Friday, October 30, 2009

Dengarlah Nyanyian Angin (Murakami Haruki)

Inilah yang tertulis di sampul belakang Dengarlah Nyanyian Angin--Kaze no Uta o Kike--terbitan KPG: "Aku...terobsesi dengan seorang penulis Amerika yang mati bunuh diri. Kekasih Aku gadis manis...tapi tak ragu-ragu menggugurkan janin...yang entah siapa ayahnya. Sobat kental Aku, Nezumi, anak hartawan tapi muak dengan kekayaan dan menenggelamkan diri dalam alkohol. Mereka bertiga melewatkan delapan belas hari yang tak terlupakan pada suatu musim panas...."

Sepertinya harus diralat sedikit. Pertama, si cewek bukanlah kekasih Aku. Atau paling tidak, menurutku si Aku gak menganggap cewek itu sebagai pacarnya. Kedua, kayaknya "menenggelamkan diri dalam alkohol" untuk menggambarkan kebiasaan si Nezumi (bahasa Jepang: tikus) nongkrong di bar terlalu berlebihan deh. Ketiga, dan yang paling penting, adalah "delapan belas hari tak terlupakan".

Secara logika, tentu saja delapan belas hari itu tak terlupakan, karena kalo enggak, gak mungkin si Aku mengisahkannya kan. Tapi jika benar delapan belas hari itu tak terlupakan, pertanyaannya adalah: apa sih yang begitu mengesankan pada musim panas itu sampai-sampai ia layak menyandang predikat "tak terlupakan" (kecuali pertemuan dengan cewek yang jari tangannya cuma sembilan, tapi sesudah musim panas itu dia dan Aku gak pernah ketemu lagi; perjumpaan dengan cewek itu pun gak ngasih pengaruh apa-apa dalam hidup Aku--setidaknya begitulah yang kutangkap)? Jawabannya: gak ada. Justru itulah intinya.

Tau gak, apa aja yang dikerjain si Aku selama delapan belas hari itu? Nongkrong di bar sambil minum-minum, ngobrol, dan makan kacang; jalan-jalan; dengerin radio; mengingat-ingat masa lalu. Biasa banget kan?! Waktu baca buku ini, aku ngerasa, mungkin memang itu yang ingin disampaikan Murakami-sensei. Bahwa waktu terus mengalir. Bahwa hidup kita biasa-biasa aja. Bahwa kesadaran akan hal itu terasa menyakitkan. Dsb, dsb, dsb.

Tapi, gak ada yang berubah meskipun kita menyadari bahwa hidup kita biasa aja, bahwa kita akan terus bertambah tua tanpa mencapai apa pun yang berarti dalam hidup, dst. Jadi, sebaiknya kita terima aja kondisi itu. Sebagian orang mengatasinya dengan menulis (Aku dan Nezumi menulis untuk menumpahkan sebagian kecil pemikiran yang bikin otak mereka ruwet dan untuk melapangkan hati). Sebagian orang akhirnya gak tahan dan mereka pun bunuh diri. Sebagian lagi gak menyadari apa-apa, tapi ketidaktahuan itu toh gak berpengaruh apa-apa terhadap hidup mereka. Kita semua sama saja. (hal 110)

Di sampul belakang buku, disebutkan juga bahwa novel ini mengisahkan anak-anak muda Jepang yang antikemapanan dan tidak punya gambaran ideal tentang masa depan. Dibandingkan dengan novel-novel yang sekarang sedang in--tentang anak-anak muda yang harus menempuh berbagai kesulitan sebelum akhirnya dapet beasiswa ke luar negeri/sekolah di perguruan tinggi ternama, serta masa mahasiswa mereka yang "penuh warna", dan kesuksesan mereka selepas lulus kuliah--Dengarlah Nyanyian Angin memang tampak suram dan tak berarti. Tapi, aku lebih suka cerita ini. Soalnya, suasana batinku lebih mendekati suasana batin novel ini. Mau dibilang antikemapanan, pemuda kelas menengah yang kebingungan, gak punya visi, terserah lah. Maaf aja seandainya kami tidaklah sekeren anak-anak muda "inspiratif" yang kehidupannya diceritain di novel-novel populer itu.

Thursday, October 29, 2009

Kata-kata yang Bodoh

Suatu hari, telepon bordering.

CEWEK: Dengan Mbak Reni?
AKU: Iya.
CEWEK: Saya dari toko buku Times Bandung.
AKU: Apa?
CEWEK: Saya dari toko buku Times Bandung.
AKU: Iya.
CEWEK: Mbak Reni, pesan buku Haruki Murakami? Bukunya yang ada cuma satu, South of Border, West of Sun.
AKU: Oh, jadi yang ada cuma satu doang?
....dst.

Bodoh banget kan. Udah jelas-jelas kan si Teteh itu bilang kalo di antara tiga buku yang kupesan, hanya satu yang tersedia. Terus, kenapa juga aku ngomong, "Oh, jadi yang ada cuma satu doang?"

Sekarang aku ngerti kenapa penyiar-penyiar TV acap kali menanyakan hal bodoh, misalnya: hal yang sudah dijelaskan narasumber. Ternyata, itu karena mereka gak tau gimana harus menindaklanjuti informasi yang baru aja diberikan. Akhirnya, keluarlah pernyataan/pernyataan yang tidak perlu. Seperti yang kuucapkan.

Wednesday, October 14, 2009

Obrolan tentang Identitas

Berkat kebaikan hati seorang teman, aku berkesempatan ikut ngobrol-ngobrol bareng Hari Kunzru. Padahal, acara ini khusus undangan...cenah. Makasih ya, Na. Jadi, gak enak. (Atau malah enak?! ;p)

Singkat cerita, Pak Kunzru ini teh penulis berkewarganegaraan Inggris. Ibunya orang bule Inggris dan bapaknya orang India asal Kashmir (kayak Katrina Kaif nggak sih?!). Melihat latar belakangnya, gak aneh ketika kemudian dia penasaran dengan konsep "identitas", "ras", "kemurnian", dan sebangsanya. (Tumbuh besar sebagai anak berdarah "campuran" di wilayah konservatif kota London tidaklah mudah; kayaknya sih gitu.) Dan jadilah dia pengarang yang mengeksplorasi tema seputar identitas dalam novel-novelnya.

Dan karena latar belakangnya seperti itu, wajar kalo Pak Kunzru lebih tertarik dengan identitas transnasional--sesuatu yang mempersatukan semua orang, gak peduli di mana dia tinggal, apa keyakinannya, apa warna kulitnya, dsb. Oke lah, Pak, saya mengerti maksud Anda. Kita memang beda-beda, tapi terus kenapa? Maksud Anda begitu, kan?!

Nah, aku sendiri tidak pernah gelisah gara-gara "identitas", seandainya yang dimaksud "identitas" di sini adalah label yang dilekatkan seseorang pada dirinya, penyama sekaligus pembeda. (Misalnya: saya Muslim, jadi saya sama dengan orang-orang yang shalat dan mengaji dan mengimani Allah sebagai satu-satunya ilah, tapi saya gak sama dengan orang Kristen dan Hindu dan Buddha.) Mungkin karena aku tinggal di tengah-tengah masyarakat yang relatif homogen. Mungkin karena slogan Bhinneka Tunggal Ika sudah melekat dalam pikiranku (Sunda, Jawa, Batak, Minang,Bali, Sasak, Banjar, Dayak, dsb gak jadi soal). Mungkin karena aku bukan anggota kelompok minoritas yang terus-menerus dipertanyakan ke-Indonesia-annya.

Yang lebih mengusik pikiranku adalah "identitas personal" , kalo yang seperti itu memang ada. Siapa aku sebenarnya? Apa yang membuatku unik sebagai individu? Apa yang membedakanku dengan manusia-manusia lain? Tahu kan, kayak gen atau sidik jari atau sidik retina, tapi lebih menyeluruh. Harap dimaklumi, aku memang individualis (baca: antonim "kolektivis", bukan antonim "egois"). Aku bener-bener ngeri waktu membayangkan diriku sebagai makhluk yang keberadaannya di dunia ini tergantikan.

Ngalor-ngidul sepanjang ini, apa sih maksudku? Entah ya. Tapi, inilah yang kuyakini. Identitas adalah sesuatu yang kita pilih, titik. Dan manusia senantiasa tercabik-cabik antara keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok dan keinginan untuk menjadi istimewa. Gitu deh.