Thursday, August 27, 2009

Kokoro (Natsume Soseki)

Sebenernya apa sih yang diceritakan dalam Kokoro karya Natsume Soseki ini? Aku bisa aja ngasih garis besarnya seperti ini: Bagian 1 (Sensei dan Aku) tentang perjumpaan dan interaksi "aku"--seorang pemuda yang namanya gak pernah disebut sepanjang cerita--dengan pria yang dipanggilnya "Sensei". Pembawaan Sensei yang penuh teka-teki--sikapnya yang menarik diri dan menolak untuk "menceburkan diri" ke dunia, sikapnya yang sinis terhadap karakter manusia, kemurungannya--justru bikin "aku" makin penasaran padanya; Bagian 2 (Orang Tuaku dan Aku) tentang "aku" di kampung halamannya sesudah lulus kuliah di Tokyo--kecemasannya karena kesehatan ayahnya yang memburuk, desakan orang tuanya untuk cepat-cepat cari kerjaan yang bergengsi, dan hal-hal lain yang dirasakannya selama itu; Bagian 3 (Sensei dan Pengakuannya) berisi cerita Sensei tentang kehidupannya, termasuk peristiwa yang menyebabkan dirinya berubah, dan juga alasan yang melatarbelakangi keputusannya bunuh diri. Sama seperti Bagian 1 dan 2, Bagian 3 juga diceritakan lewat sudut pandang orang pertama.

Tapi, ringkasan di atas (atau ringkasan mana pun) gak bisa mengungkapkan apa inti Kokoro sebenarnya. Dan tentu saja, pemahamanku mengenai kisah tersebut mungkin berbeda sekali dengan apa yang ingin disampaikan Natsume-sensei. Jadi, anggap aja paparanku di bawah ini sebagai "kesan" yang ditangkap oleh seorang pembaca semata. Apa yang kuutarakan benar-benar gak mencukupi untuk menjawab pertanyaan "Sebenernya apa sih yang diceritakan dalam Kokoro karya Natsume Soseki ini?".

Mulai dari judulnya. "Kokoro" itu dalam bahasa Jepang bisa berarti "jiwa" atau "hati" atau "esensi" atau "ruh" (mungkin mirip "geist" dalam bahasa Jerman?). Jadi, mungkin saja yang ingin dikemukakan dalam novel ini adalah "jiwa manusia". Atau setidaknya, pandangan para tokoh tentang jiwa manusia (dalam hal ini, jiwa si tokoh itu sendiri).

Sensei--yang memandang umat manusia dengan rasa benci--beranggapan bahwa tidak ada manusia yang "baik" atau "jahat". Kibas-kibaskan uang, atau harga diri, atau apa saja yang sepertinya penting, di hadapan orang yang "baik" dan dia bisa berubah jadi "jahat" seketika. (Dia gak serta merta berpandangan seperti ini--pengalaman hidupnyalah yang membuatnya berpendapat demikian.) Membenci umat manusia berarti membenci dirinya sendiri, dan inilah yang membuat Sensei menjalani kehidupan tanpa kebahagiaan, bagaikan mayat hidup. ("Kami semestinya bahagia," katanya kepada "aku".)

"K"--seorang teman yang kematiannya berdampak sangat besar bagi kehidupan Sensei--berpendapat bahwa manusia seharusnya hidup demi mengejar "jalan yang lurus" ("the true way", menurut terjemahan bahasa Inggrisnya), meskipun apa "jalan yang lurus" itu, kayaknya dia gak tahu persis. Seminimal-minimal mungkin, seseorang haruslah punya keteguhan hati. Tersadar bahwa dirinya gak punya keteguhan hati yang diinginkannya (saat dia malah jatuh cinta pada anak perempuan ibu kosnya), dia pun terguncang dan akhirnya memutuskan bunuh diri.

Sudut pandang "aku" mungkin gak seekstrem dan gak segamblang dua orang di atas. Tapi, kita masih bisa menangkap perasaan herannya saat dia merasa "sudah terlalu Tokyo" dan gak betah lagi tinggal di rumah, atau saat dia merasa lebih bisa "menjalin hubungan" dengan Sensei daripada dengan ayahnya sendiri--sejak kapan itu terjadi?

Mungkin juga novel ini sesungguhnya menceritakan keputusasaan yang bersemayam dalam diri manusia. Kita mungkin bisa berhubungan dengan orang lain, tapi gak peduli sedekat apa kita dengan orang lain itu, perasaan sejati kita akan senantiasa tersembunyi dari mereka. Atau seperti kata Sensei, "... aku berdiri sendirian di dunia ini, putus hubungan dengan manusia hidup manapun." Mungkin itulah maksud novel ini, esensi manusia adalah kesendirian.

Sunday, August 16, 2009

The Open Society and Its Enemies (Karl Popper)

Ini sebenernya bukan ulasan. Siapa aku, kok berani-beraninya mengulas karya Profesor Karl Raimund Popper? Mungkin suatu saat nanti, tapi untuk saat ini otakku belum nyampe tuh. Di bawah ini, aku sekadar menyebutkan beberapa hal penting yang kutangkap dari The Open Society and Its Enemies, yaitu:

  • Kebijaksanaan sama artinya dengan kerendahan hati. Orang yang sungguh-sungguh berpengetahuan sadar sesadar-sadarnya bahwa pengetahuannya cuma seupil dan bahwa dia punya keterbatasan.
  • Berpikir kritis teh kudu.
  • Berpikir rasional bisa membantu kita menemukan kebenaran, tapi bukan berarti hanya yang rasionallah yang patut dianggap sebagai hal yang bernilai.
  • Jangan mudah terkesan oleh nama besar. Buah pemikiran para tokoh tetap harus dibaca secara kritis.
  • Demokrasi semestinya tidak dianggap sebagai sesuatu yang abstrak seperti "kedaulatan rakyat". Lebih pas jika demokrasi dipandang sebagai sistem penuh keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan kritik dan koreksi, sehingga sistem itu bisa terus diperbaiki (kontras dengan sistem pemerintahan yang totalitarian).
  • Kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Tapi, sejarah tidak boleh digunakan untuk meramal masa depan (karena ini mustahil, meskipun orang yang bilang "bisa" mengklaim bahwa metodenya ilmiah--mengkhayal tuh), apalagi dipakai sebagai pembenaran atas tindakan yang salah.
  • Mengembalikan tatanan lama atau menggagas revolusi tidak akan menjadikan kehidupan kita serta-merta lebih baik. Kita sendiri yang harus mewujudkan "kehidupan yang lebih baik" itu, walaupun hal ini memang berat dan butuh waktu lama.


Aku amat sangat merekomendasikan buku ini buat siapa pun (pas banget kalo pemuja Hegel dan Marx--yang jumlahnya di negeri ini kayaknya lumayan banyak--baca buku ini, meskipun barangkali ujung-ujungnya mereka bakal mencak-mencak). Ulasannya logis dan runtun, setiap argumen dikemukakan dengan terperinci disertai kontra argumennya (dan kontra argumennya lagi, sampai tak terbantahkan lagi deh; atau mungkin juga bisa, oleh orang yang lebih cerdas daripada aku tentunya)--bahkan orang awam sepertiku pun bisa memahaminya, kurang lebih.