Sunday, February 26, 2012

Radiohead and Philosophy: Fitter, Happier, More Deductive

Andaikan Anda sok berselera tinggi dan sok intelek, mungkin buku berjudul Radiohead and Philosophy: Fitter, Happier, More Deductive pas untuk ditenteng ke mana-mana. Tapi sumpah, aku bukan orang yang sok berselera tinggi dan sok intelek. Cuma kebetulan aja "menemukan" buku ini waktu sedang browsing Goodreads.

Jadi, buku ini berisi kumpulan esai yang membahas keterkaitan Radiohead dengan enam topik utama: filsafat, seni, industri musik, teknologi, eksistensialisme, dan posmodernisme. Nah, berhubung penulisnya lain-lain, pendekatan mereka juga beda-beda. Sebagian memosisikan diri sebagai penggemar yang mencoba menganalisis ketertarikan mereka pada Radiohead (misalnya Adam Koehler dalam "The Mutilation of Voice in 'Kid A' (Or My John Mayer Problem)" dan Lindsey Fiorelli dalam "Fitter Happier Rolling a Large Rock Up the Hill). Ada juga yang menjaga jarak, layaknya kritikus atau akademisi.

Tipe ke-2 inilah yang bikin aku sebel. Bukannya aku ingin Radiohead dipuji setinggi langit terus-terusan, hanya saja alih-alih objektif, kajian mereka justru terkesan menggurui. Salah satunya Mark Greif, dalam "Radiohead, or the Philosophy of Pop" yang mengatakan betapa "[Fake Plastic Trees]'s only salvation may have been the effect observed rather than the situation denounced: It wears you out . . ." Anda mungkin merasa begitu Pak Greif, tapi saya tidak. (Bagiku, mendengarkan "Fake Plastic Trees" mirip seperti berdiri diam di jalanan ramai. Bingung? Silakan Anda dengarkan sendiri lagu itu.)

Atau Tim Footman dalam "Hyperreally Saying Something" yang mengkritik strategi pay-what-you-want dalam perilisan In Rainbows, yang menurutnya tak lebih dari upaya promosi semata. Karena Radiohead pada akhirnya merilis album versi "koran" yang harganya udah ditentukan, mereka nggak ada bedanya dengan perusahaan rekaman yang dengan senang hati memeras kantong pelanggan. Mungkinkah si penulis mengira kami ini bego? ("Rather than feeling duped, the consumers loyally sent the (‘real’) album to the top of the charts in Britain, the United States, and beyond.") Radiohead bukan Superman. Cuma karena mereka musisi sukses, bukan berarti mereka berkewajiban menggagas revolusi dalam distribusi musik, atau membebaskan manusia fana dari kekangan hiperrealitas!

Oh iya, satu lagi yang bikin aku kurang sreg dengan buku ini. Kebanyakan esainya lebih fokus pada lirik kala membedah Radiohead. Padahal, kalau kita ngomongin musik dan efeknya terhadap pendengar, yang penting 'kan totalitasnya, bukan sekadar lirik atau melodinya doang.

Tapi, aku menikmati buku ini. Paling enggak, jadi dapat perspektif baru lah. (Contohnya: ". . . imagining a dystopia [can] have utopian connotations . . ."--mengutip Sean Burt dalam "The Impossible Utopias in 'Hail to the Thief'".) Selain itu, aku jadi tahu istilah "ajaib" seperti "Being-in-the-world". (Maklum, nggak pernah belajar yang kayak begituan di sekolah . . . meskipun aku tahu "bentonit magma" itu apa. Nggak nyambung, 'kan?)

Singkat kata, kalau Anda penggemar Radiohead, buku ini patut dibaca, minimal buat iseng. Untuk yang nggak suka atau malah nggak pernah (!) dengar Radiohead, silakan Anda khatamkan dulu kedelapan album mereka. Kalau udah beres, nanti kita ngobrol lagi.