Hari gini ngomongin soal dokter? Gak ada topik yang lebih hangat apa, kayak BBM naik, sepakbola (Manchester United memenangi EPL dan UEFA Champion’s League loh, ngomong-ngomong--udah telat banget ya?!), SKB Ahmadiyah, sidang penyuapan jaksa dalam kasus BLBI, ato apa kek? Jawabannya: Biarin, soalnya mood-ku pinginnya ya nyeritain ini, hehehe. Mengingat blog ini udah gak diisi kira-kira dua bulan karena serangan kemalasan, udah untung aku “akhirnya” terinspirasi juga buat nulis sesuatu.
Sesuai judulnya, buku yang udah diterjemahin dengan judul Komplikasi: Catatan tentang Ilmu yang Tak Sempurna (terbitan Serambi) ini menceritakan tentang ketidaksempurnaan ilmu kedokteran. Kenapa gak sempurna? Karena para pelakunya (para dokter) adalah manusia yang tak bebas dari kealpaan dan kekhilafan. Karena tubuh (dan jiwa) manusia penuh dengan misteri yang sampe sekarang masih tak terpecahkan, meskipun ilmu pengetahuan udah jauh lebih maju.
Buku ini sebenernya adalah kumpulan artikel Gawande yang pernah dimuat di The New Yorker, tapi udah disusun secara tematis ke dalam tiga bagian, yaitu Kekhilafian, Misteri, dan Ketidakpastian. Karena mustahil menceritakan “ringkasan” buku ini (karena mustahil meringkas kumpulan artikel dengan temanya beda-beda), aku hanya akan menyoroti satu sisi saja yaitu soal dokter.
Jadi dokter itu emang susah. Soalnya, di tengah segala ketidakpastian dan ketidaksempurnaan dirinya serta lingkungannya (fasilitas, pengetahuan, dll), dia dituntut untuk selalu sempurna. Gimana enggak, yang dia hadapin
Intinya sih, semua dokter pernah salah. Sebagian besar melakukan kesalahan yang gak sampe membahayakan jiwa, sebagian kecil (yang apes) menyebabkan kondisi pasien tambah parah ato malah (naudzubillah) menyebabkan kematian. Gimana caranya meminimalisasi kesalahan? Yang jelas, seorang dokter harus banyak “berlatih”. Semakin sering dia menangani pasien, instingnya akan terasah makin tajam dan tindakan yang diambilnya pun cenderung lebih sering benar daripada salah. Mungkin kedengarannya paradoks--kedokteran
Karena kesalahan adalah hal yang wajar dan pada dasarnya para dokter yang berbuat salah tuh sebenarnya orang-orang baik kebetulan melakukan tindakan yang tidak tepat (jarang
Sayangnya, pendekatan ini punya banyak kelemahan (seperti yang diakui oleh Gawande sendiri). Kesetiakawanan mereka tuh gede banget. Jangankan menghadapkan dokter bermasalah ke komisi disiplin ato mencabut izin prakteknya, untuk mengingatkan aja terkadang mereka (rekan-rekan sejawatnya) sungkan. Kalo kasusnya udah gak ketulungan, baru komisi etis (ato apa pun namanya) mengambil tindakan, seperti yang diceritakan Gawande tentang dokter ortopedi--yang asalnya oke, tapi terus banyak bikin kesalahan karena ke-oke-annya itu mendatangkan terlalu banyak pasien dan bikin dia super sibuk--yang akhirnya dicabut izinnya setelah para sejawatnya yang prihatin melaporkan betapa banyak pasien yang dia tangani malah jadi tambah parah kondisinya. Tapi, jangan kaget kalo di luar
Meskipun jadi dokter itu susah, tapi asal niat baik, kerendahan hati, dan ketekunan terus dipelihara, kayaknya semua akan baik-baik aja. Dan yang pasti sih, jangan kebanyakan praktek karena bisa-bisa pelayanan ke pasien jadi gak maksimal, ntar kayak dokter ortopedi itu lagi. Tapi “anehnya”, dokter-dokter malah banyak yang protes waktu ada lokasi praktek mereka dibatasi (minimal tiga tempat, kalo gak salah). Apa takut pendapatannya berkurang? Aduh, Dok, tenang aja kali.