Monday, January 14, 2008

Pesan dalam Gurauan

Menyampaikan kritik tuh gak gampang. Apalagi kalo sasarannya orang yang berkuasa. Bukannya berdampak positif, jangan-jangan si pengkritik malah dihajar sampe babak belur. Apalagi kalo yang dikritik adalah penguasa otoriter. Di masa pemerintahan Soeharto misalnya, entah berapa banyak orang--sebagian besar aktivis--yang hilang tanpa jejak.

Dalam suasana yang tidak kondusif, komedi dan parodi adalah media yang pas untuk menyampaikan kritik. Kritik yang disampaikan lewat komedi relatif kurang frontal, jadi kemungkinan menyinggung pihak yang dikritik lebih kecil. Selain itu, komedi, seperti karya seni lainnya, bisa diinterpretasikan dengan berbagai cara. Jadi, seandainya ada yang merasa tersinggung, sang komedian bisa aja ngeles dan bilang bahwa karyanya tidak berkaitan dengan nama tokoh, tempat, maupun kejadian yang sebenarnya, hehehe :D.

Yang jelas, komedi sebagai media kritik punya sejarah yang amat panjang. Tau Abunawas? Tokoh ini sering ditugasi menciptakan atau menjawab teka-teki oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Meskipun awalnya pusing tujuh keliling, Abunawas yang pinter-pinter bodoh selalu berhasil menuntaskan tugasnya. Harun al-Rasyid yang, setelah tertawa terbahak-bahak, agak kesindir, dan luar biasa puas, ujung-ujungnya akan menghadiahi Abunawas atas kecerdikannya. Cuma 4JJ1 yang tahu apakah tokoh ini bener-bener pernah hidup ato enggak. Tapi yang jelas, kisah-kisah Abunawas menunjukkan bahwa humor bukan hanya bisa menghibur, namun juga “menyentil” pendengarnya.

Zaman dulu di Eropa, ada juga yang namanya badut istana ato court jester. Seperti namanya, si badut bertugas menghibur raja dengan tarian, nyanyian, atraksi akrobat, serta leluconnya. Para badut istana banyak yang berpenampilan ekstrem (yang akan membuat Tukul Arwana terlihat cakep). Ada juga badut istana yang sepintas lalu terkesan bodoh dan agak tidak waras. Tapi, kesintingannya--yang di abad pertengahan dianggap sebagai karunia Ilahiah--justru membuat si badut mampu melontarkan komentar-komentar konyol nan polos yang membuat pejabat-pejabat korup ketar-ketir, ato membuat sang raja yang sering khilaf menertawai diri sendiri.

Tradisi panjang itu masih terus berlanjut. Salah satunya dalam Republik Mimpi di Metro TV. Parodi politik ini, lagi-lagi, menunjukkan bahwa kritik sosial gak selalu perlu disampaikan dengan gaya berapi-api yang bikin kening berkerut, tapi juga lewat celetukan yang mengundang tawa (sekaligus juga senyum miris). Sayangnya acara ini sekarang dihentikan penayangannya sampai waktu yang tak terbatas. Padahal di tengah-tengah segala kegilaan ini--harga sembako yang naik terus, banjir di mana-mana, korupsi yang gak diusut-usut--kita benar-benar memerlukan lelucon cerdas yang membuat kita tetap waras....

0 comments:

Post a Comment