Wednesday, June 28, 2006

Pilihan

Salah satu reputasi jelek alumni ITB di mata masyarakat adalah kecenderungan mereka untuk jadi “kutu loncat”. Tau kan, orang yang sering banget gonta-ganti kerja, dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain. Masih untung kalo pindah kerja setelah satu atau dua tahun, ada yang baru enam bulan, tiga bulan, sebulan, bahkan sehari (!) udah keluar dari kerjaannya untuk pindah ke tempat lain. Wajar aja kalo para employer pada protes.

Hipotesis yang paling umum diutarakan untuk menjelaskan fenomena ini ada dua. Pertama, kurangnya “penghargaan” (dengan kata lain, gajinya terlalu kecil---menurut mereka). Kedua, kurangnya tantangan sehingga si alumni cepat bosan dengan pekerjaannya sehingga akhirnya dia sering banget pindah kerja. Mungkin kedengerannya sombong banget, tapi itulah alasan yang sering kudengar. Tapi ada satu alasan, yang menurutku jauh lebih bisa menjelaskan fenomena tersebut, daripada kedua hipotesis di atas. Alasan yang belum pernah terpikir olehku, sampai beberapa hari lalu.

Ceritanya, aku ngobrol dengan salah seorang teman tentang suasana di dunia kerja. Temanku ini udah lulus dan sempat kerja di sebuah perusahaan beberapa bulan, tapi sekarang dia udah keluar (tapi gak pindah ke perusahaan lain, ya; sekarang dia lagi “nganggur”) karena merasa gak nyaman ama suasana kerjanya. Akhirnya, topik “kutu loncat” muncul juga dalam pembicaraan kami. Waktu kutanya pendapatnya tentang hal ini, temanku bilang bahwa menurut pendapatnya, hanya satu hal yang bikin banyak alumni ITB jadi “kutu loncat”: mereka gak mantap dalam menetapkan pilihan.

Yah, namanya juga hidup. Setiap hari kita pasti harus membuat berbagai keputusan, memilih satu di antara sekian banyak pilihan. Mau kuliah atau bolos? Mau naik angkot Cisitu-Tegalega atau Caringin-Sadangserang? Dan banyak pilihan lain yang jauh lebih pelik dari sekedar milih angkot atau menentukan apa yang harus dikerjakan dalam sehari. Apapun pilihan akhir kita, hendaknya dibuat dengan penuh kesadaran. Sayangnya, banyak orang yang membuat pilihan secara “tidak sadar”. Inilah yang membuat dia gak mantap dalam menjalani pilihannya.

Membuat pilihan dengan sadar berarti memahami segala konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan tersebut, entah itu konsekuensi yang mengenakkan ataupun yang tidak. Ada orang yang memilih untuk dipilihkan jalannya oleh orang lain dan ada juga orang yang memilih untuk mengikuti arus; mungkin keliatannya gak punya pendirian banget, tapi hak orang itu sendiri buat ngambil keputusan. Masalahnya adalah, apakah dia membuat pilihan itu dengan sadar? Apakah dia paham benar dengan konsekuensi dari pilihannya?

Misalnya nih, ada seorang anak yang pingin masuk Seni Rupa tapi ortunya pingin dia masuk Teknik. Akhirnya anak itu memutuskan untuk membiarkan ortunya memilih untuknya, dengan kata lain dia akhirnya setuju untuk masuk Teknik. Kalo ternyata dia malah males-malesan pas kuliah, berarti pilihan itu dia buat secara “tidak sadar”. Kalo dia “sadar” dengan pilihannya, harusnya dia udah menduga bahwa dia bakal butuh energi ekstra untuk menjalani kuliah itu mengingat dia gak terlalu berminat ama pelajarannya.

Contoh kedua adalah kejadian klasik yang banyak dialami oleh para seniorku. Dosenku di Farmasi udah pernah bilang kalo gaji seorang Apoteker di perusahaan farmasi itu kecil. Gak sebanding ama kerjaan dan tanggung jawabnya yang berat lah. Mengetahui fakta seperti itu, seorang Apoteker yang memilih untuk kerja di industri farmasi dengan “sadar” harusnya gak ngomel-ngomel pas nerima gaji yang “kecil”. Kalo mau dapet duit banyak mah jangan kerja di industri farmasi, mending jadi wirausahawan (itu kata dosenku loh). Kalo masih ngomel-ngomel juga, jangan-jangan dulu dia memilih secara “tidak sadar”.

Yah, mumpung aku masih kuliah, belum terlambat untuk berpikir masak-masak tentang masa depanku. Aku gak mau nantinya menyesal karena membuat pilihan tanpa “kesadaran”.

Thursday, June 22, 2006

Prestasi dan Prestise

Pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA dan sederajat tanggal 19 Juni lalu cukup menimbulkan kehebohan. Bukan saja karena peserta yang lulus jauuuuh lebih besar daripada tahun lalu (lebih dari 90%), tapi karena banyak protes dari para peserta yang tidak lulus berkaitan dengan status mereka. Guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan juga ikut protes. Masa keberhasilan seseorang hanya ditentukan oleh ujian yang cuma tiga hari dan masing-masing tiga jam lamanya, gimana dengan hasil kerja keras siswa selama tiga tahun, kecerdasan seseorang kan gak hanya diukur dengan kemampuannya dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris/Matematika/Ekonomi, UAN menghasilkan dikotomi pintar (lulus) - bodoh (tidak lulus); begitulah beberapa arguman yang mereka kemukakan.

Sejak tiga hari lalu, berita di koran dan TV dipenuhi dengan kisah-kisah tragis tentang murid SMA yang gak lulus UAN. Kisah yang diangkat biasanya tentang murid-murid yang sehari-hari berprestasi. Ada yang juara Olimpiade Fisika, ada yang udah diterima kuliah di luar negeri, ada yang udah keterima di PTN lewat jalur PMDK, ada yang selalu jadi juara kelas sejak SD; murid-murid yang cemerlang lah, pokoknya.

Sebenarnya, peristiwa kayak gini udah bukan berita baru. Sejak aku SD, tiap tahun pasti selalu kedengaran kasus tentang murid-murid berprestasi yang nilai EBTANAS-nya jeblok atau gak lulus UMPTN. Kalo sekarang kasus UAN jauh leboh heboh, karena hasil UAN sangat menentukan kelanjutan kehidupan para siswa. Beda dengan EBTANAS/ujian zaman dulu atau UMPTN/SPMB; meskipun hasilnya jeblok, gak menghambat kelanjutan studi siswa. Siswa yang gak lulus UAN gak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Siswa SMA/sederajat yang gak lulus UAN gak bisa daftar SPMB (dan PTS pun kayaknya gak mau nerima mereka). Meskipun bisa ngambil Ujian Paket C, emang ada perguruan tinggi yang mau nerima ijazah Paket C?

Terlepas dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh para “penentang” UAN (yang kusetujui dengan sepenuh hati), menurutku “kekejaman” UAN hanyalah representasi dari “kekejaman” masyarakat. Masyarakat kita tampaknya gampang sekali memberikan penilaian secara hitam-putih, mengagung-agunkan yang satu dan mengabaikan yang lain. Mirip kayak sistem UAN yang mengagung-agungkan mata pelajaran tertentu dengan nilai tertentu dan mengabaikan segala sesuatu yang lain.

Biasanya masyarakat lebih toleran terhadap para murid berprestasi (nilainya sehari-hari bagus) yang gak lulus ujian/nilai EBTANASnya jeblok/gak lulus SPMB. Mungkin kondisinya lagi gak fit. Mungkin pas ujian gugup. Mungkin ada kesalahan teknis. Apapun alasan kejeblokan atau ketidaklulusan mereka, masyarakat bisa dengan mudah memaklumi. Gimana kalo yang gak lulus kebetulan adalah murid yang sehari-hari nilainya biasa aja, bahkan cenderung jelek? Aku yakin orang-orang gak peduli. Pasti orang beranggapan, wajar aja gak lulus, sehari-hari nilainya kan jelek. Padahal, pasti ada alasan juga di balik jeleknya nilai seorang murid, gak adil juga kalo kita langsung memberi cap bodoh atau malas. Tapi sayangnya, kalo untuk murid macam ini, gak banyak orang yang mau mencoba memahami alasan di baliknya. Apa gak “kejam” tuh namanya?

Sekolah sebagai institusi pendidikan juga gak lepas dari tindakan-tindakan “kejam”. Penggunaan istilah-istilah seperti sekolah unggulan/non-unggulan, kelas IPA/bukan IPA (penggunaan istilah ini kerasa banget di SMA-ku dulu, yang kelas IPA-nya ada sepuluh dan kelas IPS-nya cuma satu) adalah beberapa contoh diskriminasi/”kekejaman” yang dilakukan secara tidak sadar (atau sadar?) di dunia sekolah. Sayangnya, guru dan orang tua yang harusnya memberi dorongan untuk anak-anaknya acapkali juga melakukan tindakan “kejam”, entah disadari atau tidak. Aku inget pernah dihina guruku pas SMA gara-gara gak ngerjain soal dengan cara seperti yang dicontohkannya (“Lamun kieu mah moal bisa asup UMPTN!”). Aku punya temen yang “disuap” ortunya supaya pindah dari SMA asalnya ke SMA-ku yang kebetulan merupakan “SMA unggulan” (“Kalo mau pindah ntar dikasih mobil.”).

Ujung-ujungnya, murid lagi yang jadi korban. Korban kebijakan pemerintah yang ngaco, korban ambisi orang tua/guru/sekolah demi mencapai prestise. Kasian banget deh!

Thursday, June 15, 2006

Nilaiku.....

Hari ini, 15 Juni 2006, adalah hari terakhir pengumpulan nilai Semester II 2005/2006. Untunglah, dosen-dosenku pada disiplin. Jadinya, hari ini nilai-nilai kuliah udah keluar. Kebetulan semester ini aku cuma ngambil dua mata kuliah. Sebenernya sih di FRS aku ngambil lima mata kuliah, tapi yang tiga bukan bener-bener ”kuliah” (Tugas Akhir II, Seminar, Sidang Sarjana). Jadi, wajar aja dong kalo aku berharap dapet nilai bagus untuk kedua kuliah yang kuambil. Apalagi kedua kuliah ini adalah pilihanku sendiri, bukan mata kuliah wajib yang dipaketin ama ”Jurusan” (sekarang namanya ”Sekolah Farmasi ITB”, tapi rasanya aneh kalo nyebut ”Sekolah”; ntar dikira SMF lagi).

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ternyata oh ternyata, aku cuma dapet nilai C untuk mata kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi. Kaget juga sih, habis baru pertama kali ini dapet C (kalo E sih udah pernah, he, he, he ^_^). Bohong aja kalo bilang aku gak kecewa. Aku EMANG kecewa. Soalnya, aku udah nargetin nilai B untuk mata kuliah ini. Bukan berarti aku ini orang yang maniak nilai, tapi bikin target gak ada salahnya kan?! Kalo kejadian ini berlangsung tiga tahun lalu, yakin deh, aku pasti bakal kecewa berat (saat itu, aku masih seorang maniak nilai); terus sampe gak bisa tidur segala kalo sampe dapet nilai C. Tapi saat ini, aku berusaha melihat segala hal dengan logis dan positif.

Pertama, kayaknya aku harus mikir ulang deh, kalo sampe ngerasa kecewa cuma gara-gara nilai jelek. Masalahnya, emang artikel-artikel yang kubuat untuk UTS dan UAS gak mengesankan sama sekali. Artikel yang kubuat pas UTS bener-bener basi. Sama sekali gak ada istimewa-istimewanya, kayak resume buku Mikrobiologi+Farmakologi gitu deh. Dan UASnya, dugaanku nilainya jelek karena emang kurang sesuai ama yang diminta ama si Bapa. Untuk UAS, kita kan disuruh bikin feature, artikel dengan sentuhan kemanusiaan, tapi artikelku kalo diliat isinya seakan-akan cuma berisi ringkasan opini orang. Gitu aja. Jadi, wajar dong kalo akhirnya si Bapa ngasih nilai C.

Kedua, selama ini aku beberapa dapet nilai yang sebenernya gak layak kudapatkan. Coba aja tanya aku tentang Kalkulus II atau Analisis Kimia Anorganik. Pasti aku gak berkutik. Padahal untuk kedua mata kuliah itu, nilaiku A loh. Dan nilai kan seharusnya mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap materi kuliahnya. Jadi, gak selayaknya aku mengeluh atas nilai jelek yang layak kuterima kalo selama ini aku gak pernah protes pas dapet nilai bagus yang gak seharusnya kudapat.

Terakhir, terlepas dari nilaiku yang tidak memuaskan, aku bener-bener menikmati kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi. Banyak banget tips dan dorongan semangat yang diberikan oleh dosenku selama kuliah. Berkat kuliah itu, aku jadi makin termotivasi buat nulis. Emang kualitasnya masih jauh dari bagus sih, tapi yang penting kan pengalamannya itu. Bener gak?!

Wednesday, June 14, 2006

Kamu Keren, Kami Enggak

Dahulu kala, sekitar abad ke-19, ditemukanlah bukti peradaban kuno di daerah Afrika Sub-Sahara. Keberadaan peradaban kuno ditunjukkan oleh adanya kompleks bangunan yang tertata dengan rapi, semacam kota lah. Mungkin temen-temen udah pada tau kalo di masa itu, bangsa Eropa lagi giat-giatnya melakukan kolonisasi di Afrika; jadi gak aneh lah kalo yang “menemukan” (dan mempublikasikan) sisa-sisa peradaban ini, yang kemudian dikenal dengan nama Great Zimbabwe, adalah orang Eropa; tepatnya orang Inggris. Dasar bangsa Eropa/Barat zaman dulu orang-orangnya berpandangan etnosentris, dengan yakinnya mereka menyatakan bahwa: gak mungkin peradaban semaju ini dibangun oleh orang-orang berkulit hitam (ras Negroid). Great Zimbabwe pasti dibangun oleh orang-orang kulit putih (Kaukasia).

Bayangin, kalo sekarang ada seseorang yang bikin pernyataan kayak gitu, pasti dia udah dilemparin ama orang sekampung (atau malah orang sedunia, kali). Tapi anehnya, kayaknya gak ada yang gak sepakat dengan pernyataan itu; termasuk penduduk sekitar. Alasannya sih, karena Great Zimbabwe dibangun dari batu, sedangkan masyarakat sekitar membangun rumahnya dari rumput. Pasti penduduk sekitar gak nyadar kalo dengan bikin pernyataan begitu, mereka tanpa sadar udah mengiyakan klaim orang-orang Eropa bahwa orang berkulit putih jauh lebih superior daripada orang berkulit hitam.

Zaman sekarang, pandangan picik macam itu udah gak laku. Emang masih ada sih yang punya pikiran kayak gitu, tapi jumlahnya sangat sedikit. Apa juga yang membuat orang kulit putih jauh lebih superior dari orang-orang yang kulitnya gak putih? Sama sekali gak ada hubungan antara sebab (kulit putih) dan akibat (kemampuan intelektual yang tinggi sehingga bisa membangun peradaban tinggi pula), artinya pernyataan itu tidak logis. Di sisi lain, pernyataan itu secara empiris juga tidak tepat. Ilmuwan udah mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan genetik yang berarti antara orang-orang dari ras yang berbeda. Karena itu, secara intelektual pastinya gak ada perbedaan yang berarti juga dong.

Aku yakin, semua orang Indonesia pasti sependapat bahwa tidak ada “ras” yang lebih superior daripada yang lain. Mau kulitnya putih kek, sawo mateng kek, kuning kek, abu-abu kek; kalo masih sama-sama manusia mah sama-sama aja lah. Namun demikian, mengingat bahwa wilayah Indonesia ini dulu pernah dijajah bangsa Eropa selama berabad-abad (atau bertahun-tahun), pandangan etnosentrisnya orang Eropa zaman jebot tanpa terasa akhirnya melekat pada pikiran orang Indonesia (termasuk aku juga) tanpa sadar.

Salah satu hal yang menunjukkan ketidakpercayadirian masyarakat Indonesia terhadap dirinya dan kekaguman membabi-buta terhadap segala sesuatu yang “Barat” adalah keyakinan kalo barang buatan luar negeri (terutama buatan Eropa dan Amerika) kualitasnya jauh lebih baik daripada barang buatan Indonesia. Coba ya, kalo orang-orang “Barat” emang memproduksi barang-barang berkualitas baik, pastinya mereka juga cuma mau menerima barang-barang yang kualitasnya baik. Nah, kalo emang bener barang buatan Indonesia itu kualitasnya jelak, mana mau mereka menerima barang impor (barang jadi ya, bukan barang mentah) dari sini?

Pengalamanku sendiri membuktikan bahwa tidak benar kalo barang produksi luar (atau setidak-tidaknya, produsennya yang dari luar) selalu berkualitas lebih tinggi daripada yang bikinan dalam negeri. Buktinya, adikku beli sepatu bermerek terkenal (perusahaan yang markasnya ada di negara Eropa) merek “A”, baru setahun udah jebol. Sebaliknya, sepatu buatan Indonesia bermerek “S” yang kubeli pas kelas 5 SD, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sampe sekarang belum rusak (serius loh, sampe sekarang sepatunya masih ada di rumahku!).

Terus, kalo kita ngeliat orang-orang kaya yang nyekolahin anaknya di luar negeri, banyak yang ngirim anaknya untuk belajar di negara-negara Eropa ato Australia. Pernah kepikir gak, buat nyekolahin anaknya di India buat belajar TI, misalnya. Kayaknya jarang deh. Padahal kalo pertimbangannya bener-bener kualitas, India itu mantap banget di bidang TI (bukan cuma goyangannya di f ilm-film Bollywood aja yang mantap, he, he, he ;>). Ahli-ahli teknologi informasi dari negara itu banyak banget yang direkrut sama perusahaan TI yang terpercaya.

Tapi kedua contoh itu sih masih mending. Masih ada contoh yang lebih “mengenaskan”. Dosenku di tingkat 1 dulu nyeritain pengalamannya pas baru pulang belajar S3 dari luar negeri, yang selalu disindir-sindir sama bosnya di Jurusan (alias Ketua Jurusan) karena pakaiannya dianggap kurang sopan. Kurang mencerminkan seorang dosen lah. Emang sih, gaya berpakaian dosenku itu bisa dibilang “gak konvensional”, tapi bukan berarti gak sopan, menurutku.

Entah karena terlalu sibuk ngeresein pakaian si dosenku itu, atau karena si Bos berpandangan sempit tentang orang yang pakaiannya “kurang dosen”, dosenku jadi ngerasa kalo kemampuannya kurang dihargai oleh Bos-nya. Padahal dia udah berusaha mengajukan berbagai ide, intinya sih berusahan nunjukin kalo hasil sekolahnya di luar negeri emang gak sia-sia (;>). Tapi tetap aja gak diwaro. Nah, beberapa saat kemudian, salah satu Profesor (orang Bule loh) yang ngajar dosenku di luar negeri dateng ke Indonesia. Kebetulan Jurusan di ITB tempat dosenku ngajar bekerjasama dengan Perguruan Tinggi tempatnya belajar dulu. Jadi, si Profesor ini dateng ke Indonesia dalam rangka kerja sama itu.

Nah, pas si Profesor dateng ke Indonesia, dia muji-muji kemampuan dosenku itu di depan sang Bos. Dia gak nyinggung-nyinggung soal pakaian loh. Setelah kejadian itu, bahkan setelah si Profesor pulang ke negaranya, dosenku ngerasain perubahan sikap yang drastis pada diri Bos-nya. Baru saat itu akhirnya dosenku dikasih kesempatan untuk nunjukin kemampuannya, baru setelah itu dia ngerasa kemampuannya dihargai. Tentu saja, soal pakaiannya pun gak pernah dikomentarin lagi. Aku inget, pas nyeritain pengalamannya ini, dosenku menyatakan keheranannya. Apa Bos-nya itu harus dibilangin ama orang “Barat” dulu, baru kemudian ngehargain kemampuan anak buahnya? Padahal sebelum itu kan dosenku juga udah berusaha keras nunjukin kemampuan terbaiknya.

Kesimpulan yang bisa kuambil dari semua paparan di atas adalah cobalah menghargai sesuatu bukan karena “siapa”-nya, tapi lihatlah “apa”-nya. Emang kita harus selalu waspada sih, karena seperti kataku, kadang kita gak sadar kalo kita udah bersikap etnosentris dengan “Barat” sebagai pusatnya. Jangan liat “bungkus”-nya aja, tapi yang lebih penting, lihatlah “isi”-nya.

Monday, June 12, 2006

Se-Ide

Orang ini pikirannya sama banget denganku. Jadi merinding. Liat aja deh, di sini.

Saturday, June 03, 2006

Jangan Salahkan Bobotoh

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Bandung, serta sempat menyaksikan masa-masa kejayaan Persib; gak aneh kalo aku menjadi seorang pendukung (bobotoh) Persib. Jadi, wajar aja dong seandainya aku rada-rada panas setiap kali ada orang yang ngomong jelek tentang Persib ataupun para bobotohnya.

Ceritanya bermula hari Senin minggu lalu, saat seorang teman menghampiriku dan menyampaikan rasa prihatinnya atas kekalahan Persib dari Arema (sebetulnya sih belum kalah, karena pertandingannya ditunda berhubung hujan deras dan lapangannya becek abis). Tentu saja, dengan optimis aku menjawab bahwa Persib pasti bisa bangkit (meskipun dalam hati aku merasa cukup khawatir juga). Nah, di tengah pembicaraan ini, temanku yang lain nimbrung dan terang-terangan menyatakan antipatinya terhadap bobotoh karena sikapnya yang anarkis.

Panas? Jelas! Tapi aku gak bisa nyalahin temanku itu sih. Soalnya, selama ini memang ada “oknum” yang melakukan berbagai perusakan (barang umum maupun kendaraan pribadi; macem-macem lah) setiap kali Persib kalah. Dan berhubung temanku ini kebetulan juga gak suka sepakbola, maka dia juga menekankan bahwa sebagian suporter SEPAKBOLA Indonesia emang menunjukkan sikap yang sama (sikap suka merusak, maksudnya). Tapi apa bener sepakbola adalah biang kerok dari semua itu?

Menurut pendapatku: TIDAK. Sebagai seorang bobotoh, jangan salahkan aku kalo ngerasa kecewa ngeliat Persib main jelek sehingga akhirnya kalah. Aku pasti kesel banget sama wasit kalo dia bikin keputusan yang gak tepat sehingga merugikan Persib. Jelas aja aku bete ngeliat suporter tim lawan bertindak ngeselin (baca: arogan). Tapi apa itu terus ngebikin aku pingin ngerusak barang-barang ato ngelemparin wasit dan supoter lawan dengan petasan atau botol air mineral berisi urin (maaf), misalnya? Enggak lah. Paling banter juga teriak, “Wasit goblog!” (he, he, he, maaf atas kata-kata tak sopanku).

Jujur aja, orang-orang yang bikin rusuh menurutku bukanlah bobotoh (dan juga suporter sepakbola) sejati. Gila aja lah, kalo ngaku sebagai bobotoh tapi melakukan tindakan kayak gitu. Bobotoh pasti sadar bahwa melakukan tindakan anarkis sama sekali tidak membawa manfaat apapun bagi Persib. Jangan-jangan malah tim yang kena getahnya (kena sanksi) karena kelakuan buruk suporternya.

Selain itu, aku juga berpendapat bahwa sebenarnya bukan sepakbola yang bikin orang rusuh. Sepakbola cuma dijadiin alasan untuk melampiaskan rasa frustasi mereka. Tekanan kehidupan-lah yang bikin orang frustasi, bukan sepakbola. Berada dalam kerumunan para suporter memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin berani dilakukannya saat sendirian.

Kalo ditinjau secara sosiologis (ciee....), saat seseorang berada dalam “kerumunan”, identitas pribadinya akan “hilang” dan digantikan oleh “identitas kelompok”. Contohnya kalo lagi sendirian, orang mungkin gak akan berani ngelempar batu ke arah polisi, misalnya. Tapi kalo lagi demonstrasi (berada dalam kerumunan orang banyak), orang berani-berani aja ngelakuin hal itu karena toh gak bakal ketauan siapa yang ngelempar. Identitas pribadi si pelempar digantikan oleh identitas kelompoknya (jadi: “MAHASISWA melempar batu ke arah polisi”, bukan “RENI melempar batu ke arah polisi”). Masih lieur? Singkatnya mah “dimarahin bareng-bareng” lebih mending daripada “dimarahin sendiri”.

Hidup Persib!

Catatan:

Makasih buat Lina dan Puty. Berkat obrolan dengan kalian, aku jadi dapet ide untuk nulis tentang topik ini. Untuk Wiwin, jelek-jelek begini Bandung masih punya tim Divisi Utama loh. Bandingin ama Purworejo. Bahkan ngedengar tim dari sana aja aku gak pernah tuh, he, he, he, he, he ;>.