Thursday, April 26, 2007

Dalam Jeratan Tradisi

Ketika satu lagi kematian tak wajar seorang praja IPDN (dulu STPDN) terkuak sehingga menimbulkan kecaman luas atas keberadaan institusi tersebut, tidaklah mengherankan bila alumninya bersuara lantang mendukung metode “pembinaan” IPDN/STPDN yang menurut mereka oke-oke saja. Padahal, semua orang waras di Indonesia pasti pusing tujuh keliling, gak ngerti hubungan antara tendangan dan pukulan dengan pembinaan fisik serta mental dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang siap menjadi pemimpin di masa depan.

Kenapa tidak mengherankan? Nah, sekarang coba kutanya balik. Apakah ada yang mengherankan pada perayaan 100 hari kematian? Tukeran cincin pas nikah? Ato bahkan sistem ujian apoteker di ITB (bagi yang tau seperti apa sistemnya)? Kalo Anda tidak merasa ada yang aneh dengan hal-hal tersebut maka: Selamat! Ini berarti Anda sudah terprogram sedemikian rupa, sama seperti alumni dan praja (dan dosen) IPDN yang diprogram untuk menganggap bahwa pukulan dan tendangan adalah hal yang wajar demi melatih kedisiplinan sehingga diam seribu bahasa (bahkan malah turut berpartisipasi) ketika sekian ratus praja dihajar bertubi-tubi setiap hari.

Selama manusia masih hidup bersama orang lain dalam masyarakat, ia akan senantiasa terprogram untuk mengikuti nilai, aturan, dan kebiasaan tertentu. Proses ini berlangsung terus menerus sejak kita kecil sehingga nilai, aturan, dan kebiasaan tersebut akhirnya terinternalisasi atau menjadi bagian dari diri kita. Seseorang adakalanya mengalami benturan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai, mungkin malah berlawanan, dengan nilai-nilai yang dipegangnya selama ini.

Inilah yang dialami seorang praja saat baru masuk IPDN. Mana ada masyarakat yang menerima praktek penganiayaan massal seperti yang terjadi di IPDN? Dalam keadaan seperti ini, hanya ada dua pilihan: menolak (seperti para praja yang mengundurkan diri) atau menerima. Bila opsi kedua yang dipilih, aku berani jamin, kelak praja tersebut pasti melakukan tindak kekerasan kepada adik kelasnya. Bukan semata-mata karena ingin membalas dendam, tapi karena kekerasan sudah dianggap sebagai suatu kebiasaan sehingga rasanya tak ada yang salah dengan hal itu. Dengan kata lain, kekerasan sudah terinternalisasi dalam diri si praja.

Suatu nilai/aturan/kebiasaan yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang akan sangat sulit untuk diganti dengan nilai/aturan/kebiasaan baru. Bahkan untuk sekedar mempertanyakannya pun butuh usaha yang luar biasa. Penyebabnya ada dua.

Pertama, karena manusia emang susah untuk kritis terhadap dirinya sendiri. Buktinya, sebagian besar orang gak mudah untuk mengakui kesalahan atau minta maaf pada orang lain. Gak aneh kan, kalo kita juga gak mudah meninjau, mempertanyakan, apalagi tradisi yang kita pegang.

Kedua, suatu tradisi (yang pada dasarnya merupakan meme) bisa bertahan sekian lama karena memang menguntungkan untuk dipertahankan. Dalam kasus IPDN misalnya, hubungan junior-senior yang kaku-- yang disertai hak prerogatif bagi para senior untuk melakukan apa saja (termasuk tindak kekerasan) kepada juniornya--menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu (dan juga bagi meme “kekerasan” dan “hubungan junior-senior yang kaku” karena memungkinkan meme-meme ini untuk terus bertahan serta memperbanyak diri; tapi itu cerita lain).

Harus kuakui, aku emang gak suka dengan gaya “pendidikan” di IPDN--kalo yang kayak gitu emang bisa disebut pendidikan. Tapi, tulisan ini gak dibuat semata-mata untuk mencurahkan ketidaksukaanku pada lembaga tersebut melainkan lebih untuk menyadarkan diri sendiri untuk tidak menjadi seperti praja dan alumni IPDN yang sekedar mengikuti tradisi ngaco demi sekedar bertahan hidup.

Bukannya aku gak setuju kalo kita ngikutin tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat. Apalagi nenek moyang kita juga umumnya merumuskan suatu tradisi berdasarkan suatu alasan yang baik. Namun, harus disadari bahwa gak semua tradisi layak untuk terus diterapkan.

Contohnya, seperti yang kusebut di atas, perayaan kematian yang dibalut pengajian dan pembacaan doa tapi sebenarnya gak sesuai ajaran Islam karena merupakan peninggalan leluhur kita yang menganut dinamisme (bukan berarti ada yang salah dengan mendoakan orang yang meninggal, loh).

Biar bagaimanapun, manusialah yang menciptakan tradisi, bukan sebaliknya. Itu yang harus selalu diingat.

0 comments:

Post a Comment