Sunday, November 29, 2009

Pelipur Lara

Aku sering kali kesal karena hal sepele, misalnya karena mendengar pertanyaan bodoh reporter TV. Walau begitu, ternyata hal sepele juga bisa membuatku gembira tak terkira.

Beberapa minggu lalu, terjadilah peristiwa yang menyebalkan. Saking menyebalkannya, pikiranku jadi terganggu. Bukan "terganggu" dalam arti "gak waras", tapi "membuat mood-ku jadi gak enak setiap kali teringat".

Malam itu, kusambungkan komputerku dengan internet dan berselancar. Tanpa sengaja aku menghapus pesan penting dari milis yang sebenarnya bakal ku-forward ke orang-orang. Jadi, aku terpaksa harus buka halaman mukanya Yahoo!Groups. Tapi tak disangka-sangka, aku melihat foto "menarik" di kiri bawah halaman tersebut.

Nah, foto ini sesungguhnya biasa-biasa aja, bagi orang yang tidak mengetahui. Tapi karena aku maniak, foto ini membuatku cengar-cengir sendirian kayak orang gila.

Foto tersebut menampilkan enam orang anak muda. Yang tertua mungkin baru berumur 23 tahun (dan baru-baru ini merayakan ulang tahunnya yang ke-36; Happy Birthday, Giggsy!) dan yang paling muda 18 tahun-an lah. Karena aku gak tahu apa-apa (dan gak peduli) tentang mode, aku gak tahu apakah gaya rambut mereka itu tampak jadul pisan atau enggak. Yang jelas, mereka semua terlihat sangat muda dan tak berdosa :p.

Otak manusia sangatlah luar biasa dalam membuat asosiasi. Melihat foto itu, aku jadi inget diriku dan hal-hal gak penting yang kulakukan di pertengahan '90-an. Nonton MTV (yang tayangan musiknya masih cukup variatif) sambil berleha-leha sepulang sekolah, ngantre buat beli majalah Kawanku (sekarang namanya W, ya?!) tiap hari Senin, dihukum bareng temanku Ida (yang sekarang jadi Bu Guru :D) gara-gara telat, duduk di kerimbunan pohon di Jl. Otten sambil nungguin angkot Stasiun-Gunung Batu yang gak kunjung datang, memutar ulang What's the Story Morning Glory sampai entah berapa juta kali, dan--tentu saja--menghabiskan Sabtu dan Minggu malam dengan nonton pertandingan Liga Inggris di SCTV/ANTV/Indosiar.

Sejujurnya, masa SMP-ku gak segitu menyenangkannya. Malah, banyak hal yang tidak terlalu mengenakkan. Tapi karena foto itu berasosiasi langsung dengan kenangan menyenangkan, hal-hal lain yang membahagiakan pun muncul bersamanya.

Pokoknya, selama beberapa hari berikutnya, setiap kali aku teringat hal menyebalkan itu, aku langsung memikirkan foto gak penting téa. Dan perasaanku otomatis jadi jauuuuh lebih baik. Hebat ya, hehehe :D.

Wednesday, November 04, 2009

Awaydays (Pat Holden)

Sekelompok anak muda yang bikin rusuh di stadion--kataku itu gak keren. Tapi gaya mereka emang keren: pullover/sweter + jaket parasut/jaket kulit + celana jins lurus yang mengecil di bagian bawah (kayak yang sekarang lagi mode) + sepatu Adidas putih bergaris hitam + rasa percaya diri yang luar biasa.

Apa pun alasannya--karena kelompok itu keren atau apalah--sejak melihat mereka beraksi di stadion dalam pertandingan kandang, Paul Carty (Nicky Bell) bertekad untuk bergabung dengan The Pack. Dia pun merongrong teman barunya--Mark "Elvis" Elways (Liam Boyle), seorang anggota The Pack--supaya diperbolehkan jadi bagian dari mereka. Elvis sebenernya gak setuju karena menurutnya temen-temennya brengsek (dan Carty "orang baik"). Tapi, berhubung si Carty maksa melulu, akhirnya dia dipertemukan dengan para anggota lain dan diajak ikut ke pertandingan tandang klub sepak bola yang mereka dukung.

Meskipun sempat dianggap kacangan oleh anggota-anggota yang lain, Carty akhirnya mendapatkan rasa hormat mereka waktu dia dengan berani menerobos barikade polisi dan menyilet seorang anggota firm tandingan (walau sebelumnya dia ditendangin rame-rame sih). Sementara Carty merasa makin nyaman dan semakin diterima dalam The Pack, Elvis justru kian mengkhawatirkannya dan mendesaknya untuk pergi.

Nah, sedikit informasi buat yang gak tahu apa itu firm. Firm adalah kelompok suporter sepak bola yang militan. Mereka gak segan-segan berkelahi, merusak tempat umum, atau bahkan "menghabisi" suporter tim lawan. (Gak percaya? Coba tengok kasus kerusuhan saat Liverpool melawan AC Milan di Final Piala Champions Eropa 1985 di stadion Heysel, Belgia, yang menewaskan 39 orang. Dan itu baru kasus yang paling terkenal aja.) Biasanya firm punya struktur organisasi yang lumayan rapi. Mereka bahkan punya "cabang" khusus untuk remaja/anak-anak di bawah umur (dulu sih gitu, tapi gak tahu sekarang). Bayangkan Bonek, tapi terorganisir.

Yang menarik adalah, walaupun Awaydays berkisah tentang sekelompok pendukung tim sepak bola, pertandingan sepak bola sama sekali gak ditampilkan di film ini. Sepertinya aku tahu kenapa. Kendati keberadaan firm dan hooliganism gak bisa dilepaskan dari sepak bola, bukan fanatisme semata yang mendorong orang-orang untuk melakukan kekerasan. Ada yang ikutan karena mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu, kayakseperti Elvis dan Carty). Ada yang pingin menemukan tempat untuk melampiaskan kesadisannya, seperti si Baby (Oliver Lee)--yang belakangan ngebunuh John Godden (Stephen Graham), koordinator mereka, dan menyilet Carty untuk balas dendam karena udah dipermalukan. Jadi, sering kali motif non-sepak bolalah yang memicu tindakan brutal mereka.

Pada akhirnya, Elvis dan Carty gak memperoleh apa yang mereka inginkan. Carty menyadari bahwa meski keinginannya bergabung dengan The Pack terwujud, kenyataan gak seindah harapannya. Elvis menyadari bahwa mereka cuma segerombolan preman kejam (setelah mereka rame-rame menghajar cowok-cowok yang memperkosa adik perempuan Carty, dia bilang, "Kita seperti mereka..."), terjerumus semakin dalam ke keputusasaan dan kesepian, sampai akhirnya bunuh diri (dia masih menyempatkan diri mengakui perasaannya ke Carty--sambil teler--di gereja setelah upacara pemakaman John; mungkin dia suka Carty karena Carty-lah satu-satunya orang tempatnya bisa menceritakan isi hatinya dengan jujur).

Nongkrong bareng ama temen-temen sesama penggemar klub kesukaanmu harusnya menyenangkan, tapi dalam kasus mereka berdua, ternyata enggak. Seperti kata Elvis kepada Carty (yang mungkin mencerminkan perasaannya tentang dirinya sendiri), "Kamu datang dan pergi. Mereka (The Pack) gak bener-bener tahu siapa kamu." Dengan kata lain, para anggota firm itu bukanlah teman sejati yang mereka cari-cari.

Miscellany:
  • Stephen Graham main di Snatch sebagai Tommy si penjahat kelas teri yang lugu/agak bodoh--beda 180 derajat dengan karakter di film ini. Keren lah, Pak.
  • Waktu nonton di CCF kemaren, di antara sekelompok orang anggota United Indonesia yang ber-jersey MU, gak satu pun yang pake seragam pemain belakang. Rio Ferdinand yang terkenal aja gak ada, apalagi Gary Neville (meskipun dia kapten tim)!
  • Film rite-of-passage (perjalanan menuju kedewasaan lah, kira-kira)favoritku: War of the Buttons.

Friday, October 30, 2009

Dengarlah Nyanyian Angin (Murakami Haruki)

Inilah yang tertulis di sampul belakang Dengarlah Nyanyian Angin--Kaze no Uta o Kike--terbitan KPG: "Aku...terobsesi dengan seorang penulis Amerika yang mati bunuh diri. Kekasih Aku gadis manis...tapi tak ragu-ragu menggugurkan janin...yang entah siapa ayahnya. Sobat kental Aku, Nezumi, anak hartawan tapi muak dengan kekayaan dan menenggelamkan diri dalam alkohol. Mereka bertiga melewatkan delapan belas hari yang tak terlupakan pada suatu musim panas...."

Sepertinya harus diralat sedikit. Pertama, si cewek bukanlah kekasih Aku. Atau paling tidak, menurutku si Aku gak menganggap cewek itu sebagai pacarnya. Kedua, kayaknya "menenggelamkan diri dalam alkohol" untuk menggambarkan kebiasaan si Nezumi (bahasa Jepang: tikus) nongkrong di bar terlalu berlebihan deh. Ketiga, dan yang paling penting, adalah "delapan belas hari tak terlupakan".

Secara logika, tentu saja delapan belas hari itu tak terlupakan, karena kalo enggak, gak mungkin si Aku mengisahkannya kan. Tapi jika benar delapan belas hari itu tak terlupakan, pertanyaannya adalah: apa sih yang begitu mengesankan pada musim panas itu sampai-sampai ia layak menyandang predikat "tak terlupakan" (kecuali pertemuan dengan cewek yang jari tangannya cuma sembilan, tapi sesudah musim panas itu dia dan Aku gak pernah ketemu lagi; perjumpaan dengan cewek itu pun gak ngasih pengaruh apa-apa dalam hidup Aku--setidaknya begitulah yang kutangkap)? Jawabannya: gak ada. Justru itulah intinya.

Tau gak, apa aja yang dikerjain si Aku selama delapan belas hari itu? Nongkrong di bar sambil minum-minum, ngobrol, dan makan kacang; jalan-jalan; dengerin radio; mengingat-ingat masa lalu. Biasa banget kan?! Waktu baca buku ini, aku ngerasa, mungkin memang itu yang ingin disampaikan Murakami-sensei. Bahwa waktu terus mengalir. Bahwa hidup kita biasa-biasa aja. Bahwa kesadaran akan hal itu terasa menyakitkan. Dsb, dsb, dsb.

Tapi, gak ada yang berubah meskipun kita menyadari bahwa hidup kita biasa aja, bahwa kita akan terus bertambah tua tanpa mencapai apa pun yang berarti dalam hidup, dst. Jadi, sebaiknya kita terima aja kondisi itu. Sebagian orang mengatasinya dengan menulis (Aku dan Nezumi menulis untuk menumpahkan sebagian kecil pemikiran yang bikin otak mereka ruwet dan untuk melapangkan hati). Sebagian orang akhirnya gak tahan dan mereka pun bunuh diri. Sebagian lagi gak menyadari apa-apa, tapi ketidaktahuan itu toh gak berpengaruh apa-apa terhadap hidup mereka. Kita semua sama saja. (hal 110)

Di sampul belakang buku, disebutkan juga bahwa novel ini mengisahkan anak-anak muda Jepang yang antikemapanan dan tidak punya gambaran ideal tentang masa depan. Dibandingkan dengan novel-novel yang sekarang sedang in--tentang anak-anak muda yang harus menempuh berbagai kesulitan sebelum akhirnya dapet beasiswa ke luar negeri/sekolah di perguruan tinggi ternama, serta masa mahasiswa mereka yang "penuh warna", dan kesuksesan mereka selepas lulus kuliah--Dengarlah Nyanyian Angin memang tampak suram dan tak berarti. Tapi, aku lebih suka cerita ini. Soalnya, suasana batinku lebih mendekati suasana batin novel ini. Mau dibilang antikemapanan, pemuda kelas menengah yang kebingungan, gak punya visi, terserah lah. Maaf aja seandainya kami tidaklah sekeren anak-anak muda "inspiratif" yang kehidupannya diceritain di novel-novel populer itu.

Thursday, October 29, 2009

Kata-kata yang Bodoh

Suatu hari, telepon bordering.

CEWEK: Dengan Mbak Reni?
AKU: Iya.
CEWEK: Saya dari toko buku Times Bandung.
AKU: Apa?
CEWEK: Saya dari toko buku Times Bandung.
AKU: Iya.
CEWEK: Mbak Reni, pesan buku Haruki Murakami? Bukunya yang ada cuma satu, South of Border, West of Sun.
AKU: Oh, jadi yang ada cuma satu doang?
....dst.

Bodoh banget kan. Udah jelas-jelas kan si Teteh itu bilang kalo di antara tiga buku yang kupesan, hanya satu yang tersedia. Terus, kenapa juga aku ngomong, "Oh, jadi yang ada cuma satu doang?"

Sekarang aku ngerti kenapa penyiar-penyiar TV acap kali menanyakan hal bodoh, misalnya: hal yang sudah dijelaskan narasumber. Ternyata, itu karena mereka gak tau gimana harus menindaklanjuti informasi yang baru aja diberikan. Akhirnya, keluarlah pernyataan/pernyataan yang tidak perlu. Seperti yang kuucapkan.

Wednesday, October 14, 2009

Obrolan tentang Identitas

Berkat kebaikan hati seorang teman, aku berkesempatan ikut ngobrol-ngobrol bareng Hari Kunzru. Padahal, acara ini khusus undangan...cenah. Makasih ya, Na. Jadi, gak enak. (Atau malah enak?! ;p)

Singkat cerita, Pak Kunzru ini teh penulis berkewarganegaraan Inggris. Ibunya orang bule Inggris dan bapaknya orang India asal Kashmir (kayak Katrina Kaif nggak sih?!). Melihat latar belakangnya, gak aneh ketika kemudian dia penasaran dengan konsep "identitas", "ras", "kemurnian", dan sebangsanya. (Tumbuh besar sebagai anak berdarah "campuran" di wilayah konservatif kota London tidaklah mudah; kayaknya sih gitu.) Dan jadilah dia pengarang yang mengeksplorasi tema seputar identitas dalam novel-novelnya.

Dan karena latar belakangnya seperti itu, wajar kalo Pak Kunzru lebih tertarik dengan identitas transnasional--sesuatu yang mempersatukan semua orang, gak peduli di mana dia tinggal, apa keyakinannya, apa warna kulitnya, dsb. Oke lah, Pak, saya mengerti maksud Anda. Kita memang beda-beda, tapi terus kenapa? Maksud Anda begitu, kan?!

Nah, aku sendiri tidak pernah gelisah gara-gara "identitas", seandainya yang dimaksud "identitas" di sini adalah label yang dilekatkan seseorang pada dirinya, penyama sekaligus pembeda. (Misalnya: saya Muslim, jadi saya sama dengan orang-orang yang shalat dan mengaji dan mengimani Allah sebagai satu-satunya ilah, tapi saya gak sama dengan orang Kristen dan Hindu dan Buddha.) Mungkin karena aku tinggal di tengah-tengah masyarakat yang relatif homogen. Mungkin karena slogan Bhinneka Tunggal Ika sudah melekat dalam pikiranku (Sunda, Jawa, Batak, Minang,Bali, Sasak, Banjar, Dayak, dsb gak jadi soal). Mungkin karena aku bukan anggota kelompok minoritas yang terus-menerus dipertanyakan ke-Indonesia-annya.

Yang lebih mengusik pikiranku adalah "identitas personal" , kalo yang seperti itu memang ada. Siapa aku sebenarnya? Apa yang membuatku unik sebagai individu? Apa yang membedakanku dengan manusia-manusia lain? Tahu kan, kayak gen atau sidik jari atau sidik retina, tapi lebih menyeluruh. Harap dimaklumi, aku memang individualis (baca: antonim "kolektivis", bukan antonim "egois"). Aku bener-bener ngeri waktu membayangkan diriku sebagai makhluk yang keberadaannya di dunia ini tergantikan.

Ngalor-ngidul sepanjang ini, apa sih maksudku? Entah ya. Tapi, inilah yang kuyakini. Identitas adalah sesuatu yang kita pilih, titik. Dan manusia senantiasa tercabik-cabik antara keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok dan keinginan untuk menjadi istimewa. Gitu deh.

Wednesday, September 30, 2009

A History of the World in 10.5 Chapters (Julian Barnes)

Judul buku ini--A History of the World in 10.5 Chapters--mungkin akan membuat orang terkecoh. Mendengar kata "sejarah", yang terpikirkan biasanya adalah peperangan, penaklukan dan penindasan, revolusi, penguasa egomaniak, dan semacamnya. Kalo emang yang itu yang kamu mau, silakan cari buku lain.

Dalam novel yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Sejarah Dunia dalam 10,5 Bab ini (diterbitkan KPG dan diterjemahkan dengan sangat bagus oleh Arif Bagus Prasetyo), cerita yang dikisahkan dalam buku hanyalah "kejadian sehari-hari". "Peristiwa-peristiwa dahsyat" sepanjang perjalanan waktu--banjir besar, gempa, kecelakaan kapal, pembajakan, kematian, dll--kemudian sekadar menjadi latar belakang, bukan fokus cerita. Meskipun gak lumrah, hal ini patut direnungkan. Coba aja pikir, ketika kita menilik "Sejarah", kenapa yang dikedepankan selalu "sejarah kekuasaan"? Selalu dinasti ini digulingkan oleh dinasti itu, atau kerajaan ini digantikan oleh kekaisaran ini digantikan oleh kesultanan ini, dsb. Kenapa bukan "sejarah seni" atau "sejarah ilmu" misalnya? Nah, buku ini mendobrak pakem "Sejarah" sebagai "sejarah kekuasaan".

Para pelakon dalam buku ini pun "cuma" orang-orang biasa. Maaf, maksudku makhluk-makhluk biasa--mengingat sekawanan ulat kayu juga tampil sebagai pelakon. Ulat kayu mengisahkan derita para hewan di Bahtera Nuh dalam bab 1, "Penumpang Gelap", dan menghadapi tuntutan ekskomunikasi dari Gereja Katolik pada bab 3, "Perang Agama". Barnes seakan-akan hendak menegaskan, lagi, bahwa kita semua adalah pelaku sejarah. Yang kisah hidupnya layak dituturkan bukan hanya raja, kaisar, sultan, panglima, dan pemimpin pemberontakan. Siapa tahu rakyat jelata lebih patut diteladani daripada tokoh-tokoh berkuasa dan berpengaruh itu.

Tapi, jangan salah paham. Barnes tidak semata-mata menggugat "sejarah" karena dia ingin menggugat "Sejarah". Sebetulnya "kesadaran kolektiflah" yang digugatnya, kayaknya sih. Ini tercermin dalam "Parentesis" (bab 8,5). Dia mengoceh panjang lebar tentang cinta, dan bagaimana pada akhirnya itulah yang harus kita percayai--juga kehendak bebas dan kebenaran objektif. (Tapi, kenapa harus cinta? Mungkin karena "cinta" lebih mudah dipahami daripada "kehendak bebas" dan "kebenaran objektif"? Mungkin bagi Barnes "cinta" cuma alat untuk menyampaikan maksudnya, sama seperti "Sejarah"?)

Kalau disimpulkan, kira-kira inilah inti kisahnya: Pada akhirnya, kita sendirilah yang mesti memutuskan apa yang kita yakini, karena memang kita memilih untuk meyakininya, bukan karena orang-orang lain berpendapat itulah yang benar dan itulah yang semestinya kita yakini (intinya mah, hindari taklid buta). Mengutip kata-kata Pak Amir, dosenku semasa kuliah, "Sesuatu yang salah, walaupun diyakini kebenarannya oleh semua orang di dunia, tetap saja salah."

Catatan: Cuma pingin memperjelas. "Sejarah" (dengan "S" besar) berarti sejarah kekuasaan, sejarah yang lazimnya kita pahami, sejarah yang diajarkan secara akademik. "sejarah" (dengan "s" kecil) berarti perjalanan hidup setiap makhluk--biasanya manusia, tapi tidak selalu--secara individual atau keseluruhan, di dunia ini.

Saturday, September 26, 2009

The Winner Stands Alone (Paulo Coelho)

Bacalah The Winner Stands Alone, niscaya kita gak bakal memandang kaum elit yang banyak duit, berkuasa, dan terkenal seperti dulu lagi. Aku memang percaya bahwa uang, kekuasaan, dan ketenaran bukan jaminan kebahagiaan. Ketiganya pun bukan hal terpenting di dunia. Tapi--mungkin sama kayak sebagian besar orang--aku meyakini bahwa barang siapa memiliki salah satu saja dari ketiganya, kalo gak bisa semuanya, dia bebas ngapain aja. Tapi ternyata, ketiganya bisa mengurung seseorang, sama seperti kemiskinan absolut. Atau begitulah kata Paulo Coelho.

Kejadian-kejadian dalam novel ini berlangsung dalam waktu satu hari saja. Berbagai macam orang dari berbagai belahan dunia--aktor dan aktris, sutradara, produser, perancang busana, model, pengusaha, polisi--dipersatukan oleh ajang akbar yang disebut Festival Film Cannes. Mereka juga dipersatukan oleh hal-hal yang sama: kekayaan, kekuasaan, ketenaran. Sebagian tokoh udah kaya/berkuasa/tenar, yang lainnya mendambakan kekayaan/kekuasaan/ketenaran.

Nah, dalam novel ini kita dihadapkan kepada suatu paradoks. Atau mungkin bukan paradoks, tapi perbedaan antara harapan dan kenyataan.

Orang-orang biasa--seorang aktris medioker, sutradara muda, dan polisi yang bosan, misalnya--berharap bisa tersohor karena memang itu cita-citanya, karena pingin mengubah masyarakat, karena merasa layaklah dirinya mendapat apresiasi sesekali (siapa tau bisa naik jabatan). Seakan-akan mereka akan puas dan bergembira ria setelah harapan ini terwujud.

Nyatanya, para anggota Superclass--orang-orang kaya/berkuasa/tenar itu-- gak memperoleh kepuasan dari situasi mereka. Di saat mereka udah punya segalanya, mereka malah waswas karena gak mau kehilangan kekayaan/kekuasaan/ketenaran mereka. Maka muncullah orang-orang gila kerja dan manusia-manusia pecandu operasi plastik/suntik Botox/sebangsanya dan pengidap depresi. Pencapaian mereka akhirnya menjadi pengekang, bukan sekadar alat untuk mencapai kebebasan, apalagi sumber kebahagiaan.

Selain memaparkan kepalsuan kaum elit, novel ini juga mengemukakan satu topik yang sering muncul dalam karya-karya Coelho: impian, dan seberapa jauh kita rela berkorban demi mencapainya. Demi tujuan yang (menurut kita) baik dan mulia, layakkah kita melakukan apa saja? Bohong, misalnya? Atau mungkin meniduri produser film? Atau jadi simpanan ama om-om atau tante-tante kaya? Bagaimana dengan membunuh?

Novel ini emang gak menggugah perasaanku sedahsyat The Alchemist, tapi kisahnya cukup "mengena". Kalo aja para manusia penggila selebritis yang jumlahnya semakin banyak di Indonesia membacanya, mungkin mereka bakal berpikir ulang soal kegandrungan mereka yang gak realistis itu. Tapi kayaknya sih mereka lebih suka nonton TV daripada baca buku....

Sunday, September 20, 2009

Maafkan Saya

Aku pengguna produk bajakan yang nyaris gak pernah merasa bersalah. Alasannya macem-macem. Yang pertama, karena aku sebetulnya gak suka-suka banget ama seniman yang karya bajakannya kumanfaatkan itu. Terdengar kurang ajar? Memang, tapi begitulah kenyataannya. Tapi aku hampir gak pernah ngebajak karya musisi/sineas Indonesia loh. Kecuali Mbah Surip. Dan The PanDal. Ampun....

Alasan kedua, karena karya yang kubajak gak tersedia versi legalnya di Indonesia. Apa Cardcaptor Sakura Character Songbook ada di Indonesia? Bagaimana dengan seri CODE GEASS: Hangyaku no Lelouch? Atau album-albumnya Elbow, pernah denger? (Aku pernah ngirim e-mail ke Indosemar buat nanyain apakah mereka berencana ngerilis album Elbow di Indonesia. Sesuai dugaan, e-mail-ku sama sekali gak ditanggepin.) Selain itu, susah juga nyari album-album atau buku-buku jadul di sini. Misalnya aja sebelum nyari file MP3 Tears for Fears di internet, aku nyempetin diri dulu buat cari albumnya di website Disctarra. Ternyata yang kucari gak ada. Yasud.

Alasan ketiga, karena aku ngembat versi digital (bajakan) dari album yang udah kupunya. Aku punya semua full album Radiohead (dan aku SUKA BANGET Radiohead!). Seiring dengan semakin reyotnya tape deck-ku, muncullah keinginan untuk dapetin versi digital lagu-lagu di album mereka supaya bisa didengerin di komputer atau apa lah. Tentu saja, kalo yang kupunya adalah CD, aku bisa dengerin album mereka di komputer atau ngubah track-track di dalamnya ke format MP3 atau WMA. Tapi karena aku cuma punya kaset, ya gak bisa lah. Dan itulah sebabnya aku nyari lagu-lagu mereka (yang dibajak) di internet dan tidak merasa bersalah.

Tapi sekarang, aku merasa bersalah. Pada Neil Gaiman, Murakami Haruki, dan Natsume Soseki. Karena aku sangat suka karya mereka, dan sebagai konsekuensinya, sangat menghormati mereka sebagai seniman, rasanya gak enak deh, baca bajakan. Hampir semua buku Gaiman dan Murakami yang diterbitin di Indonesia udah kubaca (dalam format e-book bajakan). Dan yang belum kubaca, aku gak terlalu berminat untuk memilikinya, jadi asa sayang aja kalo dibeli. Coraline buat anak-anak. Stardust, per-lope-an pisan jigana mah, saya jadi gak minat. Aku masih menunggu-nunggu Sandman, graphic novel karya kolaborasi Pak Gaiman dengan seseorang (entah siapa). Kalo buku ini diterbitin, aku pasti beli deh.

Sekarang soal Murakami-sensei. Bukunya yang diterbitin di sini ada tiga: Normeei no Mori (Norwegian Wood), Umibe no Kafuka (Kafka on the Shore) dan Hear the Wind Sing (maaf, gak tau judul bahasa Jepangnya; tapi mungkin ada "Kaze no Uta"-nya). Aku udah baca dua yang pertama, tapi yang dua itu bukan buku favoritku. Dan karena Hear the Wind Sing adalah karya pertamanya sehingga kemungkinan relatif normal, aku juga gak pingin beli.

Kalo Natsume-sensei, baru Botchan yang diterbitin di sini dan aku udah baca. Dan walaupun itu novel yang menarik (dan narasinya bisa dibilang "lucu"), aku lebih tertarik untuk memiliki novel-novelnya yang lebih baru, yang lebih mendalam, yang lebih dahsyat (kayak Kokoro, gitu deh). Sayang sekali sekarang di Gramed Merdeka gak ada buku-buku Jepang murah meriah terbitan Tuttle lagi. Aku sempet beli beberapa buku di sana sih, tapi karya Natsume-sensei gak termasuk di antaranya.

Pak Gaiman, kalaupun saya ingin beli buku Anda, di Gramed di Bandung sekarang udah gak ada lagi.

Murakami-sensei, terakhir kali ke Times BIP sih saya ngeliat ada beberapa buku Anda. Rencananya sih emang mau beli. Moga-moga saya punya ketetapan hati dan uang untuk melakukannya dalam waktu dekat ini.

Natsume-sensei, seandainya saya bisa menemukan buku Anda di suatu tempat, pasti saya bakal beli; masalahnya, gak ada sih.

Tapi untuk sementara ini, maafkanlah saya, Bapak-bapak. Maafkan saya karena sudah kurang ajar, membaca buku Anda yang dibajak. Semoga Anda mengampuni.

Catatan: Sekarang izinkan aku berpromosi sedikit. Untuk karya Neil Gaiman, kusarankan baca Good Omens--bodor pisan. Atau kalo pingin baca yang udah ada terjemahannya, silakan cicipi Anansi Boys. Murakami Haruki: Hard-Boiled Wonderland and the End of the World--perpaduan sci-fi dan fantasi yang agak "aneh" (dan filosofis tentunya), tapi gak seajaib karya-karyanya yang lebih baru, bagus lah buat pemanasan. Sayang sekali aku baru baca dua karya Natsume Soseki, jadi belum cukup banyak untuk bisa ngasih referensi. Tapi dua-duanya--Botchan dan Kokoro--bagus kok, meskipun tingkat kompleksitasnya berbeda. Dan Radiohead, saranku sama dengan semua pencinta musik di dunia lah: OK Computer.

Thursday, August 27, 2009

Kokoro (Natsume Soseki)

Sebenernya apa sih yang diceritakan dalam Kokoro karya Natsume Soseki ini? Aku bisa aja ngasih garis besarnya seperti ini: Bagian 1 (Sensei dan Aku) tentang perjumpaan dan interaksi "aku"--seorang pemuda yang namanya gak pernah disebut sepanjang cerita--dengan pria yang dipanggilnya "Sensei". Pembawaan Sensei yang penuh teka-teki--sikapnya yang menarik diri dan menolak untuk "menceburkan diri" ke dunia, sikapnya yang sinis terhadap karakter manusia, kemurungannya--justru bikin "aku" makin penasaran padanya; Bagian 2 (Orang Tuaku dan Aku) tentang "aku" di kampung halamannya sesudah lulus kuliah di Tokyo--kecemasannya karena kesehatan ayahnya yang memburuk, desakan orang tuanya untuk cepat-cepat cari kerjaan yang bergengsi, dan hal-hal lain yang dirasakannya selama itu; Bagian 3 (Sensei dan Pengakuannya) berisi cerita Sensei tentang kehidupannya, termasuk peristiwa yang menyebabkan dirinya berubah, dan juga alasan yang melatarbelakangi keputusannya bunuh diri. Sama seperti Bagian 1 dan 2, Bagian 3 juga diceritakan lewat sudut pandang orang pertama.

Tapi, ringkasan di atas (atau ringkasan mana pun) gak bisa mengungkapkan apa inti Kokoro sebenarnya. Dan tentu saja, pemahamanku mengenai kisah tersebut mungkin berbeda sekali dengan apa yang ingin disampaikan Natsume-sensei. Jadi, anggap aja paparanku di bawah ini sebagai "kesan" yang ditangkap oleh seorang pembaca semata. Apa yang kuutarakan benar-benar gak mencukupi untuk menjawab pertanyaan "Sebenernya apa sih yang diceritakan dalam Kokoro karya Natsume Soseki ini?".

Mulai dari judulnya. "Kokoro" itu dalam bahasa Jepang bisa berarti "jiwa" atau "hati" atau "esensi" atau "ruh" (mungkin mirip "geist" dalam bahasa Jerman?). Jadi, mungkin saja yang ingin dikemukakan dalam novel ini adalah "jiwa manusia". Atau setidaknya, pandangan para tokoh tentang jiwa manusia (dalam hal ini, jiwa si tokoh itu sendiri).

Sensei--yang memandang umat manusia dengan rasa benci--beranggapan bahwa tidak ada manusia yang "baik" atau "jahat". Kibas-kibaskan uang, atau harga diri, atau apa saja yang sepertinya penting, di hadapan orang yang "baik" dan dia bisa berubah jadi "jahat" seketika. (Dia gak serta merta berpandangan seperti ini--pengalaman hidupnyalah yang membuatnya berpendapat demikian.) Membenci umat manusia berarti membenci dirinya sendiri, dan inilah yang membuat Sensei menjalani kehidupan tanpa kebahagiaan, bagaikan mayat hidup. ("Kami semestinya bahagia," katanya kepada "aku".)

"K"--seorang teman yang kematiannya berdampak sangat besar bagi kehidupan Sensei--berpendapat bahwa manusia seharusnya hidup demi mengejar "jalan yang lurus" ("the true way", menurut terjemahan bahasa Inggrisnya), meskipun apa "jalan yang lurus" itu, kayaknya dia gak tahu persis. Seminimal-minimal mungkin, seseorang haruslah punya keteguhan hati. Tersadar bahwa dirinya gak punya keteguhan hati yang diinginkannya (saat dia malah jatuh cinta pada anak perempuan ibu kosnya), dia pun terguncang dan akhirnya memutuskan bunuh diri.

Sudut pandang "aku" mungkin gak seekstrem dan gak segamblang dua orang di atas. Tapi, kita masih bisa menangkap perasaan herannya saat dia merasa "sudah terlalu Tokyo" dan gak betah lagi tinggal di rumah, atau saat dia merasa lebih bisa "menjalin hubungan" dengan Sensei daripada dengan ayahnya sendiri--sejak kapan itu terjadi?

Mungkin juga novel ini sesungguhnya menceritakan keputusasaan yang bersemayam dalam diri manusia. Kita mungkin bisa berhubungan dengan orang lain, tapi gak peduli sedekat apa kita dengan orang lain itu, perasaan sejati kita akan senantiasa tersembunyi dari mereka. Atau seperti kata Sensei, "... aku berdiri sendirian di dunia ini, putus hubungan dengan manusia hidup manapun." Mungkin itulah maksud novel ini, esensi manusia adalah kesendirian.

Sunday, August 16, 2009

The Open Society and Its Enemies (Karl Popper)

Ini sebenernya bukan ulasan. Siapa aku, kok berani-beraninya mengulas karya Profesor Karl Raimund Popper? Mungkin suatu saat nanti, tapi untuk saat ini otakku belum nyampe tuh. Di bawah ini, aku sekadar menyebutkan beberapa hal penting yang kutangkap dari The Open Society and Its Enemies, yaitu:

  • Kebijaksanaan sama artinya dengan kerendahan hati. Orang yang sungguh-sungguh berpengetahuan sadar sesadar-sadarnya bahwa pengetahuannya cuma seupil dan bahwa dia punya keterbatasan.
  • Berpikir kritis teh kudu.
  • Berpikir rasional bisa membantu kita menemukan kebenaran, tapi bukan berarti hanya yang rasionallah yang patut dianggap sebagai hal yang bernilai.
  • Jangan mudah terkesan oleh nama besar. Buah pemikiran para tokoh tetap harus dibaca secara kritis.
  • Demokrasi semestinya tidak dianggap sebagai sesuatu yang abstrak seperti "kedaulatan rakyat". Lebih pas jika demokrasi dipandang sebagai sistem penuh keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan kritik dan koreksi, sehingga sistem itu bisa terus diperbaiki (kontras dengan sistem pemerintahan yang totalitarian).
  • Kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Tapi, sejarah tidak boleh digunakan untuk meramal masa depan (karena ini mustahil, meskipun orang yang bilang "bisa" mengklaim bahwa metodenya ilmiah--mengkhayal tuh), apalagi dipakai sebagai pembenaran atas tindakan yang salah.
  • Mengembalikan tatanan lama atau menggagas revolusi tidak akan menjadikan kehidupan kita serta-merta lebih baik. Kita sendiri yang harus mewujudkan "kehidupan yang lebih baik" itu, walaupun hal ini memang berat dan butuh waktu lama.


Aku amat sangat merekomendasikan buku ini buat siapa pun (pas banget kalo pemuja Hegel dan Marx--yang jumlahnya di negeri ini kayaknya lumayan banyak--baca buku ini, meskipun barangkali ujung-ujungnya mereka bakal mencak-mencak). Ulasannya logis dan runtun, setiap argumen dikemukakan dengan terperinci disertai kontra argumennya (dan kontra argumennya lagi, sampai tak terbantahkan lagi deh; atau mungkin juga bisa, oleh orang yang lebih cerdas daripada aku tentunya)--bahkan orang awam sepertiku pun bisa memahaminya, kurang lebih.

Saturday, July 25, 2009

Kesusahan (Bukan) untuk Ditonton

Program-program seperti Uang Kaget, Lunas, atau Tolong mungkin tidak asing bagi para penonton televisi. Meskipun tidak termasuk tayangan yang dinilai buruk menurut hasil rating alternatif Yayasan Sains Etika dan Teknologi, toh banyak juga yang mengecam acara-acara tersebut karena dianggap menjual kemiskinan dan kesusahan orang lain. Produser boleh berkilah bahwa acara itu mereka buat karena mengingatkan bahwa masih banyak orang susah di luar sana. Tapi, tidak salah juga seandainya ada yang dengan sinis mengatakan bahwa--terlepas dari tujuan "mulia" tersebut--ujung-ujungnya pihak produserlah (rumah produksi, stasiun televisi) yang paling diuntungkan. Sementara itu, kehidupan orang-orang yang mereka "bantu" dalam acaranya tetap tidak berubah pada akhirnya.

Nah, kalau begitu, apa bedanya tindakan para produser TV itu dengan perilaku "menonton kesusahan" yang ditunjukkan orang-orang kebanyakan? Lihat saja apa yang dilakukan orang-orang ketika terjadi bencana Situ Gintung. Alih-alih datang untuk menolong para korban, banyak yang justru mampir sekadar untuk melihat-lihat lokasi kejadian. Coba pikir--layakkah itu?

"Fenomena" yang sama dapat disaksikan lagi setelah pengeboman di Hotel J. W. Marriott dan Ritz Carlton Jumat lalu. Dua orang yang terlibat proses evakuasi mengatakan mereka kesulitan membawa para korban dari TKP karena di sekitar sana banyak orang yang menonton. Dan kemarin di TV ada seorang ibu yang menyorongkan kamera digitalnya untuk memotret lobi hotel yang porak poranda. Pantaskah itu?

Yang gak kalah bikin sebel adalah aksi para wartawan foto dan kamerawan yang mengerumuni para korban saat masing-masing dipindahkan dengan kursi roda atau brankar. Waktu aku sakit demam berdarah kemarin, aku gak pingin ketemu siapa pun karena aku gak mau dilihat orang dalam keadaan loyo dan payah. Jadi, kubayangkan perasaan para korban bom pasti berkali-kali lipat lebih dahsyat daripada perasaanku. Dan di saat rapuh seperti itu, para wartawan justru mengerubungi mereka bagaikan burung pemakan bangkai. Walaupun tindakan mereka punya pembenaran karena ngejar-ngejar objek yang layak diambil gambarnya emang tugas mereka, aku toh tetap merasa geram.

Pertanyaannya, apa bedanya "eksploitasi", "menggugah kepekaan sosial masyarakat", dan "memuaskan rasa penasaran" dalam kasus di atas? Karena bagiku, rasanya kok gak ada bedanya ya?!

Catatan: Kuucapkan turut berduka cita untuk para korban dan keluarganya. Semoga arwah para korban yang tewas diterima di sisi-Nya dan mudah-mudahan mereka yang cedera segara pulih secara fisik maupun mental, aamiin. Karena MU gak jadi dateng, aku justru jadi bisa lebih bersimpati pada mereka. Serius!

Tuesday, July 07, 2009

Tampak Muda

Seiring dengan bertambahnya usiaku (mungkin), salah satu hal yang paling menyenangkan adalah ketika orang-orang mengira diriku lebih muda daripada yang sesungguhnya. Walau ini mungkin justru menunjukkan bahwa aku memang sudah semakin tua dan aku sadar akan itu. Tapi, saat berumur belasan tahun pun aku gak keberatan waktu disangka masih SMA padahal udah kuliah--padahal biasanya anak-anak seusia gitu kan sebel kalo disangka masih kecil.

Entah memang karena aku punya bakat awet muda (pinginnya sih gitu) atau karena pembawaanku, kenyataannya aku pernah beberapa kali mengalami kejadian semacam itu. Misalnya kayak gini nih:

  • Tiga tahun lalu, saat aku semester sepuluh (kebetulan aku telat lulus), salah satu temen sekelas di Filsafat Ilmu nanya ke aku, "Reni teh angkatan berapa? 2003 ya?" Seneng gak sih, disalahsangkain seperti itu? Apalagi dia kelihatan kaget waktu kubilang aku ini angkatan 2001.
  • Pas bayar tiket MU vs Indonesian All Star di 3Store minggu lalu, si petugasnya bilang, "Wah, jauh-jauh dari Cimahi?" (dia tahu rumahku di Cimahi karena ada di data registrasi pelanggan operator ponsel). Jawabku, "Gak jauh kok, rumah saya di xxx." Singkat cerita, dia kemudian bertanya, "Kuliah di Cimahi juga? Adik saya kuliah di Cimahi." Berarti,dia mengasumsikan aku masih kuliah--padahal aku kan udah lulus dua setengah tahun lalu.
  • Waktu nungguin angkot di depan BTC, lewatlah angkot Stasion-Sarijadi. Si kernetnya (aneh kan, angkot Lintas Husein ada kernetnya) melambai ke arahku--satu-satunya orang yang saat itu sedang nungguin angkot di sana--sambil ngomong, "Maranatha, Neng!" Bukan, "Sarijadi, Neng!" Kesimpulannya, tampangku kayak mahasiswa, setidak-tidaknya menurut si kernet.


  • Mohon maklum, mungkin aku sedang mengalami krisis seperempat baya sampai-sampai ngegede-gedein masalah gak penting kayak gini :D.

    Sunday, June 28, 2009

    Jalan-jalan ke Lombok bag.3

    -----bag.1-----
    -----bag.2-----

    Setelah dua hari yang menyenangkan di Gili Meno, sudah saatnya kami kembali ke Lombok. Kami berangkat pagi-pagi (jam delapan) ke Bangsal dan dari sana kami akan bertolak ke Pantai Kuta (Pantai Kuta Lombok, bukan Pantai Kuta Bali). Dari Bangsal, kami jalan sekitar seperempat jam sampai kami menemukan kendaraan umum yang disebut "engkel". (Mungkin diambil dari kata Colt? Tahu kan, Mitsubishi Colt.) Beda dengan perjalanan Senggigi-Bangsal yang menempuh jalan pesisir barat, si engkel jurusan Bangsal-Mataram ini melewati jalan pegunungan yang menembus jantung Pulau Lombok. Meskipun gak ada pantai yang bisa dilihat, kawanan monyet yang ramai memeriahkan rentangan awal perjalanan tersebut. (Kata Wida sih begitu. Aku gak tahu karena waktu itu aku molor. Ngantuk sih.)

    Dari Terminal Mandalika, diputuskan untuk naik taksi karena perjalanan ke Kuta memakan tiga kali pergantian kendaraan umum. Di sana aku sempat kesal karena kami "ditodong" oleh preman-preman terminal yang maksa kami buat menaiki/mencarter kendaraan mereka. Yah, mungkin salah kami juga sih, yang sempat pasang tampang cengo sesudah turun dari engkel.

    Setelah perjalanan yang memakan waktu kira-kira dua jam (melewati beberapa kecamatan yang salah satunya bernama sama seperti sebuah kota di Pulau Jawa yaitu "Kediri"), kami sampai di Kuta dan langsung check-in di Hotel Segare Anak (hasil surveinya Rani nih). Para penghuni hotel ini semuanya orang bule dan tampaknya mereka semua menghabiskan waktu cukup lama di Kuta. Penyebabnya adalah karena Pantai Kuta konon punya ombak yang oke buat berselancar. Walau begitu, Pantai Kuta kalah rame dibandingkan dengan Senggigi. Mungkin karena lokasinya yang jauh dari Bandara Selaparang. Jadi, orang-orang yang datang ke Kuta tuh emang yang niat banget pingin berselancar. Tapi, bandara baru (Bandara Internasional Lombok) yang sedang dibangun letaknya lebih dekat ke Kuta daripada ke Senggigi. Jadi, bisa saja pantai ini nantinya bakal lebih rame setelah bandara baru itu selesai dibangun.

    Jarak antara pantai dekat penginapan dan pantai yang banyak didatangi untuk berselancar sepertinya jauh juga. Kami mencoba berjalan menyusuri pantai keesokan paginya, tapi tetap gak nemu orang yang berselancar. (Hal ini sepertinya membuat Rani kecewa karena dia udah bertekad untuk memfoto peselancar.) Keindahan pantai dekat penginapan kami juga kalah jauh dibandingkan dengan keindahan pantai di Gili Meno. Mana banyak anjing yang berkeliaran, pula. Selain itu, pasir di pantai ini butirannya besar-besar sehingga membuat kaki melesak setiap kali dilangkahkan. Akibatnya, jalan di pantai ini bikin cepat capek. Seandainya ada sesuatu yang menarik dari pantai ini, maka itu adalah jarak pasang naik dan pasang surut yang jauuuuuh banget. Kasarnya mah, kita bisa jalan sampai jauh ke tengah laut di kala pasang surut.



    Sama seperti di Gili Meno, di Kuta juga ada para beach boy yang menyebalkan. Dan juga tukang jualan yang menjajakan barang dagangannya--terutama kain--dengan sangat agresif sehingga mengganggu ketenangan batin orang-orang yang pingin bersantai. (Menurut tebakanku sih, mereka berasal dari desa tradisional Sasak di kawasan Sade Rambitan yang gak terlalu jauh letaknya dari Kuta.) Sebenernya kalo dipikir-pikir, kasihan juga sih beach boy-beach boy itu. Mungkin sebagian besar dari mereka merasa "terjebak" di tempat asalnya. Gak ada kesempatan kerja dan sebagai konsekuensinya gak ada kesempatan untuk memperbaiki nasib. Satu-satunya cara yang terpikir untuk mengubah nasib mungkin cuma itu: macarin orang asing dan berharap semoga aja mereka dibawa balik ke negara asal si orang asing. Syukur-syukur sampai dinikahin.

    Singkat cerita, kami hanya menghabiskan semalam di Kuta. Besoknya kami pergi lagi ke Senggigi yang memang kami jadikan basecamp mengingat lokasinya yang relatif dekat dengan Bandara Selaparang. Kali ini kami memilih untuk menginap di Hotel Puri Senggigi. Hotel ini lokasinya agak jauh dari pusat wisata Senggigi, mungkin itu sebabnya mengapa harganya cukup murah (dan enak pula, jauh lebih enak daripada penginapan yang kami tempati ketika pertama kali sampai di Lombok). Sisi negatifnya adalah di sini susah nyari makanan murah dan toko kelontong. Jadi, hari terakhir kami di Lombok dihabiskan dengan meratap karena makan siang dan makan malam yang kemahalan.

    Keesokan harinya, Rabu tanggal 27 Mei 2009, pesawat kami akan lepas landas jam tujuh pagi. Jadi, kami langsung berangkat ke bandara habis subuh. Di sana, untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku menemukan komputer yang dilengkapi fasilitas internet. Gratis! Dan dianggurin ama orang-orang! Tanpa buang waktu, aku langsung memonopoli komputer itu untuk browsing. Yah, maaf aja kalo HP-ku (Siemens A50) udah jebot banget sehingga boro-boro bisa dipake buat ngakses internet, fasilitas WAP aja dia gak punya kok!



    Sebelum naik ke pesawat, aku menyempatkan diri untuk memotret Bandara Selaparang yang--dilatarbelakangi gunung dan diselubungi kabut tipis--indah banget. Setelah penerbangan yang memakan waktu sekitar dua setengah jam--udah termasuk waktu transit di Surabaya--kami akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ah, sayang sekali! Seminggu yang menyenangkan di Lombok akhirnya harus berakhir!

    Saturday, June 06, 2009

    Jalan-jalan ke Lombok bag.2

    -----bag.1----

    Pada hari ketiga, kami menyusuri pesisir selatan Pulau Lombok menuju Pelabuhan Bangsal. Tujuan kami selanjutnya adalah Gili Meno, tempat kami akan menginap selama dua malam. Dari Senggigi, kami naik shuttle bus dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar lima menit ke pelabuhan. Tiket ke salah satu Gili (Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air) bisa dibeli di kantor koperasi yang ada pelabuhan seharga sembilan ribu rupiah. Gili Meno gak serame Gili Trawangan, jadi jadwal keberangkatan ke sana dari Bangsal cuma dua kali sehari dan begitu pula sebaliknya (dari Gili Meno ke Bangsal), dan waktu tunggunya pun lebih lama. Tapi demi mendapatkan ketenangan--yang mungkin gak bakal didapatkan di Gili Trawangan yang konon merupakan tempat yang asyik buat "party" alias mencicipi jamur tahi sapi yang memabukkan--gak apa-apa lah. (Menurut info dari seorang staf di penginapan yang kami tempati: Gili Trawangan dan Gili Air = party island, Gili Meno = honeymoon island.)

    Oh ya, hati-hatilah terhadap calo tiket. Calo tiket yang kami temui di Bangsal mengatakan bahwa gak ada perahu umum dari Gili Meno yang balik ke Bangsal di sore hari dan menyarankan agar kami membeli tiket darinya saat itu juga ("Kalo belinya nanti, harus carter dan harganya mahal," menurut sang calo). Jangan dipercaya. Percayailah jadwal keberangkatan perahu yang tercantum di deket meja penjualan tiket. Jujur kukatakan, inilah--sikap maksa para operator: tukang jualan, calo, orang dari agen wisata, sopir angkot ketika menjajakan barang/jasa-nya--salah satu hal paling menyebalkan yang kami rasakan selama berlibur di Lombok.

    Setelah terayun-ayun di perahu motor (yang rasanya mirip seperti terguncang-guncang dalam delman di jembatan Gunung Batu), Gili Meno pun dicapai. Kami langsung check-in di Kontiki dan menempati dua bungalo letaknya cukup memuaskan karena deket banget dengan laut--dengan harga yang memuaskan pula :D.



    Untuk pemalas seperti aku, Gili Meno adalah tempat yang sempurna untuk berleha-leha. Kegiatanku selama di sana adalah: duduk di pinggir pantai sambil baca buku (atau terkantuk-kantuk), main air, main pasir, jalan-jalan di pantai, menyusuri separuh pulau ke danau air asin, ngeliatin (dan diintimidasi oleh) sapi yang ukurannya lebih kecil daripada sapi di Jawa, nongkrong di depan kipas angin di dalam bungalo waktu di pantai lagi terik-teriknya, motret-motret (meskipun gak bisa dibandingin sama kegiatan memotretnya Rani dan Wida sih :D), mengagumi matahari terbit, mengagumi matahari terbenam, mencoba membaca peta bintang (dan gagal).



    Sayangnya, acara bersantai kami acap kali diusik oleh beach boy yang menyerukan berbagai hal, mulai dari "Assalamu ‘alaikum" sampe "Ikut pulang dong!" Mula-mula aku hanya menganggap seruan ini angin lalu, tapi semakin lama, aku semakin bertanya-tanya apakah mereka memang beneran ramah, kurang kerjaan, atau berniat ngegodain. (Dan kecurigaanku semakin mengarah ke pikiran negatif setelah mendengar kisah seorang beach boy dengan dua pacar Jepangnya.) Masalahnya adalah, kami berempat memang "mencolok" sehingga gampang dijadikan sasaran keramahan (atau keisengan). Hampir semua turis di Gili Meno adalah orang asing berkulit putih. Hanya ada segelintir turis Indonesia, semuanya cewek yang berlibur bersama pasangan bulenya. (Kecuali satu cowok, dengan pasangannya yang juga orang Indonesia, yang kulihat ketika kami akan kembali ke Bangsal.)

    Akan kulupakan hal-hal menyebalkan dan beralih ke daya tarik utama Gili Meno: pantai. Pantai di Gili Meno adalah pantai terbaik dari ketiga pantai yang kukunjungi di Lombok (Senggigi, Gili Meno, Kuta). Pasirnya halus, gak susah buat disusuri, banyak koral yang memperindah pantai, bersih. Meskipun, anehnya, di salah satu bagian pantai banyak sepatu dan sandal yang terdampar. Selain itu, pasang surutnya lumayan jauh dan, sumpah deh, ada satu bagian pantai yang di kala pasang surut bener-bener mengingatkanku akan Kawah Putih--dengan tunggul-tunggul pohon terkelantang yang mencuat dari pasir padat.



    Agenda harian kami selalu ditutup dengan makan malam di saung pinggir pantai ditemani angin dingin menggigilkan. Agak membuat gak sabaran sih, soalnya makanan baru disajikan satu jam setelah dipesan. Tapi, rasanya sebanding dengan penantiannya. Ikan bakar, cumi goreng, dan sate ikan yang kusantap di sana adalah makanan terlezat yang pernah kusantap selama di Lombok. (Lebih mantap daripada ayam taliwang, menurutku sih.)

    Fakta lain tentang Gili Meno:
    • Gak ada kendaraan bermotor, satu-satunya alat angkutan adalah cidomo (sama kayak delman/dokar lah).
    • Air tawar sangat langka. Di penginapan kami, hanya pancuran untuk mandi yang dihubungkan dengan suplai air tawar. (Pipa-pipa dan keran-keran lain mengucurkan air asin.) Aku jadi penasaran, jangan-jangan penduduk setempat malah hanya menggunakan air tawar untuk minum dan masak.
    • Satu-satunya sekolah di Gili Meno adalah sebuah SD yang gurunya pun didatangkan dari Lombok. Anak-anak yang ingin meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus pergi ke Gili Trawangan atau Lombok. Anak-anak kelas enam malah gak sekolah sama sekali, tapi cuma belajar di rumah.

    -----bag.3-----

    Thursday, May 28, 2009

    Jalan-jalan ke Lombok bag.1

    Setelah menunggu-nunggu hampir setahun lamanya, akhirnya cita-citaku untuk pergi ke Lombok kesampaian juga. Aku dkk berangkat tanggal 21 Mei naik Batavia Air. Itulah pertama kalinya aku naik pesawat di malam hari. Benar-benar gak ada apa pun yang bisa dilihat lewat jendela selain kegelapan. Tapi pada saat pesawat terbang rendah, aku bisa ngeliat hamparan cahaya yang berkerlap-kerlip--keren banget! (Pemandangan tersebut benar-benar mengesankan, terutama ketika kita menyadari bahwa di siang hari yang terlihat hanyalah kawasan padat penduduk yang dipenuhi bangunan-bangunan yang berdempetan--sama sekali gak keren saat dilihat dari udara.)

    Kami sampai di Ampenan jam sepuluh malam waktu setempat setelah penerbangan yang memakan waktu sekitar tiga jam (plus transit sebentar di Surabaya). Berdasarkan petunjuk seorang penumpang yang duduk di sebelah Kiki, kami langsung keluar dari bandara dan memilih untuk naik Lombok Taxi alih-alih taksi bandara. (Tampaknya di Lombok ada dua perusahaan taksi: Lombok Taxi yang adalah anggota Blue Bird Group dan satu lagi "anak"-nya Express Taxi.) Taksi mengantar kami ke penginapan di Senggigi yang udah dipesenin lewat perantaraan salah satu biro perjalanan. (Sekadar info nih--maaf aja kalo udah pada tahu--pada saat melakukan perjalanan, usahakan untuk berhubungan langsung dengan operator wisata, misalnya hotel, alih-alih minta info dari biro perjalanan. Biro perjalanan acapkali menjalin hubungan dengan hotel-hotel tertentu sehingga bisa-bisa yang kita dapatkan bukanlah hotel yang terbaik dengan harga termurah. Intinya mah, belilah segalanya secara eceran dari operator, bukan paketan dari biro perjalanan atau calo wisata.)

    Keesokan harinya, kami mengunjungi beberapa tempat di Lombok yang gak terlalu jauh dari Senggigi. Sebenernya sih, kami bisa aja naik kendaraan umum. Tapi karena kami bingung mau ke mana, biar lebih gampang kami mencarter mobil plus sopir seharga 350 ribu selama sekitar tujuh jam (entah itu kemahalan atau enggak). Pertama-tama kami mampir ke Toko Ina Mulia untuk membeli mutiara (atau lebih tepatnya, temen-temenku beli dan aku cuma nonton; meskipun akhirnya aku beli mutiara juga untuk Mama, tapi di tempat lain). Mutiara ternyata tak selalu berwarna putih, ada juga yang merah muda dan ungu. Kata si penjual, warna mutiara bergantung pada makanan yang dikonsumsi tiram (meskipun dia gak memerinci makanan apa yang bisa bikin mutiara jadi putih dan makanan apa yang membuat warnanya merah muda atau ungu; atau mungkin aku yang gak denger). Harga perhiasan mutiara di sini bervariasi, mulai dari 50 ribu sampai 2 jutaan. Kayaknya yang membedakan harganya adalah bentuk si mutiara (bulat sempurna atau enggak), jumlah di setiap perhiasan (bros jelas lebih mahal daripada untaian kalung mutiara), ukuran, dan bahan tambahannya (baja tahan karat vs perak). Mutiara air tawar juga lebih mahal daripada mutiara air laut karena kilaunya lebih indah. (Perhiasan dari mutiara air laut biasanya dijual di jalan-jalan dengan harga yang sangat murah, misalnya sepuluh tibu-tiga.)

    Kami juga mengunjungi Taman Narmada. Kompleks ini dulunya adalah tempat peristirahatan Raja Karangasem dari Bali (Pulau Bali terdiri dari beberapa kerajaan dan mereka gak selalu hidup berdampingan dengan damai. Itulah sebabnya sang raja membutuhkan "pelarian" di tempat lain). Pada mulanya, sang raja bertetirah di kawasan Gunung Rinjani. Tapi, kondisi fisiknya yang merosot gak memungkinkannya untuk pergi jauh sehingga akhirnya dibuatlah tempat peristirahatan baru di sini.



    Kompleks Narmada ini dibuat berundak-undak. Di tingkat tertinggi ada pura, balai-balai, dan rumah peristirahatan sang raja. Tingkat-tingkat selanjutnya terdiri dari taman-taman (bayangkan piramida Aztec yang tiap tingkatnya ditanami tumbuhan) dan ada juga satu cekungan berisi balai-balai yang dulu konon disediakan untuk tempat bersantai para dayang istana. Tingkat terendah terdiri dari kolam-kolam dan tempat pemandian (yang kesan rajawinya dirusak gara-gara digambari garis putih seperti yang biasanya ada di kolam-kolam renang umum; tahu kan, untuk membatasi tiap-tiap lintasan yang dilewati para perenang saat lomba).



    Oh iya, menurut kepercayaan orang yang percaya, mata air Narmada menghasilkan air yang bisa bikin orang awet muda. Kalo mau, pengunjung dipersilakan membotolkan air ini untuk dibawa pulang. (Gak tahu apakah untuk mengambilnya perlu upacara atau jampi-jampi tertentu, habis kami bukan orang yang percaya sih, jadi kami gak ngambil.) FYI, di Lombok gak ada Aqua, Ades, dan merek-merek air minum terkenal lainnya. Yang ada ialah air minum Narmada produksi PT Narmada Awet Muda, yang asal namanya tidak perlu dipertanyakan lagi. (Dan air botolan bermerek "Netral", juga produksi Mataram.)

    Untuk makan siang, kami menikmati ayam Taliwang yang terkenal itu. Enak sih--walaupun gak super lezat--dan lumayan pedes. Mulutku gak terlalu kepedesan, tapi tanganku kepanasan bahkan sesudah cuci tangan dan sampai berjam-jam kemudian.

    Lalu kami ke Pura Batu Bolong (yang sepertinya dinamai demikian karena di dekatnya ada karang yang tengah-tengahnya bolong). Karena itu kawasan pura, pada saat masuk ke sana kami harus mengenakan pita kuning di pinggang. Masih jam tiga sore, jadi masih panas-panasnya. Kami pun gak sempat naik ke atas ke puranya karena saat itu banyak yang lagi sembahyang; gak enak kan.



    Pantai Senggigi di sekitar Pura Batu Bolong sebagian besar gak boleh dimasuki karena merupakan bagian dari hotel. Pantai di sini bagus, tapi gak boleh direnangi karena banyak karang. Kawasan Pantai Senggigi yang terbuka untuk umum terletak lebih ke utara, deket dengan sentra wisata Senggigi yang dipenuhi penginapan, restoran, dan biro perjalanan. Kami datang ke pantai yang ini menjelang matahari terbenam, ketika orang-orang justru berduyun-duyun meninggalkan Senggigi setelah main air seharian (atau sesorean, atau sesiangan).



    Acara hari itu ditutup dengan makan malam di kafe tenda Cak siapa gitu (maaf, saya melupakan nama Anda). Siapa sangka, di Lombok ternyata banyak orang Jawa Timur. Bukan sembarang orang Jawa Timur, tapi para "Arek" (dari Surabaya dan sekitarnya) yang lugas dan egaliter, bukan orang-orang "Mataraman" (dari Jatim bagian tengah seperti Kediri, Madiun, dan sekitarnya) yang gaya ngelemak-ngelemek-nya lebih mirip dengan orang-orang Jawa Tengah. Mudah sekali menemukan makanan khas Jawa Timur seperti rawon dan semacamnya, gak seperti di Bandung.

    -----bag.2-----
    -----bag.3-----

    Tuesday, April 28, 2009

    Jalan-jalan di Palembang bag.3

    -----bag.1-----
    -----bag.2-----

    Nginep di rumah orang ternyata gak menghilangkan kebiasaan burukku. Pada hari ketiga di Palembang, aku bener-bener kaget waktu sadar bahwa jam sudah menunjukkan setengah sepuluh! Seperti biasa, aku tidur lagi sesudah shalat Subuh, tapi biasanya aku gak bangun sesiang itu tanpa menyadarinya. Pokoknya, aku buru-buru mandi sebelum menjalani agenda hari itu bersama Riri.

    Untuk pertama kalinya selama aku di Palembang, hujan turun. Enak sih, soalnya dua hari sebelumnya udara bener-bener edan panasnya. Agak mengkhawatirkan juga, soalnya bisa-bisa hujan mengganggu acara kami hari ini. Untungnya, hujan hanya tinggal rintik-rintik waktu kami meninggalkan rumah Riri.

    Tempat pertama yang kami tuju hari itu adalah Kambang Iwak ... (maaf, lupa nama belakangnya). Meskipun namanya berarti "Kolam Ikan", tempat itu sebenernya adalah semacam danau. Kata Riri sih ini danau beneran, bukan buatan. Tapi, memang ada ikannya kok. Ikan-ikan itu--entah ikan apaan--berukuran besar dan tampaknya cuma berkumpul di salah satu sisi danau saja. Mungkin karena dari sisi itulah mereka biasanya diberi makan. Ada petugas yang bertugas ngasih makan, tapi pengunjung juga diperbolehkan melempar makanan ikan (bukan kacang, roti, rumput, dsb kayak di kebun binatang, tentu saja) ke dalam danau, untuk disantap ikan-ikan itu.

    Danau yang terletak persis di depan kediaman resmi walikota Palembang ini adalah tempat nongkrong favorit pasangan muda (dan tua, mungkin?) di kota tersebut. Yah, dijadiin tempat maksiat juga sih, terutama saat malam Minggu. Aneh juga sebenernya, soalnya tempat itu lumayan terbuka. Banyak pohon, tapi seandainya Anda berniat melakukan maksiat di sana, pohon-pohon itu tidak cukup untuk melindungi Anda dari mata khalayak. Gitu deh.

    Setelah itu, kami pergi ke Pasar ... Ilir (lagi-lagi aku lupa namanya) buat beli Mi Celor untuk sarapan. Aku baru pertama kali itu makan mi celor--mi yang kuahnya berupa santan dicampur udang--dan menurutku rasanya SANGAT AMAT LEZAT SEKALI. Serius! (Waktu nulis ini aja aku jadi ngiler.) Sayang seribu sayang, makanan super sedap ini GAK ADA DI BANDUNG! Kenapa, oh, kenapa? Ayo, perantau Palembang di Bandung! Jangan jualan pempek melulu. Coba jualan mi celor deh, pasti saya beli....

    Perut yang kenyang mengantar kami ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Ada satu hal yang patut digarisbawahi dari kunjunganku ke sini: Palembang itu kota sungai banget. Kayaknya, kehidupan masyarakat Palembang sejak dulu emang berkisar di sekitar sungai. Oh iya, kapal-kapal dagang zaman dulu tuh bisa terus dari Samudra Hindia terus ke Sungai Musi untuk mencapai Palembang. (Sama kayak di Jakarta lah, dulu kapal-kapal bisa masuk sampe Kali Besar; tau kan, itu di wilayah kota tua Jakarta deket Pecinan.) Tapi, berhubung Sungai Musi sekarang jauh lebih dangkal daripada dulu, dan mungkin juga karena ukuran kapal yang sekarang jauh lebih besar, gak ada lagi kapal dagang yang masuk terlalu jauh ke hulu Sungai Musi. Di museum, kami juga bertemu penjaga museum yang memberi kami beberapa petuah yang ... yah, lumayan mengena di hati. Tapi, kemampuannya "membaca" karakter lewat nama (menurut pengakuannya) sangat meragukan. (Riri = pendiam dan pemalu, gak banget! :D) Keluar dari museum, aku menyempatkan diri buat memfoto Jembatan Ampera yang keren abisss (dilatarbelakangi langit mendung, jadi kesannya udah sore walau sebenernya baru jam setengah satu).

    Perjalanan dilanjutkan ke Masjid Raya Palembang, yang arsitekturnya bergaya Cina. Masjid ini baru aja direnovasi, tapi menurut warga lokal, arsitektur bangunan masjid yang baru gak sebagus arsitektur aslinya. Padahal menurutku sih udah bagus. Beda dengan masjid-masjid di Jawa, lah. Sempet juga "dimarahin" ama petugas di sana karena dikira berfoto di dalam masjid (padahal yang kufoto cuma interiornya). Kalo gak mau dipanggil "Pak" jangan panggil saya "Ibu" dong, Bang!

    Menurut rencana, sehabis itu kami berencana makan pindang daging deket kantor DPRD. Tapi, pindang dagingnya udah habiss!!!! Disikat ama orang-orang dari kantor DPRD buat makan siang sih. Tapi, gak apa-apa. Kami memutuskan buat ke Warung Legenda malemnya. Pindang dagingnya mungkin gak seenak di deket kantor DPRD, tapi suasananya oke (dan memang benar!). Sisa siang itu dihabiskan dengan keliling-keliling (mampir ke kantor Riri dan beli oleh-oleh; sempet juga ngedengin curhatan menjijikkan seorang cowok di radio; gara-gara dia, aku jadi gak konsen baca Anne of Green Gables deh). Sorenya, kami pulang bentar untuk shalat dan siap-siap buat ke Legenda untuk makan malem.

    Beneran! Suasananya asyik banget. Setelah parkir di deket Benteng Kuto Besak (yang masih berdiri kokoh setelah lebih dari dua ratus tahun!!!), kami kontan didatangi oleh petugas dari Legenda. Sempet curiga juga sih, kirain petugas parkir liar, tapi sepertinya sih enggak. Kemudian kami berdua diantar menyeberangi Sungai Musi menuju Warung Legenda yang terapung di kawasan Ulu, naik kapal motor! Suasana yang remang-remang membuat perjalanan kali ini lebih romantis daripada saat kami menyusuri Sungai Musi menuju Pulau Kemaro.

    Walau angin bertiup kencang dan penerangannya redup--ato justru karena itu--acara makan/nongkrong kami di Warung Legenda terasa romantis (maaf, lagi-lagi saya menggunakan kata ini). Bukan romantis per-lope-an, ya, tapi pokoknya begitu deh. Entah kata apa yang lebih cocok untuk menggambarkannya. Dalam suasana seperti itu, paling enak curhat-curhatan, jadi langsung deh. (Isi percakapan kami tentu saja RA-HA-SI-A!) Serombongan pengunjung di rakit-rakit terdepan sibuk berkaraoke ria, tapi kami gak peduli. Dari Legenda, kami bisa ngeliat sisi seberang sungai yang kerlap-kerlip, perahu-perahu kecil yang sesekali melintas hanya dengan setitik nyala lampu minyak, Jembatan Ampera yang tampak megah di tengah kegelapan Sungai Musi. Sumpah kerennnnn! Kunjungan kami ke Warung Legenda sangatlah pantas menjadi klimaks perjalananku di Palembang.

    Keesokan harinya aku harus pulang ke Bandung. Aku pamit ama keluarga Riri, terus Riri nganterin aku ke bandara. Berpisah terasa berat, tapi apa mau dikata. Lagi-lagi waktu lepas landas tertunda sampe sejam, tapi selain itu gak ada masalah yang berarti sampe aku tiba di Bandung dengan selamat. Alhamdulillah.

    Tujuan berikutnya: Lombok! Aku datang!!!!!

    Thursday, April 23, 2009

    Jalan-jalan di Palembang bag.2

    -----bag.1-----

    Hari kedua di Palembang, aku dan Lina berangkat ke Benteng Kuto Besak jam sembilan (padahal janjiannya jam segitu). Kami kira Riri bakal telat, jadinya santai-santai aja. Sampai di sana, matahari sudah bersinar terik dan Riri udah nungguin sejam (sekarang giliran Riri yang dicurahi permohonan maaf). Karena Riri udah memesankan perahu yang akan membawa kami ke Pulau Kemaro, kami pun langsung cabut ke tempat tujuan.

    Baterai kameraku ternyata habis, jadi seharian itu hanya kamera digital Ririlah yang kami andalkan. Tentu saja, perjalanan menyusuri Sungai Musi tidaklah lengkap tanpa berfoto. Memfoto diri sendiri, juga menjepret objek-objek yang ada di sepanjang Sungai Musi (kapal-kapal yang kami lewati, dermaga PT PUSRI, pom bensin PERTAMINA untuk kapal dan perahu). Bapak tukang perahu menyarankan agar kami berpose di ujung haluan (kayak Kate Winslet di film Titanic), tapi kami menolak karena ngeri, hehehe..... Perahu yang bergoyang setiap kali gelombang datang memang cukup bikin deg-degan meskipun--serius nih--rasanya agak mirip goyangan delman yang lagi ngebut di tanjakan menuju jembatan Gunung Batu. Menganalogikan goyangan perahu dengan goyangan delman ternyata membuatku lumayan tenang, walaupun Riri menjerit-jerit heboh :D.

    Sesampai di Pulau Kemaro, sebagai "kata sambutan", Riri menceritakan legenda pulau itu. Alkisah, pangeran dari Negeri Cina ingin mempersunting putri dari Palembang. Untuk membuktikan itikad baiknya, sang pangeran pun berlayar ke Palembang sambil membawa aneka barang berharga. Yang gak dia tahu, ayahnya sudah menyiapkan tipuan, kalau-kalau kapal mereka diserang perompak yang merajalela di Selat Malaka (sampai sekarang, Selat Malaka masih merupakan salah satu tempat yang paling banyak dilayari oleh perompak, meskipun masih kalah jauh dari perairan Somalia): barang-barang berharga itu disembunyikan di bawah kuali-kuali berisi sayuran. Sayangnya, ketika kapal hendak merapat dan pangeran memeriksa barang bawaannya, dia syok berat melihat benda-benda tak berharga itu (baca: sayuran). Setelah menendang kuali-kuali itu ke sungai, tanpa pikir panjang dia pun langsung menenggelamkan dirinya. (Tolol banget, kan?! Tapi, kok dia gak ngeliat bahwa di bawah kuali-kuali itu ada perhiasan dll, sih?) Sang putri yang patah hati memutuskan untuk mengikuti jejak kekasihnya. (Ini lebih tolol lagi!) Kuali-kuali itu akhirnya mewujud menjadi Pulau Kemaro, bukti cinta kasih pasangan (tolol) ini.

    Walau saat itu hari Minggu, suasana di Pulau Kemaro sepi. Menurut Riri sih karena kurang publisitas. Di pulau ini terdapat wihara dan pagoda (?), jadi pulau ini biasanya hanya ramai saat Imlek. Pada hari biasa, Pulau Kemaro hanya bisa diakses via Sungai Musi. Tapi, ada jembatan yang menghubungkan salah satu (dari sekian banyak) dermaga PT Pusri langsung dengan Pulau Kemaro. Jembatan ini cuma dibuka saat Imlek, untuk memudahkan para pemuja yang ingin beribadah. Pulau Kemaro dihuni segelintir orang, yaitu kuncen dan keluarganya (kayaknya sih) dan anjing-anjing peliharaaannya.

    Perjalanan pulang ternyata beda banget ama perjalanan pergi. Pertama, kami sekarang berani mejeng di haluan. Kedua, objek-objek yang kami amati dan potret juga beda (rumah terapung, anak-anak yang mandi di sungai, masjid yang didirikan di permukaan sungai di atas tonggak-tonggak, Jembatan Ampera yang kelihatan lebih bagus dari arah selatan). Ketiga, ketimpangan antara wilayah Ilir dan Ulu lebih jelas. Wilayah Ulu tampak lebih kuno dan tertinggal (rumah-rumah terapung terletak di Ulu), bahkan di mata pengunjung seperti aku. Menurut Riri, wilayah Ulu juga punya reputasi jelek (wilayah yang "berbahaya" deh, pokoknya). Mungkin ini ada hubungannya dengan ketimpangan pembangunan itu, ya...

    Di tepi Sungai Musi, kami berpisah. Lina balik ke tempatnya, aku dan Riri meluncur ke rumah Riri. Dadah, Lina! Angkot di Palembang cukup unik, dengan komposisi 2-2-3-3 (ato 2-2-3-2 ya?!). Semua penumpang menghadap ke depan (kecuali yang duduk paling belakang, kayaknya sih), dan ada empat pintu (dua di depan, satu di tengah, satu di belakang; kayak Kijang). Pintu tengah dibuka dengan cara yang unik: gak ada kenop pintu, tapi ada bilah logam panjang terbungkus selang plastik yang bisa didorong ke depan supaya pintu terbuka.

    Sampai di rumah Riri, langsung dijamu oleh orang tuanya (terima kasih, Bu, Pak). Habis itu tidur siang. Malemnya makan Model H. Dowa (sedaaap!), balik ke rumah Riri, terus ngobrol-ngobrol sampe jatuh tertidur....

    -----bag.3-----

    Friday, April 17, 2009

    Jalan-jalan di Palembang bag.1

    Seandainya aku percaya pada pertanda buruk, aku gak bakalan jadi pergi ke Palembang. Pertama, mobil gak bisa dikeluarin karena di depan rumah ada pick-up yang lagi parkir. Dua, namaku gak tercantum di daftar penumpang Cipaganti meskipun tiga hari sebelumnya udah reservasi (aku udah berkali-kali naik Cipaganti dan ini gak pernah terjadi sebelumnya!). Tiga, pesawat ditunda keberangkatannya karena Palembang berkabut. Dengan bismillah, kumantapkan hati untuk jalan terus. Lagian, masa mau mundur sekarang?

    Aku nyampe di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II yang bersih, bagus, dan masih baru sekitar jam sembilan seperempat. Keluar di terminal, kulihat Riri melambai-lambaikan tangan sambil teriak, "Teteh!" Setelah reuni singkat yang bikin orang-orang di sekitar sana mengolok-olok kehebohan kami (harap dimaklumi, udah dua tahun kami gak ketemu), kami berdua langsung cabut ke rumah Lala di Jalan R. E. Martadinata. Selama di perjalanan, Riri ngasih uraian singkat tentang peta perpolitikan lokal dan kongkalikong antara media dan politisi.

    Ternyata eh ternyata, Riri gak tau jalan. Dia udah ngopi peta dari kantor (dalam bentuk peta buatan tangan yang skalanya di berbagai lokasi gak sama), tapi payahnya kami berdua bukan tipe pembaca peta. Walau sempat salah belok dan malah nyasar di dermaga PT Pusri (dengan santainya, kami keluar dari mobil dan berfoto-foto di sana), akhirnya kami mencapai rumah Lala dengan selamat.

    Baru duduk bentar, kami berdua disuguhi hidangan lezat tak terkira (menurutku) yaitu bala-bala. Sambil cengar-cengir, kami minta izin untuk menikmati bala-bala itu (yang rasanya semantap penampilannya). Lalu, Lala berkisah tentang proses persalinannya yang menyakitkan: air ketuban yang gak pecah tapi perut udah mules-mules, balik lagi ke rumah setelah berangkat ke bidan karena bukaannya gak kunjung membesar, dan persalinan yang memakan waktu kurang lebih 24 jam. Semua diceritakan dengan ketenangan dan kelempengan ala Neng Lala (!!!). Oh iya, anaknya Lala, Kaysan, baru sebulan. Jadi, meskipun dia menyadari keberadaan dua orang asing di rumahnya, dia gak bersikap responsif (padahal udah kupandangi terus loh; yah, Kaysan, Tante kecewa nih!). Selama di sana, aku menangkap kesan bahwa Kaysan tuh anak yang manis dan gak rewel. Begitu dia menangis, gak butuh waktu lama untuk menenangkannya (tapi, tentu saja, kedua orang tuanya pasti tetap saja kerepotan menangani anak pertama mereka ini--maklumlah, orang tua baru).

    Masih kekenyangan setelah menggasak bala-bala, eh muncul lagi makan siang. Ya udah, dimakan aja deh, kan udah susah payah disiapin sama si bibi (alasan, sebenernya sih rakus aja ;p). Gak lama setelah makan siang, Riri harus balik karena mobilnya mau dipake kakaknya. Riri janji buat nyusul aku sehabis Ashar karena setelah itu kami berdua janjian ama Lina dan Henny di salah satu mall (garing ya, tapi gak kepikiran tempat lain sih).

    Untuk menunggu waktu Ashar, kuhabiskan waktu dengan tidur (suer ngantuk, dari rumah berangkat jam setengah dua dan aku hampir gak tidur sepanjang perjalanan). Pas bangun, dijamu lagi. Kali ini dengan pempek. Rasanya? Sedaaaaap! Emang gak salah kalo orang Palembang selalu menegaskan bahwa tak ada yang menyaingi rasa pempek asli buatan Palembang.

    Riri baru muncul jam empat karena angkot yang ditumpanginya ngetem melulu. Tanpa buang waktu, kami meluncur ke tempat janjian menggunakan angkot setelah berterima kasih kepada Lala sekeluarga. Ternyata, semua bus kota di Palembang full music. Musiknya: dangdut koplo. Tau kan, dangdut yang dikemas dengan musik elektronik. Konon, para operator bus berpendapat mereka takkan bisa menjaring penumpang berusia muda apabila mereka gak memutar musik jenis ini di bus mereka. Hihihi, lucu juga.

    Kami baru nyampe di tempat janjian jam setengah enam. Telat banget. Kami pun minta ampun kepada Lina yang udah nunggu lama. Setelah itu, kami nongkrong bentar di Es Teler 77 (aku gak mesen apa-apa, masih kenyang sih). Gak banyak yang kami obrolin di sana karena udah hampir Maghrib. Lagian, Henny juga gak enak badan. Setelah janjian buat ketemuan besok di depan Benteng Kuto Besak, kami berpisah jalan. Malam itu aku bakalan nginep di kosan Lina (makasih, Lin).

    Sebelum ke kosan Lina, kami mampir dulu di apotek Kimia Farma tempat dia bekerja. "Jangan kaget ya, Ren," katanya. "Apotek KF di sini gak sebagus yang di Pulau Jawa." Emang sih. Pertama, lumayan banyak apotek KF yang letaknya berdekatan (kata Lina, banyak di antara apotek itu yang dulunya bukan apotek KF, tapi kemudian dibeli dan di-"balik nama"-kan). Kedua, tatanannya gak sekeren di Pulau Jawa, dengan lemari pajang dari kaca dsb. Tampilan apotek KF di Palembang lebih sederhana, tapi sistemnya sama kok. Good pharmaceutical practice tetap jadi yang utama, yang membedakan apotek ini dengan mayoritas apotek lainnya yang sekadar jualan obat.

    Di kosan Lina, kami bersantai-santai dan ngobrol tentang Situ Gintung, bus Trans Jakarta, pengalamannya di apotek, dll. Kemudian tidur deh, dininabobokkan oleh film The Diving Bell and the Butterfly, dan disejukkan oleh embusan angin sepoi-sepoi (dari kipas angin).

    -----bag.2-----
    -----bag.3-----

    Tuesday, February 17, 2009

    Botchan (Natsume Soseki) - Trivia

    -----bag.1-----
    -----bag.2-----

    • Botchan masuk ke dalam kategori "buku yang pasti pernah dibaca oleh orang Jepang mana pun".

    • Sama seperti Botchan, Soseki pun pernah mengajar di sebuah SMP di Pulau Shikoku.
      Paralelisme lainnya: Botchan sangat menyayangi pelayannya Kiyo dan tidak akrab dengan keluarganya sendiri, sedangkan Soseki--yang kelahirannya tak diharapkan karena saat itu usia ibunya sudah cukup tua--dibesarkan oleh keluarga pelayan sampai umurnya sembilan tahun.

    • Selain menyimbolkan pertarungan moralitas versus "kebejatan", Botchan konon juga menggambarkan pertentangan antara nilai-nilai tradisional Jepang (diwakili oleh Botchan dan Yamaarashi) dengan nilai-nilai "Barat" khususnya kolektivisme (diwakili oleh Akashatsu/si Baju Merah).

    • Karakter Botchan yang "biasa banget" (maksudku, dia itu pada dasarnya bukan orang yang mulia, heroik, cerdas, juga gak menonjol sebagai individu) dan suka nyablak, meskipun biasanya kata-kata celaannya hanya terucap di dalam pikiran, menurutku mirip dengan Holden Caulfield (The Catcher in the Rye) dan Kyon (Suzumiya Haruhi).

    Thursday, February 12, 2009

    Botchan (Natsume Soseki) bag.2

    -----bag.1-----

    Apa yang akan dilakukan Botchan yang "lurus" dan blak-blakan saat menghadapi dunia yang bengkok dan penuh tipu daya? Yang jelas, selanjutnya dia larut dalam dilema. Yang manakah yang harus dipercayainya, Akashatsu atau Yamaarashi?

    Sebenarnya, kesan pertama Botchan akan mereka berdua gak terlalu bagus. Akashatsu menurutnya lebay dan sok, apalagi pasca insiden ramen-dango, dia mengisyaratkan bahwa makan di warung tidak sesuai dengan harkat dan martabat seorang guru. Di sisi lain, Yamaarashi bagi Botchan adalah orang yang gak tau sopan santun, meskipun poinnya langsung naik di mata Botchan saat Yamaarashi membantunya mencari tempat tinggal, apalagi dia juga disukai oleh murid-murid. Logikanya, gak mungkin orang yang payah begitu populer di mata anak-anak kan?!

    Gara-gara cerita Akashatsu, Botchan pun jadi curiga pada Yamaarashi yang dianggapnya bersikap "lain di mulut, lain di hati". Yamaarashi pun bersikap dingin pada Botchan karena menurut induk semangnya Botchan bersikap gak sopan selama bermukim di tempat mereka (padahal si induk semanglah yang bersikap gak pantas; masa dia mencoba menjual lukisan palsu kepada Botchan, hanya saja tawaran ini selalu ditolak mentah-mentah karena Botchan sama sekali gak berminat dengan lukisan dan yang semacamnya).

    Namun demikian, berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya membuat Botchan bertanya-tanya? Apakah benar Yamaarashi adalah si orang jahat? Jangan-jangan justru Akashatsu-lah si musuh dalam selimut yang sebenarnya. Butuh waktu beberapa lama sampai akhirnya Botchan menyadari siapa penjahat sebenarnya. Tekadnya untuk membuka kedok si orang jahat didorong oleh fakta bahwa bukan dirinya sajalah yang jadi korban kelicikan orang itu, apalagi setelah dia difitnah sebagai dalang tawuran antarpelajar.

    Biasanya, kisah kebaikan vs kejahatan diakhiri dengan terbongkarnya kedok sang penjahat, semua orang tahu siapa dia sebenarnya, si penjahat diberi hukuman, dan orang-orang baik hidup bahagia selamanya. Dalam Botchan, si serigala berbulu domba memang tertangkap basah berbuat nggak bener. Tapi, kejelekannya tetap tak diungkapkan secara terbuka (meskipun sebenernya penduduk kota itu udah tau kalo si "jahat" teh jahat). Akhirnya justru Botchan-lah yang memutuskan untuk pergi dan kembali ke Tokyo karena dia udah gak sudi lagi tinggal di tempat seperti itu.

    Intinya, mendefinisikan "baik" dan "jahat" di dunia nyata memang gak mudah. Tapi, jika terjadi sesuatu yang mengusik nurani kita, apakah kita akan membiarkan diri terbawa arus atau berpegang teguh pada apa yang kita yakini? Menurut Soseki, jawabannya jelas yang kedua. Bagaimana dengan Anda?

    -----trivia-----

    Wednesday, February 11, 2009

    Radiohead di Grammy 2009

    Kapan terakhir kali aku ngeliat Radiohead manggung (baca: via TV)? Jawabannya: entahlah. Dengan kata lain: udah lama banget. Makanya, aku antusias banget waktu tahu bahwa salah satu penampil di Grammy Award tahun ini adalah mereka, dan bahwa Grammy akan disiarkan di salah satu TV swasta.

    Ternyata, mereka masih tetap keren (pandangan yang subjektif sih sebenernya)! Mereka tampil membawakan lagu "15 Step" dari album In Rainbows (yang kudapatkan dengan susah payah pada H-1 Lebaran 2007). Thom Yorke dengan gayanya yang maceuh, Jonny Grenwood dengan gitar dan rambut yang menutupi wajah, serta anak-anak marching band dari universitas apa-gitu yang memainkan alat-alat musik ritmis. Aku jadi merinding dibuatnya!

    Aku memang sempet bertanya-tanya, ke mana tiga orang yang lain. Masa mereka gak dateng? Ternyata yang lain ada sih, meskipun gak ikut main. Tapi, aku curiga si juru kamera gak tau anggota Radiohead itu yang mana aja. Habis, waktu penerima nominasi Album of the Year diumumin, kameranya difokusin ke Thom Yorke aja (Jonny dan Colin Greenwood beruntung karena duduk mengapit Thom, jadi mereka keliatan; Ed O’Brien tinggi banget, jadinya kesorot; Phil Selway pasti duduk di sebelah Ed, tapi dia gak keliatan). Begitulah nasib personel band yang non-vokalis. Kalo orangnya narsis, pasti udah lama dia keluar dari band karena gak ridho, hehehe.

    Tahun ini, Radiohead mendapatkan lima nominasi yaitu untuk Album of the Year, Best Alternative Album, Best Rock Performance By A Duo Or Group With Vocals, Best Rock Song, Best Short Form Music Video. Penghargaan yang didapat: satu. Lumayan lah, daripada gak dapet sama sekali. Masa kalah ama Coldplay sih?

    Beberapa catatan khusus nih. Pertama, Gwyneth Paltrow. Aku langsung curiga pas ngeliat dia muncul. Jangan-jangan mau memperkenalkan Coldplay nih, pikirku. Nepotisme, nepotisme! Tapi ternyata enggak, karena yang dipersilakannya tampil adalah Radiohead. Kedua, Thom dan senyumnya. Serius, aku baru pertama kali ngeliat dia senyum! Jadi, aku cukup terkejut. Terkejut dalam arti postif tentunya. Ketiga, siaran yang dipotong-potong. Oke, seharusnya aku berterima kasih kepada Indosiar karena telah menayangkan Grammy tahun ini. Gak setiap tahun ada stasiun TV di Indonesia yang mau menayangkan ajang tersebut. Tapi, tetap aja aku kecewa karena banyak penerima penghargaan yang gak ditampilin. Jangan-jangan ada nyanyian yang gak ditampilin juga?!

    Putus Karena Prasangka

    Mungkin selama ini hubungan Islam dengan "Dunia Barat" memang selalu diwarnai oleh rasa curiga. Biar bagaimanapun, prasangka sejarah adalah hal yang sulit dihapuskan. Tapi, keadaan memburuk dengan drastis pasca serangan 11 September. Pusat-pusat kegiatan Islam dan properti milik Muslim diserang, orang-orang Islam disumpahserapahi, dan mobilitas orang-orang yang beragama Islam atau bernama ke-Arab-araban dibatasi.

    Sebagai penduduk sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, aku tak pernah merasakan diskriminasi itu (meskipun, tak bisa dipungkiri, diskriminasi yang membatasi kebebasan untuk menjalankan keyakinan masih ada di negara ini). Intinya, aku gak pernah merasa dipersulit atau dibuat tidak nyaman karena agamaku Islam. Tapi kemudian, untuk pertama kalinya, aku merasakan diriku dijauhi, kemungkinan karena aku adalah seorang Muslim.

    Ceritanya nih, aku punya seorang pen pal (oke lah, terjemahannya "sahabat pena", tapi menurutku kata "sahabat" terlalu berlebihan). Kami sudah saling berkirim surat--via internet--sejak 2006. Yang kami tuliskan dalam surat-surat kami hanyalah seputar kegiatan sehari-hari, tidak ada diskusi politik ato kehidupan pribadi.

    Nah, temanku ini orang Midwest, daerah yang jauh kurang liberal dibandingkan dengan pantai Barat atau yang semacamnya. Aku tahu dia punya teman yang suaminya bertugas di Irak. Menyinggung bahwa aku tidak senang dengan kebijakan negaranya yang menyerbu Afghanistan dan Irak adalah tindakan yang sangat tak bijaksana, jadi aku tak pernah melakukannya. Lagi pula, yang kubenci adalah kebijakan AS, bukan orang per orangnya. Dan soal tentara-tentara yang dikirim ke luar negeri, aku kasihan kepada mereka karena menurutku mereka benar-benar dikadalin.

    Setelah bergabung dengan Facebook dua bulan lalu, kuputuskan untuk mengirim undanganku kepadanya. Ini bukan hal yang istimewa, soalnya dia juga beberapa kali mengirimi aku undangan ke Goodreads, dsb. Sejak saat itu, korespondensi di antara kami terhenti. Memang sih, kadang-kadang surat cuma datang sebulan sekali, tapi ini udah lebih dari sebulan. Apalagi, biasanya dia yang lebih rajin ngirim surat daripada aku (soalnya aku gak punya bahan yang menarik buat diceritain sih). Aku tahu dia mestinya gak sibuuuuk banget sampe-sampe gak bisa ngirim surat karena dia masih sering nongol di forum pen pal yang kami ikuti.

    Satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan adalah: dia dapet undanganku, ngeliat profilku di Facebook (dengan foto diriku yang berjilbab), dan syok. Mungkin dia adalah satu di antara banyak orang Amerika yang berprasangka buruk terhadap Islam dan gak mau berurusan dengan umat Muslim. Seandainya itu benar, aku sangat menyayangkannya. Aku mungkin sebaiknya cuek aja, kalo dia memutuskan untuk berpandangan cupet, itu masalahnya sendiri kan?!

    Tapi, kehilangan teman tetap saja merasa menyedihkan, apalagi karena penyebabnya adalah sesuatu yang "nggak banget" seperti prasangka buruk.

    Botchan (Natsume Soseki) bag.1

    Pertarungan antara kebajikan versus kejahatan adalah salah satu topik paling standar dalam cerita-cerita. Biasanya tidaklah susah membedakan orang baik dan orang jahat. Si baik selalu berbudi luhur, baik hati, dan tidak mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, si jahat tidak bermoral, keji, dan serakah. Masalahnya, mengetahui yang mana yang "baik" dan yang mana yang "jahat" di dunia nyata gak semudah itu.

    Botchan karya Natsume Soseki menunjukkan dilema tersebut: Gimana ngebedain orang "baik" dan orang "jahat"? Lalu, apa yang harus dilakukan terhadap si "jahat"? Bilamana kita menjumpai keadaan yang gak sesuai dengan idealisme kita, haruskah kita melawan atau menyerah aja?

    Kisahnya tentang masa tinggal seorang pemuda di sebuah kota kecil, interaksinya dengan orang-orang di sana, dan kejadian-kejadian yang dialaminya. Nama sang karakter utama tak pernah disebut sepanjang jalannya cerita. Jadi, kita sebut saja dia Botchan (alias "Tuan Muda"). Soalnya, begitulah pelayannya memanggil dirinya (rekan kerjanya juga menjulukinya seperti itu, meskipun dalam hal ini panggilan tersebut merupakan olok-olok).

    Selepas lulus dari Sekolah Tinggi Fisika di Tokyo, dia mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah SMP di Pulau Shikoku. Berhubung dia gak tau mau ngapain setelah lulus, diterimanya saja pekerjaan itu.

    Karena dia orang Tokyo, banyak aspek kehidupan kota kecil yang tak biasa baginya. Misalnya saja saat menyewa kamar di sebuah penginapan, dia dikasih kamar yang benar-benar jelek, padahal masih banyak kamar kosong yang bagus di lantai atas (si pemilik ngakunya semua kamar udah penuh). Ternyata, penyewa harus ngasih uang muka supaya dapat memperoleh pelayanan yang prima. Kalo enggak, ya kayak dia deh. Kenapa pemilik penginapan gak langsung minta uang aja, coba? Selain itu, tampaknya semua orang saling tahu urusan masing-masing. Buktinya, murid-murid tahu bahwa dia mampir ke warung ramen dan dango, tahu berapa mangkok ramen dan berapa tusuk dango yang dimakannya, dan mengejeknya karena itu. Rese amat sih? Suka-suka orang dong, mau makan apa aja?!

    Selain murid-murid rese yang suka lempar batu sembunyi tangan (sikap yang sangat dibenci Botchan), dia juga berhadapan dengan sejumlah rekan kerja yang "enggak banget" (menurut dia). Harap diingat, Botchan ini orangnya "lurus"--atau bisa juga disebut idealis--dan blak-blakan. Dia tipe orang yang gak segan-segan mencela karakter buruk orang lain, tapi juga gak ragu-ragu untuk minta maaf apabila dia salah. Masalahnya, orang "lurus" kayak dia kadang-kadang gak nyadar bahwa orang lain tuh gak seperti dia. Jadi, saat salah seorang guru yang dijulukinya Akashatsu ("Baju Merah", soalnya pakaiannya serba merah) memberi tahu Botchan bahwa guru bernama Hotta-lah (yang dijulukinya Yamaarashi atau "Landak") yang membuat Botchan jadi bulan-bulanan para murid dalam insiden dango dan ramen, Botchan langsung percaya. Padahal....

    Catatan: Sistem penamaan di sini bergaya Jepang, Natsume = nama keluarga, Soseki = nama depan (meskipun Natsume Soseki itu sebenernya nama alias sih). Tapi, tidak seperti acuan terhadap seseorang yang biasanya dilakukan dengan menyebutkan nama keluarganya, pengarang yang satu ini biasa disebut "Soseki".

    -----bersambung ke bag.2, soalnya kepanjangan-----
    -----trivia-----

    Wednesday, January 21, 2009

    MU Mampir ke Mari

    Berita menggegerkan terungkap minggu lalu. Berita yang begitu mengagetkan sampai-sampai aku harus baca running text Metro TV tiga kali sebelum memercayainya. Berita yang membuatku menjerit-jerit setelahnya. Dalam rangkaian tur Asianya tahun ini, Manchester United bakal mampir ke Indonesia untuk pertama kalinya. Betul sekali, Saudara-saudara, MU bakal datang ke Indonesia. Kyaaaa!!!!

    Sungguh, aku gak pernah membayangkan bahwa mereka bakal datang ke sini. Sebenarnya, aku malah gak mengharapkannya. Rasanya agak memalukan juga, melihat mereka melihat Indonesia setelah singgah di Malaysia ato Hongkong yang, secara kasat mata, jauuuuh lebih bagus daripada negara ini. Kalo dari segi kemampuan, oke lah, kita gak kalah jauh dari Malaysia, apalagi Hongkong. Tapi soal fasilitas? Jangan ditanya?

    Kembali ke persoalan semula. Seandainya semua berjalan sesuai rencana, MU akan bermain di Indonesia tanggal 24 Juli 2009. Berarti, waktunya deket-deket pemilihan presiden. Tentu saja, ini saat yang sangat kritis. Kemungkinan terjadinya kekisruhan pasca-Pemilu, plus bahaya kerusuhan yang selalu mengancam sepak bola Indonesia, tidak boleh diremehkan. Hal-hal “sepele” macam itu bisa (semakin) menghancurkan kredibilitas kita dan membuat rencana kunjungan MU ke Indonesia hancur berantakan. Tapi, harusnya kita bisa. Buktinya Piala Asia yang lalu bisa berjalan lancar, ‘kan?

    Nah, sekarang fokusku adalah ngumpulin duit buat nonton. Silakan ketawa, tapi bagi seseorang yang sudah bertahun-tahun mendukung Manchester United seperti aku, melihat mereka bermain secara langsung adalah mimpi yang jadi kenyataan--kendatipun yang dipasang adalah pemain-pemain lapis kedua, misalnya (meskipun aku pingin ngeliat Scholes, Neville, dan Giggs--the Old Guards--sih).

    Aaah, jadi gak sabar nih!