Friday, January 26, 2007

Sambung Terussss

“Sebarin SMS ini ke sepuluh nomor … (nama provider telepon selular). Dijamin, pulsa kamu bakal nambah 50.000. Serius, gak bohong!”

Tau pesan berantai kan? Itu tuh, pesanyang isinya memerintahkan si penerima untuk menjalankan serangkaian hal--termasuk menyebarkan surat tersebut kepada sejumlah orang--disertai ancaman apabila perintah tersebut tidak ditaati atau sebaliknya, iming-iming keberuntungan kalo perintah itu bener-bener dilaksanakan.

Pertama kali dapet pesan berantai, aku masih SD dan pesan itu datang dalam bentuk surat pos. Sekarang, media penyebaran surat berantai jauh lebih banyak lagi, lewat e-mail, SMS, dan pesan pribadi di website/forum diskusi. Contohnya ya SMS di awal tulisan ini, yang pernah kuterima dari salah seorang temen.

Dilihat sekilas aja, mungkin udah keliatan kalo SMS di atas tuh omong kosong. Ajaibnya, SMS penuh omong kosong ini berhasil menipu setidak-tidaknya dua orang: aku dan si pengirim SMS itu. Isi pesan berantai memang seperti itu, begitu bombastis sampai-sampai keliatan banget gak masuk akal. Anehnya, melihat banyaknya pesan berantai yang kuterima sampai saat ini melalui media elektronik, orang masih bisa kemakan omong-kosong pesan berantai. Hebat kan?!

Bagaimana mungkin pesan berantai yang gak masuk akal bisa terus menyebar dan dipercaya? Jawabannya, karena pesan berantai mengandung paling tidak satu dari tiga unsur (bahaya, sanjungan, keuntungan) yang “lengket” (ditinjau dengan teori “Tipping Point”-nya Gladwell) atau punya kemampuan “menekan tombol” dalam akal budi kita (ditinjau dengan memetika).

Contohnya SMS yang ada di awal tulisan ini. Dilihat sekilas aja, udah ketauan kalo inti dari pesan tersebut adalah “keuntungan”. Nyebarin SMS tersebut ke sejumlah nomor, dapet pulsa gratis. Secara umum, orang emang mudah tergerak kalo mendengar hal-hal yang berhubungan dengan uang (dalam hal ini, pulsa gratis)--itu sebabnya pesan dalam SMS tersebut begitu “lengket” sehingga disebarkan kemana-mana. Kepemilikan uang yang lebih besar akan meningkatkan kualitas hidup, hal yang didambakan dan dibutuhkan semua manusia baik disadari maupun tidak, sehingga ide tentang kesempatan menyimpan uang lebih (bisa ngirit uang buat beli pulsa) pasti akan lebih mudah dipercaya orang dan akhirnya disebarkan.

Contoh lain adalah e-mail “manis” yang kuterima beberapa bulan lalu. Isinya, bahwa hari itu adalah hari persahabatan dan e-mailnya dikirimkan kepadaku karena si pengirim menganggapku sebagai temannya. Berikutnya, aku dianjurkan untuk meneruskan e-mail itu kepada semua orang yang kuanggap teman, termasuk si pengirim. Kalo aku gak nerusin e-mail itu ke dia, dapat disimpulkan bahwa aku gak menganggap si pengirim sebagai teman (“I’ll get the hint [that you’re not considering me as friend]”). Selain itu, ada juga info tambahan: kalo aku nerima paling sedikit delapan e-mail macam itu, berarti aku orang bersahabat (friendly).

Unsur e-mail ini ada dua: sanjungan (kau temanku) dan bahaya (kalo kamu gak ngirim balik e-mail ini ke aku, berarti aku bukan temanmu). Kalo udah menyangkut hubungan sosial, sebisa mungkin manusia akan berusaha memeperluas dan menjaga hubungan yang sudah terjalin. Dari sudut pandang memetika, ini karena berada dalam kelompok akan memperbesar kemungkinan untuk bertahan hidup dibandingkan dengan hidup sendiri. E-mail ini dijamin bakal diterusin ke paling sedikit satu orang, karena ancaman terselubung yang ada di dalamnya. Tentu aja aku nerusin e-mail itu ke si pengirim--gak enak kan kalo enggak?

Ada baiknya menerapkan prinsip “teliti sebelum mengirim” (atau lebih tepat “teliti sebelum mengirim”) dalam masalah ini. Apa pesan tersebut masuk akal? Apa ada unsur ancaman? Apakah informasi yang disampaikan disokong oleh keberadaan bukti yang memadai? Apabila jawaban dari salah satu pertanyaan tersebut adalah “Tidak”, pesan tersebut tak disangsikan lagi merupakan pesan berantai dan sebaiknya gak usah ditanggapi dengan serius. Percuma kan, membebani bandwith cuma untuk menyebarkan omong kosong?

Catatan: Tertarik ama dinamika penyebaran ide? Gak ada salahnya baca “Tipping Point” karya Malcolm Gladwell dan “Virus of the Mind” karya Richard Brodie. Secara pribadi, aku lebih suka “Virus of the Mind”--meskipun penyamaan akal budi manusia dengan binatang yang mencoba bertahan hidup ala biologi evolusioner mungkin bakal menyinggung banyak orang yang lebih sensitif daripada aku. Di sisi lain, “Tipping Point” jauh lebih mudah dimengerti karena banyak memuat contoh kasus. Tapi dua-duanya bagus kok. Jadi, silakan! Ini bukan promosi loh!

0 comments:

Post a Comment