Friday, July 13, 2007

Lampu Padam, Pestanya Bubar

Memalukan. Semua orang Indonesia yang nonton pertandingan Korsel-Arab Saudi hari Rabu lalu pasti ngerti perasaanku. Gimana enggak? Masa lampu stadion mati di tengah-tengah pertandingan internasional? Mana yang main bukan tim Indonesia, lagi.

Aku yang nonton di TV aja kesel waktu pertandingan harus dihentikan. Bayangin, gimana perasaan orang-orang yang ada di stadion? Sebel banget, pastinya. Pelatih kedua tim melirik arlojinya berulang-ulang, orang-orang AFC ngomel ke panitia lokal, wasit nyumpah-nyumpah (si wasit yang kebetulan orang Australia ngomong, “Sh**”; aku bisa baca gerak bibirnya).

Bukannya introspeksi, panitia malah mencari-cari alasan. Ketua Panitia Lokal Piala Asia 2007 Nugraha Besoes berdalih bahwa matinya lampu disebabkan karena generator pusat kelebihan beban (Kompas, 12/7). Yang bener aja. Kalo gensetnya emang kelebihan beban, gak mungkin ada sebagian lampu yang masih menyala. Semua juga tahu. Padahal, lampu mati bukanlah satu-satunya “cacat” dalam penyelenggaraan Piala Asia di Indonesia. Masih ada kasus lain seperti kisruh penjulan tiket, sarana yang tidak memadai bagi wartawan, dan fasilitas latihan bermutu rendah (salah satunya adalah permukaan lapangan latihan yang keras, menurut keluhan pemain Arab Saudi).

Kejadian-kejadian tersebut pasti akan dicatat dan dijadikan bahan pertimbangan oleh AFC. Kalo gini caranya, jangan harap Indonesia bakal dipercaya untuk menggelar ajang olahraga internasional di masa depan. Bisa-bisa di Indonesia gak bakal ada “pesta” lagi.

Tuesday, July 10, 2007

Tulisanku yang Payah

Tulisanku payah. Aku baru menyadarinya setelah membaca “Essay Writing: The Essential Guide” yang kudapat dari sebuah laman (website). “Essay Writing…” memaparkan “dosa-dosa” sebuah tulisan--khususnya esai, tentu saja--alias hal-hal yang harus dihindari dalam pembuatan tulisan, kecuali kalo kita pingin bikin karya membosankan yang gak dibaca orang. Hebatnya, seluruh “dosa” tersebut ada dalam tulisan-tulisanku.

Berbagai topik yang dikemukakan dalam tulisanku sebenarnya cukup menarik. Tapi, sebagus apapun idenya, sia-sia saja kalo kita gak bisa memikat pembaca untuk menyimak tulisan kita dari awal hingga akhir. Pembaca gak mungkin mau buang-buang waktu membaca tulisan yang strukturnya seperti di bawah ini misalnya:

Topik: Buku “Menjadi Manusia Pembelajar”
Pembukaan: informasi umum tentang “Menjadi Manusia Pembelajar”
Inti: definisi “manusia pembelajar”, plus dan minus “Menjadi Manusia Pembelajar”
Penutup: simpulan tentang “Menjadi Manusia Pembelajar”

Kenapa? Karena strukturnya membosankan--kaku, gampang ditebak (deskripsi, plus-minus, simpulan), dan sama sekali gak imajinatif. Sekali lagi, aku harus menyelamati diriku karena sering sekali menulis dengan pendekatan seperti itu.

Sebaliknya, imajinasi yang liar--saking liarnya sampai-sampai membawa tulisan semakin gak nyambung dengan topik utamanya--juga bukan cara yang tepat untuk membuat tulisan yang baik. Imajinasi memang diperlukan dalam menulis, tapi mengendalikan diri untuk tidak bertele-tele juga sama pentingnya. Kita semua suka sedikit intermezzo, tapi kalo kebanyakan--capee deh!

Kalimat yang gak efektif juga sama membosankannya seperti paparan yang bertele-tele. Seandainya suatu kalimat bisa ditulis secara singkat dan padat, ngapain berpanjang-panjang? Daripada “Kata-kata itu terdengar berulang kali di berbagai tempat sampe-sampe jadi terkesan klise”, lebih baik kita menulis “Kata-kata itu terdengar berulang kali sehingga terkesan klise”--toh artinya sama aja.

Sebetulnya, semua “dosa” di atas bisa dihindari jika saja aku gak males brainstorming, nyusun kerangka karangan, dan mengedit tulisan. Emang sih, dosenku pernah bilang bahwa kelemahan utama penulis pemula adalah kepengen bikin tulisan sekali jadi: duduk di depan komputer, ngetik, tulisan langsung beres deh. Padahal, tulisan bagus harus direncanakan dengan matang dan dievaluasi, gak mungkin dibuat secara kilat.

Makanya Ren, jangan males dan terus belajar nulis!

Sunday, July 01, 2007

E-book Harry Potter and the Deathly Hallows: Asli atau Palsu

Lagi browsing, trus gak sengaja nemu e-book “Harry Potter and the Deathly Hallows”? Jangan seneng dulu, karena mungkin aja buku itu ternyata palsu. Hasil pengamatanku menunjukkan bahwa e-book palsu ini ternyata berhasil mengelabui banyak orang. Biar gak ketipu, berikut ini beberapa tips untuk mencari tahu apakah e-book “Harry Potter and the Deathly Hallows” (selanjutnya disingkat menjadi DH) temuan kalian itu asli atau palsu.

(1) Copy kalimat dari e-book tersebut, kemudian paste ke kolom kata kunci di mesin pencari (misalnya Google). Apabila kita bisa nemuin kalimat yang persis sama dalam sebuah fanfiction misalnya, maka sudah dapat dipastikan bahwa e-book DH itu palsu.

(2) Tanyakan ke si pengirim, dari mana dia ngedapetin e-book (atau link ke e-book) tersebut. Kalo sumber pertamanya aja udah meragukan, jangan heran kalo e-book DH itu palsu.

(3) Masuki forum atau laman penggemar Harry Potter, siapa tau ada yang bisa membantu verifikasi isi e-book DH temuan kita.

(4) Lihat sekilas keseluruhan isi e-book, adanya berbagai keganjilan (misalnya gaya bahasa yang beda dengan biasanya, penggunaan ejaan Amerika dan bukan ejaan Inggris, adegan 17+) bisa menjadi petunjuk tak terbantahkan tentang kepalsuan isi e-book tersebut.

Seandainya suatu waktu kalian nemuin e-book DH yang isinya asli, ingatlah bahwa e-book tersebut adalah hasil ketikan ulang penggemar Harry Potter (setahuku, penerbit Harry Potter—Scholastic--tidak menerbitkan DH dalam format e-book)--kerjaan yang dilakukannya tanpa dibayar, semata-mata karena ingin membantu sesama penggemar Harry Potter untuk menikmati DH sebelum edisi lokalnya beredar di negara-negara tertentu.

Jadi, jangan lupa untuk membeli (atau setidak-tidaknya meminjam :D) “Harry Potter and the Deathly Hallows” ASLI setelah buku ini diterbitkan di Indonesia. Yah, hitung-hitung sebagai bentuk penghargaan kita kepada Bu Rowling yang udah menciptakan karya hebat yang berhasil mempesona kita semua.