Tuesday, January 09, 2007

Bisik-bisik Tetangga

“Gossip” yang dibintangi Kate Hudson (sebelum dia seterkenal sekarang) sebenernya tidaklah istimewa. Film ini gak jauh beda dengan thriller remaja lainnya macam “Urban Legend” atau “Cruel Intentions” yang penuh dengan skandal asmara, konspirasi, tindak kriminal terselubung, dll. Yang menarik, film ini menggarisbawahi tiga hal penting mengenai gosip/rumor/kabar burung/desas-desus.

Pertama, orang sangat mudah percaya pada gosip meskipun kabar tersebut tidak didukung oleh keberadaan bukti sama sekali. Kedua, gosip jauh lebih mudah terdistorsi dibandingkan informasi lain yang valid karena para pendengar dan penyebarnya tidak pernah merasa perlu untuk mencari tau kebenaran di balik gosip tersebut. Ketiga, gosip bisa merusak (atau mendongkrak) reputasi seseorang.

Meskipun acapkali dikaitkan dengan ibu-ibu kurang kerjaan, gosip sebenenernya bukan monopoli mereka aja. Kalo mau jujur, kayaknya gak ada orang yang gak suka gosip. Apabila kemudian ada yang memilih untuk mengabaikan desas-desus karena gak mau terjebak dalam lingkaran penyebar gosip, itu lain soal. Singkat kata, selama manusia masih menjalin hubungan sosial dengan sesamanya, berbagai macam kabar burung akan tetap punya peluang untuk lahir dan tersebar.

Sayangnya, gosip yang dulu hanya merupakan “konsumsi terbatas” karena cuma disebarkan mulut ke mulut sekarang malah menjadi barang dagangan yang dipasarkan secara luas ke mana-mana. Ngerti maksudku, kan?!

Sejak runtuhnya Orde Baru, industri media berkembang begitu pesat. Jumlah televisi swasta nasional menjadi berlipat dua dalam tujuh tahun terakhir, belum lagi televisi swasta lokal. Media cetak, apalagi. Di tengah persaingan yang begitu ketat, media massa berlomba-lomba menyuguhkan sajian yang diperkirakan akan menarik minat orang banyak.

Dan suguhan apalagi yang bisa menarik banyak orang kalo bukan gosip, terutama gosip artis yang dikemas dalam wadah “infotainment”? Selain “menarik”, keunggulan lain gosip adalah, seperti tertera pada poin pertama di atas, gak perlu dibuktikan. Beda sama berita pada umumnya (dan seharusnya) yang memerlukan bukti-bukti kuat terlebih dahulu sebelum dirilis kepada khalayak, kabar burung seputar artis bisa ditampilkan begitu saja. Soal pembuktian, itu belakangan.

“Narasumber” yang ditampilkan pun kadangakala tidak kompeten: orang yang kebetulan tinggal bersebalahan dengan si artis, kenalan si artis (biasanya sih artis juga) yang sebenernya gak kenal-kenal amat ama yang bersangkutan, keluarga yang sebenernya gak tau apa-apa tapi sok tahu. dll.

Sesuai dengan prinsip kedua, informasi dari para “narasumber” justru berpotensi memperkeruh masalah. Dengan pengetahuan (atau ketidaktahuan) “narasumber” yang terbatas, mereka acapkali menyampaikan hal-hal yang gak relevan atau memberikan info yang bikin suasana makin panas. Inilah yang malah ditunggu-tunggu oleh para “wartawan” infotainment. Soalnya, jika berbagai narasumber justru menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar maka gak akan ada berita lagi toh?

Tapi kalo mau adil, pemberitaan desas-desus yang gak jelas kebenarannya bukan cuma monopoli infotainment (bahkan kalo dirunut ke belakang, di awal keberadaannya infotainment gak kalah bertanggung jawab dalam pemberitaan dibandingkan jenis berita lainnya; bedanya cuma pada obyek berita yang melulu orang terkenal). Masih jelas dalam ingatan, seminggu yang lalu semua media massa ribut memberitakan penemuan pesawat Adam Air yang lenyap, lengkap dengan informasi mengenai 12 orang yang hidup dan 90 korban tewas.

Setelah kabar itu ternyata terbukti bohong belaka, mereka (media massa, maksudnya) sibuk menyalahkan Bupati Mandar (bener gak sih?) dan Kepala Desa X sebagai pejabat pemerintah yang udah menyampaikan informasi tanpa mengecek dulu kebenarannya. Oke, para pejabat itu emang salah, tapi bukannya media massa juga punya kewajiban untuk minta maaf karena udah menyebarkan berita bohong dan bikin keluarga korban yang sempat merasa lega jadi putus harapan lagi?!

Kesimpulannya, jangan mudah percaya pada apa yang kita lihat atau dengar. Dan jangan jadi penyebar gosip. Oke?

Catatan: Iya, aku juga salah satu penonton infotainment (bohong kalo bilang bukan). Tapi sekarang nontonnya udah dikurangin. Habis, tau sendiri lah--mudharatnya lebih banyak daripada manfaat yang didapat.

0 comments:

Post a Comment