Wednesday, December 31, 2008

Bukan Alat, Bukan Tujuan

Ah, lagi-lagi petinggi Golkar bikin pernyataan yang nggak banget. Tempo hari Surya Paloh mengungkapkan pendapatnya bahwa "demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan rakyat", persis seperti pernyataan Jusuf Kalla (kalo gak salah) beberapa bulan sebelumnya. Terus terang, pernyataan ini mengusikku. Apalagi kata-kata semacam itu keluar dari mulut para petinggi salah satu partai terbesar (meskipun sama sekali bukan favoritku), dan tentunya berpengaruh, di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kesejahteraan adalah hal yang didamba-dambakan semua penduduk Indonesia, termasuk aku. Mungkin kesejahteraan yang ada di benak para politisi dan petinggi negara terbatas pada hal-hal yang sifatnya fisik seperti terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), sedangkan kesejahteraan idealnya juga mencakup hal-hal yang sifatnya spiritual (kedamaian hati, kesempatan untuk mengeluarkan potensi diri secara maksimal sehingga menimbulkan rasa puas, kedekatan dengan Sang Pencipta). Tapi oke lah, negara memang berkewajiban menyejahterakan rakyatnya dan aku sepakat soal itu.

Aku terusik oleh pernyataan Surya Paloh bukan karena aku beranggapan bahwa demokrasi adalah tujuan itu sendiri. Rasanya terlalu naif, berpraduga bahwa segalanya akan baik-baik saja dan semua akan bahagia setelah demokrasi diterapkan di sebuah negara. Aku terusik karena, menurutku, demokrasi bukan sekadar alat. Demokrasi juga bukan sekadar sistem pemerintahan yang (konon) paling ideal. Demokrasi jauh lebih penting daripada itu: demokrasi adalah sebuah nilai. Artinya, demokrasi itu harus dijadikan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, istilah kerennya "diinternalisasikan" (ato "terinternalisasikan"?).

Demokrasi mengisyaratkan keterbukaan, persamaan, dan kebebasan. Oleh karena itu, demokrasi sama pentingnya dengan hal-hal seperti kejujuran, kerja keras, atau kedisiplinan. Akankah kita menyingkirkan semua itu hanya untuk meraih "kesejahteraan"? Akankah kita dengan senang hati menghamba (ingat sidang MPR dan "mufakat bulat"?) dan terkungkung dalam ketidaktahuan (kita bahkan gak tahu apa-apa tentang penderitaan orang-orang di Aceh dan Timor Timur!) hanya supaya kita bisa cukup makan? Aku gak bakalan mau, seandainya aku punya pilihan.

Lagi pula, kalo memang demokrasi cuma dipandang sebagai "alat", jangan-jangan suatu hari nanti bakal ada wacana untuk menerapkan sistem diktatorial militer, misalnya, bilamana cara itu dianggap lebih ampuh untuk mewujudkan tujuan nasional. Dengan kata lain, kembali ke zaman Soeharto lagi, era ketika "harga-harga barang masih murah". Mau?

Tuesday, December 23, 2008

Anjing Baru

Lingkungan kami kedatangan penghuni baru. Selain dua manusia, tetangga baru ini juga terdiri dari seekor anjing. Aku gak punya masalah dengan anjing dan tak takut anjing. Mungkin karena dari kecil aku udah punya tetangga yang punya anjing (bahkan aku pernah digigit). Asal si anjing gak gigit ato menjilatiku dan bukan anjing gila, peduli amat.

Masalahnya, ada tetangga lain yang juga punya anjing, yang rumahnya juga deket rumahku. Entah siapa namanya, tapi mari kita sebut saja anjing lama. Yang jelas, anjing lama tampaknya gak senang dengan kedatangan anjing baru. Karena anjing baru cuma dikeluarin malem-malem (mungkin karena pemiliknya takut ngeganggu orang; tau lah, kan banyak orang yang takut anjing), setiap malem pasti ada lomba menggonggong di antara kedua anjing. Mungkin di dunia anjing ada sistem senioritas, siapa yang tau. Mungkin anjing lama ngomong, "Hei, anak baru! Berani-beraninya lu masuk ke wilayah kekuasaan gue!" Si anjing baru menimpali dengan perkataan, "Heh, emang siapa elu? Bisa-bisanya ngelarang gue masuk sini. Ini negara bebas, man!" Dan seterusnya.

Emang sih, berbalas gonggong ini baru terjadi setelah jam dua belas malem. Masalahnya, karena aku seringkali baru tidur lewat jam dua belas, gonggongan ini sangat menggangguku. Apalagi kamarku di depan, menghadap ke jalan kompleks. Jadi, selamat mendengarkan gonggongan anjing aja deh. Anjing, anjing.

Terpengaruh (Lagi)

Agak susah bagiku buat terpengaruh oleh novel. Memang ada novel yang menyemangatiku untuk mengubah arah hidupku seperti The Alchemist, atau novel yang membuatku tertawa pahit seperti Animal Farm, atau yang membuatku menangis tersedu-sedu (serius!) seperti The Kite Runner. Tapi, gak ada yang bisa membuat nuraniku terusik dan gelisah berhari-hari. Kecuali novel Indonesia itu, yang ogah kubaca tapi akhirnya harus kubaca juga karena kudu diterjemahin. Novel-novel yang kubaca biasanya ber-setting di luar negeri, atau malah di dunia antah berantah, jadi sulit merasa terhubung--dalam jangka panjang--dengan situasi yang dipaparkan di dalamnya. Nah, karena novel yang satu ini mengambil tempat di Indonesia, mau tidak mau jadi sangat terpengaruh. Mudah melupakan penderitaan (yang mungkin dialami) orang-orang di belahan dunia lain, tapi ini kan di Indonesia, gimana aku bisa lupa--ato diem aja (meskipun akhirnya aku memang gak bisa ngapa-ngapain, dan itulah yang bikin aku gelisah).

Sialnya, meskipun untung juga sih, empat proyek terakhir yang kukerjain adalah karya nonfiksi. Untung, karena biasanya kata-kata yang dipakai gak terlalu berbunga-bunga sehingga nerjemahinnya gak ribet. Sial, karena tiga di antaranya mengemukakan topik yang sama sekali tidak menyenangkan. Walaupun ketiga perempuan ini tinggal di belahan bumi yang berbeda-beda dan mengalami penderitaan yang berbeda-beda pula bentuknya, pada intinya mereka semua sama: perempuan teraniaya.

Yang satu korban poligami dan teror psikologis dalam rumah tangga dan menjadi saksi kengerian fanatisme beragama (sebenernya fanatisme gak tepat, manipulasi agama mungkin lebih cocok). Yang kedua korban penganiayaan ayah kandungnya sendiri serta satu-satunya saksi saat ayahnya membunuh ibunya, kombinasi yang menghasilkan trauma psikologis panjang, terwujud dalam keinginan bunuh diri, selama bertahun-tahun. Yang satu lagi korban perdagangan perempuan. Bikin miris kan?

Sulit melupakan kisah mengenaskan bilamana itu nyata. Ini bukan cuma kejadian hipotetis, sekadar sesuatu yang mungkin memang dialami seseorang di suatu tempat--ada orang-orang sungguhan yang hidup di dalamnya.

Pokoknya, aku sangat terpengaruh sampai-sampai jadi depresi. Yah, mungkin gak depresi, tapi dihantui. Ngeri rasanya membayangkan bahwa ada orang yang hidupnya semengerikan itu di luar sana. Meskipun ada rasa syukur juga, karena keadaanku amat sangat lebih baik daripada mereka. Tapi, aku merasa putus asa karena gak bisa membantu orang-orang macam itu sama sekali. Akibatnya, aku pun gelisah berkepanjangan. Gak enak banget deh. Begitulah.

Sunday, December 14, 2008

Radar

Di antara berbagai pertanyaan aneh yang membuatku kepikiran adalah: Gimana kaum homoseksual mengenali satu sama lain? Aku pernah denger kalo mereka mengenakan aksesoris khusus, seperti cincin di jari tertentu, ato anting di satu telinga. Tapi, jujur aja deh, kedengarannya norak, jadi aku gak terlalu percaya. Nah, kalo begitu, apa mereka punya semacam radar untuk mengenali sesamanya? Jawaban atas pertanyaan ini terjawab secara gak langsung waktu aku pergi ke Paris van Java akhir bulan lalu.

Aku dan adikku nonton dua film di Blitz Megaplex, dua film yang kebetulan berada dalam daftar INAFF (Indonesia International Fantastic Film Festival). Mayoritas film yang diputar dalam INAFF, yang dulunya bernama SCREAMFESTINDO, adalah film horor, tapi dua film yang kami tonton adalah animasi Jepang--Gedou Senki (Tales from Earthsea) dan Evangelion 1.0: You Are (Not) Alone (bagian pertama dari empat seri Rebuild of Evangelion). Dari film pilihan kami, orang tolol juga bisa langsung menduga bahwa aku dan adikku adalah, bisa dibilang, maniak per-Jepang-an. Dan memang benar. Aku bukan penggemar Evangelion dan awalnya aku berencana nonton film Thailand The 8th Day alih-alih Evangelion 1.0. Tapi, karena beberapa alasan, akhirnya aku mengurungkan niatku tersebut.

Pada hari H, dengan tiket di tangan (tentu saja kami sudah pesen tiket sebelumnya!), aku dan adikku datang ke Blitz dan tercengang melihat orang-orang yang mengantre. Antre buat masuk teater ya, bukan antre karcis. Tapi, yang lebih mencengangkan daripada antrean ini adalah para anggota antrean.

Tanpa bermaksud bersikap diskriminatif, terlihat jelas bahwa sebagian besar orang yang nonton di Blitz berasal dari kelas atas. Tau lah, tipe orang-orang yang gak ragu-ragu ngeluarin duit buat beli barang-barang bermerek dan nongkrong di kafe yang menjual air putih seharga 20 ribu. Intinya mah, orang kaya. Nah, para pengantre ini gak seperti itu. Oke, mungkin mereka anggota kelas menengah, tapi bukan orang-orang kaya yang bermobil ke mana-mana. Dengan kata lain, bukan tipe orang yang biasanya kita temui di Blitz. Mereka lebih mirip dengan anak-anak yang suka nongkrong di warnet (ato ComLabs ITB) buat mengunduh seri anime terbaru, duduk “manis” di depan komputer untuk ngirimin beribu-ribu pesan ke forum Rileks, nonton bareng OVA di basement HME-HMF, ato aku. Mereka itu setipe banget denganku deh--sesama maniak per-Jepang-an.

Acara nonton kami berlangsung dengan sukses dan aku bener-bener puas (tiba-tiba aja aku paham kenapa banyak orang yang menggemari Evangelion). Dan tentu saja, salah satu pertanyaan gak pentingku terjawab. Bagaimana kaum homoseksual mengenali sesamanya? Jawabannya sama seperti pertanyaan “Bagaimana para maniak per-Jepang-an/backpacker/tukang dugem/copet mengenali sesamanya?” Mungkin karena mereka (dan aku, dalam kasus “mengenali sesama maniak per-Jepang-an) memang punya radar internal.