Monday, March 26, 2007

Nyamuk dan Manusia

Dalam kerajaan (taksonomi) animalia, manusia mungkin termasuk spesies yang memiliki usia paling panjang. Usia manusia berkisar antara 60 tahun. Umur spesies lain umumnya tidak sepanjang kita.

Bandingkan dengan nyamuk, misalnya. Kalo gak salah, nyamuk cuma punya waktu kurang dari 30 hari untuk hidup. Nyamuk berkembang dari telur menjadi larva kemudian nyamuk dewasa sampai akhirnya mati hanya dalam waktu 30 hari. Bila dibandingkan dengan waktu hidup manusia yang jauh lebih panjang, kehidupan nyamuk tampak begitu singkat dan tidak berarti.

Tapi apa iya hidup kita lebih berarti daripada nyamuk semata-mata karena kita hidup jauh lebih lama? Sebagian besar orang tampaknya sudah cukup puas bila bisa menjalani hidup yang membosankan (sama seperti nyamuk) dengan kronologi sebagai berikut: belajar di sekolah sampai lulus, dapet kerjaan (kalo bisa yang gajinya gede), nikah, beranak, pensiun (mudah-mudahan dengan harta berlimpah), dan akhirnya mati.

Tentu aja, gak ada yang salah dengan mengharapkan itu semua. Yang salah adalah, jika kita memaknai hidup ini hanya sebatas demi mencapai tahapan-tahapan tersebut. Dan percayalah, banyak orang yang memandang hidup tak lebih dari itu.

Lihat aja orang yang terkena post-power syndrome setelah pensiun. Orang macam ini menganggap pekerjaan sebagai jati dirinya (misalnya: Pak X yang tentara mendefinisikan dirinya sebagai “tentara”, Bu Z yang direktur perusahaan mendefiniskan dirinya sebagai “direktur perusahaan”--tak lebih dari itu). Jadi, di saat pensiun, ia akan merasa kehilangan jati diri, merasa gak berarti lagi, dan tak lama kemudian mati karena depresi.

Gimana dengan orang-orang rese yang gak henti-hentinya merongrong pasangan yang baru menikah (atau udah lama menikah tapi belum punya anak) dengan pertanyaan, “Kapan nih punya anak?” atau semacamnya? Emangnya tujuan menikah tuh cuma untuk berkembang biak ya?! Kalo gitu sih, gak usah susah-susah nikah--cukup “kawin” aja.

Nah, kalo kita emang menjalani hidup ini hanya untuk sekolah sampai lulus-dapet kerja yang gajinya gede-menikah-beranak-pensiun dengan harta melimpah sampai akhirnya mati, apa bedanya kita dengan nyamuk yang hidup hanya untuk menjadi telur-larva-nyamuk dewasa-berkembang biak-mati? Kalo kita gak pernah merenungi dan membuat hidup kita bermakna tapi cuma sekedar “menjalani arus”, apa bedanya kita ama nyamuk? Kalo kita mengambil setiap keputusan dalam hidup semata-mata karena pertimbangan “emang seharusnya begitu”, terus apa bedanya kita dengan nyamuk yang menunggu untuk mati?

Mungkin kita semua emang cuma makhluk dengan hidup tanpa arti yang gak sadar bahwa hidupnya tuh sama sekali gak penting. Jadi, apa bedanya kita dengan nyamuk?

Catatan: Ditulis sambil ngedengerin “Love So Sweet” dari Arashi yang emang gak nyambung banget dengan topik tulisan ini. Mudah-mudahan gak mempengaruhi greget tulisan ini.

0 comments:

Post a Comment