Friday, April 17, 2009

Jalan-jalan di Palembang bag.1

Seandainya aku percaya pada pertanda buruk, aku gak bakalan jadi pergi ke Palembang. Pertama, mobil gak bisa dikeluarin karena di depan rumah ada pick-up yang lagi parkir. Dua, namaku gak tercantum di daftar penumpang Cipaganti meskipun tiga hari sebelumnya udah reservasi (aku udah berkali-kali naik Cipaganti dan ini gak pernah terjadi sebelumnya!). Tiga, pesawat ditunda keberangkatannya karena Palembang berkabut. Dengan bismillah, kumantapkan hati untuk jalan terus. Lagian, masa mau mundur sekarang?

Aku nyampe di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II yang bersih, bagus, dan masih baru sekitar jam sembilan seperempat. Keluar di terminal, kulihat Riri melambai-lambaikan tangan sambil teriak, "Teteh!" Setelah reuni singkat yang bikin orang-orang di sekitar sana mengolok-olok kehebohan kami (harap dimaklumi, udah dua tahun kami gak ketemu), kami berdua langsung cabut ke rumah Lala di Jalan R. E. Martadinata. Selama di perjalanan, Riri ngasih uraian singkat tentang peta perpolitikan lokal dan kongkalikong antara media dan politisi.

Ternyata eh ternyata, Riri gak tau jalan. Dia udah ngopi peta dari kantor (dalam bentuk peta buatan tangan yang skalanya di berbagai lokasi gak sama), tapi payahnya kami berdua bukan tipe pembaca peta. Walau sempat salah belok dan malah nyasar di dermaga PT Pusri (dengan santainya, kami keluar dari mobil dan berfoto-foto di sana), akhirnya kami mencapai rumah Lala dengan selamat.

Baru duduk bentar, kami berdua disuguhi hidangan lezat tak terkira (menurutku) yaitu bala-bala. Sambil cengar-cengir, kami minta izin untuk menikmati bala-bala itu (yang rasanya semantap penampilannya). Lalu, Lala berkisah tentang proses persalinannya yang menyakitkan: air ketuban yang gak pecah tapi perut udah mules-mules, balik lagi ke rumah setelah berangkat ke bidan karena bukaannya gak kunjung membesar, dan persalinan yang memakan waktu kurang lebih 24 jam. Semua diceritakan dengan ketenangan dan kelempengan ala Neng Lala (!!!). Oh iya, anaknya Lala, Kaysan, baru sebulan. Jadi, meskipun dia menyadari keberadaan dua orang asing di rumahnya, dia gak bersikap responsif (padahal udah kupandangi terus loh; yah, Kaysan, Tante kecewa nih!). Selama di sana, aku menangkap kesan bahwa Kaysan tuh anak yang manis dan gak rewel. Begitu dia menangis, gak butuh waktu lama untuk menenangkannya (tapi, tentu saja, kedua orang tuanya pasti tetap saja kerepotan menangani anak pertama mereka ini--maklumlah, orang tua baru).

Masih kekenyangan setelah menggasak bala-bala, eh muncul lagi makan siang. Ya udah, dimakan aja deh, kan udah susah payah disiapin sama si bibi (alasan, sebenernya sih rakus aja ;p). Gak lama setelah makan siang, Riri harus balik karena mobilnya mau dipake kakaknya. Riri janji buat nyusul aku sehabis Ashar karena setelah itu kami berdua janjian ama Lina dan Henny di salah satu mall (garing ya, tapi gak kepikiran tempat lain sih).

Untuk menunggu waktu Ashar, kuhabiskan waktu dengan tidur (suer ngantuk, dari rumah berangkat jam setengah dua dan aku hampir gak tidur sepanjang perjalanan). Pas bangun, dijamu lagi. Kali ini dengan pempek. Rasanya? Sedaaaaap! Emang gak salah kalo orang Palembang selalu menegaskan bahwa tak ada yang menyaingi rasa pempek asli buatan Palembang.

Riri baru muncul jam empat karena angkot yang ditumpanginya ngetem melulu. Tanpa buang waktu, kami meluncur ke tempat janjian menggunakan angkot setelah berterima kasih kepada Lala sekeluarga. Ternyata, semua bus kota di Palembang full music. Musiknya: dangdut koplo. Tau kan, dangdut yang dikemas dengan musik elektronik. Konon, para operator bus berpendapat mereka takkan bisa menjaring penumpang berusia muda apabila mereka gak memutar musik jenis ini di bus mereka. Hihihi, lucu juga.

Kami baru nyampe di tempat janjian jam setengah enam. Telat banget. Kami pun minta ampun kepada Lina yang udah nunggu lama. Setelah itu, kami nongkrong bentar di Es Teler 77 (aku gak mesen apa-apa, masih kenyang sih). Gak banyak yang kami obrolin di sana karena udah hampir Maghrib. Lagian, Henny juga gak enak badan. Setelah janjian buat ketemuan besok di depan Benteng Kuto Besak, kami berpisah jalan. Malam itu aku bakalan nginep di kosan Lina (makasih, Lin).

Sebelum ke kosan Lina, kami mampir dulu di apotek Kimia Farma tempat dia bekerja. "Jangan kaget ya, Ren," katanya. "Apotek KF di sini gak sebagus yang di Pulau Jawa." Emang sih. Pertama, lumayan banyak apotek KF yang letaknya berdekatan (kata Lina, banyak di antara apotek itu yang dulunya bukan apotek KF, tapi kemudian dibeli dan di-"balik nama"-kan). Kedua, tatanannya gak sekeren di Pulau Jawa, dengan lemari pajang dari kaca dsb. Tampilan apotek KF di Palembang lebih sederhana, tapi sistemnya sama kok. Good pharmaceutical practice tetap jadi yang utama, yang membedakan apotek ini dengan mayoritas apotek lainnya yang sekadar jualan obat.

Di kosan Lina, kami bersantai-santai dan ngobrol tentang Situ Gintung, bus Trans Jakarta, pengalamannya di apotek, dll. Kemudian tidur deh, dininabobokkan oleh film The Diving Bell and the Butterfly, dan disejukkan oleh embusan angin sepoi-sepoi (dari kipas angin).

-----bag.2-----
-----bag.3-----

0 comments:

Post a Comment