Friday, October 24, 2008

Oleh-oleh dari Bali

Cuma ada dua benda yang membuatku laper mata: makanan dan buku. Jadi, waktu aku berada di Bali minggu lalu, aku gak berminat untuk belanja suvenir seperti orang lain. Alhasil, oleh-oleh yang kubawa pulang pun bener-bener gak Bali banget. Inilah oleh-olehku:

Pin
Di sana kebetulan ada stan NGO (sebenernya gak semuanya NGO sih, tapi pokoknya mereka adalah sekelompok orang yang melakukan kerja sosial; kebayang kan?!). Barang-barang di sana pun sebenernya standar, barang-barang yang biasa dijual buat ngumpulin dana. Tau kan--kaos, pernak-pernik. Tapi, lantaran aku suka pin, akhirnya aku beli dua. Gak ada pertimbangan apa pun, cuma karena aku suka warnanya aja.

Buku
Aku beli dua buku: Laskar Pelangi dan Midnight in the Garden of Good and Evil (pengarang kedua buku ini tampil di acara yang kudatangi dalam kapasitas sebagai sukarelawan). Asalnya, aku sama sekali gak kepikiran buat beli Laskar Pelangi. Tapi, berhubung aku bertugas di sebuah acara yang menampilkan Andrea Hirata, dilengkapi dengan sesi tanda tangan-foto bareng, kupikir: kapan lagi bisa dapet tanda tangannya? (Meskipun sebenernya aku gak kepingin ketemu dia, habis kalo ngeliat bawaannya panas-dingin mikirin terjemahanku yang entah berhasil ato enggak dalam menangkap semangat karyanya.) Aku pun membeli LP on the spot dan menyodorkannya untuk ditandatangani sang penulis. Midnight kubeli setelah ngobrol ama rekan sesama sukarelawan di sana ("Saya udah nonton filmnya," kataku. "Bukunya jauuuuuh, lebih bagus," katanya.). Sayang, gak dapet tanda tangan John Berendt.

Gelang India
Hehehe, sebenernya yang dikasih tuh orang lain, rekan-rekan yang bertugas di Box Office (jualan tiket). Jadi, orang India yang beli tiket ini puas banget ama acara taun lalu sehingga pas dia dateng lagi taun ini, dia menghadiahkan seplastik besar gelang buat kru Box Office. Serius, seplastik besar. Akhirnya, anak-anak Box Office pun bagi-bagi gelang. Aku gak suka aksesoris sih (mo bagus kek, mo ada permatanya kek, mo harganya jutaan rupiah kek; pokoknya, aku sama sekali gak tertarik pada gelang, kalung, anting, dan sodara-sodaranya), tapi kupikir Mama mungkin suka. Gak banyak-banyak, aku minta satu gelang aja dari salah satu kru Box Office (makasih, makasih....).

Kacang
Ini pemberian orang juga (makasih, Bu Retno). Kacang asin ini rasanya enak banget, sampai-sampai aku (yang biasanya gak terlalu suka kacang) susah menahan diri untuk gak nambah lagi. Sayang, ini produk Denpasar, jadi mungkin di supermarket-supermarket sekitar sini gak ada.

Kenangan
Ampun, basi banget gak sih? Tapi, memang banyak hal yang layak untuk dikenang selama seminggu di sana. Ada yang menyenangkan, ada juga yang nyebelin. Ketemu ama banyak orang baru, bete-betean sama rekan kerja, dst. Apa pun itu, moga-moga semuanya bisa menjadikanku orang yang lebih baik, aamiin.

Saturday, October 11, 2008

Ternyata Ngedit Itu....

Ternyata ngedit itu melelahkan euy....

Gak tau karena emang aku "ngejar" target banget (soalnya lusa mo pergi ke luar kota) ato emang karena terjemahannya--dengan segala hormat--gak taat teks, tapi mata ini rasanya mo coplok karena melototin layar sepuluh jam per hari. Faktor kedua ini bikin aku rada bete dan membatin: kok dengan level terjemahan kayak gini bisa jadi penerjemah profesional sih? Tapi, cepat-cepat kutepis kesebelanku dan berusaha berbaik sangka. Mungkin ini terjemahannya yang pertama. Toh terjemahan awalku pun lumayan "bebas" waktu baru mulai dulu (tapi insyaAllah udah diperbaiki).

Tapi, karena ngedit itu ternyata melelahkan BANGET, sekarang aku jadi bersyukur karena waktu itu udah "nolak" tawaran jadi editor. Beneran, nerjemahin tuh jauh lebih asyik daripada ngedit!

Saturday, October 04, 2008

Parsel Pertama

Orang tuaku sayangnya bukan orang yang "penting". Jadi, selama bertahun-tahun kami hanya pernah menerima parsel Lebaran satu kali. Itu pun dari sebuah pengembang, setelah Papa baru aja beli rumah. Waktu kecil, aku sering ngiler kalo jalan-jalan ke pusat pertokoan dan melihat parsel aneka ragam karena kami tak pernah mendapatkannya. Emang sih, kami bisa aja beli parsel untuk diri sendiri, tapi rasanya gak sama dengan parsel hadiah kan?!

Sekarang, karena Papa udah pensiun, kami sama sekali gak bisa berharap mendapat parsel Lebaran. Tapi siapa sangka, kejutan yang menyenangkan datang seminggu sebelum Idul Fitri.

Saat itu sore hari dan kami sekeluarga lagi nonton TV sambil menunggu buka puasa. Tiba-tiba, terdengarlah salam dari depan rumah. Papa, yang mengira bahwa itu adalah panggilan dari tukang jaga malam, bergegas menuju ke sana. Pas Papa balik ke ruang keluarga, dia muncul membawa benda yang tak terduga-duga: kotak berwarna hijau bergambar beduk.

Kotak itu ditujukan untukku. Aku cuma bisa terbengong-bengong karena aku gak sedang menanti barang kiriman. Penasaran, kusambar saja kotak itu dan kubuka. Dan ternyata, isinya adalah makanan-makanan enak, beserta ucapan selamat hari raya Idul Fitri dari penerbit yang dengannya aku bekerja sama.

Aku dapet parsel Lebaran untuk pertama kalinya. AKU! Parsel kan biasanya dikirim untuk orang-orang penting--para bos dan pembesar dan yang semacamnya. Bukan orang yang biasa-biasa aja seperti aku! Makanan-makanan enak itu gak ditempatkan di dalam keranjang seperti layaknya parsel, okelah; tapi mari kita anggap saja itu parsel. Pastinya, aku bener-bener senang dan bersyukur.

Selamat Idul Fitri!

Catatan: Makasih banyak buat Mizan untuk parselnya. Makasih juga untuk para editor yang selama ini udah berperan sebagai penghubungku: Mbak Shinta di Hikmah serta Mbak Nadia dan Mbak Diah di Bentang. Maafkan saya kalo kerjaan saya ada yang kurang memuaskan.

Distorsi

Guru Bahasa Indonesiaku di SMA pernah ngadain tes kecil-kecilan tentang "penyampaian informasi lisan secara beruntun". Dengan kata lain, pesan berantai. Caranya, guruku menyampaikan sebuah pesan kepada seseorang, kemudian pesan itu diteruskan kepada secara beruntun kepada semua orang di kelasku. Percobaan ini dilakukan dua kali dan ternyata pada kedua kesempatan, pesan yang ditangkap oleh orang terakhir (dan disebutkannya di depan kelas), berbeda jauh dengan pesan yang diterima orang pertama. Dengan kata lain, penyebaran pesan secara lisan yang melibatkan banyak orang tuh gak efektif--karena rentan mengalami distorsi.

Tentunya, kita gak mengharapkan hal serupa terjadi pada penyebaran informasi lewat media massa. Jurnalis kan orang-orang yang terpercaya dan insyaAllah mereka gak asal aja mengabarkan suatu berita kepada masyarakat. Sayangnya, seterpercaya apa pun media massa tersebut, bukan berarti dia gak mungkin salah dalam menyampaikan pesan. Televisi khususnya, yang menyampaikan berita secara lisan dan acapkali real time. Selain itu, TV juga sering mengulang-ulang berita yang sama. Akibatnya, risiko salah pun menjadi semakin besar karena--ingat!--kian sering suatu berita disampaikan, kemungkinan berita tersebut melenceng kian besar pula.

Kalo mo memerinci kesalahan TV dalam menyampaikan info, sebenernya ada banyak. Tapi, mari kita tengok saja kasus yang paling hot, soal "susu bermelamin".

Badan POM menarik sejumlah produk yang mengandung susu buatan Cina setelah di negara tersebut ditemukan susu yang mengandung melamin. Jadi, tindakan BPOM merupakan suatu langkah preventif. Apakah semua produk tersebut mengandung melamin? Jawabannya: belum tau. Harus dilakukan pengujian dulu untuk tahu apakah produk-produk itu mengandung melamin ato enggak. Tapi daripada celaka, tarik aja semuanya.

Awalnya sih, info ini cukup jelas. Apalagi TV-TV pun menampilkan Kepala BPOM saat dia mengumumkan penarikan produk-produk tersebut (dan latar belakangnya). Tapi, makin lama berita tersebut makin terdistorsi. Penggunaan kata-kata "produk yang diduga mengandung melamin" ato "produk yang mengandung susu buatan Cina" entah sejak kapan berubah menjadi "produk bermelamin". Padahal itu kan belum pasti!

Parahnya lagi, budaya lisan dalam masyarakat kita masih berakar kuat. Plus, kita belum terbiasa kritis. Jadi, begitu melihat berita di TV, yang nempel mungkin cuma yang bombastis aja. Detail gak menarik seperti "ditarik karena dicurigai", "hanya makanan merek X berjenis Y yang dicurigai mengandung susu dari Cina" terlewatkan sepenuhnya. Yang terpatri di benak mungkin hanya: "Merek X bermelamin!" Sekian.

Info yang salah dalam permainan pesan berantai emang gak masalah, malah cenderung menghibur. Tapi kalo media massa sampai salah menyampaikan pesan, cilaka deh. Bukannya tercerahkan, masyarakat malah makin parno. Gawat kan?!