Saturday, September 15, 2007

Lain Dunia

Ketika ratusan orang tumpah ruah di jalanan Paris untuk menyuarakan protes mereka atas ketidakadilan sosial, Marie Antoinette mengamati semuanya itu dari Istana Versailles dengan penuh rasa bingung.
“Kenapa mereka marah-marah?” tanyanya.
“Mereka tidak punya roti untuk makan, Yang Mulia,” jawab salah seorang pegawai istana.
“Tidak punya roti?” ujar Marie Antoinette keheranan, “Kenapa mereka tidak makan kue?”

Cerita yang sulit dipercaya? Gak juga. Perlu diingat, Marie Antoinette hidup bergelimang harta sejak kecil. Dia hidup bergelimang harta dan dikelilingi oleh orang-orang yang hanya sedikit kurang kaya dibandingkan dirinya. Selain saat pawai dengan kereta kuda keliling kota atau saat melambai-lambaikan tangan dari balkon istana, Marie Antoinette bisa dibilang gak pernah “bergaul” dengan rakyat biasa sama sekali. Dengan latar belakang seperti itu, gak aneh kalo “kelaparan” gak ada dalam perbendaharaan katanya.

Di era teknologi dan informasi, kayaknya gak mungkin ada orang--sekaya apapun dia--yang gak menyadari keberada orang-orang lain yang gak seberuntung dirinya. Kalaupun dia gak pernah hidup susah, setidaknya ada media informasi yang menunjukkan bahwa ada orang lain yang hidup serba kekurangan. Sikap abai dan ketidaktahuan ala Marie Antoinette adalah hal yang mustahil di masa kini. Tapi, apa benar begitu?

Sejak SD sampai kuliah, aku punya teman-teman sekelas/satu sekolah dengan latar belakang sosial-ekonomi yang beragam, mulai dari anak pedagang cakue sampai anak rektor. Meskipun keluargaku berkecukupan, setidaknya aku bisa belajar bersimpati dengan orang lain yang gak seberuntung aku. Soalnya, lingkungan sekolah memungkinkanku untuk mengenal orang-orang yang kurang mampu secara pribadi.

Nah, gimana jadinya dengan orang-orang yang sedari kecil belajar di sekolah-sekolah berlabel “plus” atau “internasional”? Tahu kan, yang kurikulumnya “canggih” dan biaya sekolahnya selangit itu. Dapat dipastikan, anak-anak yang bersekolah di sana memiliki latar belakang sosial-ekonomi yang sama--sama-sama dari kelas menengah ke atas. Biarpun lingkungan pergaulan seorang anak gak terbatas hanya di sekolah saja, sulit untuk peka terhadap kesusahan orang lain kalo sehari-hari kita lebih sering dikelilingi oleh teman-teman yang hidupnya serba nyaman--tiap hari naik mobil pribadi, punya duit buat nongkrong-nongkrong di kafe, punya communicator (walaupun sebenernya gak butuh)…… Ngerti, kan?

Intinya adalah, hidup di zaman maju--dengan informasi tentang berbagai hal yang tersedia bagi siapa saja dan di mana saja--ternyata tidak menghilangkan jarak di antara kita. Walaupun kita tahu bahwa ada orang-orang yang menderita di luar sana, belum tentu kita bisa ikut merasakan penderitaan mereka atau paling tidak, ikut bersimpati. Hidup kita terlalu berbeda sehingga seakan-akan kita tinggal di dunia yang berlainan. Sama seperti Marie Antoinette dan mayoritas populasi Prancis yang hidup di lain dunia.

Catatan: Aku tiba-tiba aja kepikiran soal ini waktu ngelihat mahasiswa ITB yang sekarang pada punya laptop, juga pada mampu beli textbook asli (Padahal di angkatanku dulu, mana sanggup kita beli textbook asli, Mak? Yang kesusahan bayar SPP dan terpaksa minta penangguhan aja banyak). Belum lagi ngelihat parkiran di ITB dan sekitarnya yang kian lama kian penuh dengan mobil-mobil milik mahasiswa. Masihkah ada kepedulian sosial terhadap, pedagang kecil di sekitar kampus, misalnya? Semoga……

0 comments:

Post a Comment