Tuesday, May 30, 2006

Mempermalas Para Pemalas

Coba cek kalender kalian. Kamis lalu, 25 Mei, kebetulan tanggalannya merah berhubung hari itu merupakan Hari Libur Nasional. Tapi ternyata, liburan yang menurut kalender seharusnya cuma satu hari diperpanjang jadi empat hari: Kamis – Jumat – Sabtu – Minggu, karena pemerintah menetapkan tanggal 26 – 27 Mei sebagai Hari Cuti Bersama (atau entah apa istilahnya).

Sebagai BHMN, ITB juga ikutan libur kena libur panjang. Aku, tentu aja, sama sekali gak keberatan. Libur? Siapa yang nolak? Sayangnya, pada saat hatiku bersorak gembira, otakku protes keras. Sisi logis dari diriku justru menyesali Hari Cuti Bersama karena saat ini aku lagi ngerjain TA (Tugas Akhir) dan justru lagi perlu banyak bekerja, bukan banyak liburan.

Kalo mau jujur, siapa sih yang gak suka libur? Siapa sih yang gak butuh libur? Kalo fisik dan mental udah kecapean, bawaannya males melulu dan akhirnya, kerja malah jadi gak optimal. Itu sebabnya kita butuh liburan, supaya kita bisa istirahat sejenak dan nantinya punya semangat baru untuk beraktivitas. Intinya, liburan itu perlu demi menjaga dan meningkatkan produktivitas.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang malas tanpa sebab? Berdasarkan pengalaman pribadiku, kemalasan macam ini (biasanya sih karena kurang motivasi dan rasa tanggung jawab) justru gak mempan kalo diobati dengan liburan. Makin banyak libur (atau ngeliburin diri), yang ada malah tambah males.

Mungkin semua udah tau gimana kinerja pegawai negeri di negeri ini. Sering bolos/ngabur pas kerja, sering berinisiatif memperpanjang hari libur, kerjannya lelet, datang telat – pulang cepat, dan berbagai indikasi kemalasan lainnya. Bayangkan, apa jadinya kalo orang-orang macam ini sering-sering dikasih liburan? Celaka kan?! Bukannya tambah produktif, yang ada malah tambah males (percaya deh, aku buktinya).

Seingatku, kebijakan memperpanjang liburan (menetapkan Hari Cuti Bersama) dan ngegeser hari libur ke awal/akhir pekan dibuat pasca Bom Bali I. Waktu itu, angka kunjungan wisata ke Bali menurun drastis. Demi mendorong kunjungan wisatawan domestik ke Pulau Bali, akhirnya pemerintah memunculkan “ide gemilang” tersebut. Masalahnya, kebijakan ini --selain bawa untung (meningkatkan angka kunjugan wisata)-- juga bikin buntung (secara tidak langsung bisa menurunkan produktivitas). Jangan-jangan kalo dihitung-hitung, kerugian yang ditimbulkan oleh penurunan produktivitas pekerja di Indonesia akibat kebijakan tersebut malah jauh lebih gede ketimbang keuntungan yang diraih industri pariwisata.

Saranku sih, cabut aja kebijakan itu. Bangsa Indonesia ini kan udah punya reputasi jelek karena kemalasannya (inget pameo “jam karet”?). Masa para pemalas dipermalas?

Catatan: Turut berduka cita untuk semua korban gempa di Yogyakarta dan sekitarnya. Semoga diberi ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Kami semua bersama teman-teman semua. Semoga mereka yang meninggal dunia diterima oleh Allah SWT.

0 comments:

Post a Comment