Thursday, May 28, 2009

Jalan-jalan ke Lombok bag.1

Setelah menunggu-nunggu hampir setahun lamanya, akhirnya cita-citaku untuk pergi ke Lombok kesampaian juga. Aku dkk berangkat tanggal 21 Mei naik Batavia Air. Itulah pertama kalinya aku naik pesawat di malam hari. Benar-benar gak ada apa pun yang bisa dilihat lewat jendela selain kegelapan. Tapi pada saat pesawat terbang rendah, aku bisa ngeliat hamparan cahaya yang berkerlap-kerlip--keren banget! (Pemandangan tersebut benar-benar mengesankan, terutama ketika kita menyadari bahwa di siang hari yang terlihat hanyalah kawasan padat penduduk yang dipenuhi bangunan-bangunan yang berdempetan--sama sekali gak keren saat dilihat dari udara.)

Kami sampai di Ampenan jam sepuluh malam waktu setempat setelah penerbangan yang memakan waktu sekitar tiga jam (plus transit sebentar di Surabaya). Berdasarkan petunjuk seorang penumpang yang duduk di sebelah Kiki, kami langsung keluar dari bandara dan memilih untuk naik Lombok Taxi alih-alih taksi bandara. (Tampaknya di Lombok ada dua perusahaan taksi: Lombok Taxi yang adalah anggota Blue Bird Group dan satu lagi "anak"-nya Express Taxi.) Taksi mengantar kami ke penginapan di Senggigi yang udah dipesenin lewat perantaraan salah satu biro perjalanan. (Sekadar info nih--maaf aja kalo udah pada tahu--pada saat melakukan perjalanan, usahakan untuk berhubungan langsung dengan operator wisata, misalnya hotel, alih-alih minta info dari biro perjalanan. Biro perjalanan acapkali menjalin hubungan dengan hotel-hotel tertentu sehingga bisa-bisa yang kita dapatkan bukanlah hotel yang terbaik dengan harga termurah. Intinya mah, belilah segalanya secara eceran dari operator, bukan paketan dari biro perjalanan atau calo wisata.)

Keesokan harinya, kami mengunjungi beberapa tempat di Lombok yang gak terlalu jauh dari Senggigi. Sebenernya sih, kami bisa aja naik kendaraan umum. Tapi karena kami bingung mau ke mana, biar lebih gampang kami mencarter mobil plus sopir seharga 350 ribu selama sekitar tujuh jam (entah itu kemahalan atau enggak). Pertama-tama kami mampir ke Toko Ina Mulia untuk membeli mutiara (atau lebih tepatnya, temen-temenku beli dan aku cuma nonton; meskipun akhirnya aku beli mutiara juga untuk Mama, tapi di tempat lain). Mutiara ternyata tak selalu berwarna putih, ada juga yang merah muda dan ungu. Kata si penjual, warna mutiara bergantung pada makanan yang dikonsumsi tiram (meskipun dia gak memerinci makanan apa yang bisa bikin mutiara jadi putih dan makanan apa yang membuat warnanya merah muda atau ungu; atau mungkin aku yang gak denger). Harga perhiasan mutiara di sini bervariasi, mulai dari 50 ribu sampai 2 jutaan. Kayaknya yang membedakan harganya adalah bentuk si mutiara (bulat sempurna atau enggak), jumlah di setiap perhiasan (bros jelas lebih mahal daripada untaian kalung mutiara), ukuran, dan bahan tambahannya (baja tahan karat vs perak). Mutiara air tawar juga lebih mahal daripada mutiara air laut karena kilaunya lebih indah. (Perhiasan dari mutiara air laut biasanya dijual di jalan-jalan dengan harga yang sangat murah, misalnya sepuluh tibu-tiga.)

Kami juga mengunjungi Taman Narmada. Kompleks ini dulunya adalah tempat peristirahatan Raja Karangasem dari Bali (Pulau Bali terdiri dari beberapa kerajaan dan mereka gak selalu hidup berdampingan dengan damai. Itulah sebabnya sang raja membutuhkan "pelarian" di tempat lain). Pada mulanya, sang raja bertetirah di kawasan Gunung Rinjani. Tapi, kondisi fisiknya yang merosot gak memungkinkannya untuk pergi jauh sehingga akhirnya dibuatlah tempat peristirahatan baru di sini.



Kompleks Narmada ini dibuat berundak-undak. Di tingkat tertinggi ada pura, balai-balai, dan rumah peristirahatan sang raja. Tingkat-tingkat selanjutnya terdiri dari taman-taman (bayangkan piramida Aztec yang tiap tingkatnya ditanami tumbuhan) dan ada juga satu cekungan berisi balai-balai yang dulu konon disediakan untuk tempat bersantai para dayang istana. Tingkat terendah terdiri dari kolam-kolam dan tempat pemandian (yang kesan rajawinya dirusak gara-gara digambari garis putih seperti yang biasanya ada di kolam-kolam renang umum; tahu kan, untuk membatasi tiap-tiap lintasan yang dilewati para perenang saat lomba).



Oh iya, menurut kepercayaan orang yang percaya, mata air Narmada menghasilkan air yang bisa bikin orang awet muda. Kalo mau, pengunjung dipersilakan membotolkan air ini untuk dibawa pulang. (Gak tahu apakah untuk mengambilnya perlu upacara atau jampi-jampi tertentu, habis kami bukan orang yang percaya sih, jadi kami gak ngambil.) FYI, di Lombok gak ada Aqua, Ades, dan merek-merek air minum terkenal lainnya. Yang ada ialah air minum Narmada produksi PT Narmada Awet Muda, yang asal namanya tidak perlu dipertanyakan lagi. (Dan air botolan bermerek "Netral", juga produksi Mataram.)

Untuk makan siang, kami menikmati ayam Taliwang yang terkenal itu. Enak sih--walaupun gak super lezat--dan lumayan pedes. Mulutku gak terlalu kepedesan, tapi tanganku kepanasan bahkan sesudah cuci tangan dan sampai berjam-jam kemudian.

Lalu kami ke Pura Batu Bolong (yang sepertinya dinamai demikian karena di dekatnya ada karang yang tengah-tengahnya bolong). Karena itu kawasan pura, pada saat masuk ke sana kami harus mengenakan pita kuning di pinggang. Masih jam tiga sore, jadi masih panas-panasnya. Kami pun gak sempat naik ke atas ke puranya karena saat itu banyak yang lagi sembahyang; gak enak kan.



Pantai Senggigi di sekitar Pura Batu Bolong sebagian besar gak boleh dimasuki karena merupakan bagian dari hotel. Pantai di sini bagus, tapi gak boleh direnangi karena banyak karang. Kawasan Pantai Senggigi yang terbuka untuk umum terletak lebih ke utara, deket dengan sentra wisata Senggigi yang dipenuhi penginapan, restoran, dan biro perjalanan. Kami datang ke pantai yang ini menjelang matahari terbenam, ketika orang-orang justru berduyun-duyun meninggalkan Senggigi setelah main air seharian (atau sesorean, atau sesiangan).



Acara hari itu ditutup dengan makan malam di kafe tenda Cak siapa gitu (maaf, saya melupakan nama Anda). Siapa sangka, di Lombok ternyata banyak orang Jawa Timur. Bukan sembarang orang Jawa Timur, tapi para "Arek" (dari Surabaya dan sekitarnya) yang lugas dan egaliter, bukan orang-orang "Mataraman" (dari Jatim bagian tengah seperti Kediri, Madiun, dan sekitarnya) yang gaya ngelemak-ngelemek-nya lebih mirip dengan orang-orang Jawa Tengah. Mudah sekali menemukan makanan khas Jawa Timur seperti rawon dan semacamnya, gak seperti di Bandung.

-----bag.2-----
-----bag.3-----