Thursday, November 13, 2008

Selamat Menempuh Hidup Baru

Dulu aku bertanya-tanya, kenapa orang nikah dikasih ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru". Bukankah hidup berjalan seperti biasa setelah seseorang menikah? Apanya yang baru? Baru setelah seorang teman baikku menikah aku sadar bahwa "Hidup Baru" memang istilah akurat untuk menggambarkan kehidupan setelah menikah.

Aku merasa jahat karena waktu temenku bilang dia mau nikah, aku malah sedih. Tentu saja aku ikut senang karena temenku--yang memang mendambakan pernikahan--senang. Tapi, aku sedih karena aku tahu semua akan berubah. Bukan cuma karena dia bakal pindah dan kami gak bisa sering ketemu, tapi juga karena hubungan kami gak akan sama lagi. Setelah seseorang menikah, prioritas dan pola pikirnya berubah. Gak ada lagi ceritanya bisa nongkrong dan ngobrolin hal-hal gak jelas kayak biasanya, gak mungkin lagi kami bisa berbagi cerita tentang impian dan harapan untuk masa depan. Setelah seseorang menikah, yang terpenting baginya adalah keluarga intinya. Orang lain, entah itu orang tua, saudara sekandung, apalagi cuma temen, seolah disingkirkan ke pojokan, ke posisi yang kurang penting dibandingkan dengan pasangan ato anaknya. Pantes aja banyak orang tua yang menangis saat pernikahan anaknya.

Jadi, memang benar. Urusan praktis dalam hidup--kerja, bayar tagihan, dll--bisa saja gak berubah, tapi hidup di mata seseorang yang baru menikah takkan sama lagi. Dan, walau berlumur duka, gak ada hal lain yang bisa dilakukan "orang-orang yang ditinggalkan" kecuali berdoa bagi kebahagiaan si penganten baru.

Tuesday, November 04, 2008

Paradoks Pengajaran Sains

Kalo udah ngomongin Olimpiade Sains Internasional, Indonesia boleh bangga karena para pesertanya selalu dapet medali. Oleh Menteri Pendidikan, hal ini kemudian dijadikan bukti mengenai kemampuan murid-murid Indonesia yang gak kalah dengan murid-murid dari negara lain, juga bukti bahwa arah pendidikan di Indonesia udah tepat. Buktinya, kita bisa mencetak juara dunia.

Tapi, kenyataan tak seindah itu. Bukan rahasia bahwa pelajaran sains di Indonesia ditakuti dan dijauhi murid-murid karena satu alasan: susah. Aku pernah ngeliat buku sains SMP untuk murid-murid Australia (yang entah gimana bisa nyasar di perpus SMA-ku) dan terpana ngeliat materinya yang sederhana. Di saat anak-anak SMP Indonesia berkutat menghitung persamaan termodinamika, anak-anak SMP di Australia baru "bermain-main" dengan tuas dan pengungkit.

Selain susah, materi pelajaran untuk murid-murid di sini emang super padat. Padahal dalam satu semester bisa sampe dua belas mata pelajaran yang harus diterima para murid. Dalam kondisi seperti ini, gimana mo paham, ngafalin aja udah setengah mati (karena bahannya seabrek).

Jadi, kecuali bila IQ Anda di atas 140 (kayak para peserta olimpiade sains itu) ato Anda beruntung karena punya sekolah berfasilitas lengkap dan guru yang istimewa, jangan harap bisa menyukai dan mengerti pelajaran sains yang diberikan di sekolah. Guru-guru juga gak bisa disalahin karena mereka pun sekadar mengejar target yang udah dipatok Depdiknas. Yang penting semua materi (yang banyak banget itu) udah tersampaikan; moga-moga aja para murid ngerti.

Memang ada kesan bahwa Depdiknas mencoba memperbaiki metode pengajaran saat mereka memperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Lewat KBK, murid dipersilakan untuk memformulasikan konsep dengan cara melakukan percobaan atau pengamatan. Alih-alih menghafal, murid diajak untuk mencoba memahami. Tapi, ini pun masih setengah hati karena toh Ujian Nasional--penentu absolut nasib murid--yang soalnya pilihan ganda itu masih menekankan aspek hafalan, bukan pemahaman.

Tidak berlebihan bila kukatakan bahwa keberadaan anak-anak Indonesia pemenang olimpiade sains memang merupakan anomali. Sebagian besar dari mereka dilahirkan sebagai orang cerdas, bukan dibentuk oleh sistem pendidikan yang oke.

Dan tidak berlebihan juga bila kukatakan bahwa aku sama sekali tak terkejut melihat berita di media cetak bahwa minat mempelajari sains (murni) di negeri ini sangat rendah. Kalo aku baru lulus SMA dan sedang memilih jurusan yang akan diambil di perguruan tinggi, aku pasti mikir: Ngapain mempelajari bidang ilmu yang susah dan juga gak menghasilkan duit?

Salah siapa coba?