Wednesday, July 12, 2006

Alih Bahasa

Penerjemahan sama sekali bukan kerjaan yang mudah. Aku pernah dapet tugas nerjemahin teks bahasa Inggris ke bahasa Indonesia sebanyak dua halaman dan ampun deh, bener-bener bikin jungkir balik. Padahal bahasa Inggrisku gak jelek-jelek amat loh. Kalo cuma mengalihbahasakan isi teks tersebut kata per kata sih emang gampang. Masalahnya, kita harus memastikan agar maksud si penulis tetap tersampaikan meskipun dalam bahasa yang berbeda. Ini yang susah.

Meskipun aku bisa bersimpati dengan para penerjemah (yang kerjaannya emang susah), tetap aja aku merasa terganggu kalo nemuin terjemahan yang “kurang oke”. Jadi, maaf-maaf aja ya.

Adakalanya suatu kata salah diterjemahkan. Misalnya saat seseorang yang gak punya latar belakang di bidang medis harus nerjemahin istilah-istilah medis, wajar aja kalo kemudian dia salah nerjemahin. Aku juga pernah baca sebuah buku yang nyebut-nyebut negara bernama “Algeria”. Taruhan, penerjemahnya pasti gak tau kalo dalam bahasa Indonesia negara “Algeria” ini dikenal dengan nama “Aljazair”. Dalam kedua kasus ini, kesalahan penerjemahan terjadi karena pengetahuan si penerjemah yang kurang. Biasanya, kasus macam ini gak terlalu fatal karena setidaknya para pembaca masih bisa memahami maksud dari teks yang diterjemahkan.

Kesalahan penerjemahan kata juga bisa terjadi kalo penerjemahnya gak memahami isi dari teks yang diterjemahkannya. Biasanya kasus ini terjadi saat teks yang diterjemahkan sebenarnya ditujukan untuk masyarakat umum/orang awam. Kesalahan ini lebih fatal daripada yang pertama karena kalimat yang diterjemahkan bisa jauh berbeda maknanya dengan kalimat dalam bahasa aslinya.

Contohnya kata “campaign” yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kampanye” (mudah-mudahan udah masuk KBBI). Mendengar kata “kampanye”, yang terbayang olehku adalah upaya untuk memperkenalkan diri kepada khalayak supaya memperoleh dukungan dari banyak orang. Misalnya kampanye pilkada atau kampanye iklan. Harusnya sih aku ngecek KBBI dulu, tapi arti “kampanye” dalam bahasa Indonesia yang kutau ya hanya sebatas itu aja.

Gimana kalo ada kata-kata “England’s World Cup campaign”? Aku pernah nemu kata-kata macam ini, yang diterjemahkan menjadi “kampanye Piala Dunia Inggris”. Nah loh, apa pula maksudnya? Apa Inggris bikin promosi besar-besaran ala pemilihan perdana menteri supaya bisa lolos ke Piala Dunia? Atau kampanye supaya bisa kepilih jadi tuan rumah Piala Dunia? Enggak lah. Dalam konteks ini, “campaign” berarti ”upaya untuk menembus Piala Dunia dan meraih prestasi yang baik di ajang ini”. Kalo diterjemahin jadi “kampanye” dalam bahasa Indonesia kan jadi beda banget artinya.

Ada lagi kesalahan penerjemahan yang lebih ajaib dari kedua contoh yang udah kusebutin di atas. Kata-kata yang salah diterjemahin sebenernya udah umum banget. Kalo sampe salah juga, gak tau deh kenapa bisa begitu. Apa karena editornya kurang cermat ato emang penerjemahnya gak kompeten(!), aku gak tau. Misalnya aja “monastery ” yang diterjemahin jadi “kerajaan” dan “physical education teacher ” yang diterjemahin jadi “guru fisika”. Aneh kan?!

Terjemahan “kurang oke” lain adalah terjemahan yang bertele-tele dan kegagalan dalam menangkap “suasana” yang ingin diciptakan oleh penulis aslinya. Terjemahan yang bertele-tele bisa terjadi karena kemampuan bahasa si penulis yang kurang baik. Seandainya suatu teks ingin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia misalnya, berarti kemampuan bahasa Indonesia si penerjemah kurang baik. Selain itu, bisa juga karena teks aslinya emang rumit. Misalnya pas baca terjemahan bahasa Indonesia “The Name of the Rose” karya Umberto Eco. Lieur pisan! Kalimat-kalimatnya bertele-tele dan susah dimengerti. Menurut orang yang udah pernah baca terjemahan Inggrisnya, “The Name of the Rose” emang rumit; dalam arti bahwa maknanya berlapis-lapis. Selain yang tersurat, banyak banget pesan yang tersirat di dalamnya. Gak aneh kalo menerjemahkannya pun susah.

Sedangkan tentang kegagalan menangkap “suasana” asli, hal ini mungkin karena penerjemahnya masih kurang pengalaman. Aku pernah baca suatu buku, yang menurut ulasan para kritikus (di negara asalnya) sih harusnya lucu banget. Bukan lucu karena banyak leluconnya, tapi karena cara bercerita si tokoh utama dalam buku ini yang lucu. Terjemahannya sih sekilas tampak 0ke-oke aja; gak ada kata-kata yang aneh, jalan cerita cukup mudah dimengerti, pemilihan istilah-istilah “gaul” dan bukan kalimat-kalimat baku karena tokoh utamanya adalah seorang remaja. Tapi entah kenapa, cerita yang harusnya lucu kerasa biasa-biasa aja.

Dari sekian banyak paparan di atas, dapat diambil kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa kerjaan penerjemah emang sulit. Penerjemah harus punya kemampuan dan kepekaan berbahasa yang baik, perbendaharaan kata yang lengkap, dan harus memahami budaya masyarakat penutur asli bahasa yang akan diterjemahkan. Penerjemah juga harus rela bersusah payah melakukan riset untuk lebih memahami teks yang akan diterjemahkannya.

Ngomong-ngomong soal penerjemah favorit, aku salut banget sama Ibu Listiana Srisanti. Beberapa buku yang diterjemahkannya adalah seri Harry Potter dan “Memoirs of a Geisha”. Terjemahannya oke banget! Entah gimana caranya, Bu Listiana selalu bisa membawa para pembaca ke dalam “suasana” dalam buku tersebut, meskipun bahasanya udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Sebagai pembaca setia Harry Potter, aku selalu mengagumi kemampuan beliau untuk mengalihbahasakan berbagai istilah-istilah ajaib dalam dunia Harry Potter seperti “The Mirror of Erised” menjadi “Cermin Tarsah” (erised=desire, tarsah=hasrat), “Weasley’s Wizard Wheezes” menjadi “Sihir Sakti Weasley”, “Whomping Willow” menjadi “Dedalu Perkasa”, dan masih banyak lagi. Kalo semua penerjemah sekeren Bu Listiana, kayaknya aku gak bakalan bisa protes lagi deh, he, he, he ^_^.

0 comments:

Post a Comment