Saturday, May 26, 2007

Yang Baik, Yang Alami

Makanan organik. Tanpa bahan pengawet. 100% alami. Pernah denger kata-kata itu? Kemungkinan besar pernah, karena masyarakat kita--entah sadar atau tidak--sedang gandrung-gandrungnya dengan segala hal yang berlabel “alami” atau “non-kimiawi”. Siapa sih yang gak trauma dengan bahan kimia setelah menyaksikan liputan menghebohkan tentang formalin dalam makanan atau kerusakan kulit akibat penggunaan kosmetik pemutih kimiawi, misalnya?

Kecenderungan ini bukan hanya monopoli masyarakat Indonesia. Back to nature justru lebih dulu menjadi gejala di dunia Barat. (Kalo di Indonesia sih--kalo mau jujur--apanya yang back to nature? Dari dulu sampe sekarang kita selalu--kurang lebih--in unison with nature. Makanya orang masih sering minum jamu atau obat Cina waktu sakit, bener nggak?) Hal ini tampaknya terjadi karena meningkatnya ketidakpercayaan terhadap sains yang tidak mampu memecahkan banyak masalah dalam masyarakat; dalam beberapa kasus malah menambah masalah. Masih banyak penyakit yang belum dapat disembuhkan, kecanduan obat penenang (misalnya diazepam yang lebih dikenal dengan nama dagangnya, Valium), tanaman hasil rekayasa genetika yang dikhawatirkan menimbulkan efek samping bila dikonsumsi; itu hanya beberapa contoh.

Singkat kata, akhirnya timbul pandangan umum di Barat sana bahwa bahan kimiawi (non-alami) punya potensi untuk menimbulkan dampak buruk sehingga lebih baik tidak dikonsumi. Beda dengan bahan alami yang bebas efek samping. (Halo, tau ganja gak? Tembakau? Atau jengkol? Mungkin enggak.) Karena segala hal yang menjadi mode di Barat lambat laun akan ditiru juga di sini, jangan heran kalo back to nature pun akhirnya menjadi mode di Indonesia. Jangan heran juga kalo ternyata orang-orang yang pertama kali menerapkan hal tersebut di Indonesia adalah orang-orang yang gak segan-segan ngeluarin uang jutaan rupiah untuk membeli barang terbaru buatan perancang terkenal supaya gak ketinggalan mode termutakhir. (Di rubrik “Gaya Hidup” Kompas beberapa bulan lalu, ditampilkan para pengkonsumsi makanan organik. Tau kan, yang gak pake pupuk, pestisida, diairi bukan pake air PDAM, dan sebagainya. Mereka semua orang kaya, di antaranya artis tenar seperti Lusy Rahmawati dan Melly Manuhutu.)

Terlepas dari keyakinan yang salah bahwa bahan alami selalu bebas efek samping, sebetulnya gak ada salahnya mengkonsumsi makanan/kosmetik/apapun yang tidak dicemari bahan sintetik. (Udah tau kan kalo penggunaan istilah “bahan kimiawi” sebenernya salah kaprah karena semua benda di dunia ini pada dasarnya tersusun oleh unsur kimia. Yang bener adalah “bahan sintetik”, artinya bahan tersebut tidak diambil langsung dari tumbuhan/hewan/tanah/udara/dsb tapi disintesis di laboratorium.) Yang salah adalah, menurutku, cara produsen menekankan keunggulan produk mereka secara berlebihan.

Contohnya dalam pemakaian bahan pengawet. Bahan pengawet tuh kesannya berbahaya banget sehingga produsen yang tidak menggunakan pengawet dalam produk mereka menggembar-gemborkan hal ini. Salah duanya dalam minyak goreng kemasan dan susu pasteurisasi. Kedua produk ini emang gak perlu pengawet karena sebagian besar mikroorganisme gak bisa hidup dalam minyak goreng karena gak ada nutrisinya dan susu pasteurisasi emang bisa dibilang udah steril. Jadi, melebih-lebihkan ketiadaan pengawet dalam kedua produk tersebut sama konyolnya dengan menekankan manfaat air yang bisa menghilangkan haus.

Contoh kedua, soal makanan “organik”. Harga bahan makanan “organik” jauh lebih mahal daripada makanan hasil pertanian “konvensional”. (Istilah yang patut dipertanyakan mengingat petani kita dulu gak pake pestisida, pupuk sintetik, dan semacamnya. Mungkin mereka baru memakai produk-produk tersebut setelah “diajarin” pemerintah yang ingin menjalankan rekomendasi FAO--rekomendasi yang sebenernya gak semuanya tepat bilamana dilaksanakan di Indonesia.) Harga mahal dianggap wajar karena makanan organik dianggap lebih sehat. Padahal, bukan itu sebabnya.

Petani “organik” punya daya tawar lebih tinggi dalam penjualan hasil panennya dibandingkan dengan petani “konvensional”. Petani “organik” umumnya menjual hasil panennya sendiri atau lewat distributor tetap (yang gak akan terlalu mudah mencari pemasok bilamana sang petani menolak untuk menjual hasil panennya kepada sang distributor). Lewat jalur manapun, mereka punya daya tawar lebih tinggi untuk menentukan harga jual hasil panennya dibandingkan dengan petani “konvensional”. Selain itu, jumlah makanan “organik” yang relatif sedikit memungkinkan makanan jenis ini dijual dengan harga tinggi. Petani “konvensional” gak bisa serta merta beralih ke pertanian “organik” karena tanah yang udah bertahun-tahun dipupuk bakal menurun produktivitasnya bilamana pemupukannya dihentikan. Pelik kan?

Sebetulnya, gak masalah kita mau milih makanan “organik”, makanan bebas pengawet, atau yang semacamnya kalo emang ngerasa yakin bahwa makanan tersebut lebih sehat dan bermanfaat. Yang penting, kita harus mencari informasi selengkap mungkin dari segala sisi. Singkat kata, jadilah konsumen yang kritis. Selain itu, ingatlah bahwa 4JJ1 gak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Mau alami kek, sintetik kek, segala sesuatu yang dikonsumsi berlebihan pasti membawa dampak negatif. Kebanyakan air aja bisa menyebabkan kejang-kejang, bahkan kematian. Ingat sapi glogok?