Monday, September 24, 2007

Semua Suka Uang

Sedikit pelajaran Sosiologi Dasar nih. Seseorang yang melanggar norma-norma dalam masyarakat adakalanya harus dilembagakan. Pelembagaan bukan cuma berfungsi untuk menghukum, tapi juga berperan dalam mendidik ulang seseorang agar ia memahami aturan dan nilai yang berlaku di masyarakat. Teorinya sih gitu (kalo gak salah inget, terakhir belajar Sosiologi di SMA sih), meskipun dalam prakteknya, LP justru sering menjadi sekolah pencetak penjahat kambuhan yang handal.

Terlepas dari efektivitas LP sebagai lembaga reedukasi, sebenarnya ada hukuman yang jauh lebih ampuh bagi para pelanggar norma sosial--sanksi yang dijatuhkan sendiri oleh masyarakat. Gunjingan, celaan, pengucilan--semuanya jauh lebih berat daripada hukuman apapun yang bisa dijatuhkan oleh pengadilan. Cerita tentang keluarga yang pindah kampung setelah salah satu anggota keluarganya terjerat kasus hukum (misalnya membunuh) atau terbukti melanggar norma sosial (misalnya menghamili anak orang) udah bukan berita baru lagi. Siapa juga yang tahan dicerca tetangga tiap hari?

Anehnya, kalo udah menyangkut pencurian besar-besaran, sanksi sosial tampaknya malah tidak diberlakukan. Lihat aja Nurdin Halid. Orang ini udah dinyatakan bersalah oleh MA dan udah dieksekusi (meskipun, yang anehnya lagi, sampai sekarang dia masih ditempatkan di Rutan, bukan di LP), tapi orang-orang PSSI gak bergeming terhadap tuntutan pencopotan Nurdin dari posisi Ketua Umum PSSI. Emang sih, kecaman--mulai dari yang uma sekedar nyindir sampe yang nyumpah-nyumpah--datang bertubi-tubi, tapi percuma aja kan kalo orang-orang yang dekat dengan (dari segi posisi) dia tidak memberikan sanksi sosial apapun. Gak ngefek lah, kan si NH gak kenal ama kita-kita yang mencela dia.

Secara umum, memang begitulah keadaannya. Kita cenderung mudah merasa kagum terhadap orang kaya dan berkuasa, sering tanpa peduli dari mana sumber kekayaannya berasal. Meskipun “mencuri” adalah tindakah yang terlarang secara sosial, pencuri-pencuri kelas berat bisa tetap berkeliaran dengan bebas dan justru menempati posisi terhormat dalam masyarakat.

Aku jadi bertanya-tanya, apa ini pertanda terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat kita, dengan uang/harta sebagai pemegang posisi tertinggi? Kalo emang gitu, daripada nyolong cuma sedikit dengan resiko digebukin orang sekampung, lebih baik nyuri uang yang banyak sekalian. Kalo ketangkep, siapa tau bisa nyuap pihak-pihak terkait supaya hukumannya diringankan atau dibebaskan sekalian. Masa mau ditolak, sih? Dikasih uang, gitu loh. Kalaupun ntar dibebasin, orang-orang di sekitarnya pasti gak akan ngomong macem-macem. Dia kan kaya, gitu loh.

Gila, kan?! Mungkin kita semua perlu dilembagakan.

Saturday, September 15, 2007

Lain Dunia

Ketika ratusan orang tumpah ruah di jalanan Paris untuk menyuarakan protes mereka atas ketidakadilan sosial, Marie Antoinette mengamati semuanya itu dari Istana Versailles dengan penuh rasa bingung.
“Kenapa mereka marah-marah?” tanyanya.
“Mereka tidak punya roti untuk makan, Yang Mulia,” jawab salah seorang pegawai istana.
“Tidak punya roti?” ujar Marie Antoinette keheranan, “Kenapa mereka tidak makan kue?”

Cerita yang sulit dipercaya? Gak juga. Perlu diingat, Marie Antoinette hidup bergelimang harta sejak kecil. Dia hidup bergelimang harta dan dikelilingi oleh orang-orang yang hanya sedikit kurang kaya dibandingkan dirinya. Selain saat pawai dengan kereta kuda keliling kota atau saat melambai-lambaikan tangan dari balkon istana, Marie Antoinette bisa dibilang gak pernah “bergaul” dengan rakyat biasa sama sekali. Dengan latar belakang seperti itu, gak aneh kalo “kelaparan” gak ada dalam perbendaharaan katanya.

Di era teknologi dan informasi, kayaknya gak mungkin ada orang--sekaya apapun dia--yang gak menyadari keberada orang-orang lain yang gak seberuntung dirinya. Kalaupun dia gak pernah hidup susah, setidaknya ada media informasi yang menunjukkan bahwa ada orang lain yang hidup serba kekurangan. Sikap abai dan ketidaktahuan ala Marie Antoinette adalah hal yang mustahil di masa kini. Tapi, apa benar begitu?

Sejak SD sampai kuliah, aku punya teman-teman sekelas/satu sekolah dengan latar belakang sosial-ekonomi yang beragam, mulai dari anak pedagang cakue sampai anak rektor. Meskipun keluargaku berkecukupan, setidaknya aku bisa belajar bersimpati dengan orang lain yang gak seberuntung aku. Soalnya, lingkungan sekolah memungkinkanku untuk mengenal orang-orang yang kurang mampu secara pribadi.

Nah, gimana jadinya dengan orang-orang yang sedari kecil belajar di sekolah-sekolah berlabel “plus” atau “internasional”? Tahu kan, yang kurikulumnya “canggih” dan biaya sekolahnya selangit itu. Dapat dipastikan, anak-anak yang bersekolah di sana memiliki latar belakang sosial-ekonomi yang sama--sama-sama dari kelas menengah ke atas. Biarpun lingkungan pergaulan seorang anak gak terbatas hanya di sekolah saja, sulit untuk peka terhadap kesusahan orang lain kalo sehari-hari kita lebih sering dikelilingi oleh teman-teman yang hidupnya serba nyaman--tiap hari naik mobil pribadi, punya duit buat nongkrong-nongkrong di kafe, punya communicator (walaupun sebenernya gak butuh)…… Ngerti, kan?

Intinya adalah, hidup di zaman maju--dengan informasi tentang berbagai hal yang tersedia bagi siapa saja dan di mana saja--ternyata tidak menghilangkan jarak di antara kita. Walaupun kita tahu bahwa ada orang-orang yang menderita di luar sana, belum tentu kita bisa ikut merasakan penderitaan mereka atau paling tidak, ikut bersimpati. Hidup kita terlalu berbeda sehingga seakan-akan kita tinggal di dunia yang berlainan. Sama seperti Marie Antoinette dan mayoritas populasi Prancis yang hidup di lain dunia.

Catatan: Aku tiba-tiba aja kepikiran soal ini waktu ngelihat mahasiswa ITB yang sekarang pada punya laptop, juga pada mampu beli textbook asli (Padahal di angkatanku dulu, mana sanggup kita beli textbook asli, Mak? Yang kesusahan bayar SPP dan terpaksa minta penangguhan aja banyak). Belum lagi ngelihat parkiran di ITB dan sekitarnya yang kian lama kian penuh dengan mobil-mobil milik mahasiswa. Masihkah ada kepedulian sosial terhadap, pedagang kecil di sekitar kampus, misalnya? Semoga……

Friday, September 07, 2007

Ganyang Malaysia


Catatan: Sebelum menulis komentar mengecam tulisan ini karena menyebarkan kebencian, silakan baca dulu semuanya sampai selesai. Netral-netral aja, kan?

Layaknya tetangga, hubungan antara Indonesia dan Malaysia senantiasa mengalami pasang-surut. Adakalanya hubungan kita dekat dan bersahabat, tapi di kali lain hubungan tersebut renggang dan penuh ketegangan. Seperti saat ini.

Meskipun tidak sampai memicu konfrontasi terbuka, sentimen anti-Malaysia saat ini emang sedang dahsyat-dahsyatnya. Demo mengecam Malaysia di mana-mana, disertai sweeping terhadap warga negara Malaysia di beberapa kota, adalah buktinya. Mungkin inilah gelombang sentimen anti-Malaysia terdahsyat yang pernah melanda negara kita sejak konfrontasi di periode ’50-an.

Anehnya, terlepas dari pangkal penyebabnya yang jauh berbeda, aku melihat ada persamaan di antara keduanya. Maksudku, antara gerakan “Ganyang Malaysia” yang didengungkan Bung Karno dulu dengan sentimen anti-Malaysia saat ini.

Sekilas, memang tak tampak persamaannya. Dulu, semangat untuk “mengganyang” Malaysia dipicu oleh keberadaan negara tersebut yang dianggap sebagai perpanjangan kolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Saat ini, kemarahan kita dipicu kisah-kisah tragis yang menimpa TKI, mulai dari pencabutan hak-hak pekerja sampai kematian misterius, serta penganiayaan yang dialami oleh seorang wasit Indonesia kala sedang berada di negeri jiran itu (belum lagi masalah sengketa wilayah dan campur tangan pengusaha Malaysia atas pembalakan liar di negeri ini). Betapa pun berbeda, keduanya sama-sama berakar dari satu hal: harga diri.

Di tahun ’50-an, harga diri sebagai “negara bebas”-lah yang membuat Indonesia menyatakan konfrontasi terbuka dengan Malaysia (atau Malaya). Mengingat bahwa Malaysia “dihadiahi” kemerdekaan oleh penjajahnya, maka pada dasarnya mereka masih di bawah belas kasihan Inggris. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas Indonesia untuk membebaskan saudara-saudara serumpunnya--terutama yang bertempat tinggal di Kalimantan Utara--dari cengkeraman kolonialisme Inggris.

Dengan cara yang sama sekali berbeda, persoalan harga diri juga memicu sentimen anti-Malaysia yang kini menggelora. Hanya ketiadaan rasa hormatlah yang mampu membuat Malaysia berlaku begitu semena-mena terhadap Indonesia dan warganya yang berada di negeri itu. Ketiadaan rasa hormat inilah yang mengusik harga diri kita sebagai orang Indonesia.

Ironisnya, kharisma yang pernah kita punya sehingga mampu mengintimidasi negara lain sekarang tinggal sejarah. Sekarang, Malaysia aja nganggep remeh Indonesia, apalagi negara-negara yang lebih besar. Dulu, Indonesia menunjukkan harga diri karena rasa PD dan ketegasannya ketika berhubungan dengan negara lain sehingga gak ada yang berani nginjek-nginjek kita. Ke-PD-an dan ketegasan yang kini acapkali tak nampak bila kita berhubungan dengan negara lain.

Aku yakin seyakin-yakinnya, kalo kita bisa membuktikan bahwa bangsa kita memang punya harga diri, gak ada ceritanya tuh Indonesia dilecehkan oleh negara lain, termasuk Malaysia. Apa kita masih punya harga diri di mata orang lain kalo rela-rela aja disuruh-suruh ama negara/badan/perusahaan asing dan gak bisa nyelesaiin masalah dalam negeri sendiri (penyediaan pendidikan yang layak, kebakaran hutan, banjir yang selalu terulang tiap tahun, dll)?