Thursday, November 02, 2006

........*..

Manusia itu emang kurang ajar banget deh. Saat Allah hanya menilai orang dari ketakwaannya, manusia justru menilai orang dengan berbagai parameter yang sering tidak seharusnya digunakan untuk menilai seseorang. Bingung?

Gini nih. Kalo dari sudut pandangku (bukan menurut Allah ya; kalo itu sih gak tau), ketakwaan menentukan kualitas hidup seseorang. Bagaimana dia menjalani hidupnya, mempengaruhi hidup orang lain/masyarakat, berperilaku terhadap lingkungan (hasilnya baik atau buruk?)--itu semua erat banget dengan “ketakwaan”; jadi wajar aja kalo “ketakwaan” itu dinilai dan dijadikan faktor pembeda.

Sebaliknya, manusia acapkali membedakan orang lain berdasarkan kriteria seperti asal-usul, tampang, status sosial dan kemudian membuat penilaian berdasarkan kriteria superfisial (Bahasa Indonesianya? Permukaan? Gak cocok ah!) macam itu. Penilaian superfisial yang kemudian mengakibatkan pembedaan perlakuan.

Itu tuh yang namanya diskriminasi. Diskriminasi muncul dalam berbagai bentuk dan rupa, tapi secara umum berakar dari dua hal: menganggap remeh orang lain dan ketidakpedulian.

Contoh bagus (jelek sih, sebenernya) tentang ini tampak dari peristiwa yang menimpa seorang alumnus Universitas Airlangga (Unair) baru-baru ini. Sang alumni ini mengalami kecelakaan sewaktu ia masih kuliah sehingga akhirnya kakinya harus diamputasi. Namun, keterbatasan ini sama sekali tidak menghalanginya dan ia berhasil lulus dengan menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Lulus dengan pujian (Cum Laude = dengan pujian) pula. Sayangnya, prestasi akademik yang baik sama sekali tidak dihiraukan oleh para pencari jasa. Begitu melihat bahwa orang ini “cacat”, langsung ditolak. Akhirnya, ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di almamaternya--Unair. Tak disangka, tak dinyana, ia ditolak juga oleh almamaternya. Almamater yang tanpa ragu memberinya pujian saat lulus, namun sekaligus menganggap bahwa ia tidak layak bekerja di sana--terlepas dari segala prestasi akademis sang alumnus--hanya karena dia “cacat”.

Terserah Unair mau bilang apa, tapi yang jelas mereka telah berlaku diskriminatif. Mungkin mereka menganggap bahwa “kecacatan” seseorang akan mengganggu kinerjanya, entah bagaimana caranya; jadi buat apa mempekerjakan orang macam itu? Mungkin juga mereke berpendapat, untuk apa repot-repot mempekerjakan orang “cacat” yang mungkin bakal ngeribetin dengan segala kebutuhan khususnya, gak peduli seberapa mampunya dia, pada saat masih banyak orang lain yang “gak cacat” untuk dipekerjakan? Variasi alasannya bisa banyak; tapi balik lagi, semuanya berakar dari perasaan meremehkan orang lain dan ketidakpedulian.

Diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas, seperti pada contoh di atas. Soalnya, saat kita menjadi bagian dari mayoritas, ada kecenderungan untuk menganggap orang-orang yang berbeda dengan kita “aneh”, entah disadari atau tidak; yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan timbulnya perasaan meremehkan atau tidak mempedulikan.

Tapi jangan salah loh, bukan berarti gak ada diskriminasi minoritas terhadap mayoritas. Inget sistem politik apartheid? Atau kolonialisme Belanda di negara kita yang membagi-bagi masyarakat ke dalam berbagai golongan (dengan hak dan kewajiban yang berbeda pula)? Tentu saja, kalo melihat kedua contoh itu kita mungkin mendapat kesan bahwa diskriminasi macam ini adalah peninggalan masa lalu. Kalo saat ini masih ada diskriminasi minoritas terhadap mayoritas, pasti banyak yang protes dan kalo banyak yang protes, pasti tindakan diskriminatif itu bisa segera dibasmi. Bener kan?! Salah.

Sampai sekarang, aku masih denger perusahaan yang mengutamakan “keanggotaan dalam kelompok etnis tertentu” dalam perekrutan karyawannya. Katanya sih karena anggota kelompok etnis ini tuh rajin dan berdedikasi tinggi, beda ama anggota kelompok etnis lain yang dianggap pemalas. Bisa juga karena alasan “kekeluargaan”; artinya karena anggota kelompok etnis ini pada dasarnya adalah keluarga besar dan keluarga harus saling menolong, jadi merekalah yang diutamakan. Terserah deh. Tapi sebetulnya alasan mereka lagi-lagi variasi dari: menganggap rendah orang lain dan ketidakpedulian.

Atau yang lebih miris lagi, diskriminasi yang dilakukan secara tidak sadar (atau sadar?) dalam bentuk liberalisasi pendidikan. Lembaga pendidikan milik negara “dipaksa” menjadi badan hukum yang berdiri sendiri, yang harus mencari sumber dana operasional dll sendiri. Akhirnya, biaya kuliah makin mahal, dibuka jalur khusus yang uang pendaftarannya hanya sanggup dibayar oleh orang-orang kaya yang jumlahnya di Indonesia ini minoritas. Dan makin banyak orang Indonesia yang gak bisa mengenyam pendidikan karena gak sanggup membayar biayanya. Apa bukan diskriminasi minoritas terhadap mayoritas tuh namanya?

Catatan: Ada yang bisa nebak gak, kenapa judulnya “........*..”?