Tuesday, February 17, 2009

Botchan (Natsume Soseki) - Trivia

-----bag.1-----
-----bag.2-----

  • Botchan masuk ke dalam kategori "buku yang pasti pernah dibaca oleh orang Jepang mana pun".

  • Sama seperti Botchan, Soseki pun pernah mengajar di sebuah SMP di Pulau Shikoku.
    Paralelisme lainnya: Botchan sangat menyayangi pelayannya Kiyo dan tidak akrab dengan keluarganya sendiri, sedangkan Soseki--yang kelahirannya tak diharapkan karena saat itu usia ibunya sudah cukup tua--dibesarkan oleh keluarga pelayan sampai umurnya sembilan tahun.

  • Selain menyimbolkan pertarungan moralitas versus "kebejatan", Botchan konon juga menggambarkan pertentangan antara nilai-nilai tradisional Jepang (diwakili oleh Botchan dan Yamaarashi) dengan nilai-nilai "Barat" khususnya kolektivisme (diwakili oleh Akashatsu/si Baju Merah).

  • Karakter Botchan yang "biasa banget" (maksudku, dia itu pada dasarnya bukan orang yang mulia, heroik, cerdas, juga gak menonjol sebagai individu) dan suka nyablak, meskipun biasanya kata-kata celaannya hanya terucap di dalam pikiran, menurutku mirip dengan Holden Caulfield (The Catcher in the Rye) dan Kyon (Suzumiya Haruhi).

Thursday, February 12, 2009

Botchan (Natsume Soseki) bag.2

-----bag.1-----

Apa yang akan dilakukan Botchan yang "lurus" dan blak-blakan saat menghadapi dunia yang bengkok dan penuh tipu daya? Yang jelas, selanjutnya dia larut dalam dilema. Yang manakah yang harus dipercayainya, Akashatsu atau Yamaarashi?

Sebenarnya, kesan pertama Botchan akan mereka berdua gak terlalu bagus. Akashatsu menurutnya lebay dan sok, apalagi pasca insiden ramen-dango, dia mengisyaratkan bahwa makan di warung tidak sesuai dengan harkat dan martabat seorang guru. Di sisi lain, Yamaarashi bagi Botchan adalah orang yang gak tau sopan santun, meskipun poinnya langsung naik di mata Botchan saat Yamaarashi membantunya mencari tempat tinggal, apalagi dia juga disukai oleh murid-murid. Logikanya, gak mungkin orang yang payah begitu populer di mata anak-anak kan?!

Gara-gara cerita Akashatsu, Botchan pun jadi curiga pada Yamaarashi yang dianggapnya bersikap "lain di mulut, lain di hati". Yamaarashi pun bersikap dingin pada Botchan karena menurut induk semangnya Botchan bersikap gak sopan selama bermukim di tempat mereka (padahal si induk semanglah yang bersikap gak pantas; masa dia mencoba menjual lukisan palsu kepada Botchan, hanya saja tawaran ini selalu ditolak mentah-mentah karena Botchan sama sekali gak berminat dengan lukisan dan yang semacamnya).

Namun demikian, berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya membuat Botchan bertanya-tanya? Apakah benar Yamaarashi adalah si orang jahat? Jangan-jangan justru Akashatsu-lah si musuh dalam selimut yang sebenarnya. Butuh waktu beberapa lama sampai akhirnya Botchan menyadari siapa penjahat sebenarnya. Tekadnya untuk membuka kedok si orang jahat didorong oleh fakta bahwa bukan dirinya sajalah yang jadi korban kelicikan orang itu, apalagi setelah dia difitnah sebagai dalang tawuran antarpelajar.

Biasanya, kisah kebaikan vs kejahatan diakhiri dengan terbongkarnya kedok sang penjahat, semua orang tahu siapa dia sebenarnya, si penjahat diberi hukuman, dan orang-orang baik hidup bahagia selamanya. Dalam Botchan, si serigala berbulu domba memang tertangkap basah berbuat nggak bener. Tapi, kejelekannya tetap tak diungkapkan secara terbuka (meskipun sebenernya penduduk kota itu udah tau kalo si "jahat" teh jahat). Akhirnya justru Botchan-lah yang memutuskan untuk pergi dan kembali ke Tokyo karena dia udah gak sudi lagi tinggal di tempat seperti itu.

Intinya, mendefinisikan "baik" dan "jahat" di dunia nyata memang gak mudah. Tapi, jika terjadi sesuatu yang mengusik nurani kita, apakah kita akan membiarkan diri terbawa arus atau berpegang teguh pada apa yang kita yakini? Menurut Soseki, jawabannya jelas yang kedua. Bagaimana dengan Anda?

-----trivia-----

Wednesday, February 11, 2009

Radiohead di Grammy 2009

Kapan terakhir kali aku ngeliat Radiohead manggung (baca: via TV)? Jawabannya: entahlah. Dengan kata lain: udah lama banget. Makanya, aku antusias banget waktu tahu bahwa salah satu penampil di Grammy Award tahun ini adalah mereka, dan bahwa Grammy akan disiarkan di salah satu TV swasta.

Ternyata, mereka masih tetap keren (pandangan yang subjektif sih sebenernya)! Mereka tampil membawakan lagu "15 Step" dari album In Rainbows (yang kudapatkan dengan susah payah pada H-1 Lebaran 2007). Thom Yorke dengan gayanya yang maceuh, Jonny Grenwood dengan gitar dan rambut yang menutupi wajah, serta anak-anak marching band dari universitas apa-gitu yang memainkan alat-alat musik ritmis. Aku jadi merinding dibuatnya!

Aku memang sempet bertanya-tanya, ke mana tiga orang yang lain. Masa mereka gak dateng? Ternyata yang lain ada sih, meskipun gak ikut main. Tapi, aku curiga si juru kamera gak tau anggota Radiohead itu yang mana aja. Habis, waktu penerima nominasi Album of the Year diumumin, kameranya difokusin ke Thom Yorke aja (Jonny dan Colin Greenwood beruntung karena duduk mengapit Thom, jadi mereka keliatan; Ed O’Brien tinggi banget, jadinya kesorot; Phil Selway pasti duduk di sebelah Ed, tapi dia gak keliatan). Begitulah nasib personel band yang non-vokalis. Kalo orangnya narsis, pasti udah lama dia keluar dari band karena gak ridho, hehehe.

Tahun ini, Radiohead mendapatkan lima nominasi yaitu untuk Album of the Year, Best Alternative Album, Best Rock Performance By A Duo Or Group With Vocals, Best Rock Song, Best Short Form Music Video. Penghargaan yang didapat: satu. Lumayan lah, daripada gak dapet sama sekali. Masa kalah ama Coldplay sih?

Beberapa catatan khusus nih. Pertama, Gwyneth Paltrow. Aku langsung curiga pas ngeliat dia muncul. Jangan-jangan mau memperkenalkan Coldplay nih, pikirku. Nepotisme, nepotisme! Tapi ternyata enggak, karena yang dipersilakannya tampil adalah Radiohead. Kedua, Thom dan senyumnya. Serius, aku baru pertama kali ngeliat dia senyum! Jadi, aku cukup terkejut. Terkejut dalam arti postif tentunya. Ketiga, siaran yang dipotong-potong. Oke, seharusnya aku berterima kasih kepada Indosiar karena telah menayangkan Grammy tahun ini. Gak setiap tahun ada stasiun TV di Indonesia yang mau menayangkan ajang tersebut. Tapi, tetap aja aku kecewa karena banyak penerima penghargaan yang gak ditampilin. Jangan-jangan ada nyanyian yang gak ditampilin juga?!

Putus Karena Prasangka

Mungkin selama ini hubungan Islam dengan "Dunia Barat" memang selalu diwarnai oleh rasa curiga. Biar bagaimanapun, prasangka sejarah adalah hal yang sulit dihapuskan. Tapi, keadaan memburuk dengan drastis pasca serangan 11 September. Pusat-pusat kegiatan Islam dan properti milik Muslim diserang, orang-orang Islam disumpahserapahi, dan mobilitas orang-orang yang beragama Islam atau bernama ke-Arab-araban dibatasi.

Sebagai penduduk sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, aku tak pernah merasakan diskriminasi itu (meskipun, tak bisa dipungkiri, diskriminasi yang membatasi kebebasan untuk menjalankan keyakinan masih ada di negara ini). Intinya, aku gak pernah merasa dipersulit atau dibuat tidak nyaman karena agamaku Islam. Tapi kemudian, untuk pertama kalinya, aku merasakan diriku dijauhi, kemungkinan karena aku adalah seorang Muslim.

Ceritanya nih, aku punya seorang pen pal (oke lah, terjemahannya "sahabat pena", tapi menurutku kata "sahabat" terlalu berlebihan). Kami sudah saling berkirim surat--via internet--sejak 2006. Yang kami tuliskan dalam surat-surat kami hanyalah seputar kegiatan sehari-hari, tidak ada diskusi politik ato kehidupan pribadi.

Nah, temanku ini orang Midwest, daerah yang jauh kurang liberal dibandingkan dengan pantai Barat atau yang semacamnya. Aku tahu dia punya teman yang suaminya bertugas di Irak. Menyinggung bahwa aku tidak senang dengan kebijakan negaranya yang menyerbu Afghanistan dan Irak adalah tindakan yang sangat tak bijaksana, jadi aku tak pernah melakukannya. Lagi pula, yang kubenci adalah kebijakan AS, bukan orang per orangnya. Dan soal tentara-tentara yang dikirim ke luar negeri, aku kasihan kepada mereka karena menurutku mereka benar-benar dikadalin.

Setelah bergabung dengan Facebook dua bulan lalu, kuputuskan untuk mengirim undanganku kepadanya. Ini bukan hal yang istimewa, soalnya dia juga beberapa kali mengirimi aku undangan ke Goodreads, dsb. Sejak saat itu, korespondensi di antara kami terhenti. Memang sih, kadang-kadang surat cuma datang sebulan sekali, tapi ini udah lebih dari sebulan. Apalagi, biasanya dia yang lebih rajin ngirim surat daripada aku (soalnya aku gak punya bahan yang menarik buat diceritain sih). Aku tahu dia mestinya gak sibuuuuk banget sampe-sampe gak bisa ngirim surat karena dia masih sering nongol di forum pen pal yang kami ikuti.

Satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan adalah: dia dapet undanganku, ngeliat profilku di Facebook (dengan foto diriku yang berjilbab), dan syok. Mungkin dia adalah satu di antara banyak orang Amerika yang berprasangka buruk terhadap Islam dan gak mau berurusan dengan umat Muslim. Seandainya itu benar, aku sangat menyayangkannya. Aku mungkin sebaiknya cuek aja, kalo dia memutuskan untuk berpandangan cupet, itu masalahnya sendiri kan?!

Tapi, kehilangan teman tetap saja merasa menyedihkan, apalagi karena penyebabnya adalah sesuatu yang "nggak banget" seperti prasangka buruk.

Botchan (Natsume Soseki) bag.1

Pertarungan antara kebajikan versus kejahatan adalah salah satu topik paling standar dalam cerita-cerita. Biasanya tidaklah susah membedakan orang baik dan orang jahat. Si baik selalu berbudi luhur, baik hati, dan tidak mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, si jahat tidak bermoral, keji, dan serakah. Masalahnya, mengetahui yang mana yang "baik" dan yang mana yang "jahat" di dunia nyata gak semudah itu.

Botchan karya Natsume Soseki menunjukkan dilema tersebut: Gimana ngebedain orang "baik" dan orang "jahat"? Lalu, apa yang harus dilakukan terhadap si "jahat"? Bilamana kita menjumpai keadaan yang gak sesuai dengan idealisme kita, haruskah kita melawan atau menyerah aja?

Kisahnya tentang masa tinggal seorang pemuda di sebuah kota kecil, interaksinya dengan orang-orang di sana, dan kejadian-kejadian yang dialaminya. Nama sang karakter utama tak pernah disebut sepanjang jalannya cerita. Jadi, kita sebut saja dia Botchan (alias "Tuan Muda"). Soalnya, begitulah pelayannya memanggil dirinya (rekan kerjanya juga menjulukinya seperti itu, meskipun dalam hal ini panggilan tersebut merupakan olok-olok).

Selepas lulus dari Sekolah Tinggi Fisika di Tokyo, dia mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah SMP di Pulau Shikoku. Berhubung dia gak tau mau ngapain setelah lulus, diterimanya saja pekerjaan itu.

Karena dia orang Tokyo, banyak aspek kehidupan kota kecil yang tak biasa baginya. Misalnya saja saat menyewa kamar di sebuah penginapan, dia dikasih kamar yang benar-benar jelek, padahal masih banyak kamar kosong yang bagus di lantai atas (si pemilik ngakunya semua kamar udah penuh). Ternyata, penyewa harus ngasih uang muka supaya dapat memperoleh pelayanan yang prima. Kalo enggak, ya kayak dia deh. Kenapa pemilik penginapan gak langsung minta uang aja, coba? Selain itu, tampaknya semua orang saling tahu urusan masing-masing. Buktinya, murid-murid tahu bahwa dia mampir ke warung ramen dan dango, tahu berapa mangkok ramen dan berapa tusuk dango yang dimakannya, dan mengejeknya karena itu. Rese amat sih? Suka-suka orang dong, mau makan apa aja?!

Selain murid-murid rese yang suka lempar batu sembunyi tangan (sikap yang sangat dibenci Botchan), dia juga berhadapan dengan sejumlah rekan kerja yang "enggak banget" (menurut dia). Harap diingat, Botchan ini orangnya "lurus"--atau bisa juga disebut idealis--dan blak-blakan. Dia tipe orang yang gak segan-segan mencela karakter buruk orang lain, tapi juga gak ragu-ragu untuk minta maaf apabila dia salah. Masalahnya, orang "lurus" kayak dia kadang-kadang gak nyadar bahwa orang lain tuh gak seperti dia. Jadi, saat salah seorang guru yang dijulukinya Akashatsu ("Baju Merah", soalnya pakaiannya serba merah) memberi tahu Botchan bahwa guru bernama Hotta-lah (yang dijulukinya Yamaarashi atau "Landak") yang membuat Botchan jadi bulan-bulanan para murid dalam insiden dango dan ramen, Botchan langsung percaya. Padahal....

Catatan: Sistem penamaan di sini bergaya Jepang, Natsume = nama keluarga, Soseki = nama depan (meskipun Natsume Soseki itu sebenernya nama alias sih). Tapi, tidak seperti acuan terhadap seseorang yang biasanya dilakukan dengan menyebutkan nama keluarganya, pengarang yang satu ini biasa disebut "Soseki".

-----bersambung ke bag.2, soalnya kepanjangan-----
-----trivia-----