Sunday, June 28, 2009

Jalan-jalan ke Lombok bag.3

-----bag.1-----
-----bag.2-----

Setelah dua hari yang menyenangkan di Gili Meno, sudah saatnya kami kembali ke Lombok. Kami berangkat pagi-pagi (jam delapan) ke Bangsal dan dari sana kami akan bertolak ke Pantai Kuta (Pantai Kuta Lombok, bukan Pantai Kuta Bali). Dari Bangsal, kami jalan sekitar seperempat jam sampai kami menemukan kendaraan umum yang disebut "engkel". (Mungkin diambil dari kata Colt? Tahu kan, Mitsubishi Colt.) Beda dengan perjalanan Senggigi-Bangsal yang menempuh jalan pesisir barat, si engkel jurusan Bangsal-Mataram ini melewati jalan pegunungan yang menembus jantung Pulau Lombok. Meskipun gak ada pantai yang bisa dilihat, kawanan monyet yang ramai memeriahkan rentangan awal perjalanan tersebut. (Kata Wida sih begitu. Aku gak tahu karena waktu itu aku molor. Ngantuk sih.)

Dari Terminal Mandalika, diputuskan untuk naik taksi karena perjalanan ke Kuta memakan tiga kali pergantian kendaraan umum. Di sana aku sempat kesal karena kami "ditodong" oleh preman-preman terminal yang maksa kami buat menaiki/mencarter kendaraan mereka. Yah, mungkin salah kami juga sih, yang sempat pasang tampang cengo sesudah turun dari engkel.

Setelah perjalanan yang memakan waktu kira-kira dua jam (melewati beberapa kecamatan yang salah satunya bernama sama seperti sebuah kota di Pulau Jawa yaitu "Kediri"), kami sampai di Kuta dan langsung check-in di Hotel Segare Anak (hasil surveinya Rani nih). Para penghuni hotel ini semuanya orang bule dan tampaknya mereka semua menghabiskan waktu cukup lama di Kuta. Penyebabnya adalah karena Pantai Kuta konon punya ombak yang oke buat berselancar. Walau begitu, Pantai Kuta kalah rame dibandingkan dengan Senggigi. Mungkin karena lokasinya yang jauh dari Bandara Selaparang. Jadi, orang-orang yang datang ke Kuta tuh emang yang niat banget pingin berselancar. Tapi, bandara baru (Bandara Internasional Lombok) yang sedang dibangun letaknya lebih dekat ke Kuta daripada ke Senggigi. Jadi, bisa saja pantai ini nantinya bakal lebih rame setelah bandara baru itu selesai dibangun.

Jarak antara pantai dekat penginapan dan pantai yang banyak didatangi untuk berselancar sepertinya jauh juga. Kami mencoba berjalan menyusuri pantai keesokan paginya, tapi tetap gak nemu orang yang berselancar. (Hal ini sepertinya membuat Rani kecewa karena dia udah bertekad untuk memfoto peselancar.) Keindahan pantai dekat penginapan kami juga kalah jauh dibandingkan dengan keindahan pantai di Gili Meno. Mana banyak anjing yang berkeliaran, pula. Selain itu, pasir di pantai ini butirannya besar-besar sehingga membuat kaki melesak setiap kali dilangkahkan. Akibatnya, jalan di pantai ini bikin cepat capek. Seandainya ada sesuatu yang menarik dari pantai ini, maka itu adalah jarak pasang naik dan pasang surut yang jauuuuuh banget. Kasarnya mah, kita bisa jalan sampai jauh ke tengah laut di kala pasang surut.



Sama seperti di Gili Meno, di Kuta juga ada para beach boy yang menyebalkan. Dan juga tukang jualan yang menjajakan barang dagangannya--terutama kain--dengan sangat agresif sehingga mengganggu ketenangan batin orang-orang yang pingin bersantai. (Menurut tebakanku sih, mereka berasal dari desa tradisional Sasak di kawasan Sade Rambitan yang gak terlalu jauh letaknya dari Kuta.) Sebenernya kalo dipikir-pikir, kasihan juga sih beach boy-beach boy itu. Mungkin sebagian besar dari mereka merasa "terjebak" di tempat asalnya. Gak ada kesempatan kerja dan sebagai konsekuensinya gak ada kesempatan untuk memperbaiki nasib. Satu-satunya cara yang terpikir untuk mengubah nasib mungkin cuma itu: macarin orang asing dan berharap semoga aja mereka dibawa balik ke negara asal si orang asing. Syukur-syukur sampai dinikahin.

Singkat cerita, kami hanya menghabiskan semalam di Kuta. Besoknya kami pergi lagi ke Senggigi yang memang kami jadikan basecamp mengingat lokasinya yang relatif dekat dengan Bandara Selaparang. Kali ini kami memilih untuk menginap di Hotel Puri Senggigi. Hotel ini lokasinya agak jauh dari pusat wisata Senggigi, mungkin itu sebabnya mengapa harganya cukup murah (dan enak pula, jauh lebih enak daripada penginapan yang kami tempati ketika pertama kali sampai di Lombok). Sisi negatifnya adalah di sini susah nyari makanan murah dan toko kelontong. Jadi, hari terakhir kami di Lombok dihabiskan dengan meratap karena makan siang dan makan malam yang kemahalan.

Keesokan harinya, Rabu tanggal 27 Mei 2009, pesawat kami akan lepas landas jam tujuh pagi. Jadi, kami langsung berangkat ke bandara habis subuh. Di sana, untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku menemukan komputer yang dilengkapi fasilitas internet. Gratis! Dan dianggurin ama orang-orang! Tanpa buang waktu, aku langsung memonopoli komputer itu untuk browsing. Yah, maaf aja kalo HP-ku (Siemens A50) udah jebot banget sehingga boro-boro bisa dipake buat ngakses internet, fasilitas WAP aja dia gak punya kok!



Sebelum naik ke pesawat, aku menyempatkan diri untuk memotret Bandara Selaparang yang--dilatarbelakangi gunung dan diselubungi kabut tipis--indah banget. Setelah penerbangan yang memakan waktu sekitar dua setengah jam--udah termasuk waktu transit di Surabaya--kami akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ah, sayang sekali! Seminggu yang menyenangkan di Lombok akhirnya harus berakhir!

Saturday, June 06, 2009

Jalan-jalan ke Lombok bag.2

-----bag.1----

Pada hari ketiga, kami menyusuri pesisir selatan Pulau Lombok menuju Pelabuhan Bangsal. Tujuan kami selanjutnya adalah Gili Meno, tempat kami akan menginap selama dua malam. Dari Senggigi, kami naik shuttle bus dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar lima menit ke pelabuhan. Tiket ke salah satu Gili (Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air) bisa dibeli di kantor koperasi yang ada pelabuhan seharga sembilan ribu rupiah. Gili Meno gak serame Gili Trawangan, jadi jadwal keberangkatan ke sana dari Bangsal cuma dua kali sehari dan begitu pula sebaliknya (dari Gili Meno ke Bangsal), dan waktu tunggunya pun lebih lama. Tapi demi mendapatkan ketenangan--yang mungkin gak bakal didapatkan di Gili Trawangan yang konon merupakan tempat yang asyik buat "party" alias mencicipi jamur tahi sapi yang memabukkan--gak apa-apa lah. (Menurut info dari seorang staf di penginapan yang kami tempati: Gili Trawangan dan Gili Air = party island, Gili Meno = honeymoon island.)

Oh ya, hati-hatilah terhadap calo tiket. Calo tiket yang kami temui di Bangsal mengatakan bahwa gak ada perahu umum dari Gili Meno yang balik ke Bangsal di sore hari dan menyarankan agar kami membeli tiket darinya saat itu juga ("Kalo belinya nanti, harus carter dan harganya mahal," menurut sang calo). Jangan dipercaya. Percayailah jadwal keberangkatan perahu yang tercantum di deket meja penjualan tiket. Jujur kukatakan, inilah--sikap maksa para operator: tukang jualan, calo, orang dari agen wisata, sopir angkot ketika menjajakan barang/jasa-nya--salah satu hal paling menyebalkan yang kami rasakan selama berlibur di Lombok.

Setelah terayun-ayun di perahu motor (yang rasanya mirip seperti terguncang-guncang dalam delman di jembatan Gunung Batu), Gili Meno pun dicapai. Kami langsung check-in di Kontiki dan menempati dua bungalo letaknya cukup memuaskan karena deket banget dengan laut--dengan harga yang memuaskan pula :D.



Untuk pemalas seperti aku, Gili Meno adalah tempat yang sempurna untuk berleha-leha. Kegiatanku selama di sana adalah: duduk di pinggir pantai sambil baca buku (atau terkantuk-kantuk), main air, main pasir, jalan-jalan di pantai, menyusuri separuh pulau ke danau air asin, ngeliatin (dan diintimidasi oleh) sapi yang ukurannya lebih kecil daripada sapi di Jawa, nongkrong di depan kipas angin di dalam bungalo waktu di pantai lagi terik-teriknya, motret-motret (meskipun gak bisa dibandingin sama kegiatan memotretnya Rani dan Wida sih :D), mengagumi matahari terbit, mengagumi matahari terbenam, mencoba membaca peta bintang (dan gagal).



Sayangnya, acara bersantai kami acap kali diusik oleh beach boy yang menyerukan berbagai hal, mulai dari "Assalamu ‘alaikum" sampe "Ikut pulang dong!" Mula-mula aku hanya menganggap seruan ini angin lalu, tapi semakin lama, aku semakin bertanya-tanya apakah mereka memang beneran ramah, kurang kerjaan, atau berniat ngegodain. (Dan kecurigaanku semakin mengarah ke pikiran negatif setelah mendengar kisah seorang beach boy dengan dua pacar Jepangnya.) Masalahnya adalah, kami berempat memang "mencolok" sehingga gampang dijadikan sasaran keramahan (atau keisengan). Hampir semua turis di Gili Meno adalah orang asing berkulit putih. Hanya ada segelintir turis Indonesia, semuanya cewek yang berlibur bersama pasangan bulenya. (Kecuali satu cowok, dengan pasangannya yang juga orang Indonesia, yang kulihat ketika kami akan kembali ke Bangsal.)

Akan kulupakan hal-hal menyebalkan dan beralih ke daya tarik utama Gili Meno: pantai. Pantai di Gili Meno adalah pantai terbaik dari ketiga pantai yang kukunjungi di Lombok (Senggigi, Gili Meno, Kuta). Pasirnya halus, gak susah buat disusuri, banyak koral yang memperindah pantai, bersih. Meskipun, anehnya, di salah satu bagian pantai banyak sepatu dan sandal yang terdampar. Selain itu, pasang surutnya lumayan jauh dan, sumpah deh, ada satu bagian pantai yang di kala pasang surut bener-bener mengingatkanku akan Kawah Putih--dengan tunggul-tunggul pohon terkelantang yang mencuat dari pasir padat.



Agenda harian kami selalu ditutup dengan makan malam di saung pinggir pantai ditemani angin dingin menggigilkan. Agak membuat gak sabaran sih, soalnya makanan baru disajikan satu jam setelah dipesan. Tapi, rasanya sebanding dengan penantiannya. Ikan bakar, cumi goreng, dan sate ikan yang kusantap di sana adalah makanan terlezat yang pernah kusantap selama di Lombok. (Lebih mantap daripada ayam taliwang, menurutku sih.)

Fakta lain tentang Gili Meno:
  • Gak ada kendaraan bermotor, satu-satunya alat angkutan adalah cidomo (sama kayak delman/dokar lah).
  • Air tawar sangat langka. Di penginapan kami, hanya pancuran untuk mandi yang dihubungkan dengan suplai air tawar. (Pipa-pipa dan keran-keran lain mengucurkan air asin.) Aku jadi penasaran, jangan-jangan penduduk setempat malah hanya menggunakan air tawar untuk minum dan masak.
  • Satu-satunya sekolah di Gili Meno adalah sebuah SD yang gurunya pun didatangkan dari Lombok. Anak-anak yang ingin meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus pergi ke Gili Trawangan atau Lombok. Anak-anak kelas enam malah gak sekolah sama sekali, tapi cuma belajar di rumah.

-----bag.3-----