Sunday, April 16, 2006

Nostalgia Anak Muda

Zaman SMP dulu, aku pernah terjangkit demam retro. Penyebabnya, aku sempet suka sama lagu “Govinda” karya Kula Shaker. Untuk informasi, Kula Shaker ini band asal Inggris (yang bubar setelah mengeluarkan dua album saja) dengan gaya ’70-an abis. Tau kan: musik psychedelic, celana bell-bottom, rambut gondrong tapi nanggung—yang kayak gitu lah! Gara-gara mereka, aku jadi terpesona sama gaya ’70-an. Gak sampai bikin aku berdandan ala retro sih, tapi yang jelas saat itu aku jadi ngerasa kalo gaya ’70-an itu keren banget.

Ternyata, aku bukan satu-satunya “anak muda” (maunya sih dibilang anak muda ;>) yang kepincut sama pesona masa lalu. Bahkan kalo dilihat-lihat, sekarang malah lebih banyak lagi anak muda yang suka berdandan dengan gaya retro atau dengerin musik jadul. Jangan salah loh, nostalgia anak muda gak terbatas pada hal-hal yang artistik aja, tapi juga dalam hal lain seperti gerakan politik, pelestarian lingkungan hidup, dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah PKS yang banyak mengambil teladan dari Ikhwanul Muslimin yang notabene “produk” masa lalu (aku bukan anggota PKS; jadi, mohon koreksinya kalo salah).

Tapi sebenernya, apa sih yang membuat “produk” masa lalu begitu menarik bagi anak muda? Pasti ada alasan yang lebih “dalam” dari sekedar menganggap bahwa aspek tertentu dari masa lalu itu “keren”. Setelah mikir-mikir, aku teringat kata-kata salah seorang teman. Temanku ini mendadak jadi suka lagu-lagu jadul setelah nonton film “Gie”. Menurutnya, lagu-lagu jadul sangat jujur dan sederhana—itulah sebabnya kenapa dia suka.

Dari pernyataan temanku, aku menyimpulkan bahwa aspek-aspek tertentu dari masa lalu disukai oleh anak-anak sekarang (yang notabene masih muda dan gak pernah ngerasain hidup di masa itu) karena aspek tersebut punya kelebihan dibandingkan dengan yang ada di masa sekarang. Entah itu kesederhanaan, kejujuran, semangat, keindahan, keteraturan, keteladanan—apapun. Hal-hal yang mungkin susah ditemui di zaman sekarang. Makanya, anak-anak muda berpaling ke masa lalu untuk mencari “sesuatu” yang hilang itu.

Gak ada salahnya terinspirasi atau mencari inspirasi dari masa lalu. Yang penting, jangan sampai terjebak pada nostalgia semata. Biar bagaimanapun, kita hidup di masa ini, bukan di masa lalu.

2 comments:

  1. Anonymous1:24 PM

    yg jd pertanyaan sy sbenernya yg bikin semua itu jd trend sapa si??Yg namanya anak muda apalagi jaman2 smp & smu kan bs dbilang korban mode jd gaya apapun ga peduli itu asalnya dr taun brp,anehnya kya gmn,yg pnting gaya tsb lg trend yaa..ikutin ajalah biar ga dbilang kampungan..tp ya ada jg si yg t'gantung selera..

    ReplyDelete
  2. Anonymous8:59 AM

    Kalo kata saya ya (orang yang kadang suka dengan trend yang lagi berkembang dan kadang juga ga peduli ama trend yang lagi 'in'--terutama kalo emang ga sesuai ama selera pribadi saya). Salah satu faktor pendukung berkembangnya trend adalah "gembar-gembornya" alias sosialisasi a.k.a iklan ataupun segala hal yang memungkinkan masyarakat luas untuk mengenal akan sesuatu yang jadi trend, atau potensial untuk menjadi trend. Bingung ya? saya juga hehehehe. Saya kasih contoh aja deh, inget ga dulu sempet anak-anak muda tiba-tiba banyak yang suka banget ama puisi (saya ga termasuk soalnya emang dari dulu suka rada-rada lemot dalam mencerna puisi), itu salah satunya kan karena efek film "Ada Apa Dengan Cinta". Trus trend rambut, kadang dipicu ama iklan-iklan produk rambut kaya shampoo, conditioner dll. Sinetron? wah jelas-jelas, karena ada satu yang banyak disuka, ratingnya tinggi, masyarakat banyak tau,..... truuuus dibikin trend deh ama produser-produser lain yang ikut-ikutan bikin acara serupa. Ga masalah sih ngikutin trend, terinspirasi gara-gara trend, atau melawan arus trend. Cuma yang penting jangan sampai jadi "orang lain" deh karena trend. Kayanya ini nerusin komentarnya rani ya? Da asa ga nyambung sama tulisan Reni (maaf....)

    ReplyDelete