Friday, September 07, 2007

Ganyang Malaysia


Catatan: Sebelum menulis komentar mengecam tulisan ini karena menyebarkan kebencian, silakan baca dulu semuanya sampai selesai. Netral-netral aja, kan?

Layaknya tetangga, hubungan antara Indonesia dan Malaysia senantiasa mengalami pasang-surut. Adakalanya hubungan kita dekat dan bersahabat, tapi di kali lain hubungan tersebut renggang dan penuh ketegangan. Seperti saat ini.

Meskipun tidak sampai memicu konfrontasi terbuka, sentimen anti-Malaysia saat ini emang sedang dahsyat-dahsyatnya. Demo mengecam Malaysia di mana-mana, disertai sweeping terhadap warga negara Malaysia di beberapa kota, adalah buktinya. Mungkin inilah gelombang sentimen anti-Malaysia terdahsyat yang pernah melanda negara kita sejak konfrontasi di periode ’50-an.

Anehnya, terlepas dari pangkal penyebabnya yang jauh berbeda, aku melihat ada persamaan di antara keduanya. Maksudku, antara gerakan “Ganyang Malaysia” yang didengungkan Bung Karno dulu dengan sentimen anti-Malaysia saat ini.

Sekilas, memang tak tampak persamaannya. Dulu, semangat untuk “mengganyang” Malaysia dipicu oleh keberadaan negara tersebut yang dianggap sebagai perpanjangan kolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Saat ini, kemarahan kita dipicu kisah-kisah tragis yang menimpa TKI, mulai dari pencabutan hak-hak pekerja sampai kematian misterius, serta penganiayaan yang dialami oleh seorang wasit Indonesia kala sedang berada di negeri jiran itu (belum lagi masalah sengketa wilayah dan campur tangan pengusaha Malaysia atas pembalakan liar di negeri ini). Betapa pun berbeda, keduanya sama-sama berakar dari satu hal: harga diri.

Di tahun ’50-an, harga diri sebagai “negara bebas”-lah yang membuat Indonesia menyatakan konfrontasi terbuka dengan Malaysia (atau Malaya). Mengingat bahwa Malaysia “dihadiahi” kemerdekaan oleh penjajahnya, maka pada dasarnya mereka masih di bawah belas kasihan Inggris. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas Indonesia untuk membebaskan saudara-saudara serumpunnya--terutama yang bertempat tinggal di Kalimantan Utara--dari cengkeraman kolonialisme Inggris.

Dengan cara yang sama sekali berbeda, persoalan harga diri juga memicu sentimen anti-Malaysia yang kini menggelora. Hanya ketiadaan rasa hormatlah yang mampu membuat Malaysia berlaku begitu semena-mena terhadap Indonesia dan warganya yang berada di negeri itu. Ketiadaan rasa hormat inilah yang mengusik harga diri kita sebagai orang Indonesia.

Ironisnya, kharisma yang pernah kita punya sehingga mampu mengintimidasi negara lain sekarang tinggal sejarah. Sekarang, Malaysia aja nganggep remeh Indonesia, apalagi negara-negara yang lebih besar. Dulu, Indonesia menunjukkan harga diri karena rasa PD dan ketegasannya ketika berhubungan dengan negara lain sehingga gak ada yang berani nginjek-nginjek kita. Ke-PD-an dan ketegasan yang kini acapkali tak nampak bila kita berhubungan dengan negara lain.

Aku yakin seyakin-yakinnya, kalo kita bisa membuktikan bahwa bangsa kita memang punya harga diri, gak ada ceritanya tuh Indonesia dilecehkan oleh negara lain, termasuk Malaysia. Apa kita masih punya harga diri di mata orang lain kalo rela-rela aja disuruh-suruh ama negara/badan/perusahaan asing dan gak bisa nyelesaiin masalah dalam negeri sendiri (penyediaan pendidikan yang layak, kebakaran hutan, banjir yang selalu terulang tiap tahun, dll)?

0 comments:

Post a Comment