Monday, July 31, 2006

Seminggu Sebelum Seminar

Gak kerasa (!), seminggu lagi seminar. Terus terang, aku cukup panik juga menghadapinya. Bukan apa-apa, masalahnya hasil TA-ku rada-rada aneh.

Pertama, termogram DSC (Differential Scanning Calorimetry)-nya. Waktu ngasihin sampel ke LIPI aku udah bilang ke Pak Operatornya (yang sudah sangat membantu selama ini; makasih banyak ya, Pak) bahwa aku mau suhunya discan sampai 280oC karena suhu leburnya natrium diklofenak emang sekitar segitu. Namun entah kenapa, suhunya cuma discan sampai 200oC. Gimana coba? Solusi yang kupikirkan adalah ngukur suhu lebur ke-15 sampelku pake electrothermal. Setidak-tidaknya perubahan fasenya masih bisa dilihat, siapa tau ada salah satu sampel yang suhu leburnya jadi beda (meskipun aku yakin enggak).

Tapi yang lebih membuatku stres adalah profil termogramnya yang mirip. Suhu puncak endotermiknya deket-deket gitu loh. Padahal difraktogramnya beda! Kumaha tah? Natrium diklofenak emang higroskopis, jadi aku khawatir termogram yang “aneh” itu emang dihasilkan karena zatnya emang udah keburu menyerap air dari udara (mengingat analisis sampel baru dilakukan 4-7 hari setelah aku nyerahin sampelnya; maklum lah, orang LIPI kan sibuk). Emang sih, zatnya kuserahkan dalam plastik bersegel tea. Tau kan, yang biasa buat nyimpen obat? Tapi siapa tau kan?

Hal kedua yang juga cukup mengkhawatirkan adalah potret dari mikroskop elektron. Kayaknya perbesarannya terlalu gede deh. Jadinya yang keliatan bukan satu partikel tapi bagian dari partikel, kayak patahan-patahannya. Nganalisis datanya aja pusing. Belum lagi bikin draft seminar, buku TA, belajar buat seminar dan sidang? Gimana tuh?

Kalo masalahnya bisa selesai dengan ngulang DSC dan SEM (Scanning Electron Microscope) sih gak masalah. Yang jadi masalah adalah, untuk mengulang keduanya perlu duit yang gak sedikit mengingat alat-alatnya gak ada di SF-ITB. Kalo dihitung-hitung aja, sekarang aku (orangtuaku) udah ngeluarin hampir empat juta. Mampus gak tuh? Kalo orangtuaku milyarder sih mungkin oke-oke aja, tapi sayangnya kan bukan. Makanya aku berdoa, semoga masih ada yang bisa “dikorek” dari data yang kuperoleh. Aamiin!

Sekarang aku masih menganalisis difraktogram. Meskipun awalnya lieur, tapi aku udah mulai menemukan titik terang dan bahkan mulai menikmati (!). Apalagi ditemani dengan iringan soundtrack Card Captor Sakura (maaf ya, aku emang maniak CLAMP ^^) yang kuputer ulang entah berapa ratus kali. Sebetulnya sih aku masih bisa terus, tapi sekarang udah tengah malam. Padahal besok aku harus dateng ke kampus pagi-pagi, jadi tidurnya gak bisa disambung abis sholat Subuh. Aku tea, susah bangun! Ditambah lagi, menurut P’Kaka (dosen Kontek pas TPB) belajar itu harus diakhiri saat kita lagi ngerasa ngerti (bukan pas lagi pusing karena gak ngerti) supaya mood kita bagus pas mau mulai belajar lagi.

Jadi, sekarang aku mau udahan dulu ah. Dah! Doakan saya ya!

Friday, July 21, 2006

Renungan Menjelang Hari Wisuda

Gak kerasa, besok udah hari wisuda lagi. Ini bakal jadi keempat kalinya aku menyaksikan teman-temanku lulus. Suasana wisuda emang selalu menyenangkan. Bahkan waktu aku baru masuk ITB dan anak-anak yang diwisuda bulan Oktober tahun itu sama sekali gak ada yang kukenal, aku tetap aja seneng menyaksikan prosesi yang menyertai kelulusan mereka. Mulai dari ngeliat nama mereka dipanggil satu-satu (meskipun aku gak ngeliat secara langsung, tapi liat layar TV yang disediain di seputaran Sabuga); saat mereka diarak mengelilingi kampus dengan berbagai kendaraan yang aneh-aneh seperti mobil pemadam kebakaran, delman, dan becak (tapi sekarang arak-arakan udah dilarang oleh rektor); sampai saat mereka dilemparin air oleh teman-teman sejurusan/sehimpunan.

Jadi, kebayang gak sih, gimana senangnya aku saat ngeliat teman-temanku sendiri--orang-orang yang kukenal dengan baik, rekan-rekan seperjuanganku--lulus? Kebahagiaanku jadi terasa berlipat-lipat. Makanya, aneh juga waktu ada yang bilang, "Apa gak miris tuh, teman-temanmu pada lulus tapi kamu belum?". Masalahnya, aku sama sekali gak pernah merasa miris atau kecewa dengan keadaan ini.

Seorang temanku pernah bilang, manajeman pikiran-lah yang membuat setiap orang memandang persoalan dengan cara yang berbeda. Bingung? Gampangnya sih gini. Dalam kasus di atas, ada orang yang kecewa saat ngelihat temannya lulus dan dia enggak, ada juga senang-senang aja (kayak aku). Hal ini bisa terjadi karena kedua orang itu menyikapi masalah dengan cara yang berbeda. Orang yang satu tenggelam dalam kekecewaannya dan yang lain memutuskan untuk tetap berpikir positif. Itu sebabnya mereka menunjukkan reaksi yang berbeda dalam kondisi yang sama.

Jadi, apa inti dari omonganku yang panjang lebar di atas? Intinya, kebahagiaan dan ketenangan hanya bisa ditemukan dari diri sendiri. Kalo kita merasa bisa memandang setiap hal secara positif, selalu berpikir optimis, dan juga bersyukur atas apa yang kita terima; kita gak bakalan mudah larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Harta yang banyak, status sosial yang terpandang, pujian dari orang lain--semua itu gak bisa memberi kita kedamaian kalo kita gak berdamai dengan diri kita sendiri, kalo kita gak mencoba memperbaiki manajeman pikiran kita.

Akhir kata, Selamat Wisuda Teman-teman!

Wednesday, July 12, 2006

Alih Bahasa

Penerjemahan sama sekali bukan kerjaan yang mudah. Aku pernah dapet tugas nerjemahin teks bahasa Inggris ke bahasa Indonesia sebanyak dua halaman dan ampun deh, bener-bener bikin jungkir balik. Padahal bahasa Inggrisku gak jelek-jelek amat loh. Kalo cuma mengalihbahasakan isi teks tersebut kata per kata sih emang gampang. Masalahnya, kita harus memastikan agar maksud si penulis tetap tersampaikan meskipun dalam bahasa yang berbeda. Ini yang susah.

Meskipun aku bisa bersimpati dengan para penerjemah (yang kerjaannya emang susah), tetap aja aku merasa terganggu kalo nemuin terjemahan yang “kurang oke”. Jadi, maaf-maaf aja ya.

Adakalanya suatu kata salah diterjemahkan. Misalnya saat seseorang yang gak punya latar belakang di bidang medis harus nerjemahin istilah-istilah medis, wajar aja kalo kemudian dia salah nerjemahin. Aku juga pernah baca sebuah buku yang nyebut-nyebut negara bernama “Algeria”. Taruhan, penerjemahnya pasti gak tau kalo dalam bahasa Indonesia negara “Algeria” ini dikenal dengan nama “Aljazair”. Dalam kedua kasus ini, kesalahan penerjemahan terjadi karena pengetahuan si penerjemah yang kurang. Biasanya, kasus macam ini gak terlalu fatal karena setidaknya para pembaca masih bisa memahami maksud dari teks yang diterjemahkan.

Kesalahan penerjemahan kata juga bisa terjadi kalo penerjemahnya gak memahami isi dari teks yang diterjemahkannya. Biasanya kasus ini terjadi saat teks yang diterjemahkan sebenarnya ditujukan untuk masyarakat umum/orang awam. Kesalahan ini lebih fatal daripada yang pertama karena kalimat yang diterjemahkan bisa jauh berbeda maknanya dengan kalimat dalam bahasa aslinya.

Contohnya kata “campaign” yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kampanye” (mudah-mudahan udah masuk KBBI). Mendengar kata “kampanye”, yang terbayang olehku adalah upaya untuk memperkenalkan diri kepada khalayak supaya memperoleh dukungan dari banyak orang. Misalnya kampanye pilkada atau kampanye iklan. Harusnya sih aku ngecek KBBI dulu, tapi arti “kampanye” dalam bahasa Indonesia yang kutau ya hanya sebatas itu aja.

Gimana kalo ada kata-kata “England’s World Cup campaign”? Aku pernah nemu kata-kata macam ini, yang diterjemahkan menjadi “kampanye Piala Dunia Inggris”. Nah loh, apa pula maksudnya? Apa Inggris bikin promosi besar-besaran ala pemilihan perdana menteri supaya bisa lolos ke Piala Dunia? Atau kampanye supaya bisa kepilih jadi tuan rumah Piala Dunia? Enggak lah. Dalam konteks ini, “campaign” berarti ”upaya untuk menembus Piala Dunia dan meraih prestasi yang baik di ajang ini”. Kalo diterjemahin jadi “kampanye” dalam bahasa Indonesia kan jadi beda banget artinya.

Ada lagi kesalahan penerjemahan yang lebih ajaib dari kedua contoh yang udah kusebutin di atas. Kata-kata yang salah diterjemahin sebenernya udah umum banget. Kalo sampe salah juga, gak tau deh kenapa bisa begitu. Apa karena editornya kurang cermat ato emang penerjemahnya gak kompeten(!), aku gak tau. Misalnya aja “monastery ” yang diterjemahin jadi “kerajaan” dan “physical education teacher ” yang diterjemahin jadi “guru fisika”. Aneh kan?!

Terjemahan “kurang oke” lain adalah terjemahan yang bertele-tele dan kegagalan dalam menangkap “suasana” yang ingin diciptakan oleh penulis aslinya. Terjemahan yang bertele-tele bisa terjadi karena kemampuan bahasa si penulis yang kurang baik. Seandainya suatu teks ingin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia misalnya, berarti kemampuan bahasa Indonesia si penerjemah kurang baik. Selain itu, bisa juga karena teks aslinya emang rumit. Misalnya pas baca terjemahan bahasa Indonesia “The Name of the Rose” karya Umberto Eco. Lieur pisan! Kalimat-kalimatnya bertele-tele dan susah dimengerti. Menurut orang yang udah pernah baca terjemahan Inggrisnya, “The Name of the Rose” emang rumit; dalam arti bahwa maknanya berlapis-lapis. Selain yang tersurat, banyak banget pesan yang tersirat di dalamnya. Gak aneh kalo menerjemahkannya pun susah.

Sedangkan tentang kegagalan menangkap “suasana” asli, hal ini mungkin karena penerjemahnya masih kurang pengalaman. Aku pernah baca suatu buku, yang menurut ulasan para kritikus (di negara asalnya) sih harusnya lucu banget. Bukan lucu karena banyak leluconnya, tapi karena cara bercerita si tokoh utama dalam buku ini yang lucu. Terjemahannya sih sekilas tampak 0ke-oke aja; gak ada kata-kata yang aneh, jalan cerita cukup mudah dimengerti, pemilihan istilah-istilah “gaul” dan bukan kalimat-kalimat baku karena tokoh utamanya adalah seorang remaja. Tapi entah kenapa, cerita yang harusnya lucu kerasa biasa-biasa aja.

Dari sekian banyak paparan di atas, dapat diambil kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa kerjaan penerjemah emang sulit. Penerjemah harus punya kemampuan dan kepekaan berbahasa yang baik, perbendaharaan kata yang lengkap, dan harus memahami budaya masyarakat penutur asli bahasa yang akan diterjemahkan. Penerjemah juga harus rela bersusah payah melakukan riset untuk lebih memahami teks yang akan diterjemahkannya.

Ngomong-ngomong soal penerjemah favorit, aku salut banget sama Ibu Listiana Srisanti. Beberapa buku yang diterjemahkannya adalah seri Harry Potter dan “Memoirs of a Geisha”. Terjemahannya oke banget! Entah gimana caranya, Bu Listiana selalu bisa membawa para pembaca ke dalam “suasana” dalam buku tersebut, meskipun bahasanya udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Sebagai pembaca setia Harry Potter, aku selalu mengagumi kemampuan beliau untuk mengalihbahasakan berbagai istilah-istilah ajaib dalam dunia Harry Potter seperti “The Mirror of Erised” menjadi “Cermin Tarsah” (erised=desire, tarsah=hasrat), “Weasley’s Wizard Wheezes” menjadi “Sihir Sakti Weasley”, “Whomping Willow” menjadi “Dedalu Perkasa”, dan masih banyak lagi. Kalo semua penerjemah sekeren Bu Listiana, kayaknya aku gak bakalan bisa protes lagi deh, he, he, he ^_^.

Thursday, July 06, 2006

Hukuman-hukuman Menakutkan

Di antara semua program TV, acara yang paling menggeuleuhkan bagiku adalah sinetron-sinetron “religius”. Ada dua alasan yang membuatku gak suka ama sinetron macam itu. Pertama, karena sinetron tersebut menjual hal-hal klenik dengan label agama. Liat aja judul-judul sinetronnya: “Rahasia Ilahi”, “Insyaf”, “Taubat”, “Hidayah”, dll. Kedua, karena produsernya beralasan bahwa sinetron “religius” yang dibuatnya dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Pernyataan yang jelas-jelas gak logis dan dibuat hanya untuk menutupi maksud sebenarnya yaitu memperoleh untung sebesar-besarnya.

Loh, kenapa gak logis? Kan sinetron itu menggambarkan berbagai siksaan yang diderita oleh orang-orang yang melanggar perintah Allah? Dengan menonton sinetron itu, kita kan akhirnya bisa selalu mengingat Allah dan gak akan coba-coba melanggar perintah-Nya. Ah, ceuk saha....

Menurutku, iman dan takwa, atau kepatuhan dalam melaksanakan peraturan, lahir bukan karena rasa takut, tapi karena kesadaran (lagi-lagi aku pake kata “sadar” ^_^). Contoh gampangnya nih, liat aja para pengendara motor. Pake helm semata-mata karena “takut” ditilang (atau bermasalah) ama polisi. Kalo pake helm pun, adakalanya cuma “helm-helm”-an, yang sebenarnya gak sesuai dengan standar keamanan. Yang penting cukup untuk menghindari masalah ama polisi. Padahal, mereka pasti tau kalo penggunaan helm bertujuan untuk menjaga keselamatan mereka juga. Giliran kecelakaan, terus gegar otak, baru deh nyadar.

Makanya, gak aneh juga kalo Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim ternyata malah dapet predikat jelek seperti negara no.3 terkorup di dunia. Padahal, kalo ajaran Islam bener-bener diterapkan oleh semua Muslim di Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari, gak bakalan kayak gitu deh. Masalahnya, balik lagi ke cara memperkenalkan Islam kepada anak-anak sejak kecil. Bukannya diperkenalkan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (sehingga segala perintah-Nya pun merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia), anak-anak malah ditakut-takuti dengan berbagai ancaman. Dosa lah, masuk neraka lah. Bukannya mengingkari keberadaan dosa atau neraka; tapi menurutku, kepatuhan yang didasari atas rasa takut akan hukuman gak akan bertahan lama.

Jadi, buat para produser sinetron-sinetron “religius”, cepetan insyaf deh. Jangan sampe ntar diazab Allah karena memakai kedok agama untuk meraih keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Ha! Emangnya ancaman itu ngefek buat mereka? Kayaknya enggak tuh!