Saturday, June 06, 2009

Jalan-jalan ke Lombok bag.2

-----bag.1----

Pada hari ketiga, kami menyusuri pesisir selatan Pulau Lombok menuju Pelabuhan Bangsal. Tujuan kami selanjutnya adalah Gili Meno, tempat kami akan menginap selama dua malam. Dari Senggigi, kami naik shuttle bus dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar lima menit ke pelabuhan. Tiket ke salah satu Gili (Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air) bisa dibeli di kantor koperasi yang ada pelabuhan seharga sembilan ribu rupiah. Gili Meno gak serame Gili Trawangan, jadi jadwal keberangkatan ke sana dari Bangsal cuma dua kali sehari dan begitu pula sebaliknya (dari Gili Meno ke Bangsal), dan waktu tunggunya pun lebih lama. Tapi demi mendapatkan ketenangan--yang mungkin gak bakal didapatkan di Gili Trawangan yang konon merupakan tempat yang asyik buat "party" alias mencicipi jamur tahi sapi yang memabukkan--gak apa-apa lah. (Menurut info dari seorang staf di penginapan yang kami tempati: Gili Trawangan dan Gili Air = party island, Gili Meno = honeymoon island.)

Oh ya, hati-hatilah terhadap calo tiket. Calo tiket yang kami temui di Bangsal mengatakan bahwa gak ada perahu umum dari Gili Meno yang balik ke Bangsal di sore hari dan menyarankan agar kami membeli tiket darinya saat itu juga ("Kalo belinya nanti, harus carter dan harganya mahal," menurut sang calo). Jangan dipercaya. Percayailah jadwal keberangkatan perahu yang tercantum di deket meja penjualan tiket. Jujur kukatakan, inilah--sikap maksa para operator: tukang jualan, calo, orang dari agen wisata, sopir angkot ketika menjajakan barang/jasa-nya--salah satu hal paling menyebalkan yang kami rasakan selama berlibur di Lombok.

Setelah terayun-ayun di perahu motor (yang rasanya mirip seperti terguncang-guncang dalam delman di jembatan Gunung Batu), Gili Meno pun dicapai. Kami langsung check-in di Kontiki dan menempati dua bungalo letaknya cukup memuaskan karena deket banget dengan laut--dengan harga yang memuaskan pula :D.



Untuk pemalas seperti aku, Gili Meno adalah tempat yang sempurna untuk berleha-leha. Kegiatanku selama di sana adalah: duduk di pinggir pantai sambil baca buku (atau terkantuk-kantuk), main air, main pasir, jalan-jalan di pantai, menyusuri separuh pulau ke danau air asin, ngeliatin (dan diintimidasi oleh) sapi yang ukurannya lebih kecil daripada sapi di Jawa, nongkrong di depan kipas angin di dalam bungalo waktu di pantai lagi terik-teriknya, motret-motret (meskipun gak bisa dibandingin sama kegiatan memotretnya Rani dan Wida sih :D), mengagumi matahari terbit, mengagumi matahari terbenam, mencoba membaca peta bintang (dan gagal).



Sayangnya, acara bersantai kami acap kali diusik oleh beach boy yang menyerukan berbagai hal, mulai dari "Assalamu ‘alaikum" sampe "Ikut pulang dong!" Mula-mula aku hanya menganggap seruan ini angin lalu, tapi semakin lama, aku semakin bertanya-tanya apakah mereka memang beneran ramah, kurang kerjaan, atau berniat ngegodain. (Dan kecurigaanku semakin mengarah ke pikiran negatif setelah mendengar kisah seorang beach boy dengan dua pacar Jepangnya.) Masalahnya adalah, kami berempat memang "mencolok" sehingga gampang dijadikan sasaran keramahan (atau keisengan). Hampir semua turis di Gili Meno adalah orang asing berkulit putih. Hanya ada segelintir turis Indonesia, semuanya cewek yang berlibur bersama pasangan bulenya. (Kecuali satu cowok, dengan pasangannya yang juga orang Indonesia, yang kulihat ketika kami akan kembali ke Bangsal.)

Akan kulupakan hal-hal menyebalkan dan beralih ke daya tarik utama Gili Meno: pantai. Pantai di Gili Meno adalah pantai terbaik dari ketiga pantai yang kukunjungi di Lombok (Senggigi, Gili Meno, Kuta). Pasirnya halus, gak susah buat disusuri, banyak koral yang memperindah pantai, bersih. Meskipun, anehnya, di salah satu bagian pantai banyak sepatu dan sandal yang terdampar. Selain itu, pasang surutnya lumayan jauh dan, sumpah deh, ada satu bagian pantai yang di kala pasang surut bener-bener mengingatkanku akan Kawah Putih--dengan tunggul-tunggul pohon terkelantang yang mencuat dari pasir padat.



Agenda harian kami selalu ditutup dengan makan malam di saung pinggir pantai ditemani angin dingin menggigilkan. Agak membuat gak sabaran sih, soalnya makanan baru disajikan satu jam setelah dipesan. Tapi, rasanya sebanding dengan penantiannya. Ikan bakar, cumi goreng, dan sate ikan yang kusantap di sana adalah makanan terlezat yang pernah kusantap selama di Lombok. (Lebih mantap daripada ayam taliwang, menurutku sih.)

Fakta lain tentang Gili Meno:
  • Gak ada kendaraan bermotor, satu-satunya alat angkutan adalah cidomo (sama kayak delman/dokar lah).
  • Air tawar sangat langka. Di penginapan kami, hanya pancuran untuk mandi yang dihubungkan dengan suplai air tawar. (Pipa-pipa dan keran-keran lain mengucurkan air asin.) Aku jadi penasaran, jangan-jangan penduduk setempat malah hanya menggunakan air tawar untuk minum dan masak.
  • Satu-satunya sekolah di Gili Meno adalah sebuah SD yang gurunya pun didatangkan dari Lombok. Anak-anak yang ingin meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus pergi ke Gili Trawangan atau Lombok. Anak-anak kelas enam malah gak sekolah sama sekali, tapi cuma belajar di rumah.

-----bag.3-----

0 comments:

Post a Comment