Thursday, April 23, 2009

Jalan-jalan di Palembang bag.2

-----bag.1-----

Hari kedua di Palembang, aku dan Lina berangkat ke Benteng Kuto Besak jam sembilan (padahal janjiannya jam segitu). Kami kira Riri bakal telat, jadinya santai-santai aja. Sampai di sana, matahari sudah bersinar terik dan Riri udah nungguin sejam (sekarang giliran Riri yang dicurahi permohonan maaf). Karena Riri udah memesankan perahu yang akan membawa kami ke Pulau Kemaro, kami pun langsung cabut ke tempat tujuan.

Baterai kameraku ternyata habis, jadi seharian itu hanya kamera digital Ririlah yang kami andalkan. Tentu saja, perjalanan menyusuri Sungai Musi tidaklah lengkap tanpa berfoto. Memfoto diri sendiri, juga menjepret objek-objek yang ada di sepanjang Sungai Musi (kapal-kapal yang kami lewati, dermaga PT PUSRI, pom bensin PERTAMINA untuk kapal dan perahu). Bapak tukang perahu menyarankan agar kami berpose di ujung haluan (kayak Kate Winslet di film Titanic), tapi kami menolak karena ngeri, hehehe..... Perahu yang bergoyang setiap kali gelombang datang memang cukup bikin deg-degan meskipun--serius nih--rasanya agak mirip goyangan delman yang lagi ngebut di tanjakan menuju jembatan Gunung Batu. Menganalogikan goyangan perahu dengan goyangan delman ternyata membuatku lumayan tenang, walaupun Riri menjerit-jerit heboh :D.

Sesampai di Pulau Kemaro, sebagai "kata sambutan", Riri menceritakan legenda pulau itu. Alkisah, pangeran dari Negeri Cina ingin mempersunting putri dari Palembang. Untuk membuktikan itikad baiknya, sang pangeran pun berlayar ke Palembang sambil membawa aneka barang berharga. Yang gak dia tahu, ayahnya sudah menyiapkan tipuan, kalau-kalau kapal mereka diserang perompak yang merajalela di Selat Malaka (sampai sekarang, Selat Malaka masih merupakan salah satu tempat yang paling banyak dilayari oleh perompak, meskipun masih kalah jauh dari perairan Somalia): barang-barang berharga itu disembunyikan di bawah kuali-kuali berisi sayuran. Sayangnya, ketika kapal hendak merapat dan pangeran memeriksa barang bawaannya, dia syok berat melihat benda-benda tak berharga itu (baca: sayuran). Setelah menendang kuali-kuali itu ke sungai, tanpa pikir panjang dia pun langsung menenggelamkan dirinya. (Tolol banget, kan?! Tapi, kok dia gak ngeliat bahwa di bawah kuali-kuali itu ada perhiasan dll, sih?) Sang putri yang patah hati memutuskan untuk mengikuti jejak kekasihnya. (Ini lebih tolol lagi!) Kuali-kuali itu akhirnya mewujud menjadi Pulau Kemaro, bukti cinta kasih pasangan (tolol) ini.

Walau saat itu hari Minggu, suasana di Pulau Kemaro sepi. Menurut Riri sih karena kurang publisitas. Di pulau ini terdapat wihara dan pagoda (?), jadi pulau ini biasanya hanya ramai saat Imlek. Pada hari biasa, Pulau Kemaro hanya bisa diakses via Sungai Musi. Tapi, ada jembatan yang menghubungkan salah satu (dari sekian banyak) dermaga PT Pusri langsung dengan Pulau Kemaro. Jembatan ini cuma dibuka saat Imlek, untuk memudahkan para pemuja yang ingin beribadah. Pulau Kemaro dihuni segelintir orang, yaitu kuncen dan keluarganya (kayaknya sih) dan anjing-anjing peliharaaannya.

Perjalanan pulang ternyata beda banget ama perjalanan pergi. Pertama, kami sekarang berani mejeng di haluan. Kedua, objek-objek yang kami amati dan potret juga beda (rumah terapung, anak-anak yang mandi di sungai, masjid yang didirikan di permukaan sungai di atas tonggak-tonggak, Jembatan Ampera yang kelihatan lebih bagus dari arah selatan). Ketiga, ketimpangan antara wilayah Ilir dan Ulu lebih jelas. Wilayah Ulu tampak lebih kuno dan tertinggal (rumah-rumah terapung terletak di Ulu), bahkan di mata pengunjung seperti aku. Menurut Riri, wilayah Ulu juga punya reputasi jelek (wilayah yang "berbahaya" deh, pokoknya). Mungkin ini ada hubungannya dengan ketimpangan pembangunan itu, ya...

Di tepi Sungai Musi, kami berpisah. Lina balik ke tempatnya, aku dan Riri meluncur ke rumah Riri. Dadah, Lina! Angkot di Palembang cukup unik, dengan komposisi 2-2-3-3 (ato 2-2-3-2 ya?!). Semua penumpang menghadap ke depan (kecuali yang duduk paling belakang, kayaknya sih), dan ada empat pintu (dua di depan, satu di tengah, satu di belakang; kayak Kijang). Pintu tengah dibuka dengan cara yang unik: gak ada kenop pintu, tapi ada bilah logam panjang terbungkus selang plastik yang bisa didorong ke depan supaya pintu terbuka.

Sampai di rumah Riri, langsung dijamu oleh orang tuanya (terima kasih, Bu, Pak). Habis itu tidur siang. Malemnya makan Model H. Dowa (sedaaap!), balik ke rumah Riri, terus ngobrol-ngobrol sampe jatuh tertidur....

-----bag.3-----

0 comments:

Post a Comment