Wednesday, June 14, 2006

Kamu Keren, Kami Enggak

Dahulu kala, sekitar abad ke-19, ditemukanlah bukti peradaban kuno di daerah Afrika Sub-Sahara. Keberadaan peradaban kuno ditunjukkan oleh adanya kompleks bangunan yang tertata dengan rapi, semacam kota lah. Mungkin temen-temen udah pada tau kalo di masa itu, bangsa Eropa lagi giat-giatnya melakukan kolonisasi di Afrika; jadi gak aneh lah kalo yang “menemukan” (dan mempublikasikan) sisa-sisa peradaban ini, yang kemudian dikenal dengan nama Great Zimbabwe, adalah orang Eropa; tepatnya orang Inggris. Dasar bangsa Eropa/Barat zaman dulu orang-orangnya berpandangan etnosentris, dengan yakinnya mereka menyatakan bahwa: gak mungkin peradaban semaju ini dibangun oleh orang-orang berkulit hitam (ras Negroid). Great Zimbabwe pasti dibangun oleh orang-orang kulit putih (Kaukasia).

Bayangin, kalo sekarang ada seseorang yang bikin pernyataan kayak gitu, pasti dia udah dilemparin ama orang sekampung (atau malah orang sedunia, kali). Tapi anehnya, kayaknya gak ada yang gak sepakat dengan pernyataan itu; termasuk penduduk sekitar. Alasannya sih, karena Great Zimbabwe dibangun dari batu, sedangkan masyarakat sekitar membangun rumahnya dari rumput. Pasti penduduk sekitar gak nyadar kalo dengan bikin pernyataan begitu, mereka tanpa sadar udah mengiyakan klaim orang-orang Eropa bahwa orang berkulit putih jauh lebih superior daripada orang berkulit hitam.

Zaman sekarang, pandangan picik macam itu udah gak laku. Emang masih ada sih yang punya pikiran kayak gitu, tapi jumlahnya sangat sedikit. Apa juga yang membuat orang kulit putih jauh lebih superior dari orang-orang yang kulitnya gak putih? Sama sekali gak ada hubungan antara sebab (kulit putih) dan akibat (kemampuan intelektual yang tinggi sehingga bisa membangun peradaban tinggi pula), artinya pernyataan itu tidak logis. Di sisi lain, pernyataan itu secara empiris juga tidak tepat. Ilmuwan udah mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan genetik yang berarti antara orang-orang dari ras yang berbeda. Karena itu, secara intelektual pastinya gak ada perbedaan yang berarti juga dong.

Aku yakin, semua orang Indonesia pasti sependapat bahwa tidak ada “ras” yang lebih superior daripada yang lain. Mau kulitnya putih kek, sawo mateng kek, kuning kek, abu-abu kek; kalo masih sama-sama manusia mah sama-sama aja lah. Namun demikian, mengingat bahwa wilayah Indonesia ini dulu pernah dijajah bangsa Eropa selama berabad-abad (atau bertahun-tahun), pandangan etnosentrisnya orang Eropa zaman jebot tanpa terasa akhirnya melekat pada pikiran orang Indonesia (termasuk aku juga) tanpa sadar.

Salah satu hal yang menunjukkan ketidakpercayadirian masyarakat Indonesia terhadap dirinya dan kekaguman membabi-buta terhadap segala sesuatu yang “Barat” adalah keyakinan kalo barang buatan luar negeri (terutama buatan Eropa dan Amerika) kualitasnya jauh lebih baik daripada barang buatan Indonesia. Coba ya, kalo orang-orang “Barat” emang memproduksi barang-barang berkualitas baik, pastinya mereka juga cuma mau menerima barang-barang yang kualitasnya baik. Nah, kalo emang bener barang buatan Indonesia itu kualitasnya jelak, mana mau mereka menerima barang impor (barang jadi ya, bukan barang mentah) dari sini?

Pengalamanku sendiri membuktikan bahwa tidak benar kalo barang produksi luar (atau setidak-tidaknya, produsennya yang dari luar) selalu berkualitas lebih tinggi daripada yang bikinan dalam negeri. Buktinya, adikku beli sepatu bermerek terkenal (perusahaan yang markasnya ada di negara Eropa) merek “A”, baru setahun udah jebol. Sebaliknya, sepatu buatan Indonesia bermerek “S” yang kubeli pas kelas 5 SD, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sampe sekarang belum rusak (serius loh, sampe sekarang sepatunya masih ada di rumahku!).

Terus, kalo kita ngeliat orang-orang kaya yang nyekolahin anaknya di luar negeri, banyak yang ngirim anaknya untuk belajar di negara-negara Eropa ato Australia. Pernah kepikir gak, buat nyekolahin anaknya di India buat belajar TI, misalnya. Kayaknya jarang deh. Padahal kalo pertimbangannya bener-bener kualitas, India itu mantap banget di bidang TI (bukan cuma goyangannya di f ilm-film Bollywood aja yang mantap, he, he, he ;>). Ahli-ahli teknologi informasi dari negara itu banyak banget yang direkrut sama perusahaan TI yang terpercaya.

Tapi kedua contoh itu sih masih mending. Masih ada contoh yang lebih “mengenaskan”. Dosenku di tingkat 1 dulu nyeritain pengalamannya pas baru pulang belajar S3 dari luar negeri, yang selalu disindir-sindir sama bosnya di Jurusan (alias Ketua Jurusan) karena pakaiannya dianggap kurang sopan. Kurang mencerminkan seorang dosen lah. Emang sih, gaya berpakaian dosenku itu bisa dibilang “gak konvensional”, tapi bukan berarti gak sopan, menurutku.

Entah karena terlalu sibuk ngeresein pakaian si dosenku itu, atau karena si Bos berpandangan sempit tentang orang yang pakaiannya “kurang dosen”, dosenku jadi ngerasa kalo kemampuannya kurang dihargai oleh Bos-nya. Padahal dia udah berusaha mengajukan berbagai ide, intinya sih berusahan nunjukin kalo hasil sekolahnya di luar negeri emang gak sia-sia (;>). Tapi tetap aja gak diwaro. Nah, beberapa saat kemudian, salah satu Profesor (orang Bule loh) yang ngajar dosenku di luar negeri dateng ke Indonesia. Kebetulan Jurusan di ITB tempat dosenku ngajar bekerjasama dengan Perguruan Tinggi tempatnya belajar dulu. Jadi, si Profesor ini dateng ke Indonesia dalam rangka kerja sama itu.

Nah, pas si Profesor dateng ke Indonesia, dia muji-muji kemampuan dosenku itu di depan sang Bos. Dia gak nyinggung-nyinggung soal pakaian loh. Setelah kejadian itu, bahkan setelah si Profesor pulang ke negaranya, dosenku ngerasain perubahan sikap yang drastis pada diri Bos-nya. Baru saat itu akhirnya dosenku dikasih kesempatan untuk nunjukin kemampuannya, baru setelah itu dia ngerasa kemampuannya dihargai. Tentu saja, soal pakaiannya pun gak pernah dikomentarin lagi. Aku inget, pas nyeritain pengalamannya ini, dosenku menyatakan keheranannya. Apa Bos-nya itu harus dibilangin ama orang “Barat” dulu, baru kemudian ngehargain kemampuan anak buahnya? Padahal sebelum itu kan dosenku juga udah berusaha keras nunjukin kemampuan terbaiknya.

Kesimpulan yang bisa kuambil dari semua paparan di atas adalah cobalah menghargai sesuatu bukan karena “siapa”-nya, tapi lihatlah “apa”-nya. Emang kita harus selalu waspada sih, karena seperti kataku, kadang kita gak sadar kalo kita udah bersikap etnosentris dengan “Barat” sebagai pusatnya. Jangan liat “bungkus”-nya aja, tapi yang lebih penting, lihatlah “isi”-nya.

0 comments:

Post a Comment