Saturday, April 29, 2006

Tersinggung, Nih Yee!

Sekitar sebulan lalu, aku nemu pin yang menarik pas acara “ITB Fair”. Tulisannya: “I don’t love my campus, I just love the name only”. Tanpa prasangka apapun, semata-mata karena menurutku tulisannya lucu, aku mutusin untuk membelinya. Bayangin, betapa herannya aku ketika ternyata ada orang yang merasa “tersinggung” dengan pernyataan pada pin itu. Komentar mereka macam-macam, mulai dari bilang, “Wah, gak sopan tuh!” sampai menantangku dengan nanya, “Emang kamu ngerasa gitu, ya?”. Dan karena aku emang rada telmi, saat itu aku gak bisa bicara banyak pada mereka.

Sebenernya, kata-kata di pin-ku itu setipe dengan kata-kata yang biasanya tercantum di kaos Dagadu. Tau kan, kata-kata yang “nonjok”. Tapi kayaknya gak pernah ada orang yang tersinggung oleh kata-kata di kaos Dagadu tuh. Mungkin karena semua orang nyadar kalo kata-kata tersebut memang benar adanya. Sebaliknya, orang yang tersinggung dengan kalimat “I don’t love my campus, I just love the name only” mungkin beranggapan bahwa hanya orang-orang brengsek aja yang merasa seperti itu. Dan mereka enggak. Mereka CINTA sekali sama kampusnya. Yakin? Pengalaman dan pengamatanku menunjukkan sebaliknya.

Mahasiswa dan alumni sering menampilkan sikap yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa mereka gak bener-bener cinta sama almamater. Entah buang sampah sembarangan (di kampus aja buang sampah sembarangan; bayangin kalo di luaran), nyontek pas ujian, bikin laporan praktikum di kelas saat seharusnya ngedengerin dosen yang lagi nerangin, bersikap arogan hanya karena pernah kuliah di perguruan tinggi “top”—sikap-sikap seperti itu lah. Jujur, aku sendiri pernah melakukan beberapa tindakan itu. Dari kenyataan itu, jelas kalo tim kreatif RepGan (pembuat pin yang kubeli) gak ngasal. Kenapa mereka bikin pin bertuliskan, “I don’t love my campus, I just love the name only”, karena faktanya emang ada. Dan secara gak langsung, mungkin mereka pingin menyindir (dan mengkritik) kita, para mahasiswa. Bagus kalo akhirnya jadi nyadar dan berusaha untuk memperbaiki diri. Kalo gak nyadar juga, kasian deh lu!

Dari paparan yang panjang lebar di atas, apa yang sebenernya mau kusampaiin? Sederhana aja. Selalu gunakah mata (panca indera), hati, dan pikiran untuk mengolah semua respon dari luar. Saat kita tersinggung oleh sesuatu, layakkah kita merasa tersinggung? Apakah kita tersinggung karena hal itu emang melukai harkat dan martabat kita sebagai manusia? Mungkin kita aja yang kurang pikir sehingga merasa tersinggung (kalo bingung, inget Pak JK ;>) ? Atau lebih parah lagi, jangan-jangan perasaan tersinggung itu muncul cuma karena ego kita yang kegedean?

Gitu aja. Sekian.

Catatan:
1) Seperti biasa, aku gak punya maksud untuk melakukan pelanggaran hak cipta. “I don’t love my campus, I just love the name only” adalah milik Republik Ganesha (RepGan). Dagadu, ya milik Dagadu.
2) Untuk Rani: Ran, kayaknya sikap sarkastismu menular padaku deh! ;>

Thursday, April 20, 2006

Tantangan

Kira-kira setahun lalu (setahun setengah sih, sebenernya), ada kejadian yang cukup menarik. Waktu itu, aku gak sadar kalo hal itu menarik. Baru-baru ini aja aku nyadar kalo kejadian itu sebenernya cukup menarik. Setahun lalu, sebagian besar teman-teman seangkatanku (termasuk aku juga sih) lagi heboh nyari topik buat Tugas Akhir. Aku gak tau gimana menurut orang lain, tapi bagiku topik TA ideal adalah yang bukan saja menarik, tapi juga gampang dilakukan alias gak ribet. Intinya sih, yang gak bikin kening berkerut deh.

Nah, salah seorang temenku, Fenny (he, he, he, sori ya Fen, kalo kamu kebetulan baca tulisan ini), punya ide gemilang untuk membuat lipgloss dari lidah buaya. Kedengarannya sih emang menarik. Tapi, setelah ngobrol-ngobrol dengan orangnya, aku berkesimpulan kalo topik tersebut, meskipun menarik, susah buat dikerjain. Tentu saja, aku secara terbuka mengutarakan kesimpulanku itu kepada Fenny. Tahu gak, apa jawabannya? “Gak masalah, justru susahnya itu yang menantang,” itu kata Fenny (kurang lebih). Satu hal yang terlintas di pikiranku saat itu: Keren! Emang sih, Fenny orangnya pinter banget (banget!). Jadi, melakukan hal yang susah gak masalah buat dia.


Bulan Desember tahun lalu, aku bergabung dengan komunitas virtual bernama “Virtual Hogwarts” (biasanya disebut HOL; kalo mau liat-liat, alamatnya di
www.hol.org.uk). Dari namanya, mungkin udah bisa ditebak kalo komunitas ini terinspirasi dari Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry yang ada di buku Harry Potter. Di HOL, kita bisa mengambil kelas-kelas tertentu (kayak sekolah), main Quidditch, atau ikutan turnamen “sihir”. Sama seperti kelas-kelas di sekolah pada umumnya, para guru di HOL juga memberikan PR. Harus diakui, PRnya lumayan susah: butuh pengetahuan umum, logika, imajinasi, dan kreativitas (meskipun gak bisa dibandingin sama susahnya TA sih :>).

Anehnya, meskipun susah dan ngerjainnya makan waktu (bayangin, bersusah payah untuk sesuatu yang gak mempengaruhi hidup kita secara langsung), aku merasa tertantang untuk mengerjakannya. Aku, orang dengan motto “Kalo ada yang gampang, ngapain nyari yang susah”, ngerasa tertantang untuk mengerjakan sesuatu. Kejadian ini kemudian bikin aku teringat dengan obrolanku beberapa bulan sebelumnya dengan Fenny. Obrolanku dengan Fenny akhirnya menjadi menarik karena bikin aku sadar kalo ternyata, kesulitan dan tantangan itu pada dasarnya sama aja. Bikin lipgloss dari lidah buaya bagi Fenny merupakan tantangan karena dia suka. Aku menganggap bikin lipgloss lidah buaya susah karena aku kurang suka ngerjain hal yang begituan.


Pantesan aja, teman-temanku ada yang niat banget ikutan lomba kreativitas mahasiswa dan kepikiran untuk membuat bakso kapur atau anti-nyamuk dari daun babandotan beraroma pandan segala. Harus riset lapangan lah, nyari data pustaka lah, belum lagi meluangkan waktu untuk nyusun proposalnya. Padahal, tugas kuliah aja udah lumayan merepotkan. Belum lagi kalo mereka ikutan kegiatan eksul. Tapi, mereka tetap semangat untuk ngerjainnya. Kemungkinan besar karena mereka suka, jadi hal yang tampak susah pun mereka anggap sebagai tantangan, bukan kesulitan.


Ada pepatah bilang, “Tak kenal maka tak sayang”. Kalo kita gak mengenal sesuatu dengan mendalam, gak tau manfaatnya, bakalan susah untuk menyukai hal tersebut. Anehnya, aku udah kuliah sepuluh semester (!) tapi tetap aja gak tertarik sama yang kupelajari. Padahal bidang yang kupelajari ini benar-benar bermanfaat (banyak kegunaan praktis untuk kehidupan sehari-hari lah). Gak benci sih, tapi kalo ngebayangin harus kerja di bidang yang “nyambung” sama yang kupelajari sekarang, aku langsung ngerasa gak semangat. Tampaknya ribet dan membosankan. Antusiasmeku kalah jauh dibandingkan dengan teman-teman yang lain.


Aku tahu ada orang yang berpendapat kalo ketertarikan bisa ditumbuhkan. Saat ketertarikan itu sudah timbul, bakal lebih gampang menyikapi kesulitan sebagai sebuah tantangan. Dan mungkin pendapat ini memang ada benarnya. Tapi, aku gak percaya kalo ini bisa diterapkan pada sesuatu yang berlangsung dalam jangka panjang. Memupuk rasa tertarik terhadap TA yang dikerjain selama 2-4 semester, misalnya. Tapi untuk sesuatu yang akan dilakukan dalam jangka waktu yang jauh lebih lama, karir misalnya, aku gak yakin bisa berhasil. Dalam kasusku, kalo aku ngotot kerja di jalur ini, kayaknya aku bakalan cepet bersungut-sungut kalo dapet masalah.


Jadi, mudah-mudahan aja kalo udah lulus nanti aku bisa menjauhi kesulitan dan menyongsong tantangan. Alias, ngerjain hal yang aku suka. Aamiin!


Catatan: Mohon maaf untuk semua orang yang nama dan hasil karyanya disebut dalam tulisan ini (Fenny, Nur, Abdul, Febby, Ida; ada yang lain lagi?). Sama sekali gak ada maksud untuk melakukan pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual maupun pelanggaran Hak Milik.

Sunday, April 16, 2006

Nostalgia Anak Muda

Zaman SMP dulu, aku pernah terjangkit demam retro. Penyebabnya, aku sempet suka sama lagu “Govinda” karya Kula Shaker. Untuk informasi, Kula Shaker ini band asal Inggris (yang bubar setelah mengeluarkan dua album saja) dengan gaya ’70-an abis. Tau kan: musik psychedelic, celana bell-bottom, rambut gondrong tapi nanggung—yang kayak gitu lah! Gara-gara mereka, aku jadi terpesona sama gaya ’70-an. Gak sampai bikin aku berdandan ala retro sih, tapi yang jelas saat itu aku jadi ngerasa kalo gaya ’70-an itu keren banget.

Ternyata, aku bukan satu-satunya “anak muda” (maunya sih dibilang anak muda ;>) yang kepincut sama pesona masa lalu. Bahkan kalo dilihat-lihat, sekarang malah lebih banyak lagi anak muda yang suka berdandan dengan gaya retro atau dengerin musik jadul. Jangan salah loh, nostalgia anak muda gak terbatas pada hal-hal yang artistik aja, tapi juga dalam hal lain seperti gerakan politik, pelestarian lingkungan hidup, dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah PKS yang banyak mengambil teladan dari Ikhwanul Muslimin yang notabene “produk” masa lalu (aku bukan anggota PKS; jadi, mohon koreksinya kalo salah).

Tapi sebenernya, apa sih yang membuat “produk” masa lalu begitu menarik bagi anak muda? Pasti ada alasan yang lebih “dalam” dari sekedar menganggap bahwa aspek tertentu dari masa lalu itu “keren”. Setelah mikir-mikir, aku teringat kata-kata salah seorang teman. Temanku ini mendadak jadi suka lagu-lagu jadul setelah nonton film “Gie”. Menurutnya, lagu-lagu jadul sangat jujur dan sederhana—itulah sebabnya kenapa dia suka.

Dari pernyataan temanku, aku menyimpulkan bahwa aspek-aspek tertentu dari masa lalu disukai oleh anak-anak sekarang (yang notabene masih muda dan gak pernah ngerasain hidup di masa itu) karena aspek tersebut punya kelebihan dibandingkan dengan yang ada di masa sekarang. Entah itu kesederhanaan, kejujuran, semangat, keindahan, keteraturan, keteladanan—apapun. Hal-hal yang mungkin susah ditemui di zaman sekarang. Makanya, anak-anak muda berpaling ke masa lalu untuk mencari “sesuatu” yang hilang itu.

Gak ada salahnya terinspirasi atau mencari inspirasi dari masa lalu. Yang penting, jangan sampai terjebak pada nostalgia semata. Biar bagaimanapun, kita hidup di masa ini, bukan di masa lalu.

Sunday, April 09, 2006

Sepanjang Jalan Kenangan

Pernah ngerasa penasaran gak, kenapa suatu jalan diberi nama tertentu? Misalnya, kenapa Jalan Soekarno-Hatta dikasih nama Soekarno-Hatta, kenapa Jalan Buah Batu dikasih nama Buah Batu, dan seterusnya? Kalo pernah terjadi peristiwa penting atau ada kondisi tertentu di suatu lokasi, menamai suatu jalan menjadi lebih gampang. Contohnya Jalan Asia-Afrika di Bandung yang dinamai seperti itu karena Gedung Merdeka, tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, berlokasi di jalan ini. Atau Jalan Dago (nama resminya sekarang Jalan Ir. H. Juanda), yang dulu menjadi tempat “ngadagoan” (artinya menunggu, dalam basa Sunda) delman. Masyarakat dulu menunggu delman bareng-bareng di daerah Dago karena wilayah ini dulu masih berupa hutan. Kalo nungguinnya sendirian, mereka takut karena ada resiko serangan perampok atau harimau.

Oke, menamai jalan emang gak gampang. Gak gampang karena PEMDA (atau siapapun yang bertugas untuk itu) gak bisa sembarangan. Dia gak bisa seenaknya aja menamai jalan berdasarkan namanya sendiri, misalnya. Intinya sih, nama jalan itu harus bisa diterima oleh semua orang. Mungkin itu juga sebabnya kenapa jalan-jalan utama di Indonesia sering dinamai berdasarkan pahlawan nasional, peristiwa bersejarah, kerajaan zaman dulu, hal-hal kayak gitu lah. Mungkin supaya lebih “netral” dan bisa diterima semua orang.

Inilah sebabnya, kenapa jalan-jalan tersebut secara tidak langsung berperan sebagai dokumen sejarah, mendokumentasikan berbagai hal yang pernah terjadi dalam perjalanan bangsa Indonesia, keadaan alam maupun keadaan sosial-politik di tempat yang bersangkutan. Namanya juga dokumentasi, sama seperti foto, nama-nama jalan itu bisa membawa kenangan manis, sekaligus juga menimbulkan emosi lain yang tidak menyenangkan.

Kalo ngambil contoh Jalan Asia-Afrika, rasanya keren juga ngebayangin Bandung pernah jadi tuan rumah untuk acara sebesar itu. Apalagi mengingat kedudukan Indonesia saat itu sebagai negara yang disegani di dunia internasional. Tapi kalo kita lihat keadaan sekarang, sedih jadinya. Soalnya, boro-boro disegani, kayaknya negara kita ini jadi bahan bulan-bulanan melulu. Selain itu, cita-cita mulia KAA untuk membebaskan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dari penjajahan juga belum sepenuhnya terwujud. Emang sih, negara-negara Asia-Afrika udah merdeka secara fisik. Tapi secara ekonomi, bisa dibilang sebagian besar (termasuk Indonesia) masih berada dalam cengkeraman penjajah.

Untuk Jalan Dago, emang sih, sekarang Dago punya nama yang lumayan tenar. Bukan hanya di Bandung, tapi juga di kota lain. Buktinya, Jalan Dago di hari Sabtu dan Minggu selalu dipenuhi oleh mobil-mobil berpelat B. Tapi, gak terbayangkan bahwa Dago dulu pernah dihuni oleh spesies harimau Jawa, yang sekarang mungkin udah punah. Ditambah fakta bahwa pembabatan hutan sekarang terus berlangsung di kawasan Bandung Utara yang seharusnya menjadi daerah resapan air untuk kota Bandung. Agak ironis juga, mengingat sejarah geografisnya.

Sama seperti alat dokumentasi lainnya, entah itu film, foto, atau koran, nama-nama jalan gak akan ada artinya kalo sekedar jadi nama jalan. Bingung kan? Maksudku, seberapa berharga suatu dokumentasi bergantung pada orang yang mengapresiasinya. Kalo cuma dilihat-lihat aja, gak akan ada artinya. Dokumentasi itu baru akan berarti kalo ditindaklanjuti. Seandainya ngelihat foto gedung-gedung di kota Bandung tempo dulu bikin kita semangat untuk membantu proses restorasi gedung kuno, atau bahkan sekedar munculin ide untuk mendirikan factory outlet bertema kuno, itu bagus! Sama aja dengan kasus jalan-jalan itu, misalnya jadi lebih peduli tentang pelestarian lingkungan setelah tahu sejarah Jalan Dago. Kalo cuma bikin kita bilang, “Wow, keren!”, gak ada bedanya apakah kita menyadari kenangan di balik nama-nama jalan itu atau enggak.

Akhir kata, selamat jalan-jalan!