Wednesday, June 28, 2006

Pilihan

Salah satu reputasi jelek alumni ITB di mata masyarakat adalah kecenderungan mereka untuk jadi “kutu loncat”. Tau kan, orang yang sering banget gonta-ganti kerja, dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain. Masih untung kalo pindah kerja setelah satu atau dua tahun, ada yang baru enam bulan, tiga bulan, sebulan, bahkan sehari (!) udah keluar dari kerjaannya untuk pindah ke tempat lain. Wajar aja kalo para employer pada protes.

Hipotesis yang paling umum diutarakan untuk menjelaskan fenomena ini ada dua. Pertama, kurangnya “penghargaan” (dengan kata lain, gajinya terlalu kecil---menurut mereka). Kedua, kurangnya tantangan sehingga si alumni cepat bosan dengan pekerjaannya sehingga akhirnya dia sering banget pindah kerja. Mungkin kedengerannya sombong banget, tapi itulah alasan yang sering kudengar. Tapi ada satu alasan, yang menurutku jauh lebih bisa menjelaskan fenomena tersebut, daripada kedua hipotesis di atas. Alasan yang belum pernah terpikir olehku, sampai beberapa hari lalu.

Ceritanya, aku ngobrol dengan salah seorang teman tentang suasana di dunia kerja. Temanku ini udah lulus dan sempat kerja di sebuah perusahaan beberapa bulan, tapi sekarang dia udah keluar (tapi gak pindah ke perusahaan lain, ya; sekarang dia lagi “nganggur”) karena merasa gak nyaman ama suasana kerjanya. Akhirnya, topik “kutu loncat” muncul juga dalam pembicaraan kami. Waktu kutanya pendapatnya tentang hal ini, temanku bilang bahwa menurut pendapatnya, hanya satu hal yang bikin banyak alumni ITB jadi “kutu loncat”: mereka gak mantap dalam menetapkan pilihan.

Yah, namanya juga hidup. Setiap hari kita pasti harus membuat berbagai keputusan, memilih satu di antara sekian banyak pilihan. Mau kuliah atau bolos? Mau naik angkot Cisitu-Tegalega atau Caringin-Sadangserang? Dan banyak pilihan lain yang jauh lebih pelik dari sekedar milih angkot atau menentukan apa yang harus dikerjakan dalam sehari. Apapun pilihan akhir kita, hendaknya dibuat dengan penuh kesadaran. Sayangnya, banyak orang yang membuat pilihan secara “tidak sadar”. Inilah yang membuat dia gak mantap dalam menjalani pilihannya.

Membuat pilihan dengan sadar berarti memahami segala konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan tersebut, entah itu konsekuensi yang mengenakkan ataupun yang tidak. Ada orang yang memilih untuk dipilihkan jalannya oleh orang lain dan ada juga orang yang memilih untuk mengikuti arus; mungkin keliatannya gak punya pendirian banget, tapi hak orang itu sendiri buat ngambil keputusan. Masalahnya adalah, apakah dia membuat pilihan itu dengan sadar? Apakah dia paham benar dengan konsekuensi dari pilihannya?

Misalnya nih, ada seorang anak yang pingin masuk Seni Rupa tapi ortunya pingin dia masuk Teknik. Akhirnya anak itu memutuskan untuk membiarkan ortunya memilih untuknya, dengan kata lain dia akhirnya setuju untuk masuk Teknik. Kalo ternyata dia malah males-malesan pas kuliah, berarti pilihan itu dia buat secara “tidak sadar”. Kalo dia “sadar” dengan pilihannya, harusnya dia udah menduga bahwa dia bakal butuh energi ekstra untuk menjalani kuliah itu mengingat dia gak terlalu berminat ama pelajarannya.

Contoh kedua adalah kejadian klasik yang banyak dialami oleh para seniorku. Dosenku di Farmasi udah pernah bilang kalo gaji seorang Apoteker di perusahaan farmasi itu kecil. Gak sebanding ama kerjaan dan tanggung jawabnya yang berat lah. Mengetahui fakta seperti itu, seorang Apoteker yang memilih untuk kerja di industri farmasi dengan “sadar” harusnya gak ngomel-ngomel pas nerima gaji yang “kecil”. Kalo mau dapet duit banyak mah jangan kerja di industri farmasi, mending jadi wirausahawan (itu kata dosenku loh). Kalo masih ngomel-ngomel juga, jangan-jangan dulu dia memilih secara “tidak sadar”.

Yah, mumpung aku masih kuliah, belum terlambat untuk berpikir masak-masak tentang masa depanku. Aku gak mau nantinya menyesal karena membuat pilihan tanpa “kesadaran”.

2 comments:

  1. Anonymous11:01 AM

    Hmmm...gak mantap sama pilihannya menurut saya kurang tepat kata2nya,saya lebih suka bilang dia ga sadar sama apa yang dipilihnya,ato malah ga tau apa yg udah dia pilih,sprtnya hal ini lebih disebabkan orang tsb sebenernya ga ngerti apa yg paling dibutuhkan seseorang untuk memilih.Menurut saya membuat suatu pilihan ga sesulit yg dibayangkan,dgn syarat 'dia kenal dirinya sendiri'.Apa kelebihanya,kekuranganya,sifat apa yg paling menonjol,hal2 apa yg menarik & tdk menarik bwt dirinya,sifat yg mana dr dirinya yg plg srg dikritik orang,dll yg menyangkut dirinya sendiri.Misalnya aja,kenapa sih lulusan farmasi ITB bnyk yg b'minat kerja di industri?Jawaban yg plg srg keluar adalah 'yaa..krn di kuliah kan qta udah diarahin ke sana'..Ah itu sih dasar orangnya aja yg kebawa arus smp ga tau arah..Emangnya yg nentuin masa depan qta pihak sekolah??Klo mau kerja di industri itu kan hrs tau kualifikasinya seperti apa,kemampuan problem solving hrs ada,org sprt apa yg dibutuhkan,msk ga diri kamu sama kualifikasi tsb,kuat fisik & mental ga,jgn krj di ind gara2 gengsi sm temen2..
    Inget ga Ren waktu qta liat presentasinya P&G?Waktu mereka bilang u/ apa mereka ada di sini?Jawabannya kan 'Untuk Mencari Orang yg TEPAT'..Tiap tempat kerja pny atmosfer sendiri,pny visi-misi sndiri,Tinggal dicocokin aja sama diri sendiri sbg pelamar..Gaji kecil mnrt saya bukan alesan yg tepat knp se2org kluar dr t4 krjnya.Dia sebenernya sdg berada di t4 yg tdk sesuai dgn dirinya,ada d t4 yg salah pd saat yg tdk tepat pula,dan diperparah dgn kenyataan bhw dia ga sadar udah kesasar...
    (Dari saya Ren,yg dlm komentarnya kali ini sangat menunjukkan sifat sarkastisnya..hehe..maaf bwt yg ngerasa t'singgung)

    ReplyDelete