Saturday, October 04, 2008

Distorsi

Guru Bahasa Indonesiaku di SMA pernah ngadain tes kecil-kecilan tentang "penyampaian informasi lisan secara beruntun". Dengan kata lain, pesan berantai. Caranya, guruku menyampaikan sebuah pesan kepada seseorang, kemudian pesan itu diteruskan kepada secara beruntun kepada semua orang di kelasku. Percobaan ini dilakukan dua kali dan ternyata pada kedua kesempatan, pesan yang ditangkap oleh orang terakhir (dan disebutkannya di depan kelas), berbeda jauh dengan pesan yang diterima orang pertama. Dengan kata lain, penyebaran pesan secara lisan yang melibatkan banyak orang tuh gak efektif--karena rentan mengalami distorsi.

Tentunya, kita gak mengharapkan hal serupa terjadi pada penyebaran informasi lewat media massa. Jurnalis kan orang-orang yang terpercaya dan insyaAllah mereka gak asal aja mengabarkan suatu berita kepada masyarakat. Sayangnya, seterpercaya apa pun media massa tersebut, bukan berarti dia gak mungkin salah dalam menyampaikan pesan. Televisi khususnya, yang menyampaikan berita secara lisan dan acapkali real time. Selain itu, TV juga sering mengulang-ulang berita yang sama. Akibatnya, risiko salah pun menjadi semakin besar karena--ingat!--kian sering suatu berita disampaikan, kemungkinan berita tersebut melenceng kian besar pula.

Kalo mo memerinci kesalahan TV dalam menyampaikan info, sebenernya ada banyak. Tapi, mari kita tengok saja kasus yang paling hot, soal "susu bermelamin".

Badan POM menarik sejumlah produk yang mengandung susu buatan Cina setelah di negara tersebut ditemukan susu yang mengandung melamin. Jadi, tindakan BPOM merupakan suatu langkah preventif. Apakah semua produk tersebut mengandung melamin? Jawabannya: belum tau. Harus dilakukan pengujian dulu untuk tahu apakah produk-produk itu mengandung melamin ato enggak. Tapi daripada celaka, tarik aja semuanya.

Awalnya sih, info ini cukup jelas. Apalagi TV-TV pun menampilkan Kepala BPOM saat dia mengumumkan penarikan produk-produk tersebut (dan latar belakangnya). Tapi, makin lama berita tersebut makin terdistorsi. Penggunaan kata-kata "produk yang diduga mengandung melamin" ato "produk yang mengandung susu buatan Cina" entah sejak kapan berubah menjadi "produk bermelamin". Padahal itu kan belum pasti!

Parahnya lagi, budaya lisan dalam masyarakat kita masih berakar kuat. Plus, kita belum terbiasa kritis. Jadi, begitu melihat berita di TV, yang nempel mungkin cuma yang bombastis aja. Detail gak menarik seperti "ditarik karena dicurigai", "hanya makanan merek X berjenis Y yang dicurigai mengandung susu dari Cina" terlewatkan sepenuhnya. Yang terpatri di benak mungkin hanya: "Merek X bermelamin!" Sekian.

Info yang salah dalam permainan pesan berantai emang gak masalah, malah cenderung menghibur. Tapi kalo media massa sampai salah menyampaikan pesan, cilaka deh. Bukannya tercerahkan, masyarakat malah makin parno. Gawat kan?!

0 comments:

Post a Comment