Wednesday, September 30, 2009

A History of the World in 10.5 Chapters (Julian Barnes)

Judul buku ini--A History of the World in 10.5 Chapters--mungkin akan membuat orang terkecoh. Mendengar kata "sejarah", yang terpikirkan biasanya adalah peperangan, penaklukan dan penindasan, revolusi, penguasa egomaniak, dan semacamnya. Kalo emang yang itu yang kamu mau, silakan cari buku lain.

Dalam novel yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Sejarah Dunia dalam 10,5 Bab ini (diterbitkan KPG dan diterjemahkan dengan sangat bagus oleh Arif Bagus Prasetyo), cerita yang dikisahkan dalam buku hanyalah "kejadian sehari-hari". "Peristiwa-peristiwa dahsyat" sepanjang perjalanan waktu--banjir besar, gempa, kecelakaan kapal, pembajakan, kematian, dll--kemudian sekadar menjadi latar belakang, bukan fokus cerita. Meskipun gak lumrah, hal ini patut direnungkan. Coba aja pikir, ketika kita menilik "Sejarah", kenapa yang dikedepankan selalu "sejarah kekuasaan"? Selalu dinasti ini digulingkan oleh dinasti itu, atau kerajaan ini digantikan oleh kekaisaran ini digantikan oleh kesultanan ini, dsb. Kenapa bukan "sejarah seni" atau "sejarah ilmu" misalnya? Nah, buku ini mendobrak pakem "Sejarah" sebagai "sejarah kekuasaan".

Para pelakon dalam buku ini pun "cuma" orang-orang biasa. Maaf, maksudku makhluk-makhluk biasa--mengingat sekawanan ulat kayu juga tampil sebagai pelakon. Ulat kayu mengisahkan derita para hewan di Bahtera Nuh dalam bab 1, "Penumpang Gelap", dan menghadapi tuntutan ekskomunikasi dari Gereja Katolik pada bab 3, "Perang Agama". Barnes seakan-akan hendak menegaskan, lagi, bahwa kita semua adalah pelaku sejarah. Yang kisah hidupnya layak dituturkan bukan hanya raja, kaisar, sultan, panglima, dan pemimpin pemberontakan. Siapa tahu rakyat jelata lebih patut diteladani daripada tokoh-tokoh berkuasa dan berpengaruh itu.

Tapi, jangan salah paham. Barnes tidak semata-mata menggugat "sejarah" karena dia ingin menggugat "Sejarah". Sebetulnya "kesadaran kolektiflah" yang digugatnya, kayaknya sih. Ini tercermin dalam "Parentesis" (bab 8,5). Dia mengoceh panjang lebar tentang cinta, dan bagaimana pada akhirnya itulah yang harus kita percayai--juga kehendak bebas dan kebenaran objektif. (Tapi, kenapa harus cinta? Mungkin karena "cinta" lebih mudah dipahami daripada "kehendak bebas" dan "kebenaran objektif"? Mungkin bagi Barnes "cinta" cuma alat untuk menyampaikan maksudnya, sama seperti "Sejarah"?)

Kalau disimpulkan, kira-kira inilah inti kisahnya: Pada akhirnya, kita sendirilah yang mesti memutuskan apa yang kita yakini, karena memang kita memilih untuk meyakininya, bukan karena orang-orang lain berpendapat itulah yang benar dan itulah yang semestinya kita yakini (intinya mah, hindari taklid buta). Mengutip kata-kata Pak Amir, dosenku semasa kuliah, "Sesuatu yang salah, walaupun diyakini kebenarannya oleh semua orang di dunia, tetap saja salah."

Catatan: Cuma pingin memperjelas. "Sejarah" (dengan "S" besar) berarti sejarah kekuasaan, sejarah yang lazimnya kita pahami, sejarah yang diajarkan secara akademik. "sejarah" (dengan "s" kecil) berarti perjalanan hidup setiap makhluk--biasanya manusia, tapi tidak selalu--secara individual atau keseluruhan, di dunia ini.

Saturday, September 26, 2009

The Winner Stands Alone (Paulo Coelho)

Bacalah The Winner Stands Alone, niscaya kita gak bakal memandang kaum elit yang banyak duit, berkuasa, dan terkenal seperti dulu lagi. Aku memang percaya bahwa uang, kekuasaan, dan ketenaran bukan jaminan kebahagiaan. Ketiganya pun bukan hal terpenting di dunia. Tapi--mungkin sama kayak sebagian besar orang--aku meyakini bahwa barang siapa memiliki salah satu saja dari ketiganya, kalo gak bisa semuanya, dia bebas ngapain aja. Tapi ternyata, ketiganya bisa mengurung seseorang, sama seperti kemiskinan absolut. Atau begitulah kata Paulo Coelho.

Kejadian-kejadian dalam novel ini berlangsung dalam waktu satu hari saja. Berbagai macam orang dari berbagai belahan dunia--aktor dan aktris, sutradara, produser, perancang busana, model, pengusaha, polisi--dipersatukan oleh ajang akbar yang disebut Festival Film Cannes. Mereka juga dipersatukan oleh hal-hal yang sama: kekayaan, kekuasaan, ketenaran. Sebagian tokoh udah kaya/berkuasa/tenar, yang lainnya mendambakan kekayaan/kekuasaan/ketenaran.

Nah, dalam novel ini kita dihadapkan kepada suatu paradoks. Atau mungkin bukan paradoks, tapi perbedaan antara harapan dan kenyataan.

Orang-orang biasa--seorang aktris medioker, sutradara muda, dan polisi yang bosan, misalnya--berharap bisa tersohor karena memang itu cita-citanya, karena pingin mengubah masyarakat, karena merasa layaklah dirinya mendapat apresiasi sesekali (siapa tau bisa naik jabatan). Seakan-akan mereka akan puas dan bergembira ria setelah harapan ini terwujud.

Nyatanya, para anggota Superclass--orang-orang kaya/berkuasa/tenar itu-- gak memperoleh kepuasan dari situasi mereka. Di saat mereka udah punya segalanya, mereka malah waswas karena gak mau kehilangan kekayaan/kekuasaan/ketenaran mereka. Maka muncullah orang-orang gila kerja dan manusia-manusia pecandu operasi plastik/suntik Botox/sebangsanya dan pengidap depresi. Pencapaian mereka akhirnya menjadi pengekang, bukan sekadar alat untuk mencapai kebebasan, apalagi sumber kebahagiaan.

Selain memaparkan kepalsuan kaum elit, novel ini juga mengemukakan satu topik yang sering muncul dalam karya-karya Coelho: impian, dan seberapa jauh kita rela berkorban demi mencapainya. Demi tujuan yang (menurut kita) baik dan mulia, layakkah kita melakukan apa saja? Bohong, misalnya? Atau mungkin meniduri produser film? Atau jadi simpanan ama om-om atau tante-tante kaya? Bagaimana dengan membunuh?

Novel ini emang gak menggugah perasaanku sedahsyat The Alchemist, tapi kisahnya cukup "mengena". Kalo aja para manusia penggila selebritis yang jumlahnya semakin banyak di Indonesia membacanya, mungkin mereka bakal berpikir ulang soal kegandrungan mereka yang gak realistis itu. Tapi kayaknya sih mereka lebih suka nonton TV daripada baca buku....

Sunday, September 20, 2009

Maafkan Saya

Aku pengguna produk bajakan yang nyaris gak pernah merasa bersalah. Alasannya macem-macem. Yang pertama, karena aku sebetulnya gak suka-suka banget ama seniman yang karya bajakannya kumanfaatkan itu. Terdengar kurang ajar? Memang, tapi begitulah kenyataannya. Tapi aku hampir gak pernah ngebajak karya musisi/sineas Indonesia loh. Kecuali Mbah Surip. Dan The PanDal. Ampun....

Alasan kedua, karena karya yang kubajak gak tersedia versi legalnya di Indonesia. Apa Cardcaptor Sakura Character Songbook ada di Indonesia? Bagaimana dengan seri CODE GEASS: Hangyaku no Lelouch? Atau album-albumnya Elbow, pernah denger? (Aku pernah ngirim e-mail ke Indosemar buat nanyain apakah mereka berencana ngerilis album Elbow di Indonesia. Sesuai dugaan, e-mail-ku sama sekali gak ditanggepin.) Selain itu, susah juga nyari album-album atau buku-buku jadul di sini. Misalnya aja sebelum nyari file MP3 Tears for Fears di internet, aku nyempetin diri dulu buat cari albumnya di website Disctarra. Ternyata yang kucari gak ada. Yasud.

Alasan ketiga, karena aku ngembat versi digital (bajakan) dari album yang udah kupunya. Aku punya semua full album Radiohead (dan aku SUKA BANGET Radiohead!). Seiring dengan semakin reyotnya tape deck-ku, muncullah keinginan untuk dapetin versi digital lagu-lagu di album mereka supaya bisa didengerin di komputer atau apa lah. Tentu saja, kalo yang kupunya adalah CD, aku bisa dengerin album mereka di komputer atau ngubah track-track di dalamnya ke format MP3 atau WMA. Tapi karena aku cuma punya kaset, ya gak bisa lah. Dan itulah sebabnya aku nyari lagu-lagu mereka (yang dibajak) di internet dan tidak merasa bersalah.

Tapi sekarang, aku merasa bersalah. Pada Neil Gaiman, Murakami Haruki, dan Natsume Soseki. Karena aku sangat suka karya mereka, dan sebagai konsekuensinya, sangat menghormati mereka sebagai seniman, rasanya gak enak deh, baca bajakan. Hampir semua buku Gaiman dan Murakami yang diterbitin di Indonesia udah kubaca (dalam format e-book bajakan). Dan yang belum kubaca, aku gak terlalu berminat untuk memilikinya, jadi asa sayang aja kalo dibeli. Coraline buat anak-anak. Stardust, per-lope-an pisan jigana mah, saya jadi gak minat. Aku masih menunggu-nunggu Sandman, graphic novel karya kolaborasi Pak Gaiman dengan seseorang (entah siapa). Kalo buku ini diterbitin, aku pasti beli deh.

Sekarang soal Murakami-sensei. Bukunya yang diterbitin di sini ada tiga: Normeei no Mori (Norwegian Wood), Umibe no Kafuka (Kafka on the Shore) dan Hear the Wind Sing (maaf, gak tau judul bahasa Jepangnya; tapi mungkin ada "Kaze no Uta"-nya). Aku udah baca dua yang pertama, tapi yang dua itu bukan buku favoritku. Dan karena Hear the Wind Sing adalah karya pertamanya sehingga kemungkinan relatif normal, aku juga gak pingin beli.

Kalo Natsume-sensei, baru Botchan yang diterbitin di sini dan aku udah baca. Dan walaupun itu novel yang menarik (dan narasinya bisa dibilang "lucu"), aku lebih tertarik untuk memiliki novel-novelnya yang lebih baru, yang lebih mendalam, yang lebih dahsyat (kayak Kokoro, gitu deh). Sayang sekali sekarang di Gramed Merdeka gak ada buku-buku Jepang murah meriah terbitan Tuttle lagi. Aku sempet beli beberapa buku di sana sih, tapi karya Natsume-sensei gak termasuk di antaranya.

Pak Gaiman, kalaupun saya ingin beli buku Anda, di Gramed di Bandung sekarang udah gak ada lagi.

Murakami-sensei, terakhir kali ke Times BIP sih saya ngeliat ada beberapa buku Anda. Rencananya sih emang mau beli. Moga-moga saya punya ketetapan hati dan uang untuk melakukannya dalam waktu dekat ini.

Natsume-sensei, seandainya saya bisa menemukan buku Anda di suatu tempat, pasti saya bakal beli; masalahnya, gak ada sih.

Tapi untuk sementara ini, maafkanlah saya, Bapak-bapak. Maafkan saya karena sudah kurang ajar, membaca buku Anda yang dibajak. Semoga Anda mengampuni.

Catatan: Sekarang izinkan aku berpromosi sedikit. Untuk karya Neil Gaiman, kusarankan baca Good Omens--bodor pisan. Atau kalo pingin baca yang udah ada terjemahannya, silakan cicipi Anansi Boys. Murakami Haruki: Hard-Boiled Wonderland and the End of the World--perpaduan sci-fi dan fantasi yang agak "aneh" (dan filosofis tentunya), tapi gak seajaib karya-karyanya yang lebih baru, bagus lah buat pemanasan. Sayang sekali aku baru baca dua karya Natsume Soseki, jadi belum cukup banyak untuk bisa ngasih referensi. Tapi dua-duanya--Botchan dan Kokoro--bagus kok, meskipun tingkat kompleksitasnya berbeda. Dan Radiohead, saranku sama dengan semua pencinta musik di dunia lah: OK Computer.