Monday, March 24, 2008

Ikon Kota Kita

Sebuah kota tanpa ikon bagaikan tubuh tanpa jiwa. Mungkin itulah yang ada di benak tim kreatif Bandung Teaaa sehingga mereka memunculkan topik itu dalam acara tersebut Jumat lalu--tentang ikon-ikon kota Bandung yang sudah/akan menghilang. Ada empat ikon yang diangkat: monumen telekomunikasi yang digantikan oleh Masjid Istiqomah di Jl. Citarum, patung dada seorang Belanda yang berperan dalam pendirian THS yang berubah menjadi patung kubus-kubus kontemporer di depan ITB, Monumen Lentera Api yang digantikan oleh patung kereta api di Stasiun Lama, dan Pemandian Umum Cihampelas yang akan dirubuhkan untuk dialihfungsikan menjadi entah apa dalam waktu dekat ini.

Meskipun sang pembawa acara mengungkapkan keprihatinannya atas hal tersebut, karena menggantikan monumen lama dengan yang baru dianggap sama saja dengan mengabaikan bagian dari perjalanan sejarah kota Bandung (ato apalah), aku tidak sepenuhnya setuju. Aku turut berduka atas dihilangkannya Pemandian Umum Cihampleas, tapi tiga “ikon” yang lain, enggak.

Aku bukan penggemar monumen. Sama sekali gak masuk akal. Mari kita dirikan tugu/patung peringatan/yang semacamnya. Mari kita jadikan tugu ini sebagai perlambang perjuangan bangsa/50 tahun KA di Indonesia/dsb. Rasanya seperti memberikan makna bagi seonggok batu yang sama sekali tak bermakna. Lima, sepuluh, lima puluh tahun setelah tugu itu berdiri, belum tentu ada yang masih ingat tujuan pendiriannya sebenarnya.

Menurutku, makna adalah hasil kesadaran kolektif, dilahirkan sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu, bukan berkat instruksi dari “atas”. Ikon yang sesungguhnya takkan pernah dihancurkan, kecuali kalo si penghancur emang berniat menyulut kemarahan orang banyak. Gedung Sate ato Tugu Pahlawan ato Jam Gadang, misalnya, gak mungkin dirubuhkan karena “makna”-nya sebagai penunjuk identitas kota tempatnya berdiri. Kalo sampai ada “bangunan penting” yang diratakan dengan tanah, berarti bangunan itu gak penting-penting amat, setidaknya bagi publik.

Tapi jangan salah, aku ini pendukung setia pelestarian cagar budaya/bangunan bersejarah/bangunan kuno loh. Bangunan art deco di Bandung, misalnya, adalah aset berharga yang bener-bener bisa dijadikan sebagai ikon kota Bandung. Dari sudut pandang pragmatis, mempertahankan gedung-gedung art deco yang lumayan banyak jumlahnya di Bandung penting banget karena keindahan arsitekturnya pasti bisa menarik banyak turis (meskipun akhir-akhir ini wisatawan datang ke Bandung cuma sekedar buat belanja dan makan-makan).

Mau tau apa yang bener-bener patut diprihatinkan? Pembangunan gedung-gedung “modern” berbentuk kotak untuk dijadikan mal di mana-mana, lagi, lagi, dan lagi--entah di tempat yang asalnya berupa bangunan bersejarah, rumah yang biasa-biasa aja, maupun lahan kosong ato hijau rimbun. Karena pada akhirnya, bangunan-bangunan seperti itulah yang akan menghilangkan “jiwa” Bandung, menjadikannya hutan beton membosankan seperti kota-kota lain di seluruh dunia. Apalagi karena hanya satu makna yang dilambangkan oleh gedung-gedung semacam itu. Bukan perjuangan melawan penjajah, bukan juga keramahan warga kota yang menyambut pendatang baru dengan tangan terbuka, tapi UANG!

0 comments:

Post a Comment