Tuesday, April 28, 2009

Jalan-jalan di Palembang bag.3

-----bag.1-----
-----bag.2-----

Nginep di rumah orang ternyata gak menghilangkan kebiasaan burukku. Pada hari ketiga di Palembang, aku bener-bener kaget waktu sadar bahwa jam sudah menunjukkan setengah sepuluh! Seperti biasa, aku tidur lagi sesudah shalat Subuh, tapi biasanya aku gak bangun sesiang itu tanpa menyadarinya. Pokoknya, aku buru-buru mandi sebelum menjalani agenda hari itu bersama Riri.

Untuk pertama kalinya selama aku di Palembang, hujan turun. Enak sih, soalnya dua hari sebelumnya udara bener-bener edan panasnya. Agak mengkhawatirkan juga, soalnya bisa-bisa hujan mengganggu acara kami hari ini. Untungnya, hujan hanya tinggal rintik-rintik waktu kami meninggalkan rumah Riri.

Tempat pertama yang kami tuju hari itu adalah Kambang Iwak ... (maaf, lupa nama belakangnya). Meskipun namanya berarti "Kolam Ikan", tempat itu sebenernya adalah semacam danau. Kata Riri sih ini danau beneran, bukan buatan. Tapi, memang ada ikannya kok. Ikan-ikan itu--entah ikan apaan--berukuran besar dan tampaknya cuma berkumpul di salah satu sisi danau saja. Mungkin karena dari sisi itulah mereka biasanya diberi makan. Ada petugas yang bertugas ngasih makan, tapi pengunjung juga diperbolehkan melempar makanan ikan (bukan kacang, roti, rumput, dsb kayak di kebun binatang, tentu saja) ke dalam danau, untuk disantap ikan-ikan itu.

Danau yang terletak persis di depan kediaman resmi walikota Palembang ini adalah tempat nongkrong favorit pasangan muda (dan tua, mungkin?) di kota tersebut. Yah, dijadiin tempat maksiat juga sih, terutama saat malam Minggu. Aneh juga sebenernya, soalnya tempat itu lumayan terbuka. Banyak pohon, tapi seandainya Anda berniat melakukan maksiat di sana, pohon-pohon itu tidak cukup untuk melindungi Anda dari mata khalayak. Gitu deh.

Setelah itu, kami pergi ke Pasar ... Ilir (lagi-lagi aku lupa namanya) buat beli Mi Celor untuk sarapan. Aku baru pertama kali itu makan mi celor--mi yang kuahnya berupa santan dicampur udang--dan menurutku rasanya SANGAT AMAT LEZAT SEKALI. Serius! (Waktu nulis ini aja aku jadi ngiler.) Sayang seribu sayang, makanan super sedap ini GAK ADA DI BANDUNG! Kenapa, oh, kenapa? Ayo, perantau Palembang di Bandung! Jangan jualan pempek melulu. Coba jualan mi celor deh, pasti saya beli....

Perut yang kenyang mengantar kami ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Ada satu hal yang patut digarisbawahi dari kunjunganku ke sini: Palembang itu kota sungai banget. Kayaknya, kehidupan masyarakat Palembang sejak dulu emang berkisar di sekitar sungai. Oh iya, kapal-kapal dagang zaman dulu tuh bisa terus dari Samudra Hindia terus ke Sungai Musi untuk mencapai Palembang. (Sama kayak di Jakarta lah, dulu kapal-kapal bisa masuk sampe Kali Besar; tau kan, itu di wilayah kota tua Jakarta deket Pecinan.) Tapi, berhubung Sungai Musi sekarang jauh lebih dangkal daripada dulu, dan mungkin juga karena ukuran kapal yang sekarang jauh lebih besar, gak ada lagi kapal dagang yang masuk terlalu jauh ke hulu Sungai Musi. Di museum, kami juga bertemu penjaga museum yang memberi kami beberapa petuah yang ... yah, lumayan mengena di hati. Tapi, kemampuannya "membaca" karakter lewat nama (menurut pengakuannya) sangat meragukan. (Riri = pendiam dan pemalu, gak banget! :D) Keluar dari museum, aku menyempatkan diri buat memfoto Jembatan Ampera yang keren abisss (dilatarbelakangi langit mendung, jadi kesannya udah sore walau sebenernya baru jam setengah satu).

Perjalanan dilanjutkan ke Masjid Raya Palembang, yang arsitekturnya bergaya Cina. Masjid ini baru aja direnovasi, tapi menurut warga lokal, arsitektur bangunan masjid yang baru gak sebagus arsitektur aslinya. Padahal menurutku sih udah bagus. Beda dengan masjid-masjid di Jawa, lah. Sempet juga "dimarahin" ama petugas di sana karena dikira berfoto di dalam masjid (padahal yang kufoto cuma interiornya). Kalo gak mau dipanggil "Pak" jangan panggil saya "Ibu" dong, Bang!

Menurut rencana, sehabis itu kami berencana makan pindang daging deket kantor DPRD. Tapi, pindang dagingnya udah habiss!!!! Disikat ama orang-orang dari kantor DPRD buat makan siang sih. Tapi, gak apa-apa. Kami memutuskan buat ke Warung Legenda malemnya. Pindang dagingnya mungkin gak seenak di deket kantor DPRD, tapi suasananya oke (dan memang benar!). Sisa siang itu dihabiskan dengan keliling-keliling (mampir ke kantor Riri dan beli oleh-oleh; sempet juga ngedengin curhatan menjijikkan seorang cowok di radio; gara-gara dia, aku jadi gak konsen baca Anne of Green Gables deh). Sorenya, kami pulang bentar untuk shalat dan siap-siap buat ke Legenda untuk makan malem.

Beneran! Suasananya asyik banget. Setelah parkir di deket Benteng Kuto Besak (yang masih berdiri kokoh setelah lebih dari dua ratus tahun!!!), kami kontan didatangi oleh petugas dari Legenda. Sempet curiga juga sih, kirain petugas parkir liar, tapi sepertinya sih enggak. Kemudian kami berdua diantar menyeberangi Sungai Musi menuju Warung Legenda yang terapung di kawasan Ulu, naik kapal motor! Suasana yang remang-remang membuat perjalanan kali ini lebih romantis daripada saat kami menyusuri Sungai Musi menuju Pulau Kemaro.

Walau angin bertiup kencang dan penerangannya redup--ato justru karena itu--acara makan/nongkrong kami di Warung Legenda terasa romantis (maaf, lagi-lagi saya menggunakan kata ini). Bukan romantis per-lope-an, ya, tapi pokoknya begitu deh. Entah kata apa yang lebih cocok untuk menggambarkannya. Dalam suasana seperti itu, paling enak curhat-curhatan, jadi langsung deh. (Isi percakapan kami tentu saja RA-HA-SI-A!) Serombongan pengunjung di rakit-rakit terdepan sibuk berkaraoke ria, tapi kami gak peduli. Dari Legenda, kami bisa ngeliat sisi seberang sungai yang kerlap-kerlip, perahu-perahu kecil yang sesekali melintas hanya dengan setitik nyala lampu minyak, Jembatan Ampera yang tampak megah di tengah kegelapan Sungai Musi. Sumpah kerennnnn! Kunjungan kami ke Warung Legenda sangatlah pantas menjadi klimaks perjalananku di Palembang.

Keesokan harinya aku harus pulang ke Bandung. Aku pamit ama keluarga Riri, terus Riri nganterin aku ke bandara. Berpisah terasa berat, tapi apa mau dikata. Lagi-lagi waktu lepas landas tertunda sampe sejam, tapi selain itu gak ada masalah yang berarti sampe aku tiba di Bandung dengan selamat. Alhamdulillah.

Tujuan berikutnya: Lombok! Aku datang!!!!!

Thursday, April 23, 2009

Jalan-jalan di Palembang bag.2

-----bag.1-----

Hari kedua di Palembang, aku dan Lina berangkat ke Benteng Kuto Besak jam sembilan (padahal janjiannya jam segitu). Kami kira Riri bakal telat, jadinya santai-santai aja. Sampai di sana, matahari sudah bersinar terik dan Riri udah nungguin sejam (sekarang giliran Riri yang dicurahi permohonan maaf). Karena Riri udah memesankan perahu yang akan membawa kami ke Pulau Kemaro, kami pun langsung cabut ke tempat tujuan.

Baterai kameraku ternyata habis, jadi seharian itu hanya kamera digital Ririlah yang kami andalkan. Tentu saja, perjalanan menyusuri Sungai Musi tidaklah lengkap tanpa berfoto. Memfoto diri sendiri, juga menjepret objek-objek yang ada di sepanjang Sungai Musi (kapal-kapal yang kami lewati, dermaga PT PUSRI, pom bensin PERTAMINA untuk kapal dan perahu). Bapak tukang perahu menyarankan agar kami berpose di ujung haluan (kayak Kate Winslet di film Titanic), tapi kami menolak karena ngeri, hehehe..... Perahu yang bergoyang setiap kali gelombang datang memang cukup bikin deg-degan meskipun--serius nih--rasanya agak mirip goyangan delman yang lagi ngebut di tanjakan menuju jembatan Gunung Batu. Menganalogikan goyangan perahu dengan goyangan delman ternyata membuatku lumayan tenang, walaupun Riri menjerit-jerit heboh :D.

Sesampai di Pulau Kemaro, sebagai "kata sambutan", Riri menceritakan legenda pulau itu. Alkisah, pangeran dari Negeri Cina ingin mempersunting putri dari Palembang. Untuk membuktikan itikad baiknya, sang pangeran pun berlayar ke Palembang sambil membawa aneka barang berharga. Yang gak dia tahu, ayahnya sudah menyiapkan tipuan, kalau-kalau kapal mereka diserang perompak yang merajalela di Selat Malaka (sampai sekarang, Selat Malaka masih merupakan salah satu tempat yang paling banyak dilayari oleh perompak, meskipun masih kalah jauh dari perairan Somalia): barang-barang berharga itu disembunyikan di bawah kuali-kuali berisi sayuran. Sayangnya, ketika kapal hendak merapat dan pangeran memeriksa barang bawaannya, dia syok berat melihat benda-benda tak berharga itu (baca: sayuran). Setelah menendang kuali-kuali itu ke sungai, tanpa pikir panjang dia pun langsung menenggelamkan dirinya. (Tolol banget, kan?! Tapi, kok dia gak ngeliat bahwa di bawah kuali-kuali itu ada perhiasan dll, sih?) Sang putri yang patah hati memutuskan untuk mengikuti jejak kekasihnya. (Ini lebih tolol lagi!) Kuali-kuali itu akhirnya mewujud menjadi Pulau Kemaro, bukti cinta kasih pasangan (tolol) ini.

Walau saat itu hari Minggu, suasana di Pulau Kemaro sepi. Menurut Riri sih karena kurang publisitas. Di pulau ini terdapat wihara dan pagoda (?), jadi pulau ini biasanya hanya ramai saat Imlek. Pada hari biasa, Pulau Kemaro hanya bisa diakses via Sungai Musi. Tapi, ada jembatan yang menghubungkan salah satu (dari sekian banyak) dermaga PT Pusri langsung dengan Pulau Kemaro. Jembatan ini cuma dibuka saat Imlek, untuk memudahkan para pemuja yang ingin beribadah. Pulau Kemaro dihuni segelintir orang, yaitu kuncen dan keluarganya (kayaknya sih) dan anjing-anjing peliharaaannya.

Perjalanan pulang ternyata beda banget ama perjalanan pergi. Pertama, kami sekarang berani mejeng di haluan. Kedua, objek-objek yang kami amati dan potret juga beda (rumah terapung, anak-anak yang mandi di sungai, masjid yang didirikan di permukaan sungai di atas tonggak-tonggak, Jembatan Ampera yang kelihatan lebih bagus dari arah selatan). Ketiga, ketimpangan antara wilayah Ilir dan Ulu lebih jelas. Wilayah Ulu tampak lebih kuno dan tertinggal (rumah-rumah terapung terletak di Ulu), bahkan di mata pengunjung seperti aku. Menurut Riri, wilayah Ulu juga punya reputasi jelek (wilayah yang "berbahaya" deh, pokoknya). Mungkin ini ada hubungannya dengan ketimpangan pembangunan itu, ya...

Di tepi Sungai Musi, kami berpisah. Lina balik ke tempatnya, aku dan Riri meluncur ke rumah Riri. Dadah, Lina! Angkot di Palembang cukup unik, dengan komposisi 2-2-3-3 (ato 2-2-3-2 ya?!). Semua penumpang menghadap ke depan (kecuali yang duduk paling belakang, kayaknya sih), dan ada empat pintu (dua di depan, satu di tengah, satu di belakang; kayak Kijang). Pintu tengah dibuka dengan cara yang unik: gak ada kenop pintu, tapi ada bilah logam panjang terbungkus selang plastik yang bisa didorong ke depan supaya pintu terbuka.

Sampai di rumah Riri, langsung dijamu oleh orang tuanya (terima kasih, Bu, Pak). Habis itu tidur siang. Malemnya makan Model H. Dowa (sedaaap!), balik ke rumah Riri, terus ngobrol-ngobrol sampe jatuh tertidur....

-----bag.3-----

Friday, April 17, 2009

Jalan-jalan di Palembang bag.1

Seandainya aku percaya pada pertanda buruk, aku gak bakalan jadi pergi ke Palembang. Pertama, mobil gak bisa dikeluarin karena di depan rumah ada pick-up yang lagi parkir. Dua, namaku gak tercantum di daftar penumpang Cipaganti meskipun tiga hari sebelumnya udah reservasi (aku udah berkali-kali naik Cipaganti dan ini gak pernah terjadi sebelumnya!). Tiga, pesawat ditunda keberangkatannya karena Palembang berkabut. Dengan bismillah, kumantapkan hati untuk jalan terus. Lagian, masa mau mundur sekarang?

Aku nyampe di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II yang bersih, bagus, dan masih baru sekitar jam sembilan seperempat. Keluar di terminal, kulihat Riri melambai-lambaikan tangan sambil teriak, "Teteh!" Setelah reuni singkat yang bikin orang-orang di sekitar sana mengolok-olok kehebohan kami (harap dimaklumi, udah dua tahun kami gak ketemu), kami berdua langsung cabut ke rumah Lala di Jalan R. E. Martadinata. Selama di perjalanan, Riri ngasih uraian singkat tentang peta perpolitikan lokal dan kongkalikong antara media dan politisi.

Ternyata eh ternyata, Riri gak tau jalan. Dia udah ngopi peta dari kantor (dalam bentuk peta buatan tangan yang skalanya di berbagai lokasi gak sama), tapi payahnya kami berdua bukan tipe pembaca peta. Walau sempat salah belok dan malah nyasar di dermaga PT Pusri (dengan santainya, kami keluar dari mobil dan berfoto-foto di sana), akhirnya kami mencapai rumah Lala dengan selamat.

Baru duduk bentar, kami berdua disuguhi hidangan lezat tak terkira (menurutku) yaitu bala-bala. Sambil cengar-cengir, kami minta izin untuk menikmati bala-bala itu (yang rasanya semantap penampilannya). Lalu, Lala berkisah tentang proses persalinannya yang menyakitkan: air ketuban yang gak pecah tapi perut udah mules-mules, balik lagi ke rumah setelah berangkat ke bidan karena bukaannya gak kunjung membesar, dan persalinan yang memakan waktu kurang lebih 24 jam. Semua diceritakan dengan ketenangan dan kelempengan ala Neng Lala (!!!). Oh iya, anaknya Lala, Kaysan, baru sebulan. Jadi, meskipun dia menyadari keberadaan dua orang asing di rumahnya, dia gak bersikap responsif (padahal udah kupandangi terus loh; yah, Kaysan, Tante kecewa nih!). Selama di sana, aku menangkap kesan bahwa Kaysan tuh anak yang manis dan gak rewel. Begitu dia menangis, gak butuh waktu lama untuk menenangkannya (tapi, tentu saja, kedua orang tuanya pasti tetap saja kerepotan menangani anak pertama mereka ini--maklumlah, orang tua baru).

Masih kekenyangan setelah menggasak bala-bala, eh muncul lagi makan siang. Ya udah, dimakan aja deh, kan udah susah payah disiapin sama si bibi (alasan, sebenernya sih rakus aja ;p). Gak lama setelah makan siang, Riri harus balik karena mobilnya mau dipake kakaknya. Riri janji buat nyusul aku sehabis Ashar karena setelah itu kami berdua janjian ama Lina dan Henny di salah satu mall (garing ya, tapi gak kepikiran tempat lain sih).

Untuk menunggu waktu Ashar, kuhabiskan waktu dengan tidur (suer ngantuk, dari rumah berangkat jam setengah dua dan aku hampir gak tidur sepanjang perjalanan). Pas bangun, dijamu lagi. Kali ini dengan pempek. Rasanya? Sedaaaaap! Emang gak salah kalo orang Palembang selalu menegaskan bahwa tak ada yang menyaingi rasa pempek asli buatan Palembang.

Riri baru muncul jam empat karena angkot yang ditumpanginya ngetem melulu. Tanpa buang waktu, kami meluncur ke tempat janjian menggunakan angkot setelah berterima kasih kepada Lala sekeluarga. Ternyata, semua bus kota di Palembang full music. Musiknya: dangdut koplo. Tau kan, dangdut yang dikemas dengan musik elektronik. Konon, para operator bus berpendapat mereka takkan bisa menjaring penumpang berusia muda apabila mereka gak memutar musik jenis ini di bus mereka. Hihihi, lucu juga.

Kami baru nyampe di tempat janjian jam setengah enam. Telat banget. Kami pun minta ampun kepada Lina yang udah nunggu lama. Setelah itu, kami nongkrong bentar di Es Teler 77 (aku gak mesen apa-apa, masih kenyang sih). Gak banyak yang kami obrolin di sana karena udah hampir Maghrib. Lagian, Henny juga gak enak badan. Setelah janjian buat ketemuan besok di depan Benteng Kuto Besak, kami berpisah jalan. Malam itu aku bakalan nginep di kosan Lina (makasih, Lin).

Sebelum ke kosan Lina, kami mampir dulu di apotek Kimia Farma tempat dia bekerja. "Jangan kaget ya, Ren," katanya. "Apotek KF di sini gak sebagus yang di Pulau Jawa." Emang sih. Pertama, lumayan banyak apotek KF yang letaknya berdekatan (kata Lina, banyak di antara apotek itu yang dulunya bukan apotek KF, tapi kemudian dibeli dan di-"balik nama"-kan). Kedua, tatanannya gak sekeren di Pulau Jawa, dengan lemari pajang dari kaca dsb. Tampilan apotek KF di Palembang lebih sederhana, tapi sistemnya sama kok. Good pharmaceutical practice tetap jadi yang utama, yang membedakan apotek ini dengan mayoritas apotek lainnya yang sekadar jualan obat.

Di kosan Lina, kami bersantai-santai dan ngobrol tentang Situ Gintung, bus Trans Jakarta, pengalamannya di apotek, dll. Kemudian tidur deh, dininabobokkan oleh film The Diving Bell and the Butterfly, dan disejukkan oleh embusan angin sepoi-sepoi (dari kipas angin).

-----bag.2-----
-----bag.3-----