Sunday, October 15, 2006

Untuk Tujuh Turunan

Apa persamaan Pengepungan Osaka 1614-1615 dengan mahasiswa SBM-ITB? Sekilas emang sama sekali gak ada hubungannya, tapi aku berhasil menemukan persamaan di antara keduanya secara ajaib. Bukan karena aku nyari-nyari loh, tapi benang merah itu tiba-tiba saja terlihat jelas di pikiranku. Oke, mulai aja deh!

Mahasiswa S1 SBM-ITB itu kaya-kaya. Orang tuanya, maksudku. Program S1 SBM-ITB yang dibuka sejak tiga tahun lalu menerima 100% mahasiswanya lewat jalur USM (yang juga dikenal sebagai jalur 45 juta, meskipun para mahasiwa yang berhasil masuk semuanya nyumbang lebih dari itu). Uang bayaran mereka juga dihitung per-SKS yang diambil, bukan pukul rata seperti mahasiswa program studi lain di ITB; kayak di perguruan tinggi swasta gitu deh. Bukti nyata dari pernyataanku di atas (“Anak SBM kaya-kaya”) bisa dilihat di pintu masuk kampus ITB sebelah barat (yang deket dengan gedung SBM) yang sejak tiga tahun terakhir ini makin disesaki oleh mobil-mobil mewah (!) yang terparkir di sana.

Udah jadi rahasia umum bahwa di antara jurusan-jurusan IPS yang paling menjanjikan dari segi materi, jurusan Bisnis dan Manajemen adalah satu di antaranya. Apalagi bagi para lulusan perguruan tinggi terkemuka, pekerjaan yang bergengsi dan gaji yang menggiurkan bisa dibilang sudah di depan mata. Tapi, aku gak heran kalo mahasiswa SBM-ITB itu ada (atau banyak) yang ortunya merupakan pimpinan puncak perusahaan atau malah pemiliknya; dan mereka dipersiapkan untuk menggantikan/meneruskan kejayaan keluarganya.

Dari sini, izinkanlah aku melompat ke belahan dunia lain dan mundur beberapa abad untuk memaparkan masalah yang tampaknya tidak berhubungan sama sekali dengan anak-anak SBM-ITB (meskipun sebenarnya ada, menurutku): Pengepungan Osaka.

Kira-kira empat ratus tahun lalu, di awal abad ke-17, pemerintahan Jepang dipimpin oleh keluarga (klan? dinasti? emang apa bedanya sih?) Tokugawa. Sama seperti sekarang, Kaisar Jepang duduk dengan tenang di istananya di Kyoto; menikmati (?) kedudukannya sebagai setengah dewa.

Saat itu, (mantan) Shogun Tokugawa Ieyasu mulai merasa khawatir dengan menguatnya pengaruh keluarga Toyotomi (kisah tentang bagaimana keluarga Toyotomi berhasil menancapkan pengaruh dan mengumpulkan, ehm, harta yang melimpah terlalu panjang untuk diceritakan di sini). Pengaruh Toyotomi begitu besar sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa lebih baik mereka, dan bukan Tokugawa, yang diserahi tugas memimpin pemerintahan.

Dalam sebuah organisasi (dalam hal ini, negara), hanya boleh ada satu pemimpin tertinggi karena bila hal ini tidak terpenuhi, kekompakan seluruh organisasi yang jadi taruhannya. Oleh sebab itu, sangat wajar apabila Ieyasu berpendapat bahwa sentimen tersebut mengancam persatuan negara dan Toyotomi harus dipaksa untuk mengakui kekuasaan Tokugawa. Itu kalo mau berbaik sangka. Tapi, gak terlalu berlebihan juga untuk menduga bahwa unsur “mementingkan diri sendiri” juga ada dalam pikiran Ieyasu. Gak mungkin kan, dia rela-rela aja kekuasaan keluarganya diancam oleh pihak lain? Demi kelanggengan kekuasaannya (dan juga anak cucunya di masa depan), dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Singkat kata, karena cara halus tidak berhasil, akhirnya Tokugawa menyerbu istana Toyotomi di Osaka (tentu saja, setelah mereka menemukan alasan yang cukup “kuat” untuk menyerang Toyotomi). Penyerbuan tersebut berakhir dengan musnahnya keluarga Toyotomi dan Tokugawa bertahan sebagai pimpinan pemerintahan sampai Restorasi Meiji dua setengah abad kemudian.

Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa manusia punya naluri untuk mempertahankan apa yang dia punya dan kalo bisa sih diwarisin buat anak-cucu, meskipun dalam tingkat yang berbeda. Itu sebabnya ortu para mahasiswa SBM-ITB gak keberatan ngeluarin biaya yang relatif besar (bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kalo bagi mereka sih mungkin kecil) untuk ngebiayain anaknya supaya anaknya bisa sukses dan tetap hidup enak. Itu sebabnya Tokugawa Ieyasu memutuskan untuk menyerang Toyotomi di Osaka, karena dia pingin mempertahankan dan mewariskan kekuasannya untuk anak-cucu.

Kapanpun zamannya, dari manapun asalnya, dan meski dalam skala yang berbeda-beda, ternyata kalo udah soal harta dan tahta: manusia itu sama aja!

Catatan: Bukan, aku bukan penganut paham sosialisme atau yang semacamnya. Aku cuma mengungkapkan pendapat berdasarkan apa yang kulihat. Gak ada maksud untuk menyinggung orang lain juga. Tapi kalo ada yang gak setuju atau ada yang ngelihat “ketidakakuratan” dalam tulisanku, silakan memberi kritikan! Terakhir, makasih buat Eko yang udah minjemin DVD-nya (sehingga memberi aku inspirasi buat nulis ini).