Saturday, June 03, 2006

Jangan Salahkan Bobotoh

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Bandung, serta sempat menyaksikan masa-masa kejayaan Persib; gak aneh kalo aku menjadi seorang pendukung (bobotoh) Persib. Jadi, wajar aja dong seandainya aku rada-rada panas setiap kali ada orang yang ngomong jelek tentang Persib ataupun para bobotohnya.

Ceritanya bermula hari Senin minggu lalu, saat seorang teman menghampiriku dan menyampaikan rasa prihatinnya atas kekalahan Persib dari Arema (sebetulnya sih belum kalah, karena pertandingannya ditunda berhubung hujan deras dan lapangannya becek abis). Tentu saja, dengan optimis aku menjawab bahwa Persib pasti bisa bangkit (meskipun dalam hati aku merasa cukup khawatir juga). Nah, di tengah pembicaraan ini, temanku yang lain nimbrung dan terang-terangan menyatakan antipatinya terhadap bobotoh karena sikapnya yang anarkis.

Panas? Jelas! Tapi aku gak bisa nyalahin temanku itu sih. Soalnya, selama ini memang ada “oknum” yang melakukan berbagai perusakan (barang umum maupun kendaraan pribadi; macem-macem lah) setiap kali Persib kalah. Dan berhubung temanku ini kebetulan juga gak suka sepakbola, maka dia juga menekankan bahwa sebagian suporter SEPAKBOLA Indonesia emang menunjukkan sikap yang sama (sikap suka merusak, maksudnya). Tapi apa bener sepakbola adalah biang kerok dari semua itu?

Menurut pendapatku: TIDAK. Sebagai seorang bobotoh, jangan salahkan aku kalo ngerasa kecewa ngeliat Persib main jelek sehingga akhirnya kalah. Aku pasti kesel banget sama wasit kalo dia bikin keputusan yang gak tepat sehingga merugikan Persib. Jelas aja aku bete ngeliat suporter tim lawan bertindak ngeselin (baca: arogan). Tapi apa itu terus ngebikin aku pingin ngerusak barang-barang ato ngelemparin wasit dan supoter lawan dengan petasan atau botol air mineral berisi urin (maaf), misalnya? Enggak lah. Paling banter juga teriak, “Wasit goblog!” (he, he, he, maaf atas kata-kata tak sopanku).

Jujur aja, orang-orang yang bikin rusuh menurutku bukanlah bobotoh (dan juga suporter sepakbola) sejati. Gila aja lah, kalo ngaku sebagai bobotoh tapi melakukan tindakan kayak gitu. Bobotoh pasti sadar bahwa melakukan tindakan anarkis sama sekali tidak membawa manfaat apapun bagi Persib. Jangan-jangan malah tim yang kena getahnya (kena sanksi) karena kelakuan buruk suporternya.

Selain itu, aku juga berpendapat bahwa sebenarnya bukan sepakbola yang bikin orang rusuh. Sepakbola cuma dijadiin alasan untuk melampiaskan rasa frustasi mereka. Tekanan kehidupan-lah yang bikin orang frustasi, bukan sepakbola. Berada dalam kerumunan para suporter memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin berani dilakukannya saat sendirian.

Kalo ditinjau secara sosiologis (ciee....), saat seseorang berada dalam “kerumunan”, identitas pribadinya akan “hilang” dan digantikan oleh “identitas kelompok”. Contohnya kalo lagi sendirian, orang mungkin gak akan berani ngelempar batu ke arah polisi, misalnya. Tapi kalo lagi demonstrasi (berada dalam kerumunan orang banyak), orang berani-berani aja ngelakuin hal itu karena toh gak bakal ketauan siapa yang ngelempar. Identitas pribadi si pelempar digantikan oleh identitas kelompoknya (jadi: “MAHASISWA melempar batu ke arah polisi”, bukan “RENI melempar batu ke arah polisi”). Masih lieur? Singkatnya mah “dimarahin bareng-bareng” lebih mending daripada “dimarahin sendiri”.

Hidup Persib!

Catatan:

Makasih buat Lina dan Puty. Berkat obrolan dengan kalian, aku jadi dapet ide untuk nulis tentang topik ini. Untuk Wiwin, jelek-jelek begini Bandung masih punya tim Divisi Utama loh. Bandingin ama Purworejo. Bahkan ngedengar tim dari sana aja aku gak pernah tuh, he, he, he, he, he ;>.

0 comments:

Post a Comment