Saturday, September 26, 2009

The Winner Stands Alone (Paulo Coelho)

Bacalah The Winner Stands Alone, niscaya kita gak bakal memandang kaum elit yang banyak duit, berkuasa, dan terkenal seperti dulu lagi. Aku memang percaya bahwa uang, kekuasaan, dan ketenaran bukan jaminan kebahagiaan. Ketiganya pun bukan hal terpenting di dunia. Tapi--mungkin sama kayak sebagian besar orang--aku meyakini bahwa barang siapa memiliki salah satu saja dari ketiganya, kalo gak bisa semuanya, dia bebas ngapain aja. Tapi ternyata, ketiganya bisa mengurung seseorang, sama seperti kemiskinan absolut. Atau begitulah kata Paulo Coelho.

Kejadian-kejadian dalam novel ini berlangsung dalam waktu satu hari saja. Berbagai macam orang dari berbagai belahan dunia--aktor dan aktris, sutradara, produser, perancang busana, model, pengusaha, polisi--dipersatukan oleh ajang akbar yang disebut Festival Film Cannes. Mereka juga dipersatukan oleh hal-hal yang sama: kekayaan, kekuasaan, ketenaran. Sebagian tokoh udah kaya/berkuasa/tenar, yang lainnya mendambakan kekayaan/kekuasaan/ketenaran.

Nah, dalam novel ini kita dihadapkan kepada suatu paradoks. Atau mungkin bukan paradoks, tapi perbedaan antara harapan dan kenyataan.

Orang-orang biasa--seorang aktris medioker, sutradara muda, dan polisi yang bosan, misalnya--berharap bisa tersohor karena memang itu cita-citanya, karena pingin mengubah masyarakat, karena merasa layaklah dirinya mendapat apresiasi sesekali (siapa tau bisa naik jabatan). Seakan-akan mereka akan puas dan bergembira ria setelah harapan ini terwujud.

Nyatanya, para anggota Superclass--orang-orang kaya/berkuasa/tenar itu-- gak memperoleh kepuasan dari situasi mereka. Di saat mereka udah punya segalanya, mereka malah waswas karena gak mau kehilangan kekayaan/kekuasaan/ketenaran mereka. Maka muncullah orang-orang gila kerja dan manusia-manusia pecandu operasi plastik/suntik Botox/sebangsanya dan pengidap depresi. Pencapaian mereka akhirnya menjadi pengekang, bukan sekadar alat untuk mencapai kebebasan, apalagi sumber kebahagiaan.

Selain memaparkan kepalsuan kaum elit, novel ini juga mengemukakan satu topik yang sering muncul dalam karya-karya Coelho: impian, dan seberapa jauh kita rela berkorban demi mencapainya. Demi tujuan yang (menurut kita) baik dan mulia, layakkah kita melakukan apa saja? Bohong, misalnya? Atau mungkin meniduri produser film? Atau jadi simpanan ama om-om atau tante-tante kaya? Bagaimana dengan membunuh?

Novel ini emang gak menggugah perasaanku sedahsyat The Alchemist, tapi kisahnya cukup "mengena". Kalo aja para manusia penggila selebritis yang jumlahnya semakin banyak di Indonesia membacanya, mungkin mereka bakal berpikir ulang soal kegandrungan mereka yang gak realistis itu. Tapi kayaknya sih mereka lebih suka nonton TV daripada baca buku....

0 comments:

Post a Comment