Wednesday, December 12, 2007

Teror Pemanasan Global

Suhu permukaan bumi meningkat secara ekstrim. Permukaan laut naik sehingga menenggelamkan kota-kota besar dunia. Iklim yang berubah drastis mengakibatkan bencana di mana-mana.

Konon, itulah yang akan terjadi pada bumi di masa datang akibat pemanasan global. Semua itu adalah bagian dari kampanye para aktivis lingkungan, dibantu media massa, dalam rangka menggugah kesadaran masyarakat atas isu tersebut. Emang tujuannya baik sih. Tapi, apa benar masyarakat bakalan “tergugah”? Terus terang, aku khawatir bahwa kampanye besar-besaran ini justru menjadi kontraproduktif, setidaknya di Indonesia.

Setahun terakhir ini, media massa amat sering menyebut-nyebut “pemanasan global”. Tapi, penyebab pemanasan global dan peranan manusia dalam hal itu jarang disinggung. Kalaupun dijelaskan, porsinya sedikit sekali dan aku jamin, gak banyak yang bisa ngerti. Yang dicerna oleh masyarakat adalah bahwa pemanasan global merupakan biang kerok dari segala macam bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Banjir lah, air pasang lah, angina ribut lah. Mungkin cuma gempa bumi dan gunung meletus aja yang gak dikait-kaitkan dengan fenomena tersebut.

Padahal, sebagian besar bencana alam disebabkan oleh hal-hal yang skalanya relatif “kecil” dan terjadi di sekitar kita, misalnya membabat daerah resapan air demi mendirikan bangunan (mewah) ato buang sampah sembarangan. Alih-alih bertanggung jawab atas kesalahannya, masyarakat sekarang bisa dengan mudah menuding pemanasan global sebagai kambing hitam.

Selain itu, menakut-nakuti orang-orang dengan ancaman abstrak (seperti yang tertulis di awal tulisan ini) tidaklah cukup untuk mengubah perilaku mereka. Ibaratnya seperti orang yang percaya kalo neraka itu ada, tapi maksiatnya jalan terus. Kalaupun hal seekstrim itu memang terjadi (naudzubillah), mungkin baru anak-cucu yang mengalaminya; jadi, apa peduli mereka? Ancaman yang lebih nyata aja, seperti banjir akibat mampetnya saluran air ato hujan asam karena gas buangan industri dan kendaraan bermotor, gak ngefek kok. Orang-orang tetap saja membuang sampah sembarangan dan berkendaraan pribadi (bukannya ngangkot).

Selama kita masih hidup demi sendiri dan untuk masa kini semata, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa kampanye pemanasan global takkan banyak pengaruhnya, malah buang-buang duit doang. Sayang banget kan?!

Wednesday, November 28, 2007

Bukan Sekedar Kata

Musik itu bahasa universal. Gak perlu ngerti lirik, cukup nikmati aja alunan nadanya. Tapi, berhubung aku lebih suka menyenandungkan kata-kata daripada sekedar ber-“lalala” atau ber-“mmmm”, biasanya aku selalu mencari tahu lirik lagu yang kusuka.

Berhubung lirik lagu-lagu dalam In Rainbows belum ada di internet waktu aku nge-download (ehm, mengunduh) album itu Oktober lalu (ya iya lah, albumnya juga baru dirilis), aku harus puas menikmati semua lagu tanpa memahami nyaris sepatah kata pun yang dinyanyikan. Gak ngaruh sih sebenernya; menangkap kata-kata yang diucapkan gak ngejamin bahwa kita bakal ngerti apa maksud mereka (atau dalam hal ini, maksud Thom Yorke, sang penulis lirik), hehehe :D.

Tapi, setelah aku akhirnya ngedapetin lirik In Rainbows dan ngedengerin album itu sambil menyimak kata-katanya, aku malah ngerasa gak menikmatinya. Setiap selesai satu bait, aku seakan-akan cuma menunggu musik berlalu sampai bait berikutnya dinyanyikan. Persis seperti sekilas bait dalam “Jigsaw Falling into Place”: What’s the point of instruments/Words are a sawed off shotgun.

Ternyata masalahnya, pada saat ngedengerin lagu yang ada vokalnya, aku jadi terlalu fokus ama suara manusia dalam lagu itu. Mungkin karena aku terlalu antroposentris, kali ya?! Padahal, vokal hanyalah satu bagian kecil yang menyusun suatu lagu. Ibaratnya, kalo ngeliat lukisan pemandangan, mana mungkin kita bisa ngeliat gimana bagusnya lukisan itu sesungguhnya kalo kita cuma memusatkan pandangan pada gambar gunung, tanpa memperhatikan obyek-obyek lain yang terlukis di dalamnya seperti langit yang biru, sawah, pepohonan, dll? Musik juga sama.

Akhirnya, kunyalain MP3 player-ku, masang earphone, memejamkan mata, dan memasang kuping baik-baik. Piano dan bas di speaker kiri, drum dan sampler di speaker kanan, vokal mengalun di tengah bunyi lainnya. Dan In Rainbows pun kembali terdengar seindah dulu. Serius!

Tuesday, October 23, 2007

Ternyata Dumbledore Itu……

Awalnya, kupikir kabar itu cuma gosip. Maklumlah, udah sering kejadian kan, spekulasi seputar kisah Harry Potter disangka “beneran” (baca: fakta resmi yang dilansir oleh J. K. Rowling). Contoh paling dahsyat adalah hubungan saudara antara Lily Potter dan Severus Snape (!) yang sempat dipercaya banyak orang pasca terbitnya Harry Potter and the Order of the Phoenix. Berhubung kali ini sang penyampai pesan tampak amat yakin dengan kebenaran berita yang dibawanya, aku memutuskan untuk browsing. Dan akhirnya, aku nemuin artikel ini di laman Time:

http://www.time.com/time/arts/article/0,8599,1674069,00.html?imw=Y

Reaksi pertamaku adalah berteriak. Kemudian ketawa terbahak-bahak. Habis, rincian macam itu kan biasanya kerjaan para penulis fanfiction (Para penulis fanfiction, jangan tersinggung, ya! Sebagai pecandu fanfiction, aku mengagumi karya-karya kalian, kok. Jadi, jangan salah sangka dan mengganggap bahwa kalimat di atas merupakan suatu penghinaan--karena sama sekali bukan!)

Aku yakin, hal ini pasti akan menyinggung banyak orang. Yang terburuk, bahkan memicu pemboikotan segala (seperti waktu HP dituduh menyebarkan “sihir” dan “ajaran sesat”). Tapi, gak usah terlalu dipikirin deh. Toh gak ada apapun dalam bukunya sendiri yang mengindikasikan hal itu. Jadi, gak usah khawatir bahwa anak-anak akan “kepengaruh”. Lagian, kalo gak ada penggemar yang nanya, sepertinya Rowling gak bakal mengungkapkan fakta tersebut. Sama seperti dia gak akan mengungkapkan apa yang dilihat Dumbledore di Cermin Tarsah/The Mirror of Erised (jawab: keluarganya) ato apa kerjaan Ginny setelah lulus dari Hogwarts (jawab: pemain Quidditch di klub Holyhead Harpies).

Intinya mah, kalo gak suka, ketawa aja. Hahahahahaha!

Catatan: Bagi yang belum tau, Ibu Listiana Srisanti--penerjemah HP edisi Indonesia sekarang sedang sakit. Kanker. Kabarnya udah stadium empat. Jadi, mohon maklum kalo Harry Potter and the Deathly Hallows edisi Indonesia ntar bakal agak lama terbitnya. Dan doakan saja semoga Ibu Listiana segera membaik.

Sunday, October 14, 2007

Hal-hal yang Menyenangkan Bulan Ini

  • English Premier League bisa ditonton di Lativi (asyik!)
  • Radiohead ngeluarin album baru (hore!)
  • xxxHOLiC rencananya bakal diterbitin minggu ketiga Oktober (akhirnya!)
  • Jaringan telepon rumah udah lancar lagi (syukurlah!)
dan tentu saja
  • Idul Fitri (alhamdulillah!)

“Hal yang buruk ada untuk diperbaiki, hal yang baik ada untuk disyukuri”

Raja Jalanan

Sopir angkot identik dengan cara mengemudi yang ugal-ugalan. Hasrat untuk mengejar setoran mungkin memicu sebagian sopir angkot untuk ngebut dan melanggar rambu lalu. Entah anggapan ini benar atau tidak, tapi kalo emang benar, menurutku sih sopir angkot gak ada apa-apanya dibandingin dengan para pengemudi motor.

Kira-kira sejak lima tahun lalu, jumlah motor semakin bertambah. Booming motor Cina yang murah serta fasilitas kredit motor yang cepat dan mudah menarik minat banyak orang untuk membeli kendaraan beroda dua ini. Apalagi, naik motor pribadi jauh lebih murah dan dapat diandalkan (baca: cepat karena bisa nyelip) daripada ngangkot.

Masalahnya, gak semua pengemudi motor layak dapet SIM. Idealnya, seseorang diberi SIM bukan cuma karena ia mampu mengemudi, tapi juga karena ia layak mengendalikan kendaraan bermotor. Orang yang kecanduan narkotik atau mengalami gangguan emosional, misalnya, tidak layak diberi SIM karena ada potensi membahayakan orang lain saat mengemudi. Padahal, tau kan gimana kenyataannya di sini--siapapun bisa dapet SIM, asal bayar.

Kalo mau jujur, berapa sih pemegang SIM di Indonesia yang pernah menjalani tes mengemudi? Makanya, jangan heran kalo banyak maniak di balik kemudi. Pengemudi tanpa etika yang gak sungkan-sungkan parkir di mana aja, salip kanan-kiri, dan--yang lebih berbahaya--hobi ngebut. Dalam kasus pengendara mobil, mereka “dibatasi” oleh ukuran kendaraan (mobil) yang relatif besar. Kalo gak mau diomelin ama pengguna jalan yang lain, dia kudu mikir beberapa kali dulu sebelum bertingkah seenaknya. Sebaliknya, pengendara motor jauh lebih ugal-ugalan; mentang-mentang kendaraannya kecil.

Saat ini, menyeberang jalan bisa merupakan ritual yang mengerikan karena pengendara motor biasanya ngebut terus, gak mau ngasih kesempatan bagi pejalan kaki. Padahal nyeberangnya di zebra cross loh, gak sembarangan.

Pengemudi mobil juga harus hati-hati sekali kalo mau menepi. Soalnya, motor sering mendahului mereka--sambil ngebut--dari kiri. Padahal, anak SD aja tau kalo nyalip tuh harusnya dari kanan, bukan kiri. Peraturan lalu lintas dasar, tuh.

Kalo mau dirunut semuanya, “dosa-dosa” pengendara motor di jalan raya gak bakal ada habis-habisnya deh.

Pengendara motor, dalam arti sebenarnya, adalah raja jalanan. Raja yang semena-mena, sayangnya, karena pengguna jalan yang lain jadi sengsara gara-gara mereka.

Monday, September 24, 2007

Semua Suka Uang

Sedikit pelajaran Sosiologi Dasar nih. Seseorang yang melanggar norma-norma dalam masyarakat adakalanya harus dilembagakan. Pelembagaan bukan cuma berfungsi untuk menghukum, tapi juga berperan dalam mendidik ulang seseorang agar ia memahami aturan dan nilai yang berlaku di masyarakat. Teorinya sih gitu (kalo gak salah inget, terakhir belajar Sosiologi di SMA sih), meskipun dalam prakteknya, LP justru sering menjadi sekolah pencetak penjahat kambuhan yang handal.

Terlepas dari efektivitas LP sebagai lembaga reedukasi, sebenarnya ada hukuman yang jauh lebih ampuh bagi para pelanggar norma sosial--sanksi yang dijatuhkan sendiri oleh masyarakat. Gunjingan, celaan, pengucilan--semuanya jauh lebih berat daripada hukuman apapun yang bisa dijatuhkan oleh pengadilan. Cerita tentang keluarga yang pindah kampung setelah salah satu anggota keluarganya terjerat kasus hukum (misalnya membunuh) atau terbukti melanggar norma sosial (misalnya menghamili anak orang) udah bukan berita baru lagi. Siapa juga yang tahan dicerca tetangga tiap hari?

Anehnya, kalo udah menyangkut pencurian besar-besaran, sanksi sosial tampaknya malah tidak diberlakukan. Lihat aja Nurdin Halid. Orang ini udah dinyatakan bersalah oleh MA dan udah dieksekusi (meskipun, yang anehnya lagi, sampai sekarang dia masih ditempatkan di Rutan, bukan di LP), tapi orang-orang PSSI gak bergeming terhadap tuntutan pencopotan Nurdin dari posisi Ketua Umum PSSI. Emang sih, kecaman--mulai dari yang uma sekedar nyindir sampe yang nyumpah-nyumpah--datang bertubi-tubi, tapi percuma aja kan kalo orang-orang yang dekat dengan (dari segi posisi) dia tidak memberikan sanksi sosial apapun. Gak ngefek lah, kan si NH gak kenal ama kita-kita yang mencela dia.

Secara umum, memang begitulah keadaannya. Kita cenderung mudah merasa kagum terhadap orang kaya dan berkuasa, sering tanpa peduli dari mana sumber kekayaannya berasal. Meskipun “mencuri” adalah tindakah yang terlarang secara sosial, pencuri-pencuri kelas berat bisa tetap berkeliaran dengan bebas dan justru menempati posisi terhormat dalam masyarakat.

Aku jadi bertanya-tanya, apa ini pertanda terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat kita, dengan uang/harta sebagai pemegang posisi tertinggi? Kalo emang gitu, daripada nyolong cuma sedikit dengan resiko digebukin orang sekampung, lebih baik nyuri uang yang banyak sekalian. Kalo ketangkep, siapa tau bisa nyuap pihak-pihak terkait supaya hukumannya diringankan atau dibebaskan sekalian. Masa mau ditolak, sih? Dikasih uang, gitu loh. Kalaupun ntar dibebasin, orang-orang di sekitarnya pasti gak akan ngomong macem-macem. Dia kan kaya, gitu loh.

Gila, kan?! Mungkin kita semua perlu dilembagakan.

Saturday, September 15, 2007

Lain Dunia

Ketika ratusan orang tumpah ruah di jalanan Paris untuk menyuarakan protes mereka atas ketidakadilan sosial, Marie Antoinette mengamati semuanya itu dari Istana Versailles dengan penuh rasa bingung.
“Kenapa mereka marah-marah?” tanyanya.
“Mereka tidak punya roti untuk makan, Yang Mulia,” jawab salah seorang pegawai istana.
“Tidak punya roti?” ujar Marie Antoinette keheranan, “Kenapa mereka tidak makan kue?”

Cerita yang sulit dipercaya? Gak juga. Perlu diingat, Marie Antoinette hidup bergelimang harta sejak kecil. Dia hidup bergelimang harta dan dikelilingi oleh orang-orang yang hanya sedikit kurang kaya dibandingkan dirinya. Selain saat pawai dengan kereta kuda keliling kota atau saat melambai-lambaikan tangan dari balkon istana, Marie Antoinette bisa dibilang gak pernah “bergaul” dengan rakyat biasa sama sekali. Dengan latar belakang seperti itu, gak aneh kalo “kelaparan” gak ada dalam perbendaharaan katanya.

Di era teknologi dan informasi, kayaknya gak mungkin ada orang--sekaya apapun dia--yang gak menyadari keberada orang-orang lain yang gak seberuntung dirinya. Kalaupun dia gak pernah hidup susah, setidaknya ada media informasi yang menunjukkan bahwa ada orang lain yang hidup serba kekurangan. Sikap abai dan ketidaktahuan ala Marie Antoinette adalah hal yang mustahil di masa kini. Tapi, apa benar begitu?

Sejak SD sampai kuliah, aku punya teman-teman sekelas/satu sekolah dengan latar belakang sosial-ekonomi yang beragam, mulai dari anak pedagang cakue sampai anak rektor. Meskipun keluargaku berkecukupan, setidaknya aku bisa belajar bersimpati dengan orang lain yang gak seberuntung aku. Soalnya, lingkungan sekolah memungkinkanku untuk mengenal orang-orang yang kurang mampu secara pribadi.

Nah, gimana jadinya dengan orang-orang yang sedari kecil belajar di sekolah-sekolah berlabel “plus” atau “internasional”? Tahu kan, yang kurikulumnya “canggih” dan biaya sekolahnya selangit itu. Dapat dipastikan, anak-anak yang bersekolah di sana memiliki latar belakang sosial-ekonomi yang sama--sama-sama dari kelas menengah ke atas. Biarpun lingkungan pergaulan seorang anak gak terbatas hanya di sekolah saja, sulit untuk peka terhadap kesusahan orang lain kalo sehari-hari kita lebih sering dikelilingi oleh teman-teman yang hidupnya serba nyaman--tiap hari naik mobil pribadi, punya duit buat nongkrong-nongkrong di kafe, punya communicator (walaupun sebenernya gak butuh)…… Ngerti, kan?

Intinya adalah, hidup di zaman maju--dengan informasi tentang berbagai hal yang tersedia bagi siapa saja dan di mana saja--ternyata tidak menghilangkan jarak di antara kita. Walaupun kita tahu bahwa ada orang-orang yang menderita di luar sana, belum tentu kita bisa ikut merasakan penderitaan mereka atau paling tidak, ikut bersimpati. Hidup kita terlalu berbeda sehingga seakan-akan kita tinggal di dunia yang berlainan. Sama seperti Marie Antoinette dan mayoritas populasi Prancis yang hidup di lain dunia.

Catatan: Aku tiba-tiba aja kepikiran soal ini waktu ngelihat mahasiswa ITB yang sekarang pada punya laptop, juga pada mampu beli textbook asli (Padahal di angkatanku dulu, mana sanggup kita beli textbook asli, Mak? Yang kesusahan bayar SPP dan terpaksa minta penangguhan aja banyak). Belum lagi ngelihat parkiran di ITB dan sekitarnya yang kian lama kian penuh dengan mobil-mobil milik mahasiswa. Masihkah ada kepedulian sosial terhadap, pedagang kecil di sekitar kampus, misalnya? Semoga……

Friday, September 07, 2007

Ganyang Malaysia


Catatan: Sebelum menulis komentar mengecam tulisan ini karena menyebarkan kebencian, silakan baca dulu semuanya sampai selesai. Netral-netral aja, kan?

Layaknya tetangga, hubungan antara Indonesia dan Malaysia senantiasa mengalami pasang-surut. Adakalanya hubungan kita dekat dan bersahabat, tapi di kali lain hubungan tersebut renggang dan penuh ketegangan. Seperti saat ini.

Meskipun tidak sampai memicu konfrontasi terbuka, sentimen anti-Malaysia saat ini emang sedang dahsyat-dahsyatnya. Demo mengecam Malaysia di mana-mana, disertai sweeping terhadap warga negara Malaysia di beberapa kota, adalah buktinya. Mungkin inilah gelombang sentimen anti-Malaysia terdahsyat yang pernah melanda negara kita sejak konfrontasi di periode ’50-an.

Anehnya, terlepas dari pangkal penyebabnya yang jauh berbeda, aku melihat ada persamaan di antara keduanya. Maksudku, antara gerakan “Ganyang Malaysia” yang didengungkan Bung Karno dulu dengan sentimen anti-Malaysia saat ini.

Sekilas, memang tak tampak persamaannya. Dulu, semangat untuk “mengganyang” Malaysia dipicu oleh keberadaan negara tersebut yang dianggap sebagai perpanjangan kolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Saat ini, kemarahan kita dipicu kisah-kisah tragis yang menimpa TKI, mulai dari pencabutan hak-hak pekerja sampai kematian misterius, serta penganiayaan yang dialami oleh seorang wasit Indonesia kala sedang berada di negeri jiran itu (belum lagi masalah sengketa wilayah dan campur tangan pengusaha Malaysia atas pembalakan liar di negeri ini). Betapa pun berbeda, keduanya sama-sama berakar dari satu hal: harga diri.

Di tahun ’50-an, harga diri sebagai “negara bebas”-lah yang membuat Indonesia menyatakan konfrontasi terbuka dengan Malaysia (atau Malaya). Mengingat bahwa Malaysia “dihadiahi” kemerdekaan oleh penjajahnya, maka pada dasarnya mereka masih di bawah belas kasihan Inggris. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas Indonesia untuk membebaskan saudara-saudara serumpunnya--terutama yang bertempat tinggal di Kalimantan Utara--dari cengkeraman kolonialisme Inggris.

Dengan cara yang sama sekali berbeda, persoalan harga diri juga memicu sentimen anti-Malaysia yang kini menggelora. Hanya ketiadaan rasa hormatlah yang mampu membuat Malaysia berlaku begitu semena-mena terhadap Indonesia dan warganya yang berada di negeri itu. Ketiadaan rasa hormat inilah yang mengusik harga diri kita sebagai orang Indonesia.

Ironisnya, kharisma yang pernah kita punya sehingga mampu mengintimidasi negara lain sekarang tinggal sejarah. Sekarang, Malaysia aja nganggep remeh Indonesia, apalagi negara-negara yang lebih besar. Dulu, Indonesia menunjukkan harga diri karena rasa PD dan ketegasannya ketika berhubungan dengan negara lain sehingga gak ada yang berani nginjek-nginjek kita. Ke-PD-an dan ketegasan yang kini acapkali tak nampak bila kita berhubungan dengan negara lain.

Aku yakin seyakin-yakinnya, kalo kita bisa membuktikan bahwa bangsa kita memang punya harga diri, gak ada ceritanya tuh Indonesia dilecehkan oleh negara lain, termasuk Malaysia. Apa kita masih punya harga diri di mata orang lain kalo rela-rela aja disuruh-suruh ama negara/badan/perusahaan asing dan gak bisa nyelesaiin masalah dalam negeri sendiri (penyediaan pendidikan yang layak, kebakaran hutan, banjir yang selalu terulang tiap tahun, dll)?

Friday, August 10, 2007

Tak Ada EPL Musim Ini!

Kecewa berat! Gimana enggak? Setelah bertahun-tahun dimanjakan dengan siaran English Premier League (EPL) di stasiun-stasiun TV di Indonesia--mula-mula ANTV, terus SCTV, Indosiar, dan yang terakhir TV7/Trans 7--musim kompetisi ini tampaknya EPL gak bakal bisa ditonton secara gratis di Indonesia.

Aku udah mulai ngerasa waswas minggu kemaren. Pasalnya, meskipun EPL akan segera bergulir (EPL musim ini dimulai tanggal 11 Agustus), tak ada stasiun TV yang menayangkan iklannya. Tau kan, misalnya “Liga Inggris, kompetisi terbesar sejagat segera dimulai saksikan di ...” atau “Manchester United, Chelsea, Arsenal, Liverpool; siapakah yang akan meraih mahkota juara tahun ini? Saksikan di...”--gak ada tuh iklan macam itu.

Kekhawatiranku menjadi nyata saat aku melihat iklan di Kompas, yang menyatakan bahwa EPL musim ini disiarkan di Astro. Televisi berlangganan. Dan masih tetap tidak ada stasiun lain (yang tayangannya gratisan) yang menyatakan mereka punya hak siar EPL. Cuma Astro. Televisi berlangganan.

Sialan.

Pasti di luar sana bakal ada suara-suara yang bilang, masih untung Astro mau nyiarin semua (yah, setidaknya sebagian besar) pertandingan EPL. Bandingin ama di luar negeri sana--penayangan pertandingan EPL-nya pake sistem pay per view yang biayanya jatuh lebih mahal buat pemirsa. Oke. Orang yang ngomong begitu mungkin gak nyadar bahwa pendapatan per kapita (PCI) di negara-negara yang memberlakukan sistem pay per view jauuuuuh lebih tinggi daripada PCI Indonesia tercinta. Itu sama konyolnya seperti membandingkan harga BBM di Singapura dan Indonesia.

Terbayang berapa banyak aksi yang akan kulewatkan musim ini: aksi Roy Keane sebagai pelatih, debut Hargreaves di EPL, Arsenal tanpa Henry, kepemimpinan Phil Neville di Everton (Neville rules, man!), dan seabrek lainnya. Tidak!!!!!!!

Catatan: Mohon maaf kalo ada kata-kata kasar. Gak ada maksud untuk menyumpahi siapa pun, kok.

Thursday, August 02, 2007

Nyandu Fanfiction

Spoiler Alert: Buat yang belum baca Harry Potter and the Deathly Hallows, mending jangan baca tulisan di bawah ini, deh. Ada sedikit spoiler, soalnya.

Selalu, selalu, selalu. Kali ini biang keladinya Harry Potter and the Deathly Hallows (DH).

Setiap kali aku selesai baca cerita yang seru, aku selalu merasa gak cukup. Rasanya adaaaa aja hal-hal yang belum tuntas, yang bikin aku penasaran. Dalam kasus DH: gimana nasib para tokoh yang masih hidup?; apa Hogwarts bisa segera “pulih” sebelum tahun ajaran berikutnya?; gimana keluarga Weasley mengatasi kematian Fred?; dan masih banyak lagi.

Emang sih, J. K. Rowling berencana untuk membuat ensiklopedia Harry Potter (HP) yang memaparkan kisah sampingan yang menarik, tapi gak terlalu penting untuk jalan cerita utama HP, serta kehidupan para tokoh pasca kematian Voldemort. Tapi, berhubung Rowling pingin istirahat dulu dari dunia HP, entah kapan ensiklopedia ini bakal diterbitin. Jadi, untuk saat ini, aku hanya bisa “memuaskan dahaga” dengan cara membaca fanfiction HP sebanyak-banyaknya.

Kenapa fanfic? Gampang saja (meminjam istilah Gus Dur), karena fanfic menawarkan berbagai kemungkinan--kemungkinan yang gak sempat dieksplorasi di cerita aslinya. Karena tujuanku adalah menghibur diri, aku lebih suka membaca fanfic yang menyenangkan. Aku gak mungkin nyari fanfic Snape, misalnya, karena mo digimanain juga, hidupnya tetap tragis dan gak bisa diapa-apain lagi (kecuali kalo settingnya AU, padahal aku gak terlalu suka fanfic AU).

Sekarang, aku lagi nyandu-nyandunya ama fanfic Luna/George (aku emang shipper mereka sih). Gak terlalu banyak fanfic Luna/George di luar sana, tapi jumlahnya bertambah dengan pesat setelah DH terbit. Mungkin karena “kehilangan” yang dialami oleh George, dan karakter macam Luna sepertinya cocok untuk membantu menyembuhkan kehilangannya itu.

Yang jelas, aku bakal nyandu fanfic HP terus. Entah sampai kapan. Sampai ada pengalih perhatian yang lain, kali. Dasar gila!

Friday, July 13, 2007

Lampu Padam, Pestanya Bubar

Memalukan. Semua orang Indonesia yang nonton pertandingan Korsel-Arab Saudi hari Rabu lalu pasti ngerti perasaanku. Gimana enggak? Masa lampu stadion mati di tengah-tengah pertandingan internasional? Mana yang main bukan tim Indonesia, lagi.

Aku yang nonton di TV aja kesel waktu pertandingan harus dihentikan. Bayangin, gimana perasaan orang-orang yang ada di stadion? Sebel banget, pastinya. Pelatih kedua tim melirik arlojinya berulang-ulang, orang-orang AFC ngomel ke panitia lokal, wasit nyumpah-nyumpah (si wasit yang kebetulan orang Australia ngomong, “Sh**”; aku bisa baca gerak bibirnya).

Bukannya introspeksi, panitia malah mencari-cari alasan. Ketua Panitia Lokal Piala Asia 2007 Nugraha Besoes berdalih bahwa matinya lampu disebabkan karena generator pusat kelebihan beban (Kompas, 12/7). Yang bener aja. Kalo gensetnya emang kelebihan beban, gak mungkin ada sebagian lampu yang masih menyala. Semua juga tahu. Padahal, lampu mati bukanlah satu-satunya “cacat” dalam penyelenggaraan Piala Asia di Indonesia. Masih ada kasus lain seperti kisruh penjulan tiket, sarana yang tidak memadai bagi wartawan, dan fasilitas latihan bermutu rendah (salah satunya adalah permukaan lapangan latihan yang keras, menurut keluhan pemain Arab Saudi).

Kejadian-kejadian tersebut pasti akan dicatat dan dijadikan bahan pertimbangan oleh AFC. Kalo gini caranya, jangan harap Indonesia bakal dipercaya untuk menggelar ajang olahraga internasional di masa depan. Bisa-bisa di Indonesia gak bakal ada “pesta” lagi.

Tuesday, July 10, 2007

Tulisanku yang Payah

Tulisanku payah. Aku baru menyadarinya setelah membaca “Essay Writing: The Essential Guide” yang kudapat dari sebuah laman (website). “Essay Writing…” memaparkan “dosa-dosa” sebuah tulisan--khususnya esai, tentu saja--alias hal-hal yang harus dihindari dalam pembuatan tulisan, kecuali kalo kita pingin bikin karya membosankan yang gak dibaca orang. Hebatnya, seluruh “dosa” tersebut ada dalam tulisan-tulisanku.

Berbagai topik yang dikemukakan dalam tulisanku sebenarnya cukup menarik. Tapi, sebagus apapun idenya, sia-sia saja kalo kita gak bisa memikat pembaca untuk menyimak tulisan kita dari awal hingga akhir. Pembaca gak mungkin mau buang-buang waktu membaca tulisan yang strukturnya seperti di bawah ini misalnya:

Topik: Buku “Menjadi Manusia Pembelajar”
Pembukaan: informasi umum tentang “Menjadi Manusia Pembelajar”
Inti: definisi “manusia pembelajar”, plus dan minus “Menjadi Manusia Pembelajar”
Penutup: simpulan tentang “Menjadi Manusia Pembelajar”

Kenapa? Karena strukturnya membosankan--kaku, gampang ditebak (deskripsi, plus-minus, simpulan), dan sama sekali gak imajinatif. Sekali lagi, aku harus menyelamati diriku karena sering sekali menulis dengan pendekatan seperti itu.

Sebaliknya, imajinasi yang liar--saking liarnya sampai-sampai membawa tulisan semakin gak nyambung dengan topik utamanya--juga bukan cara yang tepat untuk membuat tulisan yang baik. Imajinasi memang diperlukan dalam menulis, tapi mengendalikan diri untuk tidak bertele-tele juga sama pentingnya. Kita semua suka sedikit intermezzo, tapi kalo kebanyakan--capee deh!

Kalimat yang gak efektif juga sama membosankannya seperti paparan yang bertele-tele. Seandainya suatu kalimat bisa ditulis secara singkat dan padat, ngapain berpanjang-panjang? Daripada “Kata-kata itu terdengar berulang kali di berbagai tempat sampe-sampe jadi terkesan klise”, lebih baik kita menulis “Kata-kata itu terdengar berulang kali sehingga terkesan klise”--toh artinya sama aja.

Sebetulnya, semua “dosa” di atas bisa dihindari jika saja aku gak males brainstorming, nyusun kerangka karangan, dan mengedit tulisan. Emang sih, dosenku pernah bilang bahwa kelemahan utama penulis pemula adalah kepengen bikin tulisan sekali jadi: duduk di depan komputer, ngetik, tulisan langsung beres deh. Padahal, tulisan bagus harus direncanakan dengan matang dan dievaluasi, gak mungkin dibuat secara kilat.

Makanya Ren, jangan males dan terus belajar nulis!

Sunday, July 01, 2007

E-book Harry Potter and the Deathly Hallows: Asli atau Palsu

Lagi browsing, trus gak sengaja nemu e-book “Harry Potter and the Deathly Hallows”? Jangan seneng dulu, karena mungkin aja buku itu ternyata palsu. Hasil pengamatanku menunjukkan bahwa e-book palsu ini ternyata berhasil mengelabui banyak orang. Biar gak ketipu, berikut ini beberapa tips untuk mencari tahu apakah e-book “Harry Potter and the Deathly Hallows” (selanjutnya disingkat menjadi DH) temuan kalian itu asli atau palsu.

(1) Copy kalimat dari e-book tersebut, kemudian paste ke kolom kata kunci di mesin pencari (misalnya Google). Apabila kita bisa nemuin kalimat yang persis sama dalam sebuah fanfiction misalnya, maka sudah dapat dipastikan bahwa e-book DH itu palsu.

(2) Tanyakan ke si pengirim, dari mana dia ngedapetin e-book (atau link ke e-book) tersebut. Kalo sumber pertamanya aja udah meragukan, jangan heran kalo e-book DH itu palsu.

(3) Masuki forum atau laman penggemar Harry Potter, siapa tau ada yang bisa membantu verifikasi isi e-book DH temuan kita.

(4) Lihat sekilas keseluruhan isi e-book, adanya berbagai keganjilan (misalnya gaya bahasa yang beda dengan biasanya, penggunaan ejaan Amerika dan bukan ejaan Inggris, adegan 17+) bisa menjadi petunjuk tak terbantahkan tentang kepalsuan isi e-book tersebut.

Seandainya suatu waktu kalian nemuin e-book DH yang isinya asli, ingatlah bahwa e-book tersebut adalah hasil ketikan ulang penggemar Harry Potter (setahuku, penerbit Harry Potter—Scholastic--tidak menerbitkan DH dalam format e-book)--kerjaan yang dilakukannya tanpa dibayar, semata-mata karena ingin membantu sesama penggemar Harry Potter untuk menikmati DH sebelum edisi lokalnya beredar di negara-negara tertentu.

Jadi, jangan lupa untuk membeli (atau setidak-tidaknya meminjam :D) “Harry Potter and the Deathly Hallows” ASLI setelah buku ini diterbitkan di Indonesia. Yah, hitung-hitung sebagai bentuk penghargaan kita kepada Bu Rowling yang udah menciptakan karya hebat yang berhasil mempesona kita semua.

Monday, June 25, 2007

The Diary of a Young Girl (oleh Anne Frank)

Dalam Perang Dunia II--dan bencana kemanusiaan lainnya--rakyat jelata adalah pihak yang paling menderita. Tapi, mereka jugalah yang selalu paling mudah terlupakan. Kalo disuruh nyebutin orang-orang yang terlibat dalam Perang Dunia II, mungkin yang segera teringat adalah tokoh ternama macam Hitler, Eisenhower, atau mungkin Oppenheimer (wow, namanya berima!)--bukan gadis muda yang dipaksa menjadi budak seks, orang tua yang kehilangan anaknya di medan perang, ataupun keluarga yang harta bendanya ludes dan harus mengungsi akibat perang.

Untungnya, masih ada orang yang mau repot-repot menuliskan pengalaman hidupnya di tengah hiruk-pikuk Perang Dunia II--yang konon merupakan perang terbesar dalam sejarah. Berkat mereka, kita bisa mendapat sedikit gambaran tentang perang dari kacamata orang kebanyakan--sekaligus mengambil pelajaran darinya. Anne Frank adalah salah satunya.

Anne Frank sebetulnya adalah gadis remaja yang biasa-biasa aja. Seperti cewek-cewek seumurnya, Anne sering mengkhawatirkan hal-hal sepele seperti nilai, pacaran, juga konflik dengan ortu yang sama sekali gak memahami dirinya. Anne biasa menuliskan segala buah pikirannya dalam sebuah buku harian--hadiah ulang tahunnya yang ke-13--yang diberinya nama “Kitty”.

Isi buku harian Anne menjadi semakin “menarik” saat kehidupan normal sang penulis berubah total. Ketika tentara Jerman--yang menduduki Belanda, tempat Anne tinggal--semakin giat menjaring penduduk keturunan Yahudi (dan juga “ras“ lain yang dianggap rendah oleh NAZI, seperti Polandia dan Gipsi) untuk dikirim ke tempat kerja paksa, Otto Frank Sang Ayah memutuskan untuk mengungsikan keluarganya ke persembunyian. Lokasi persembunyian ini adalah sebuah ruang rahasia--dalam buku disebut sebagai “The Secret Annex”--yang terletak di sebuah kantor tempat salah seorang kenalan Otto Frank bekerja. Di sana, keluarga Frank (Otto, Edith Sang Ibu, Margot Si Kakak Perempuan, dan Anne) tinggal bersama empat orang lainnya selama sekitar dua tahun.

Bayangin aja, gimana rasanya tinggal di persembunyian dalam jangka waktu begitu lama tanpa boleh keluar sama sekali? Bosan pastinya. Untuk mengusir perasaan bosan selama di persembunyian, Anne ikut sekolah jarak jauh, membaca buku pinjaman (lewat jasa seorang “kurir”, yaitu seorang kenalan yang mengetahui keberadaan Anne dll), mendengarkan radio (tentu saja bareng ama yang lainnya), belajar menari (secara otodidak), mengoleksi biografi artis (!), ngobrol, dan tentu saja, menulis. Kebosanan akibat suasana yang monoton mungkin bisa diusir, tapi gimana kalo bosen ama sesama penghuni Annex? (Perasaan yang wajar mengingat mereka selalu bersama, 24 jam sehari.) Sayangnya, orang-orang ini gak bisa diusir dan rasa muak melihat manusia yang sama 24 jam sehari acapkali berujung pada pertengkaran antar penghuni.

Sifat Anne yang kritis--gak seperti dua orang anak lain yang tinggal di sana yaitu Margot dan Peter van Pels--selalu membuatnya kena marah para orang dewasa setiap kali terjadi perdebatan antar penghuni. Anne selalu punya pendapat sendiri dan dia gak pernah ragu untuk mengemukakan pendapatnya. Akibatnya, orang dewasa mengecapnya sebagai anak yang gak punya sopan santun. Dalam tulisan-tulisannya, sifat Anne yang satu ini kentara sekali--bukan cuma tindakan orang dewasa yang dipertanyakannya, tapi juga peristiwa yang terjadi di sekitarnya, salah satunya ya soal perang.

Selain menulis tentang perasaannya, Anne juga menulis tentang susahnya hidup di masa perang, di persembunyian pula. Gimana susahnya mendapatkan barang-barang kebutuhan sehari-hari (yang kadang cuma tersedia di pasar gelap dengan harga selangit), gimana repotnya untuk sekedar (maaf) buang hajat, gimana seremnya kalo ada serangan udara, gimana mereka kadang mengonsumsi valerian--akar-akaran yang punya manfaat sebagai obat penenang--untuk mengurangi ketegangan, dll.

Sayangnya, kisah Anne gak berakhir bahagia. Pada bulan Agustus 1944, Annex digerebek oleh polisi rahasia Jerman dan penghuninya dibawa ke kamp konsentrasi. Anne meninggal beberapa bulan sebelum Perang Dunia II berakhir dan Otto Frank menjadi satu-satunya penghuni Annex yang selamat dari kekejaman kamp konsentrasi.

Anne menyatakan bahwa ia bercita-cita menjadi penulis. Meskipun “The Diary of a Young Girl” merupakan satu-satunya karyanya, cita-cita Anne boleh dibilang telah terkabul. Lewat buku hariannya, Anne bukan hanya membuat namanya tak terlupakan--seperti layaknya penulis kondang yang karyanya gak lekang dimakan zaman--tapi juga menyuarakan perasaan seorang korban Perang Dunia II, mewakili orang-orang yang gak bisa menyuarakan penderitaan mereka.

Saturday, May 26, 2007

Yang Baik, Yang Alami

Makanan organik. Tanpa bahan pengawet. 100% alami. Pernah denger kata-kata itu? Kemungkinan besar pernah, karena masyarakat kita--entah sadar atau tidak--sedang gandrung-gandrungnya dengan segala hal yang berlabel “alami” atau “non-kimiawi”. Siapa sih yang gak trauma dengan bahan kimia setelah menyaksikan liputan menghebohkan tentang formalin dalam makanan atau kerusakan kulit akibat penggunaan kosmetik pemutih kimiawi, misalnya?

Kecenderungan ini bukan hanya monopoli masyarakat Indonesia. Back to nature justru lebih dulu menjadi gejala di dunia Barat. (Kalo di Indonesia sih--kalo mau jujur--apanya yang back to nature? Dari dulu sampe sekarang kita selalu--kurang lebih--in unison with nature. Makanya orang masih sering minum jamu atau obat Cina waktu sakit, bener nggak?) Hal ini tampaknya terjadi karena meningkatnya ketidakpercayaan terhadap sains yang tidak mampu memecahkan banyak masalah dalam masyarakat; dalam beberapa kasus malah menambah masalah. Masih banyak penyakit yang belum dapat disembuhkan, kecanduan obat penenang (misalnya diazepam yang lebih dikenal dengan nama dagangnya, Valium), tanaman hasil rekayasa genetika yang dikhawatirkan menimbulkan efek samping bila dikonsumsi; itu hanya beberapa contoh.

Singkat kata, akhirnya timbul pandangan umum di Barat sana bahwa bahan kimiawi (non-alami) punya potensi untuk menimbulkan dampak buruk sehingga lebih baik tidak dikonsumi. Beda dengan bahan alami yang bebas efek samping. (Halo, tau ganja gak? Tembakau? Atau jengkol? Mungkin enggak.) Karena segala hal yang menjadi mode di Barat lambat laun akan ditiru juga di sini, jangan heran kalo back to nature pun akhirnya menjadi mode di Indonesia. Jangan heran juga kalo ternyata orang-orang yang pertama kali menerapkan hal tersebut di Indonesia adalah orang-orang yang gak segan-segan ngeluarin uang jutaan rupiah untuk membeli barang terbaru buatan perancang terkenal supaya gak ketinggalan mode termutakhir. (Di rubrik “Gaya Hidup” Kompas beberapa bulan lalu, ditampilkan para pengkonsumsi makanan organik. Tau kan, yang gak pake pupuk, pestisida, diairi bukan pake air PDAM, dan sebagainya. Mereka semua orang kaya, di antaranya artis tenar seperti Lusy Rahmawati dan Melly Manuhutu.)

Terlepas dari keyakinan yang salah bahwa bahan alami selalu bebas efek samping, sebetulnya gak ada salahnya mengkonsumsi makanan/kosmetik/apapun yang tidak dicemari bahan sintetik. (Udah tau kan kalo penggunaan istilah “bahan kimiawi” sebenernya salah kaprah karena semua benda di dunia ini pada dasarnya tersusun oleh unsur kimia. Yang bener adalah “bahan sintetik”, artinya bahan tersebut tidak diambil langsung dari tumbuhan/hewan/tanah/udara/dsb tapi disintesis di laboratorium.) Yang salah adalah, menurutku, cara produsen menekankan keunggulan produk mereka secara berlebihan.

Contohnya dalam pemakaian bahan pengawet. Bahan pengawet tuh kesannya berbahaya banget sehingga produsen yang tidak menggunakan pengawet dalam produk mereka menggembar-gemborkan hal ini. Salah duanya dalam minyak goreng kemasan dan susu pasteurisasi. Kedua produk ini emang gak perlu pengawet karena sebagian besar mikroorganisme gak bisa hidup dalam minyak goreng karena gak ada nutrisinya dan susu pasteurisasi emang bisa dibilang udah steril. Jadi, melebih-lebihkan ketiadaan pengawet dalam kedua produk tersebut sama konyolnya dengan menekankan manfaat air yang bisa menghilangkan haus.

Contoh kedua, soal makanan “organik”. Harga bahan makanan “organik” jauh lebih mahal daripada makanan hasil pertanian “konvensional”. (Istilah yang patut dipertanyakan mengingat petani kita dulu gak pake pestisida, pupuk sintetik, dan semacamnya. Mungkin mereka baru memakai produk-produk tersebut setelah “diajarin” pemerintah yang ingin menjalankan rekomendasi FAO--rekomendasi yang sebenernya gak semuanya tepat bilamana dilaksanakan di Indonesia.) Harga mahal dianggap wajar karena makanan organik dianggap lebih sehat. Padahal, bukan itu sebabnya.

Petani “organik” punya daya tawar lebih tinggi dalam penjualan hasil panennya dibandingkan dengan petani “konvensional”. Petani “organik” umumnya menjual hasil panennya sendiri atau lewat distributor tetap (yang gak akan terlalu mudah mencari pemasok bilamana sang petani menolak untuk menjual hasil panennya kepada sang distributor). Lewat jalur manapun, mereka punya daya tawar lebih tinggi untuk menentukan harga jual hasil panennya dibandingkan dengan petani “konvensional”. Selain itu, jumlah makanan “organik” yang relatif sedikit memungkinkan makanan jenis ini dijual dengan harga tinggi. Petani “konvensional” gak bisa serta merta beralih ke pertanian “organik” karena tanah yang udah bertahun-tahun dipupuk bakal menurun produktivitasnya bilamana pemupukannya dihentikan. Pelik kan?

Sebetulnya, gak masalah kita mau milih makanan “organik”, makanan bebas pengawet, atau yang semacamnya kalo emang ngerasa yakin bahwa makanan tersebut lebih sehat dan bermanfaat. Yang penting, kita harus mencari informasi selengkap mungkin dari segala sisi. Singkat kata, jadilah konsumen yang kritis. Selain itu, ingatlah bahwa 4JJ1 gak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Mau alami kek, sintetik kek, segala sesuatu yang dikonsumsi berlebihan pasti membawa dampak negatif. Kebanyakan air aja bisa menyebabkan kejang-kejang, bahkan kematian. Ingat sapi glogok?

Thursday, April 26, 2007

Dalam Jeratan Tradisi

Ketika satu lagi kematian tak wajar seorang praja IPDN (dulu STPDN) terkuak sehingga menimbulkan kecaman luas atas keberadaan institusi tersebut, tidaklah mengherankan bila alumninya bersuara lantang mendukung metode “pembinaan” IPDN/STPDN yang menurut mereka oke-oke saja. Padahal, semua orang waras di Indonesia pasti pusing tujuh keliling, gak ngerti hubungan antara tendangan dan pukulan dengan pembinaan fisik serta mental dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang siap menjadi pemimpin di masa depan.

Kenapa tidak mengherankan? Nah, sekarang coba kutanya balik. Apakah ada yang mengherankan pada perayaan 100 hari kematian? Tukeran cincin pas nikah? Ato bahkan sistem ujian apoteker di ITB (bagi yang tau seperti apa sistemnya)? Kalo Anda tidak merasa ada yang aneh dengan hal-hal tersebut maka: Selamat! Ini berarti Anda sudah terprogram sedemikian rupa, sama seperti alumni dan praja (dan dosen) IPDN yang diprogram untuk menganggap bahwa pukulan dan tendangan adalah hal yang wajar demi melatih kedisiplinan sehingga diam seribu bahasa (bahkan malah turut berpartisipasi) ketika sekian ratus praja dihajar bertubi-tubi setiap hari.

Selama manusia masih hidup bersama orang lain dalam masyarakat, ia akan senantiasa terprogram untuk mengikuti nilai, aturan, dan kebiasaan tertentu. Proses ini berlangsung terus menerus sejak kita kecil sehingga nilai, aturan, dan kebiasaan tersebut akhirnya terinternalisasi atau menjadi bagian dari diri kita. Seseorang adakalanya mengalami benturan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai, mungkin malah berlawanan, dengan nilai-nilai yang dipegangnya selama ini.

Inilah yang dialami seorang praja saat baru masuk IPDN. Mana ada masyarakat yang menerima praktek penganiayaan massal seperti yang terjadi di IPDN? Dalam keadaan seperti ini, hanya ada dua pilihan: menolak (seperti para praja yang mengundurkan diri) atau menerima. Bila opsi kedua yang dipilih, aku berani jamin, kelak praja tersebut pasti melakukan tindak kekerasan kepada adik kelasnya. Bukan semata-mata karena ingin membalas dendam, tapi karena kekerasan sudah dianggap sebagai suatu kebiasaan sehingga rasanya tak ada yang salah dengan hal itu. Dengan kata lain, kekerasan sudah terinternalisasi dalam diri si praja.

Suatu nilai/aturan/kebiasaan yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang akan sangat sulit untuk diganti dengan nilai/aturan/kebiasaan baru. Bahkan untuk sekedar mempertanyakannya pun butuh usaha yang luar biasa. Penyebabnya ada dua.

Pertama, karena manusia emang susah untuk kritis terhadap dirinya sendiri. Buktinya, sebagian besar orang gak mudah untuk mengakui kesalahan atau minta maaf pada orang lain. Gak aneh kan, kalo kita juga gak mudah meninjau, mempertanyakan, apalagi tradisi yang kita pegang.

Kedua, suatu tradisi (yang pada dasarnya merupakan meme) bisa bertahan sekian lama karena memang menguntungkan untuk dipertahankan. Dalam kasus IPDN misalnya, hubungan junior-senior yang kaku-- yang disertai hak prerogatif bagi para senior untuk melakukan apa saja (termasuk tindak kekerasan) kepada juniornya--menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu (dan juga bagi meme “kekerasan” dan “hubungan junior-senior yang kaku” karena memungkinkan meme-meme ini untuk terus bertahan serta memperbanyak diri; tapi itu cerita lain).

Harus kuakui, aku emang gak suka dengan gaya “pendidikan” di IPDN--kalo yang kayak gitu emang bisa disebut pendidikan. Tapi, tulisan ini gak dibuat semata-mata untuk mencurahkan ketidaksukaanku pada lembaga tersebut melainkan lebih untuk menyadarkan diri sendiri untuk tidak menjadi seperti praja dan alumni IPDN yang sekedar mengikuti tradisi ngaco demi sekedar bertahan hidup.

Bukannya aku gak setuju kalo kita ngikutin tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat. Apalagi nenek moyang kita juga umumnya merumuskan suatu tradisi berdasarkan suatu alasan yang baik. Namun, harus disadari bahwa gak semua tradisi layak untuk terus diterapkan.

Contohnya, seperti yang kusebut di atas, perayaan kematian yang dibalut pengajian dan pembacaan doa tapi sebenarnya gak sesuai ajaran Islam karena merupakan peninggalan leluhur kita yang menganut dinamisme (bukan berarti ada yang salah dengan mendoakan orang yang meninggal, loh).

Biar bagaimanapun, manusialah yang menciptakan tradisi, bukan sebaliknya. Itu yang harus selalu diingat.

Sunday, April 01, 2007

Menjadi Manusia Pembelajar (Andrias Harefa)

Menjadi manusia pembelajar, menjadi manusia pembelajar, menjadi manusia pembelajar. Kata-kata itu terdengar (sebenernya sih tertulis) berulang kali di berbagai tempat sampe-sampe jadi terkesan klise (misalnya, “Salam, X, yang sedang berusaha menjadi manusia pembelajar”).

Tapi apa sih sebenernya yang dimaksud dengan “manusia pembelajar” itu? Akhirnya, aku berkesempatan juga untuk membaca buku “Menjadi Manusia Pembelajar” karya Andrias Harefa--buku yang, saking berpengaruhnya, judulnya sering banget dikutip orang.

Pada dasarnya, menurut Andrias Harefa, manusia pembelajar adalah seseorang yang senantiasa belajar tentang (learning about), belajar (learning to do), dan belajar menjadi (learning to be) manusia yang manusiawi. Manusia pembelajar adalah “manusia” (human being) yang belajar “menjadi manusia” (being human). Akibat kegagalan sebagian besar orang dalam melakukan hal (tidak menjadi manusia pembelajar) inilah yang, lagi-lagi menurut sang penulis, menjadi sebab carut-marutnya seluruh aspek kehidupan di Indonesia.

Pusing kan? Dijamin pusing. Kalo enggak, berarti kamu udah pernah baca bukunya dan gak perlu lagi baca tulisan ini :D. Si penulis sendiri butuh empat bab untuk menjelaskan kenapa kita perlu menjadi manusia pembelajar dan seperti apakah manusia pembelajar itu. Jadi, gak mungkin aku bisa menjelaskan semua itu hanya dalam satu paragraf.

Tapi, bisa disimpulkan bahwa manusia pembelajar adalah seseorang yang senantiasa berusahauntuk menjadi lebih baik. Caranya? Tentu saja dengan belajar: belajar memahami dirinya, belajar mengeluarkan/menggunakan potensi terbaik dalam dirinya--pokoknya terus belajar yang “baik-baik” sampai dia mati deh (gak usah memusingkan diri dengan perdebatan filosofis tentang “baik” deh; orang normal umumnya tau sendiri “baik” itu yang kayak gimana).

Penggemar buku-buku populer tentang psikologi dan manajemen diri harap siap-siap aja untuk kecewa karena buku ini tidaklah menawarkan petunjuk-petunjuk praktis atau yang semacamnya. Andrias Harefa menyatakan dengan jelas bahwa buku ini adalah intisari dari hasil pergelutan pribadinya. Ia menawarkan konsep yang dipercayanya, benar. Syukur-syukur kalo bisa mencerahkan orang lain. Tapi, setiap orang harus menemukan “jalan”nya sendiri untuk menjadi manusia pembelajar karena gak ada panduan umum yang berlaku untuk semua orang.

Sebaliknya, kalo gak suka atau gak setuju dengan pernyataan-pernyataan dalam buku ini (atau gak setuju ama konsep “manusia pembelajar), gak perlu mencak-mencak dan menuntut agar sang penulis membuktikan klaimnya secara ilmiah--”Menjadi Manusia Pembelajar” memang bukan karya ilmiah kok.

Orang-orang yang berperasaan peka (atau sok peka) mungkin bakal terganggu dengan gaya bertutur Andrias Harefa yang tanpa tedeng aling-aling, bahkan adakalanya terkesan “kasar” (aku sih oke-oke aja, habis semua yang ditulisnya emang bener kok--gak mengada-ada).

Selain itu, paparan buku ini yang kadang terasa bertele-tele mungkin akan membuat orang cepet bosen (temenku Riri salah satu contoh nyatanya). Tapi gaya penulisan yang terkesan bertele-tele ini mungkin hanyalah cara Andrias Harefa untuk memperjelas maksudnya. Melihat banyaknya orang yang terinspirasi untuk memproklamirkan diri sebagai “manusia pembelajar” (atau orang yang mencoba menjadi “manusia pembelajar”), tampaknya maksud sang penulis telah tersampaikan.

Monday, March 26, 2007

Nyamuk dan Manusia

Dalam kerajaan (taksonomi) animalia, manusia mungkin termasuk spesies yang memiliki usia paling panjang. Usia manusia berkisar antara 60 tahun. Umur spesies lain umumnya tidak sepanjang kita.

Bandingkan dengan nyamuk, misalnya. Kalo gak salah, nyamuk cuma punya waktu kurang dari 30 hari untuk hidup. Nyamuk berkembang dari telur menjadi larva kemudian nyamuk dewasa sampai akhirnya mati hanya dalam waktu 30 hari. Bila dibandingkan dengan waktu hidup manusia yang jauh lebih panjang, kehidupan nyamuk tampak begitu singkat dan tidak berarti.

Tapi apa iya hidup kita lebih berarti daripada nyamuk semata-mata karena kita hidup jauh lebih lama? Sebagian besar orang tampaknya sudah cukup puas bila bisa menjalani hidup yang membosankan (sama seperti nyamuk) dengan kronologi sebagai berikut: belajar di sekolah sampai lulus, dapet kerjaan (kalo bisa yang gajinya gede), nikah, beranak, pensiun (mudah-mudahan dengan harta berlimpah), dan akhirnya mati.

Tentu aja, gak ada yang salah dengan mengharapkan itu semua. Yang salah adalah, jika kita memaknai hidup ini hanya sebatas demi mencapai tahapan-tahapan tersebut. Dan percayalah, banyak orang yang memandang hidup tak lebih dari itu.

Lihat aja orang yang terkena post-power syndrome setelah pensiun. Orang macam ini menganggap pekerjaan sebagai jati dirinya (misalnya: Pak X yang tentara mendefinisikan dirinya sebagai “tentara”, Bu Z yang direktur perusahaan mendefiniskan dirinya sebagai “direktur perusahaan”--tak lebih dari itu). Jadi, di saat pensiun, ia akan merasa kehilangan jati diri, merasa gak berarti lagi, dan tak lama kemudian mati karena depresi.

Gimana dengan orang-orang rese yang gak henti-hentinya merongrong pasangan yang baru menikah (atau udah lama menikah tapi belum punya anak) dengan pertanyaan, “Kapan nih punya anak?” atau semacamnya? Emangnya tujuan menikah tuh cuma untuk berkembang biak ya?! Kalo gitu sih, gak usah susah-susah nikah--cukup “kawin” aja.

Nah, kalo kita emang menjalani hidup ini hanya untuk sekolah sampai lulus-dapet kerja yang gajinya gede-menikah-beranak-pensiun dengan harta melimpah sampai akhirnya mati, apa bedanya kita dengan nyamuk yang hidup hanya untuk menjadi telur-larva-nyamuk dewasa-berkembang biak-mati? Kalo kita gak pernah merenungi dan membuat hidup kita bermakna tapi cuma sekedar “menjalani arus”, apa bedanya kita ama nyamuk? Kalo kita mengambil setiap keputusan dalam hidup semata-mata karena pertimbangan “emang seharusnya begitu”, terus apa bedanya kita dengan nyamuk yang menunggu untuk mati?

Mungkin kita semua emang cuma makhluk dengan hidup tanpa arti yang gak sadar bahwa hidupnya tuh sama sekali gak penting. Jadi, apa bedanya kita dengan nyamuk?

Catatan: Ditulis sambil ngedengerin “Love So Sweet” dari Arashi yang emang gak nyambung banget dengan topik tulisan ini. Mudah-mudahan gak mempengaruhi greget tulisan ini.

Saturday, March 17, 2007

The Heiké Story (Yoshikawa Eiji)

Penggemar karya sastra Jepang mungkin udah gak asing lagi dengan nama Yoshikawa Eiji. Karyanya yang paling terkenal, “Musashi”, dulu pernah diterbitin di Kompas secara bersambung dan bukunya udah diterbitin oleh Gramedia. Mengingat edisi terjemahan “Musashi” pertama kali diterbitin tahun 1980-an (kalo gak salah) namun ternyata bukunya masih dicetak ulang sampe sekarang, aku mengasumsikan bahwa “Musashi” emang cukup memikat hati penggemar buku di Indonesia (ya ampun, bahasanya!).

Tulisan ini bukan tentang “Musashi” tapi tentang karya Yoshikawa yang lain, seperti udah bisa ditebak dari judul tulisan ini, “Shin Heiké Monogatari” (atau diterjemahin dalam bahasa Inggris sebagai “The Heiké Story”). Kisah ini, seperti “Musashi”, berdasarkan pada kehidupan tokoh yang pernah hidup di masa lalu. Tokoh utama kisah ini adalah Heiké no Kiyomori (atau Taira no Kiyomori), seorang samurai yang hidup sengsara di masa mudanya namun berhasil membawa klan Heiké menjadi salah satu keluarga militer paling berpengaruh di Jepang pada abad ke-12.

Ada beberapa alasan kenapa aku suka banget buku ini. Pertama, karena penceritaannya yang baik. Mungkin setiap orang punya penilaian sendiri mengenai bagaimana penceritaan yang baik (atau yang tidak baik) itu. Nah, kalo menurutku, penceritaan yang baik adalah cara bercerita yang bikin kita terlarut di dalamnya sekaligus membuat kita gak pingin berhenti menyimak cerita tersebut. Paparan dalam buku ini cukup rinci sehingga kita bisa ngebayangin setiap kejadian, keadaan sekitar, maupun kondisi psikologis yang dialami para tokohnya. Namun, paparan tersebut juga gak terlalu bertele-tele sehingga gak bikin bosen.

Kedua, karena aku emang tertarik dengan cerita yang berlatar belakang sejarah. Aku suka cerita macam itu karena bisa memberikan sedikit gambaran tentang kehidupan orang di masa lalu: bagaimana cara mereka menjalani kehidupan, memandang segala sesuatu, dll. Aku juga bisa lebih memahami alasan di balik suatu tindakan yang, kalo dilihat dari sudut pandangku dan orang lain saat ini, kebangetan. Misalnya, membunuh lawan dan bahkan keluarga sendiri tanpa ampun, rela jadi wanita simpanan orang yang membunuh “suami”nya sendiri, dll.

Ketiga, karena bahasanya gak sulit dimengerti. Sebagai orang yang bahasa sehari-harinya bukan bahasa Inggris, wajar dong kalo tingkat kesulitan bahasa mempengaruhi ketertarikan kita terhadap suatu bahan bacaan. Secara umum sih, bahasa Inggris yang dipake gak terlalu sulit. Jadi semua orang yang udah pernah dapet pelajaran bahasa Inggris di SMA harusnya gak akan terlalu kesulitan memahami buku ini.

Sayangnya, “The Heiké Story” yang kubaca ini bukanlah terjemahan lengkap dari “Shin Heiké Monogatari”. Buku yang kubaca diakhiri dengan “adegan” kaburnya Yoshitsuné (anak dari “musuh” Kiyomori) dari pengasingan. Padahal, kalo menyimak dari judulnya, bisa diperkirakan bahwa cerita ini harusnya diakhiri saat meninggalnya Kiyomori atau anggota terakhir keluarga Heiké yang tersisa (Tokuko, anak perempuan Kiyomori yang sekaligus juga ibu dari Kaisar Antoku).

Selain itu, ada bagian yang diringkas dan sub-plot yang dihilangkan (tentu saja dengan seizin Yoshikawa sensei). Soalnya kalo diterjemahin seluruhnya maka dikhawatirkan akan membuat pembaca (yang tentunya bukan orang Jepang dank arena itu tidak akrab dengan kisah keluarga Heiké) bingung. Alasan yang bisa dimengerti. Dengan versi yang sekarang aja aku harus banyak melakukan pengecekan ulang ke panduan tokoh di bagian awal buku; habis tokohnya banyak banget sih, apalagi ada yang namanya mirip-mirip (contohnya: Yoshitomo, Yoritomo, Yoshihira, Yorimori, dll). Tapi, sebenernya aku gak keberatan. Masalahnya, dengan mereduksi beberapa bagian, ada beberapa tokoh yang “menghilang” (gak disinggung-singgung lagi dalam cerita dan gak jelas keberadaannya).

Terlepas dari beberapa “kekurangan”, aku sangat merekomendasikan buku ini--terutama untuk teman-teman yang tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Jepang. Kalo mo pinjem juga boleh kok, tapi jaga baik-baik ya ! ^_^

Catatan: Makasih banyak untuk Kiki yang udah berbaik hati memberikan buku ini sebagai hadiah.

Tuesday, March 13, 2007

Istighfar

Ampun deh! Udah berapa lama blog ini gak diisi? Dua bulan? Emang sih, kemaren-kemaren aku lagi lumayan “sibuk”--tapi itu harusnya gak jadi alasan kan?!

Hal yang dominan dalam dua bulan ini di Indonesia, gak lain dan gak bukan, adalah bencana. Banjir, longsor, kecelakaan transportasi darat-laut-udara, angin puting beliung, dll terjadi silih berganti. Rentetan kejadian itu memperpanjang daftar bencana di Indonesia yang diawali oleh tsunami tiga tahun lalu.

Wacana yang kemudian timbul di tengah masyarakat adalah seruan untuk bertaubat, beristighfar. Rakyat Indonesia udah terlalu lama terjerumus dalam kesesatan, korupsi dan maksiat merajalela di mana-mana. Gak aneh kalo Allah kemudian murka kepada kita sehingga akhirnya menimpakan azabnya di bumi Indonesia ini.

Terus terang aja, aku rada-rada sinis ama pernyataan macam itu. Jangan salah sangka loh, aku bukan seorang agnostik apalagi ateis yang gak percaya ama kemahabesaran Allah. Tapi, yang bener aja deh! Kalo patokannya perbuatan maksiat, jangan-jangan maksiat di Monte Carlo (biang judi) atau Amsterdam (prostitusi, pernikahan homoseksual, ganja yang dilegalkan) lebih parah daripada di sini. Namun, sampai sekarang gak kedengaran ada bencana apapun tuh, di Monako dan Belanda.

Apakah rangkaian bencana ini merupakan azab atau ujian, kita gak akan pernah tau. Yang jelas, manusia tuh gak lepas dari kesalahan. Kalo mau mohon ampun kepada Allah, harusnya sih tiap hari; bukannya nunggu sampe ada banyak bencana kayak sekarang. Lagian, sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia kan sebagian karena kesalahan kita sendiri.

Gimana mungkin gak ada banjir dan longsor, kalo kita suka buang sampah sembarangan dan nebangin pohon-pohon demi pembuatan bangunan mewah? Gimana mungkin gak ada kecelakaan yang bertubi-tubi kalo penyedia jasa transportasi hanya mementingkan pemasukan dari para penumpang tapi tidak mengalokasikan cukup dana untuk menjamin keselamatan mereka?

Bukan berarti kita gak perlu istighfar. Perlu, perlu banget malah! Tapi, taubat yang sesungguhnya gak cukup dengan hanya pakai baju putih, terus zikir rame-rame sampai mencucurkan air mata. Gak ada yang salah dengan melakukan hal itu, tapi kalo setelahnya gak ada perubahan perilaku sih sama aja b0hong. Bukankah keimanan itu perlu dibuktikan dengan perbuatan?

Mungkin rakyat jelata macam aku gak bisa berbuat banyak. Setidaknya, aku akan membuktikan bahwa aku bener-bener tunduk kepada Allah dengan tindakan-tindakan sederhana. Aku gak akan buang sampah sembarangan (kebersihan sebagian dari iman). Aku gak akan silau melihat orang kaya yang hartanya diperoleh lewat perbuatan curang (Allah aja hanya menilai manusia dari ketakwaannya). Moga-moga aja semua orang kepikiran untuk melakukan hal yang sama.

Friday, January 26, 2007

Sambung Terussss

“Sebarin SMS ini ke sepuluh nomor … (nama provider telepon selular). Dijamin, pulsa kamu bakal nambah 50.000. Serius, gak bohong!”

Tau pesan berantai kan? Itu tuh, pesanyang isinya memerintahkan si penerima untuk menjalankan serangkaian hal--termasuk menyebarkan surat tersebut kepada sejumlah orang--disertai ancaman apabila perintah tersebut tidak ditaati atau sebaliknya, iming-iming keberuntungan kalo perintah itu bener-bener dilaksanakan.

Pertama kali dapet pesan berantai, aku masih SD dan pesan itu datang dalam bentuk surat pos. Sekarang, media penyebaran surat berantai jauh lebih banyak lagi, lewat e-mail, SMS, dan pesan pribadi di website/forum diskusi. Contohnya ya SMS di awal tulisan ini, yang pernah kuterima dari salah seorang temen.

Dilihat sekilas aja, mungkin udah keliatan kalo SMS di atas tuh omong kosong. Ajaibnya, SMS penuh omong kosong ini berhasil menipu setidak-tidaknya dua orang: aku dan si pengirim SMS itu. Isi pesan berantai memang seperti itu, begitu bombastis sampai-sampai keliatan banget gak masuk akal. Anehnya, melihat banyaknya pesan berantai yang kuterima sampai saat ini melalui media elektronik, orang masih bisa kemakan omong-kosong pesan berantai. Hebat kan?!

Bagaimana mungkin pesan berantai yang gak masuk akal bisa terus menyebar dan dipercaya? Jawabannya, karena pesan berantai mengandung paling tidak satu dari tiga unsur (bahaya, sanjungan, keuntungan) yang “lengket” (ditinjau dengan teori “Tipping Point”-nya Gladwell) atau punya kemampuan “menekan tombol” dalam akal budi kita (ditinjau dengan memetika).

Contohnya SMS yang ada di awal tulisan ini. Dilihat sekilas aja, udah ketauan kalo inti dari pesan tersebut adalah “keuntungan”. Nyebarin SMS tersebut ke sejumlah nomor, dapet pulsa gratis. Secara umum, orang emang mudah tergerak kalo mendengar hal-hal yang berhubungan dengan uang (dalam hal ini, pulsa gratis)--itu sebabnya pesan dalam SMS tersebut begitu “lengket” sehingga disebarkan kemana-mana. Kepemilikan uang yang lebih besar akan meningkatkan kualitas hidup, hal yang didambakan dan dibutuhkan semua manusia baik disadari maupun tidak, sehingga ide tentang kesempatan menyimpan uang lebih (bisa ngirit uang buat beli pulsa) pasti akan lebih mudah dipercaya orang dan akhirnya disebarkan.

Contoh lain adalah e-mail “manis” yang kuterima beberapa bulan lalu. Isinya, bahwa hari itu adalah hari persahabatan dan e-mailnya dikirimkan kepadaku karena si pengirim menganggapku sebagai temannya. Berikutnya, aku dianjurkan untuk meneruskan e-mail itu kepada semua orang yang kuanggap teman, termasuk si pengirim. Kalo aku gak nerusin e-mail itu ke dia, dapat disimpulkan bahwa aku gak menganggap si pengirim sebagai teman (“I’ll get the hint [that you’re not considering me as friend]”). Selain itu, ada juga info tambahan: kalo aku nerima paling sedikit delapan e-mail macam itu, berarti aku orang bersahabat (friendly).

Unsur e-mail ini ada dua: sanjungan (kau temanku) dan bahaya (kalo kamu gak ngirim balik e-mail ini ke aku, berarti aku bukan temanmu). Kalo udah menyangkut hubungan sosial, sebisa mungkin manusia akan berusaha memeperluas dan menjaga hubungan yang sudah terjalin. Dari sudut pandang memetika, ini karena berada dalam kelompok akan memperbesar kemungkinan untuk bertahan hidup dibandingkan dengan hidup sendiri. E-mail ini dijamin bakal diterusin ke paling sedikit satu orang, karena ancaman terselubung yang ada di dalamnya. Tentu aja aku nerusin e-mail itu ke si pengirim--gak enak kan kalo enggak?

Ada baiknya menerapkan prinsip “teliti sebelum mengirim” (atau lebih tepat “teliti sebelum mengirim”) dalam masalah ini. Apa pesan tersebut masuk akal? Apa ada unsur ancaman? Apakah informasi yang disampaikan disokong oleh keberadaan bukti yang memadai? Apabila jawaban dari salah satu pertanyaan tersebut adalah “Tidak”, pesan tersebut tak disangsikan lagi merupakan pesan berantai dan sebaiknya gak usah ditanggapi dengan serius. Percuma kan, membebani bandwith cuma untuk menyebarkan omong kosong?

Catatan: Tertarik ama dinamika penyebaran ide? Gak ada salahnya baca “Tipping Point” karya Malcolm Gladwell dan “Virus of the Mind” karya Richard Brodie. Secara pribadi, aku lebih suka “Virus of the Mind”--meskipun penyamaan akal budi manusia dengan binatang yang mencoba bertahan hidup ala biologi evolusioner mungkin bakal menyinggung banyak orang yang lebih sensitif daripada aku. Di sisi lain, “Tipping Point” jauh lebih mudah dimengerti karena banyak memuat contoh kasus. Tapi dua-duanya bagus kok. Jadi, silakan! Ini bukan promosi loh!

Tuesday, January 09, 2007

Bisik-bisik Tetangga

“Gossip” yang dibintangi Kate Hudson (sebelum dia seterkenal sekarang) sebenernya tidaklah istimewa. Film ini gak jauh beda dengan thriller remaja lainnya macam “Urban Legend” atau “Cruel Intentions” yang penuh dengan skandal asmara, konspirasi, tindak kriminal terselubung, dll. Yang menarik, film ini menggarisbawahi tiga hal penting mengenai gosip/rumor/kabar burung/desas-desus.

Pertama, orang sangat mudah percaya pada gosip meskipun kabar tersebut tidak didukung oleh keberadaan bukti sama sekali. Kedua, gosip jauh lebih mudah terdistorsi dibandingkan informasi lain yang valid karena para pendengar dan penyebarnya tidak pernah merasa perlu untuk mencari tau kebenaran di balik gosip tersebut. Ketiga, gosip bisa merusak (atau mendongkrak) reputasi seseorang.

Meskipun acapkali dikaitkan dengan ibu-ibu kurang kerjaan, gosip sebenenernya bukan monopoli mereka aja. Kalo mau jujur, kayaknya gak ada orang yang gak suka gosip. Apabila kemudian ada yang memilih untuk mengabaikan desas-desus karena gak mau terjebak dalam lingkaran penyebar gosip, itu lain soal. Singkat kata, selama manusia masih menjalin hubungan sosial dengan sesamanya, berbagai macam kabar burung akan tetap punya peluang untuk lahir dan tersebar.

Sayangnya, gosip yang dulu hanya merupakan “konsumsi terbatas” karena cuma disebarkan mulut ke mulut sekarang malah menjadi barang dagangan yang dipasarkan secara luas ke mana-mana. Ngerti maksudku, kan?!

Sejak runtuhnya Orde Baru, industri media berkembang begitu pesat. Jumlah televisi swasta nasional menjadi berlipat dua dalam tujuh tahun terakhir, belum lagi televisi swasta lokal. Media cetak, apalagi. Di tengah persaingan yang begitu ketat, media massa berlomba-lomba menyuguhkan sajian yang diperkirakan akan menarik minat orang banyak.

Dan suguhan apalagi yang bisa menarik banyak orang kalo bukan gosip, terutama gosip artis yang dikemas dalam wadah “infotainment”? Selain “menarik”, keunggulan lain gosip adalah, seperti tertera pada poin pertama di atas, gak perlu dibuktikan. Beda sama berita pada umumnya (dan seharusnya) yang memerlukan bukti-bukti kuat terlebih dahulu sebelum dirilis kepada khalayak, kabar burung seputar artis bisa ditampilkan begitu saja. Soal pembuktian, itu belakangan.

“Narasumber” yang ditampilkan pun kadangakala tidak kompeten: orang yang kebetulan tinggal bersebalahan dengan si artis, kenalan si artis (biasanya sih artis juga) yang sebenernya gak kenal-kenal amat ama yang bersangkutan, keluarga yang sebenernya gak tau apa-apa tapi sok tahu. dll.

Sesuai dengan prinsip kedua, informasi dari para “narasumber” justru berpotensi memperkeruh masalah. Dengan pengetahuan (atau ketidaktahuan) “narasumber” yang terbatas, mereka acapkali menyampaikan hal-hal yang gak relevan atau memberikan info yang bikin suasana makin panas. Inilah yang malah ditunggu-tunggu oleh para “wartawan” infotainment. Soalnya, jika berbagai narasumber justru menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar maka gak akan ada berita lagi toh?

Tapi kalo mau adil, pemberitaan desas-desus yang gak jelas kebenarannya bukan cuma monopoli infotainment (bahkan kalo dirunut ke belakang, di awal keberadaannya infotainment gak kalah bertanggung jawab dalam pemberitaan dibandingkan jenis berita lainnya; bedanya cuma pada obyek berita yang melulu orang terkenal). Masih jelas dalam ingatan, seminggu yang lalu semua media massa ribut memberitakan penemuan pesawat Adam Air yang lenyap, lengkap dengan informasi mengenai 12 orang yang hidup dan 90 korban tewas.

Setelah kabar itu ternyata terbukti bohong belaka, mereka (media massa, maksudnya) sibuk menyalahkan Bupati Mandar (bener gak sih?) dan Kepala Desa X sebagai pejabat pemerintah yang udah menyampaikan informasi tanpa mengecek dulu kebenarannya. Oke, para pejabat itu emang salah, tapi bukannya media massa juga punya kewajiban untuk minta maaf karena udah menyebarkan berita bohong dan bikin keluarga korban yang sempat merasa lega jadi putus harapan lagi?!

Kesimpulannya, jangan mudah percaya pada apa yang kita lihat atau dengar. Dan jangan jadi penyebar gosip. Oke?

Catatan: Iya, aku juga salah satu penonton infotainment (bohong kalo bilang bukan). Tapi sekarang nontonnya udah dikurangin. Habis, tau sendiri lah--mudharatnya lebih banyak daripada manfaat yang didapat.