Thursday, June 22, 2006

Prestasi dan Prestise

Pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA dan sederajat tanggal 19 Juni lalu cukup menimbulkan kehebohan. Bukan saja karena peserta yang lulus jauuuuh lebih besar daripada tahun lalu (lebih dari 90%), tapi karena banyak protes dari para peserta yang tidak lulus berkaitan dengan status mereka. Guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan juga ikut protes. Masa keberhasilan seseorang hanya ditentukan oleh ujian yang cuma tiga hari dan masing-masing tiga jam lamanya, gimana dengan hasil kerja keras siswa selama tiga tahun, kecerdasan seseorang kan gak hanya diukur dengan kemampuannya dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris/Matematika/Ekonomi, UAN menghasilkan dikotomi pintar (lulus) - bodoh (tidak lulus); begitulah beberapa arguman yang mereka kemukakan.

Sejak tiga hari lalu, berita di koran dan TV dipenuhi dengan kisah-kisah tragis tentang murid SMA yang gak lulus UAN. Kisah yang diangkat biasanya tentang murid-murid yang sehari-hari berprestasi. Ada yang juara Olimpiade Fisika, ada yang udah diterima kuliah di luar negeri, ada yang udah keterima di PTN lewat jalur PMDK, ada yang selalu jadi juara kelas sejak SD; murid-murid yang cemerlang lah, pokoknya.

Sebenarnya, peristiwa kayak gini udah bukan berita baru. Sejak aku SD, tiap tahun pasti selalu kedengaran kasus tentang murid-murid berprestasi yang nilai EBTANAS-nya jeblok atau gak lulus UMPTN. Kalo sekarang kasus UAN jauh leboh heboh, karena hasil UAN sangat menentukan kelanjutan kehidupan para siswa. Beda dengan EBTANAS/ujian zaman dulu atau UMPTN/SPMB; meskipun hasilnya jeblok, gak menghambat kelanjutan studi siswa. Siswa yang gak lulus UAN gak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Siswa SMA/sederajat yang gak lulus UAN gak bisa daftar SPMB (dan PTS pun kayaknya gak mau nerima mereka). Meskipun bisa ngambil Ujian Paket C, emang ada perguruan tinggi yang mau nerima ijazah Paket C?

Terlepas dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh para “penentang” UAN (yang kusetujui dengan sepenuh hati), menurutku “kekejaman” UAN hanyalah representasi dari “kekejaman” masyarakat. Masyarakat kita tampaknya gampang sekali memberikan penilaian secara hitam-putih, mengagung-agunkan yang satu dan mengabaikan yang lain. Mirip kayak sistem UAN yang mengagung-agungkan mata pelajaran tertentu dengan nilai tertentu dan mengabaikan segala sesuatu yang lain.

Biasanya masyarakat lebih toleran terhadap para murid berprestasi (nilainya sehari-hari bagus) yang gak lulus ujian/nilai EBTANASnya jeblok/gak lulus SPMB. Mungkin kondisinya lagi gak fit. Mungkin pas ujian gugup. Mungkin ada kesalahan teknis. Apapun alasan kejeblokan atau ketidaklulusan mereka, masyarakat bisa dengan mudah memaklumi. Gimana kalo yang gak lulus kebetulan adalah murid yang sehari-hari nilainya biasa aja, bahkan cenderung jelek? Aku yakin orang-orang gak peduli. Pasti orang beranggapan, wajar aja gak lulus, sehari-hari nilainya kan jelek. Padahal, pasti ada alasan juga di balik jeleknya nilai seorang murid, gak adil juga kalo kita langsung memberi cap bodoh atau malas. Tapi sayangnya, kalo untuk murid macam ini, gak banyak orang yang mau mencoba memahami alasan di baliknya. Apa gak “kejam” tuh namanya?

Sekolah sebagai institusi pendidikan juga gak lepas dari tindakan-tindakan “kejam”. Penggunaan istilah-istilah seperti sekolah unggulan/non-unggulan, kelas IPA/bukan IPA (penggunaan istilah ini kerasa banget di SMA-ku dulu, yang kelas IPA-nya ada sepuluh dan kelas IPS-nya cuma satu) adalah beberapa contoh diskriminasi/”kekejaman” yang dilakukan secara tidak sadar (atau sadar?) di dunia sekolah. Sayangnya, guru dan orang tua yang harusnya memberi dorongan untuk anak-anaknya acapkali juga melakukan tindakan “kejam”, entah disadari atau tidak. Aku inget pernah dihina guruku pas SMA gara-gara gak ngerjain soal dengan cara seperti yang dicontohkannya (“Lamun kieu mah moal bisa asup UMPTN!”). Aku punya temen yang “disuap” ortunya supaya pindah dari SMA asalnya ke SMA-ku yang kebetulan merupakan “SMA unggulan” (“Kalo mau pindah ntar dikasih mobil.”).

Ujung-ujungnya, murid lagi yang jadi korban. Korban kebijakan pemerintah yang ngaco, korban ambisi orang tua/guru/sekolah demi mencapai prestise. Kasian banget deh!

1 comment:

  1. Anonymous11:34 AM

    Maaf br nongol lg d blog kmu ren,br selese KP nih..
    Ini topik yg udh bikin sy gatel pgn ngasi komentar..
    Yah betul sekali..murid2 skrg tu lg djadiin kelinci p'cobaan sm pemerintah dlm upaya p'carian sistem p'didikan yg sesuai keinginan mereka (pemerintah maksudnya)..Denger ga alesan wapres waktu ditanya knp sistem ujian (UAN) ini diterapkan skrg?dan beliau menjawab tanpa mikir pnjg menurut sy & tanpa dasar yg jelas pula),bhw bgmn negara qta ingin sprt negara maju klo dgn rata2 nlai skrg aja (4,25 apa 4,5 sih ren?)mereka msh ngeluh krn t'lalu tinggi,sdgkan d negara lain nilai rata2nya udh 5-6..
    LAH..Beliau nih ga sadar apa klo sistem pendidikan di qta ni bda sama negara maju,ngikutin sistem negara laen kok sepotong2,cuma dr nlai rata2 ujiannya doang,Klo mau ngikutin & pgn hasilnya sm ya ikutin semuanya mlai dr sistem ngajar smp bhn yg dikasi..
    Nyebelin bgt sih..Bikin org jd ngerasa bljr 3 taun ga ada gunanya klo sampe ga lulus..

    ReplyDelete