Thursday, January 24, 2008

Kenapa Kudu Kinclong?

Rias wajah identik dengan perempuan. Entah ke tempat ato acara resmi seperti kantor ato kawinan, maupun sekedar belanja ke pasar, perempuan yang ber-make-up, biarpun cuma bedak ato lipstick yang dipoles tipis-tipis, adalah pemandangan yang biasa-biasa aja. Tapi, berhubung otakku sering memikirkan hal-hal yang gak penting, hal ini justru membuatku bertanya-tanya. Kenapa perempuan dengan make-up dianggap lumrah, sedangkan laki-laki yang berias--kecuali dalam rangka mentas di panggung ato depan kamera--dianggap banci, ato paling bagus, metroseksual?

Hasil browsing yang kutemuin sejauh ini baru seputar sejarah kosmetik, tujuan penggunaannya, hal-hal seperti itulah. Rias wajah dipake untuk kamuflase di saat perang. Rias wajah digunakan juga untuk ritual keagamaan/kepercayaan. Rias wajah dikenakan untuk tujuan dekoratif. Oke. Meskipun data yang kuperoleh gak terlalu berguna, kesan bahwa rias wajah yang murni untuk tujuan estetis, sepanjang sejarah, memang lebih sering dimanfaatkan oleh perempuan daripada laki-laki malah semakin menguat. Pasti ada sesuatu di baliknya kan?

Akhirnya, seperti biasa, aku bikin teori sendiri. Kalo kita tengok hewan-hewan, banyak yang memamerkan kecantikannya dalam rangka mencari pasangan. Burung merak, misalnya (meskipun dalam dunia binatang, si jantanlah yang biasanya berparade untuk menarik perhatian betina). Mungkinkah (dulu) kasusnya juga sama untuk pemakaian rias wajah di kalangan wanita?

Mungkin aja sih. Di banyak belahan dunia, perempuan dulu hanya dinilai karena kemampuan reproduksinya dan sekedar warga kelas dua. Jadi, sangat penting untuk terlihat menarik (bagi laki-laki) dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Soalnya, kalo gak punya suami yang bisa melindunginya, si perempuan bakal terlunta-lunta karena dia, bisa dibilang, gak punya hak dalam masyarakat. Kepemilikannya atas barang pribadi aja gak diakui kok. Dengan mengenakan rias wajah yang bisa memperbaiki penampilannya, peluang seorang perempuan untuk terlihat lebih menarik daripada perempuan lainnya sehingga bisa lebih menarik perhatian laki-laki akan meningkat.

Gak percaya? Liat aja iklan-iklan kosmetik deh. Sampe sekarang, kita masih bisa ngeliat produk kosmetik yang menekankan hal tersebut dalam pemasarannya. Dalam iklan X misalnya, digambarkan seorang wanita yang asalnya berkulit agak gelap, dan gak dipandang ama orang-orang. Lalu, setelah mengenakan X selama tujuh minggu, kulitnya menjadi lebih terang dan dia pun menjadi pusat perhatian orang-orang. Di iklan tersebut, ditunjukkan bahwa “orang-orang” ini adalah para pria. Apaan coba maksudnya?

Kalo rias wajah memang pernah punya fungsi yang, menurutku, sangat merendahkan perempuan, udah saatnya kita mengubah sudut pandang. Rias wajah adalah sebuah pilihan, bukan keniscayaan. Meskipun sudah terbukti bisa memperbaiki tampilan, kalo ada cewek yang gak mau pake make-up, suka-suka dia dong. Sebaliknya, kalo ada cowok yang ber-make-up, pantaskah kita melabelinya dengan berbagai julukan yang gak mengenakkan? Sayangnya, mengubah pola pikir yang udah terbentuk selama bergenerasi-generasi gak semudah membalikkan telapak tangan.

Catatan: Soal kebiasaan yang berkesan bias jender (ato apalah istilahnya), pemakaian sepatu hak tinggi malah lebih “mencurigakan” lagi. Tapi, nyari datanya juga jauh lebih susah euy!

0 comments:

Post a Comment