Thursday, June 12, 2008

Complication (Atul Gawande)

Hari gini ngomongin soal dokter? Gak ada topik yang lebih hangat apa, kayak BBM naik, sepakbola (Manchester United memenangi EPL dan UEFA Champion’s League loh, ngomong-ngomong--udah telat banget ya?!), SKB Ahmadiyah, sidang penyuapan jaksa dalam kasus BLBI, ato apa kek? Jawabannya: Biarin, soalnya mood-ku pinginnya ya nyeritain ini, hehehe. Mengingat blog ini udah gak diisi kira-kira dua bulan karena serangan kemalasan, udah untung aku “akhirnya” terinspirasi juga buat nulis sesuatu.

Sesuai judulnya, buku yang udah diterjemahin dengan judul Komplikasi: Catatan tentang Ilmu yang Tak Sempurna (terbitan Serambi) ini menceritakan tentang ketidaksempurnaan ilmu kedokteran. Kenapa gak sempurna? Karena para pelakunya (para dokter) adalah manusia yang tak bebas dari kealpaan dan kekhilafan. Karena tubuh (dan jiwa) manusia penuh dengan misteri yang sampe sekarang masih tak terpecahkan, meskipun ilmu pengetahuan udah jauh lebih maju.

Buku ini sebenernya adalah kumpulan artikel Gawande yang pernah dimuat di The New Yorker, tapi udah disusun secara tematis ke dalam tiga bagian, yaitu Kekhilafian, Misteri, dan Ketidakpastian. Karena mustahil menceritakan “ringkasan” buku ini (karena mustahil meringkas kumpulan artikel dengan temanya beda-beda), aku hanya akan menyoroti satu sisi saja yaitu soal dokter.

Jadi dokter itu emang susah. Soalnya, di tengah segala ketidakpastian dan ketidaksempurnaan dirinya serta lingkungannya (fasilitas, pengetahuan, dll), dia dituntut untuk selalu sempurna. Gimana enggak, yang dia hadapin kan manusia. Kalo salah, bisa-bisa nyawa taruhannya. Beda sama mekanik misalnya, yang kalo salah dalam bertindak paling banter juga bikin mesin rusak. Gawande sendiri menceritakan bagaimana dirinya melakukan tindakan medis tidak tepat yang nyaris membahayakan nyawa pasiennya. “Tidak tepat”, bukan “salah”, karena tindakannya sesuai dengan prosedur. Masalahnya, ada begitu banyak variabel yang menentukan keberhasilan suatu operasi. Suatu tindakan yang mungkin pas untuk satu pasien, belum tentu tepat bagi pasien lain. Dalam kasus Gawande, leher berlemak seorang pasien menyulitkannya membuat torehan untuk memasukkan pipa trakea (untuk membantu bernapas).

Intinya sih, semua dokter pernah salah. Sebagian besar melakukan kesalahan yang gak sampe membahayakan jiwa, sebagian kecil (yang apes) menyebabkan kondisi pasien tambah parah ato malah (naudzubillah) menyebabkan kematian. Gimana caranya meminimalisasi kesalahan? Yang jelas, seorang dokter harus banyak “berlatih”. Semakin sering dia menangani pasien, instingnya akan terasah makin tajam dan tindakan yang diambilnya pun cenderung lebih sering benar daripada salah. Mungkin kedengarannya paradoks--kedokteran kan ilmu “pasti”, kok pake insting-instingan segala sih? Lagian pasien kan makhluk hidup, masa dijadiin ajang latihan? Tapi, begitulah kenyataannya. Langkah lain yang ditempuh guna meminimalisasi kesalahan adalah evaluasi. Di RS tempat Gawande menjadi residen bedah, dia menceritakan bagaimana setiap seminggu sekali, semua dokter bedah berkumpul untuk membahas kasus-kasus apa saja yang terjadi pekan itu, langkah apa yang diambil, ada kesalahan ato enggak, tindakan apa yang sebaiknya diambil untuk mencegah kesalahan yang sama di masa depan. Benar-benar bijaksana, menurutku, karena dengan cara ini, setidaknya para dokter senantiasa diingatkan akan ketidaksempurnaan diri mereka dan oleh karena itu, akan selalu berusaha rendah hati serta meningkatkan kemampuan dirinya. Yang membuatku bertanya-tanya, evaluasi kayak gini diadain secara rutin gak sih, ama dokter-dokter di Indonesia?

Karena kesalahan adalah hal yang wajar dan pada dasarnya para dokter yang berbuat salah tuh sebenarnya orang-orang baik kebetulan melakukan tindakan yang tidak tepat (jarang kan, ada dokter yang emang asli edan kayak Michael Swango), Gawande gak setuju bilamana dokter yang salah sehingga merugikan pasien dituntut ke pengadilan. Menurutnya, hal ini justru akan menyebabkan komunitas dokter semakin tertutup dan ujung-ujungnya, publik juga yang rugi kalo dokter gak mau terbuka dalam membagi informasi kepada mereka. Cara yang paling bagus (menurut Gawande) adalah mekanisme kontrol internal. Artinya, kalo dokter salah, dokter pulalah yang sebaiknya memberikan teguran dan sanksi, bukan pengadilan.

Sayangnya, pendekatan ini punya banyak kelemahan (seperti yang diakui oleh Gawande sendiri). Kesetiakawanan mereka tuh gede banget. Jangankan menghadapkan dokter bermasalah ke komisi disiplin ato mencabut izin prakteknya, untuk mengingatkan aja terkadang mereka (rekan-rekan sejawatnya) sungkan. Kalo kasusnya udah gak ketulungan, baru komisi etis (ato apa pun namanya) mengambil tindakan, seperti yang diceritakan Gawande tentang dokter ortopedi--yang asalnya oke, tapi terus banyak bikin kesalahan karena ke-oke-annya itu mendatangkan terlalu banyak pasien dan bikin dia super sibuk--yang akhirnya dicabut izinnya setelah para sejawatnya yang prihatin melaporkan betapa banyak pasien yang dia tangani malah jadi tambah parah kondisinya. Tapi, jangan kaget kalo di luar sana ada dokter pecandu narkoba ato penderita depresi (mungkin persentasenya sama saja seperti di komunitas lain) yang masih bisa berpraktek dengan bebas, soalnya para sejawatnya terlalu sungkan untuk menyinggung-nyinggung masalahnya itu, apalagi menasihati! (kata Gawande loh, bukan kata saya)

Meskipun jadi dokter itu susah, tapi asal niat baik, kerendahan hati, dan ketekunan terus dipelihara, kayaknya semua akan baik-baik aja. Dan yang pasti sih, jangan kebanyakan praktek karena bisa-bisa pelayanan ke pasien jadi gak maksimal, ntar kayak dokter ortopedi itu lagi. Tapi “anehnya”, dokter-dokter malah banyak yang protes waktu ada lokasi praktek mereka dibatasi (minimal tiga tempat, kalo gak salah). Apa takut pendapatannya berkurang? Aduh, Dok, tenang aja kali. Kan udah ada tanda terima kasih dari perusahaan-perusahaan farmasi. Gak bakalan rugi, kali...