru untuk beraktivitas. Intinya, liburan itu perlu demi menjaga dan meningkatkan produktivitas.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang malas tanpa sebab? Berdasarkan pengalaman pribadiku, kemalasan macam ini (biasanya sih karena kurang motivasi dan rasa tanggung jawab) justru gak mempan kalo diobati dengan liburan. Makin banyak libur (atau ngeliburin diri), yang ada malah tambah males.

Mungkin semua udah tau gimana kinerja pegawai negeri di negeri ini. Sering bolos/ngabur pas kerja, sering berinisiatif memperpanjang hari libur, kerjannya lelet, datang telat – pulang cepat, dan berbagai indikasi kemalasan lainnya. Bayangkan, apa jadinya kalo orang-orang macam ini sering-sering dikasih liburan? Celaka kan?! Bukannya tambah produktif, yang ada malah tambah males (percaya deh, aku buktinya).

Seingatku, kebijakan memperpanjang liburan (menetapkan Hari Cuti Bersama) dan ngegeser hari libur ke awal/akhir pekan dibuat pasca Bom Bali I. Waktu itu, angka kunjungan wisata ke Bali menurun drastis. Demi mendorong kunjungan wisatawan domestik ke Pulau Bali, akhirnya pemerintah memunculkan “ide gemilang” tersebut. Masalahnya, kebijakan ini --selain bawa untung (meningkatkan angka kunjugan wisata)-- juga bikin buntung (secara tidak langsung bisa menurunkan produktivitas). Jangan-jangan kalo dihitung-hitung, kerugian yang ditimbulkan oleh penurunan produktivitas pekerja di Indonesia akibat kebijakan tersebut malah jauh lebih gede ketimbang keuntungan yang diraih industri pariwisata.

Saranku sih, cabut aja kebijakan itu. Bangsa Indonesia ini kan udah punya reputasi jelek karena kemalasannya (inget pameo “jam karet”?). Masa para pemalas dipermalas?

Catatan: Turut berduka cita untuk semua korban gempa di Yogyakarta dan sekitarnya. Semoga diberi ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Kami semua bersama teman-teman semua. Semoga mereka yang meninggal dunia diterima oleh Allah SWT.

Wednesday, May 24, 2006

Buang Aja, Beres Kan?!

..., terhadap gagasan Wali Kota Bandung untuk menjadikan TPA Pasir Bajing di Kabupaten Garut sebagai tempat pembuangan sementara sampah Kota Bandung, Danny mengatakan, ‘Itu solusi darurat jangka pendek. Untuk jangka panjang, Bupati Garut, Bandung, dan Sumedang harus mencari lahan yang pas.’ ” (Kompas, 21/5/2006)

Terus terang, pernyataan Pak Danny (Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat) di atas membuatku bertanya-tanya. Beliau mengatakan bahwa untuk solusi jangka panjang mengenai sampah di Bandung, para petinggi di Bandung dan sekitarnya harus mencari lahan yang pas. Lahan yang pas? Kira-kira apa ya, maksudnya? Mudah-mudahan maksud beliau bukan “lahan yang pas untuk dibuangin dan ditimbunin sampah”.

Sampah? Buang aja, beres kan?! Ternyata enggak. Longsornya gunung sampah di TPA Leuwigajah beberapa bulan lalu jadi bukti. Itu kasus yang paling parah, sampai memakan korban jiwa segala. Masih ada dampak negatif lain yang gak terlalu kelihatan, pencemaran air tanah misalnya. Semua itu terjadi karena kita gak mau repot-repot mikir buat jangka panjang.

Aku inget waktu pelajaran IPS di SD dulu, Indonesia (atau Nusantara) digambarkan sebagai tempat yang sangat luar biasa. Letaknya strategis (“di antara dua benua dan dua samudera”), alamnya kaya dengan hasil bumi, iklimnya nyaman; intinya, bagaikan surga deh. Tapi, kenyamanan ini justru jadi pedang bermata dua. Alam udah nyediain semua yang kita butuhkan, jadi ngapain juga repot-repot.

Pasca longsornya gunung sampah di Leuwigajah, Papa cerita (karena cerita ini aku dapet dari sumber sekunder, mudah-mudahan aja gak terlalu terdistorsi) kalo tahun ’90-an lalu salah satu rekan kerjanya pernah bikin tanur pembakar sampah. Lalu, si rekan ini mencoba nawarin karyanya ke PEMDA, siapa tahu bermanfaat. Tau gak apa jawaban orang PEMDA? “Buat apa? Sampah mah tinggal dibuang ke TPA aja,”. Jelas, orang PEMDA ini gak mikir untuk jangka panjang. Dia gak mikir kalo suatu saat nanti, TPA bakal kepenuhan sehingga ada saatnya perlu nyari lahan baru. Aku yakin dia pasti gak memperkirakan kemungkinan terjadinya “krisis sampah” saat TPA penuh dan lahan baru untuk TPA belum ketemu juga. Mungkin yang ada di pikirannya, membeli lahan kosong untuk dijadiin TPA jauh lebih mudah dan murah. Jadi, ngapain juga repot-repot. Gimana ya perasaannya pas tau TPA Leuwigajah longsor? Gimana ya perasaannya kalo ngelihat kondisi Bandung sekarang?

Jadi, kesimpulan apa yang bisa kita ngambi dari omonganku di atas yang ngalor-ngidul? Sederhana aja, perkirakan dulu dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan yang kita buat saat ini. Kalo pilihan kita berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar di masa datang, gak ada salahnya untuk “sedikit” memutar otak, “sedikit” kerja keras, atau “sedikit” ngeluarin biaya, daripada ntar menyesal.

Saturday, May 20, 2006

Kami (Tidak) Suka Membaca

Minat baca masyarakat Indonesia rendah. Kalimat itu kayaknya lumayan sering terdengar di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Aku sendiri gak tau parameternya apa, sampai mereka bisa dengan yakin mengeluarkan pernyataan macam itu. Tapi mari kita asumsikan saja kalo pernyataan itu emang bener.

Salah seorang dosenku pernah bilang, budaya lisan di Indonesia lebih dominan daripada budaya tulisan. Masyarakat Indonesia lebih suka bercerita atau mendengarkan cerita ketimbang menulis atau membaca. Orang gak sayang ngeluarin duit untuk beli TV daripada nyediain dana untuk beli buku. Bahkan tindakanku sekarang, yang milih untuk ngutip perkataan dosenku dan bukannya nyari sumber tertulis tentang budaya lisan di Indonesia, merupakan salah satu bukti dari pernyataan di atas.

Oke, mungkin mayoritas masyarakat Indonesia emang gak terbiasa membaca. Terbiasa, itu kata kuncinya. Aku cukup beruntung dibesarkan oleh orang tua yang suka membaca dan membiasakanku untuk bergaul dengan berbagai bahan bacaan sejak kecil. Orang lain mungkin gak seberuntung aku.

Aku jadi teringat pengalamanku pas ikutan Fardes (Farmasi Pedesaan, salah satu proker HMF ‘Ars Praeparandi’ ITB) empat taun lalu. Waktu itu, kami tinggal dua minggu di Desa Wanasari, Cianjur. Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah “mengajar” anak-anak di sana. Aku inget ekspresi mereka waktu disodorin buku-buku. Mereka bener-bener antusias, padahal membaca aja bisa dibilang masih belum lancar (beda ama anak-anak di kota besar yang emang dituntut untuk bisa baca pas mereka masuk SD).

Kesimpulannya, bangsa Indonesia sebenernya punya “potensi” untuk menjadi bangsa yang gemar membaca. Kalo ternyata kenyataannya gak seperti itu, lingkungan yang gak mendukung dan gak adanya kesempatan yang jadi penyebabnya. Keluarga bisa aja gak menyediakan sarana yang memadai untuk mengembangkan minat baca anak, tapi selain keluarga kan masih ada lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar rumah. Kalo di sekolah ada perpustakaan yang asyik (menyediakan bacaan yang sesuai ama minat anak-anak yang beragam, isinya gak cuma buku pelajaran doang) misalnya, bisa jadi ini ngedorong anak-anak untuk sering berkunjung ke sana dan secara gak langsung, menumbuhkan minat baca mereka.

Biarpun begitu, ngelihat kemunculan komunitas pecinta buku yang bukan cuma giat membudayakan membaca tapi juga mau repot-repot nyediain sarana dan prasarana untuk itu, aku cukup optimis. Mungkin butuh waktu yang gak sebentar, tapi mudah-mudahan aja kelak (gak tau kapan) kata-kata “Minat baca masyarakat Indonesia rendah” gak akan terdengar lagi.

Salam dari,
Aku yang sedih karena udah berbulan-bulan gak baca buku (selain textbook) mengingat lagi bokek sehingga gak ada dana untuk beli buku plus gak ada orang yang bisa dimintain pinjeman buku

Saturday, May 13, 2006

Tanggung Jawab, Dong!

Mari berandai-andai. Bayangkan suatu kasus pembunuhan yang tersangka utamanya melarikan diri. Setelah bekerja keras sekian lama, akhirnya polisi berhasil melacak keberadaan sang tersangka. Nah, ternyata, tersangka ini ditemukan dalam kondisi sakit lumayan parah. Kita andaikan saja dia terkena gangren karena komplikasi diabetes dan kemungkinan besar harus diamputasi. Nah, menurut kamu, apa yang sebaiknya dilakukan polisi? Apa sebaiknya polisi menangkap si tersangka (tentu saja, polisi harus tetap memberikan kesempatan untuk berobat dan baru meneruskan penyelidikan kepadanya kalo kondisi kesehatannya membaik)? Atau gak usah meneruskan penyelidikannya dengan alasan kemanusiaan?

Aku, jelas-jelas memilih yang pertama. Aku cukup yakin kalo ada lebih banyak orang yang sependapat denganku dalam hal ini daripada yang berpendapat bahwa si tersangka sebaiknya dibebaskan saja. Bukan karena aku gak berperikemanusiaan, tapi karena sudah sewajarnya setiap orang bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Kalo orang itu emang diduga melakukan pembunuhan, ya harus diselidiki dong, gak bisa begitu aja dibebasin hanya karena dia sakit.

Makanya, aku bener-bener gak ngerti sama pendapat yang mengemuka baru-baru ini tentang penghentian penyelidikan kasus korupsi mantan presiden Soeharto. Alasannya “kemanusiaan” (karena Pak Harto udah tua dan sakit-sakitan, bla, bla, bla). Gak manusiawi apanya? Bertanggung jawab atas perbuatan kita, bukannya itu manusiawi? Seandainya Pak Harto dicurigai terlibat kasus korupsi, wajar-wajar aja kan kalo diselidiki supaya dia bisa dimintai (atau gak dimintai pertanggungjawaban; tergantung keputusan pengadilan) pertanggungjawaban? Yang gak manusiawi itu kalo hak-haknya sebagai manusia “dilanggar”, misalnya dilarang ketemu pengacara dan keluarga, dilarang berobat ketika sakit, disiksa secara fisik dan mental, dll. Jadi, letak ketidakmanusiawian penyelidikan kasus korupsi Pak Harto itu di mananya? Lalu, kalo emang Pak Harto korupsi (sebenernya aku yakin kalo dia korupsi, tapi ada azas praduga tak bersalah sih), gimana dengan hak masyarakat yang telah dirugikan oleh tindakannya itu?

Ada satu lagi alasan yang menurutku jauh lebih gak masuk akal. Ada yang berpendapat bahwa Soeharto sebaiknya dimaafkan saja karena jasanya yang besar kepada negara. Berjasa dan bersalah itu dua hal yang berbeda. Misalnya nih, ada seorang murid teladan yang sering menang dalam berbagai lomba. Berkat kemenangannya itu, si murid udah berjasa mengharumkan nama sekolah. Suatu saat, kamu kesiangan dateng ke sekolah. Ternyata, si anak teladan itu juga kesiangan. Gimana reaksi kamu kalo guru piket ngehukum kamu, tapi ngebiarin si murid teladan masuk begitu aja dengan dalih bahwa dia “telah banyak berjasa terhadap sekolah”? Kalo hal itu terjadi, aku pasti ngerasa kesel karena guru piket itu udah bersikap gak adil. Soal pernyataan JK yang bilang bahwa rakyat Indonesia sebaiknya memaafkan Pak Harto (yang menyiratkan supaya rakyat Indoneisa gak protes seandainya penyelidikan kasus korupsi Pak Harto ditutup), JK pasti gak pernah dengar kata-kata “forgiven but not forgotten”. Memaafkan bukan berarti melupakan, Pak. Memaafkan bukan berarti berpura-pura seakan-akan orang itu gak pernah salah. Intinya, orang yang bersalah harus dihukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, terlepas dari kebaikan /jasanya di masa lalu dan pengampunan dari mereka yang terzhalimi oleh perbuatan orang itu.

Dari kecenderungan yang tampak beberapa hari ini, kemungkinan besar penyelidikan terhadap Pak Harto bakal dihentikan. Bener-bener deh, Indonesia. Tapi gak apa-apa. Mungkin Pak Harto bakal terbebas dari pengadilan di dunia, tapi dia gak mungkin bisa menghindar dari pengadilan Allah. Ha! Tunggu aja!

Wednesday, May 03, 2006

Ngapain Sekolah?

Aku udah bersekolah selama hampir 18 tahun (kalo TK dihitung). Saking rutinnya, aktivitas di sekolah jadi bagaikan gerak refleks: dilakukan begitu saja tanpa perlu dipikirkan dulu. Karena anak seumuranku bersekolah, wajar-wajar aja kalo aku melakukan hal yang sama. Kenapa atau untuk apa sekolah, aku gak pernah bener-bener mikirin alasannya. Tau sih, tapi cuma sekedar tau aja. Apakah alasan itu emang “benar” atau “pantas”, sekali lagi, aku gak pernah bener-bener mikirin.

Seandainya pas SD dulu aku ditanya, buat apa sekolah, jawabannya pasti: biar pinter. Dulu, rasanya sama sekali gak ada yang salah dengan jawaban seperti itu. Tapi sekarang, kedengarannya basi banget. Sekarang, jawaban macam itu membuatku teringat pada dongeng “Si Kancil”. Dongeng ini udah akrab banget bagi sebagian besar orang Indonesia. Aku sendiri, udah mengenal dongeng ini sejak kecil.

Semua pasti sepakat kalo dongeng atau cerita rakyat pada umumnya mengandung nilai-nilai tertentu yang ingin ditanamkan, sadar maupun enggak, kepada pendengarnya. Contohnya, kisah Malin Kundang yang ngajarin kita supaya gak durhaka ama orang tua. Cerita “Si Kancil” juga pasti punya pesan moral tertentu. Menurut pendapat pribadiku, pesan moral “Si Kancil” adalah: jadilah orang yang cerdik/pintar, supaya kita bisa ngakalin orang (dalam kasus “Si Kancil” sih, hewan lain; tapi ngerti maksudku kan?!). Mungkin itu sebabnya Indonesia gak maju-maju. Kayaknya mayoritas orang pinter di negara ini berpikir, sah-sah aja menggunakan kepintarannya untuk kepentingan diri sendiri. Mo nipu kek, curang kek, gak masalah. Ngikutin teladan “Si Kancil” sih. Kesimpulannya, “sekolah supaya pinter” sangat multi-interpretatif (ciee...). Konotasinya bisa negatif ataupun positif, tergantung orangnya. Jadi, kalo ini dijadikan tujuan akhir proses belajar, kayaknya kurang tepat. Tapi tentu saja, dulu aku gak menyadarinya.

Ceritaku beralih ke masa SMP/SMA. Tujuanku sekolah bergeser lagi, dari yang asalnya pengen pinter jadi lebih pragmatis, supaya bisa dapet kerjaan yang oke dan duit banyak. Perubahan tujuan ini terjadi semata-mata karena seiring dengan bertambahnya umur, aku jadi lebih sadar kalo untuk “bertahan hidup” kita emang perlu sumber penghasilan. Dan tampaknya, peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji yang memuaskan lebih besar apabila kita berpendidikan tinggi. Pandangan ini akhirnya mempengaruhi pilihanku waktu nerusin pendidikan ke perguruan tinggi. Jurusan pilihanku, konon kabarnya, merupakan jurusan yang lumayan “basah”. Dengan kata lain, dengan latar belakang pendidikan di jurusan ini, nyari kerjaan bisa dibilang relatif mudah. Pertimbangan ekonomi banget deh!

Aku sama sekali gak ngerasa ada yang salah dengan mematok “harta” sebagai tujuanku bersekolah. Tapi akhirnya nuraniku terusik juga. Pemicunya adalah kuliah Undang-undang dan Etika Profesi setahun lalu. Pada salah satu kuliah, dosenku menyoroti tentang kasus kolusi yang terjadi antara dokter dan industri farmasi. Tau kan, industri farmasi memberikan sejumlah insentif tertentu pada dokter supaya mau meresepkan obat produksi mereka kepada pasien. Akibat praktek ini, pasien harus membayar obat dengan harga yang sangat mahal. Pasien sebenernya punya hak untuk minta obat generik, tapi sayangnya karena kurang info dan ketidakpercayaan kepada khasiat obat generik, pasien lebih sering tidak menggunakan haknya tersebut.

Singkat kata, aku kesel banget waktu ngedengar hal ini. Korban sumpah serapahku terutama adalah para dokter. Tentu saja, industri farmasi juga salah—tapi, begitulah yang namanya industri. Orientasi mereka kan untung sebanyak-banyaknya. Tapi dokter kan orang yang dipercaya dan dihormati oleh masyarakat. Kok tega-teganya sih terlibat dalam praktek yang merugikan masyarakat?

“Dasar! Mikirnya pingin cepet balik modal aja sih, dokter-dokter itu!” begitu pikirku. Dan tiba-tiba, JRENG! Aku langsung sadar. Jangan-jangan mereka berbuat begitu karena tujuan mereka bersekolah emang duit. Terus, apa bedanya denganku dong? Jangan-jangan, kalo aku udah lulus dan kerja nanti, aku pun akan melakukan tindakan yang setipe dengan mereka. Nyari duit sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri, gak peduli apakah orang lain dirugikan oleh perilakuku itu atau tidak.

Setelah peristiwa itu, barulah aku bener-bener merenung tentang tujuanku bersekolah selama ini. Akhirnya aku menyimpulkan, celaka banget deh kalo tujuan utama kita bersekolah adalah duit, gengsi, atau keuntungan pribadi. Penduduk Indonesia lebih dari 200 juta, jadi yang pinter pasti banyak. Tapi, gara-gara mereka mentingin diri sendiri, liat deh apa yang terjadi pada negara kita. Orang kelaparan di mana-mana, lingkungan rusak, negara kita terlilit hutang—banyak banget hal negatif.

Jadi, ngapain kita sekolah? Aku pernah denger kata-kata, “Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia”. Aku gak terlalu ngerti, tapi mungkin maksudnya pendidikan sebenernya berfungsi untuk mengeluarkan potensi terbaik dari seorang manusia. Dengan kemampuannya itu, diharapkan seseorang bakal bisa memberikan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Singkatnya sih, menghasilkan manusia yang baik, manusia yang bijaksana, manusia yang penuh syukur: manusia yang manusiawi. Rada-rada abstrak juga sih. Tapi kayaknya jauh lebih baik daripada tujuan berorientasi materi atau yang semacamnya. Mudah-mudahan, di tahun terakhirku di perguruan tinggi (aamiin), aku bisa memulai langkahku untuk menjadi manusia yang sebenernya.

Sebagai penutup, aku pingin ngucapin selamat Hari Pendidikan Nasional (udah telat sehari sih, tapi gak apa-apa kan?!)! Semoga Ki Hajar Dewantoro gak menangis di alam kubur, menyaksikan kita semua.