Wednesday, September 24, 2008

Banci Tampil

Hari gini stasiun TV mana sih yang gak nampilin tokoh waria/banci/laki-laki yang berpakaian seperti perempuan dalam acara mereka (kecuali Metro TV)? Menurut sebagian orang, hal ini mengkhawatirkan. Akhirnya, KPI pun tergerak untuk mengeluarkan teguran kepada stasiun-stasiun TV tersebut. MUI pun menganjurkan agar stasiun-stasiun TV tak memunculkan pria-pria berpakaian perempuan di bulan Ramadhan ini. Ada yang menaati anjuran tersebut, tapi ada juga yang bergeming dan justru berupaya membela diri.

Trans TV contohnya. Kehadiran karakter banci sudah menjadi keharusan dalam salah satu tayangan unggulan mereka, Extravaganza. Bisa bayangin gak sih, Extravaganza tanpa Aming yang berkostum cewek? Jadi, gak heran mereka terusik oleh teguran KPI dan himbaun MUI. Pokoknya, buat menangkis tuduhan miring seputar penampilan waria-waria gadungan dalam acara mereka, Trans TV memancing seorang tokoh untuk bicara soal itu. Menurut si tokoh (yang pernah jadi ketua Pemuda Pancasila, kalo gak salah), daripada ngerepotin tentang laki-laki berpakaian perempuan--yang wajar-wajar aja karena merupakan tuntutan peran--lebih baik KPI mengecam stasiun-stasiun TV yang tak henti-hentinya mengekspos kasus Ryan besar-besaran.

Mungkin pernyataan itu ada benernya. Tapi kalo mo jujur, kenapa coba stasiun-stasiun TV menghadirkan tokoh-tokoh waria? Terserah mo dibilang "bagian dari seni peran" ato apa, tapi coba deh tengok karakter-karakter waria yang muncul di TV. Kepribadian mereka selalu seragam: genit dan "gatel" (padahal, aslinya kan gak semua waria seperti itu; sama seperti gak semua perempuan itu genit). Hal itu bukannya gak disengaja. Selain lelucon mesum dan celaan kepada orang lain, apa lagi yang paling mudah memancing tawa kalo bukan laki-laki yang bergaya seperti perempuan? Apalagi laki-laki berpakaian perempuan yang genit.

Jujur aja deh, waria-waria (gadungan) yang tampil di layer kaca dihadirkan bukan sebagai manusia, tapi lebih sebagai makhluk aneh dengan sikap gak wajar yang, oleh sebab itu, layak ditertawakan. Cuma sebagai obyek lelucon. Seandainya aku waria, aku pasti bakal tersinggung melihat seperti apa kaumku digambarkan di televisi.

Monday, September 15, 2008

Terasi

Ada yang tau bahasa Inggrisnya "terasi"? Aku sama sekali gak tau. Jadi, ketika aku harus nerjemahin kata itu, aku akhirnya bikin terjemahan bebas sendiri: "shrimp seasoning".

Aku sadar baru-baru ini kalo orang biasanya menggunakan kata "prawn" bilamana mengacu pada penggunaan terasi untuk bikin sambel. Gak salah, sih. Terasi kan emang bahan dasarnya udang (shrimp, pawn, whatever...). Aku juga heran, kok aku gak nyadar-nyadar dari dulu. Padahal, aku pernah nemuin kata "prawn" digunakan dalam The Glass Palace karya Amitav Ghosh, ketika salah satu tokohnya menjelaskan tentang bahan-bahan pembuat sambel kepada kenalannya (yang adalah orang India, dan tidak mengenal sambel seperti yang dikenal di Malaya). Tapi aku gak kepikiran kalo "prawn" yang disebutin di situ sebenernya adalah "terasi" yang terkenal.

Tapi, bilamana kita perlu menyebutkan "terasi" sebagai suatu komponen yang berdiri sendiri, misalnya terasi yang berbau apek karena ditimbun di dalam toko kelontong, kayaknya menggunakan kata "prawn" jadi kurang pas. Ntar bisa salah diartikan sebagai udang yang belum diolah sama sekali dong. Jadi, terjemahan bebasku semestinya bisa diterima dong? Yah, tapi sekarang itu bukan urusanku lagi; semuanya udah berada di tangan Pak / Bu/ Mas / Mbak / Aa / Teh editor. Mudah-mudahan aja aku gak terlalu "ngerjain" yang bersangkutan (kalimat ini udah kuulang berkali-kali, tapi tetap kuulang sekali lagi).

Terasi, oh, terasi....

Friday, September 05, 2008

Teliti Sesudah Membeli

Lagi-lagi aku mengalami kejadian konyol karena ketololanku sendiri.

Hari Minggu lalu, aku mampir sebentar ke Gramedia Merdeka sebelum janjian ama temenku. Kami janjian jam sepuluh, dan karena pas nyampe Gramed udah jam sepuluh teng, aku terburu-buru menyambar komik dan buku yang mo kubeli, pergi ke kasir dan bayar, terus langsung cabut deh.

Baru setelah tiba di rumah siangnya aku kepikiran buat ngecek struk pembayarannya. Dan kagetlah aku, karena alih-alih muncul tulisan Yotsuba&! 6 (aku beli Yotsuba&! volume 3-6 dan Zaman Edan, yang sebenernya lebih pas ditempatin di lantai 2 di bagian buku-buku sejarah, tapi malah nongkrong di lantai 2,5 di antara novel-novel) yang ada di struk malah Tafsir Politik. What the hxxx! Yotsuba harganya 13.500, sedangkan Tafsir Politik 47.000. Berarti ada selisih--ato dengan kata lain, aku rugi--33.500. Bodohnya, kok aku gak nyadar pas bayar sih? Memang harus diakui bahwa aku gak repot-repot ngitung berapa harga total semua buku yang kubeli. Otakku yang tumpul terlalu males, lagian aku kan tadi buru-buru. Sebenernya itu bukan alesan sih, karena paling enggak aku kan bisa ngecek struk setelah keluar dari kasir.

Dengan terpaksa, di tengah panas terik yang memanggang otak, membakar kulit, dan mengemaraukan kerongkongan, aku balik ke Gramed (ongkos bolak-balik ke Gramed <<<< selisih harga buku). Tanpa babibu, aku menghubungi bagian Informasi, yang berbaik hati--berkewajiban sebenernya lebih tepat--menghubungi pihak berwenang (manajer?). Singkat kata, aku akhirnya berhasil mendapatkan uangku yang 33.500 itu.

Pelajaran yang bisa kuambil dari kejadian ini adalah: (1) Hitung dulu berapa yang harga total buku sebelum bayar di kasir, (2) Periksa struk pembayaran yang diterima, (3) Berbelanjalah buku di Gramed karena pelayanannya memuaskan (sebelumnya aku juga pernah nuker buku yang halamannya ilang di Gramed, dan dilayani dengan cepat)--bukan promosi.